Referat TB Anak
Referat TB Anak
PENDAHULUAN
1
1.2 Batasan Masalah
BAB II
2
TINJAUAN UMUM
2.1 Definisi
3
kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi
lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat
secara lengkap dan teratur.2
2.2 Epidemiologi
4
sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2
2.3 Etiologi
5
adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada
tempat lainnya.4
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning
telur dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara
lambat, dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari
media sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji
sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara
itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan
menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5
BAB III
PATOGENESIS
6
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi
TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. 6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian
kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
7
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami
inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.3
8
Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering
terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi
dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.2
9
Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3
Perjalanan alamiah
10
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3
BAB IV
DIAGNOSIS
11
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan
demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya
multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
4.1.2. Manifestasi Spesifik Paru.
TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran
nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-
kadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak
berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis
TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan
pemeriksaan fisik yang teliti.4
TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis
yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak
berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas
paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis.
12
Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan
hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit
ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis
segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan
diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling
sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang
dikeluhkan.6
TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.
Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi
membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh
ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini
berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang
menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada
individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan
ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia
dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada
perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4
TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada
anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan
pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang
dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan
penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat
badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.3
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak
13
kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun.
Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran
klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas.
Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.7,8
14
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini
hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
4.2.3. Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
4.2.4. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
4.2.5. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada
kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter
spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum
digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5
4.2.6. Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis
kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia
langhans.2
Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI
merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.9,10
15
Parameter 0 1 2 3
Catatan:
16
Berat badan dinilai saat datang.
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7
hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan
merupakan alat diagnostik.
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,
dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan
penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas,
pasien harus di rawat inap di RS.
17
Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis11
BAB V
PENATALAKSANAAN
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5
Isoniazid
18
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,
dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah.2,5
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300
mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak
stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam
darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling
sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak
mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada
air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah
plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3
Rifampisin
19
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.3
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan
isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara
menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan
kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa
obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol,
kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian
kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk
anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum
bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5
Pirazinamid
20
pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami
efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada
anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya
adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi
hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk
tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan
makanan.2,3
Etambutol
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya
pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada
anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya
tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
21
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik
pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5
22
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.
23
2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
24
adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya
pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang
lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi
evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.
Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat
dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.5,6
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan
dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi
menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan
pengobatan 6 bulan5
25
atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian
rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat
pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan
rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan
dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.1,5
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali
batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian
kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang
dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan
laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-
dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5
26
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji
kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB
tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus
meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah
di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut
WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %,
sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi
directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya
1,6% saja.2
5.2. Nonmedikamentosa
27
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan
anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan
sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di
sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2
5.3 Pencegahan
28
tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan
dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan
insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal
tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan
optimal.5
5.3.2 Kemoprofilaksis
29
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam
kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan
terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping
obat.3,5
BAB VI
6.1 Komplikasi
6.2 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
30
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa
yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten
terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan
komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan
rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan. 14
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.
Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam
31
lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan
turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia
dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang
tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare
persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif
dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau
lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
7.2 Saran
32
33