Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KEGIATAN

DOKTER INTERNSIP PUSKESMAS SUKAMAJU


KABUPATEN LUWU UTARA
PERIODE MEI 2017-SEPTEMBER 2017

MINI PROJECT
MANAGEMENT KASUS PNEUMONIA PUSKESMAS SUKAMAJU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan masyarakat merupakan persoalan signifikan yang harus menjadi
perhatian pemerintah dan tenaga kesehatan. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat merupakan salah satu tataran
pelaksanaan pendidikan dan pemantauan kesehatan masyarakat. Salah satu bagian dari
program kesehatan masyarakat di Puskesmas adalah program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan.1
Pneumonia adalah pembunuh utama Balita di dunia, lebih banyak dibandingkan
dengan penyakit lain seperti AIDS, Malaria dan Campak. Setiap tahun di perkirakan lebih
dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 Balita /15 detik) dari 9 juta total kematian
balita. Diantara 5 kematian balita, satu diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Oleh
karena besarnya angka kematian ini, pneumonia disebut sebagai Pandemi Yang
Terlupakan atau The forgotten pandemic. Banyak perhatian terhadap penyakit ini,
sehingga Pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau The forgotten
Killer of Children (Unicef/WHO,2006). Kasus pneumonia di negara-negara berkembang
sekitar 60% disebabkan oleh bakteri, sementara di negara maju umumnya di sebabkan oleh
virus.2,3
Grafik 1.1 Persentase Penyebab Kematian Balita 20154

Tahun 1997 dalam upaya meningkatkan cakupan penemuan dan kualitas tata
laksana penderita Pneumonia, mulai dikenalkan pendekatan Integrated Management
Childhood Illnes (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang sekaligus
merupakan model tata laksana kasus untuk berbagai penyakit anak, yaitu ISPA, Diare,
Malaria, Campak, Gizi Kurang dan Cacingan di Unit Pelayanan Dasar. Selain itu
dikembangkan pula Audit Kasus serta Autopsi Verbal untuk mengetahui kualitas dan
dampak pemberian tata laksana pada penderita Pneumonia.3
Keberhasilan praktik MTBS diharapkan mampu menemukan kasus-kasus penyakit
yang mengancam jiwa anak, tidak hanya pneumonia tetapi juga penyakit lainnya.
Penemuan dan penanganan kasus penyakit yang lebih awal pada anak tentunya akan lebih
efektif dalam upaya mengurangi angka kematian bayi dan anak.3
Atas latar belakang tersebut penulis bermaksud melaksanakan mini project upaya
peningkatan capaian program penemuan kasus pneumonia di Puskesmas Sukamaju.
Melalui upaya tersebut diharapkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
masyarakat dapat turut mempersiapkan anak Indonesia menjadi calon generasi penerus
bangsa yang sehat, cerdas, tangguh dan berbudi luhur.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana capaian program penemuan dan penanganan kasus pneumonia pada
balita di Puskesmas Sukamaju?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui jumlah pasien serta cakupan penemuan kasus penderita
pneumonia di wilayah kerja Puskemas Sukamaju periode Januari 2016-Juli 2017.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
 Berperan serta dalam upaya peningkatan capaian program penemuan dan penanganan
kasus pneumonia pada balita di Puskesmas Sukamaju.
 Mengaplikasikan pengetahuan mengenai pneumonia pada balita di Puskesmas
Sukamaju.
 Melaksanakan mini project dalam rangka program internsip dokter Indonesia.
1.4.2 Manfaat bagi Puskesmas
 Bertambahnya peran serta puskesmas dalam program penemuan dan penanganan
kasus pneumonia pada balita di Puskesmas Sukamaju
 Puskesmas Sukamaju dapat melakukan pemantauan kesehatan dan pengendalian
kasus pneumonia pada balita di wilayah kerjanya.
1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat
Masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam upaya peningkatan capaian program
penemuan dan penanganan kasus pneumonia pada di Puskesmas Sukamaju.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia pada Balita


2.1.1 Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang nama istilah
ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian
sebagai berikut:5
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis
mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan
paru termasuk dalam saluran pernafasan.
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Secara anatomis ISPA digolongkan kedalam dua golongan yaitu Infeksi Saluran
Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA).
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut adalah infeksi akut yang menyerang saluran
pernafasan atas yaitu batuk, pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), dan
faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut biasa disebut
ISPA ringan atau bukan pneumonia. Sedangkan Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut
adalah infeksi yang menyerang saluran pernafasan bawah yang biasa dalam bentuk
pneumonia.5

2.1.2 Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Terjadinya pneumonia pada balita seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi
akut pada bronkus yang disebut bronchopneumonia. Gejala penyakit pneumonia ini berupa
nafas cepat dan nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat
adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan
sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai
kurang dari 5 tahun.4,5

2.1.3 Etiologi Pneumonia


Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya
sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan
hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia.
Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan
untuk membantu penetapan etiologi pneumonia.3,5
Penetapan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian
di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan
bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju
dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.3,5

2.1.4 Determinan Pneumonia


a. Faktor Host
 Umur
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan balita.
Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada balita yang sedang
menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia
maka akan semakin kecil risiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita
yang berusia muda.4,5,6
 Jenis Kelamin
Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA (2011), anak laki-laki
memiliki risiko lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak
perempuan.2
 Status Gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah
kelompok bayi dan balita. Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada balita
adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut
saling berpengaruh. Timbulnya Kekurangan Energi Protein (KEP) tidak hanya
karena kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak
yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya
(imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian, anak mudah diserang
penyakit infeksi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit
pneumonia pada balita antara lain adanya kekurangan energi protein. Anak dengan
daya tahan tubuh yang terganggu akan menderita pneumonia berulang-ulang atau
tidak mampu mengatasi penyakit pneumonia dengan sempurna.4,7
 Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA terutama
pneumonia. Penyakit pneumonia lebih mudah menyerang balita yang belum
mendapat imunisasi campak dan DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus). Oleh karena itu
untuk menekan tingginya angka kematian karena pneumonia, dapat dilakukan
dengan memberikan imunisasi seperti imunisasi DPT dan campak.4,5
b. Faktor Agent
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus. Penyebab pneumonia
lainnya adalah virus golongan Metamyxovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Othomyxovirus, dan Herpesvirus.3,4
c. Faktor Lingkungan Sosial
 Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama
maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan dan gizi balita
yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.8
 Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia. Tingkat pendidikan ibu
akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada balita yang
menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia tidak tepat
ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan mempunyai risiko meninggal
karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai
pengetahuan yang tepat.4,5
d. Faktor Lingkungan Fisik
 Polusi udara dalam ruangan/rumah
Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung terjadinya
penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi saluran
nafas. Rumah kecil yang penuh asap, baik yang berasal dari kompor gas, pemakaian
kayu sebagai bahan bakar maupun dari asap kendaraan bermotor, dan tidak
memiliki sirkulasi udara yang memadai akan mendukung penyebaran virus atau
bakteri yang mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernafasan yang berat. Insiden
pneumonia pada anak kelompok umur kurang dari lima tahun mempunyai
hubungan bermakna dengan kedua orang tuanya yang mempunyai kebiasaan
merokok. Anak dari perokok aktif yang merokok dalam rumah akan menderita sakit
infeksi pernafasan lebih sering dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan
perokok.8
 Kepadatan Hunian
Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami
penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan
mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan
kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka
penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan
penyakit pada anggota keluarga lainnya. Perumahan yang sempit dan padat akan
menyebabkan anak sering terinfeksi oleh kuman yang berasal dari tempat kotor dan
akhirnya terkena berbagai penyakit menular.8

2.1.5 Diagnosa Pneumonia


Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, penentuan klasifikasi pneumonia berat dan
pneumonia adalah sekaligus merupakan penegakan diagnosis, sedangkan penentuan
klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap sebagai penegakan diagnosis. Jika keadaan
penyakit seorang balita termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosis
penyakitnya kemungkinan adalah batuk pilek biasa, faringitis, tonsillitis, otitis atau
penyakit ISPA non-pneumonia lainnya.2,4
a. Pemeriksaan Fisik
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang digunakan oleh program P2
ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur. Adanya nafas
cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan. Batas nafas cepat
adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2
bulan - <1 tahun dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1- <5 tahun. Diagnosis
pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas
sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan -
<5 tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan
adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.2,4
b. Laboratorium
Pemeriksaan kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia
pneumococcus dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi organisme
dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi. 2,4
b. Radiologis
Gambaran radiologis pada foto toraks PA yang khas ialah terdapat konsolidasi
pada lobus, lobulus atau segmen dari satu atau lebih lobus paru. Terlihat patchy
infiltrate para parenkim paru dengan gambaran infiltrasi kasar pada beberapa tempat
di paru sehingga menyerupai bronchopneumonia. Pada foto toraks mungkin disertai
gambaran yang menunjukkan ada cairan di pleura atau fisura interlober. Pneumonia
biasanya menyebabkan suatu daerah persebulungan yang berbatas tegas yang di
dalamnya terdapat daerah yang masih terisi udara dan/atau bronkhi yang berisi udara
(air bronchogram). Biasanya pneumonia menyebabkan adanya opasitas yang tidak
jelas dan tersebar pada beberapa bagian paru.2,4

2.1.7 Pencegahan Pneumonia3-5


a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
 Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Diphteri,
Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
 Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal
sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
 Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di
luar ruangan.
 Mengurangi kepadatan hunian rumah.
b. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:
 Pneumonia berat; dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
 Pneumonia; diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau amoksilin.
 Bukan Pneumonia; perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila
demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami
pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak
mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi
kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya
untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya
yang dilakukan dapat berupa:
 Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5
hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
 Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar
penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

2.2 Program Pengendalian Pneumonia pada Balita di Puskesmas2


2.2.1 Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang penting dalam upaya untuk
mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari semua pihak pengambil keputusan dan
seluruh masyarakat dalam upaya pengendalian pneumonia sebagai penyebab utama
kematian bayi dan Balita.
Advokasi dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan
komitmen dari semua pengambil kebijakan. Sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman, kesadaran, kemandirian dan menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan
di semua jenjang melalui pertemuan berkala, penyuluhan/ KIE, dan sebagainya.

2.2.2 Penemuan dan Tatalaksana Pneumonia Balita


Penemuan dan tatalaksana pneumonia merupakan kegiatan inti dalam
pengendalian pneumonia pada balita.
1. Penemuan penderita pneumonia
a. Penemuan penderita secara pasif
Dalam hal ini penderita yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit dan Rumah sakit swasta.
b. Penemuan penderita secara aktif
Petugas kesehatan bersama kader secara aktif menemukan penderita baru dan
penderita pneumonia yang seharusnya datang untuk kunjungan ulang 2 hari
setelah berobat.
Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:
a. Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas
b. Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (TDDK) dan hitung napas.
c. Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur <2 bulan dan 2 bulan -
<5 tahun
d. Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas; Pneumonia berat,
pneumonia dan batuk bukan pneumonia.
Tabel 2.1 Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas2
2. Perkiraan jumlah penderita pneumonia balita
Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita suatu Puskesmas didasarkan pada
angka insidens Pneumonia Balita dari jumlah Balita di wilayah kerja Puskesmas
yang bersangkutan. Jika angka insidens pneumonia untuk suatu daerah belum
diketahui maka dapat digunakan angka perkiraan (nasional) insidens pneumonia Balita
di Indonesia yang dihitung 10% dari total populasi balita. Jumlah Balita di suatu daerah
diperkirakan sebesar 10% dari jumlah total penduduk.
Namun jika provinsi, kabupaten/kota memiliki data jumlah Balita yang resmi/
riil dari pencatatan petugas di wilayahnya, maka dapat menggunakan data tersebut
sebagai dasar untuk menghitung jumlah penderita pneumonia Balita.
Rumus perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita di suatu wilayah kerja per
tahun adalah sebagai berikut :
a. Bila jumlah Balita sudah diketahui
Insidens pneumonia Balita = 10% jumlah balita
b. Bila jumlah Balita belum diketahui
Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk
Perhitungan per bulan bermanfaat untuk pemantauan dalam pencapaian target
penderita pneumonia Balita.
3. Target
Target penemuan penderita pneumonia Balita adalah jumlah penderita
pneumonia Balita yang harus ditemukan/ dicapai di suatu wilayah dalam 1 tahun sesuai
dengan kebijakan yang berlaku setiap tahun secara nasional.
4. Tatalaksana pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan pengendalian
pneumonia pada Balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang
diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia.
Tabel 2.2 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2 Bulan2

Setelah penderita pneumonia Balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai


berikut:
a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol, amoksisilin selama 3
hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol, salbutamol.
b. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari setelah
mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat.
Tabel 2.3 Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan - < 5
Tahun2

2.2.3 Ketersediaan Logistik


Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan pengendalian
ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau contoh
logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan kesehatan. Selanjutnya
pemerintah daerah berkewajiban memenuhi kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik
yang dibutuhkan antara lain:
a. Obat
 Tablet Kotrimoksazol 480 mg
 Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml
 Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml
 Tablet Parasetamol 500 mg
 Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.
Obat-obat tersebut di atas merupakan obat yang umum digunakan di Puskesmas untuk
berbagai penyakit sehingga dalam penyediaannya dilakukan secara terpadu dengan
program lain dan proporsi sesuai kebutuhan. Jika memungkinkan dapat disediakan
antibiotik intramuskular: Ampisilin dan Gentamisin.
b. Alat
 Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer)
Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat ini memiliki
masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).
 Oksigen konsentrator
Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini diperuntukkan khususnya
bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat inap dan unit
gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/ generator).
 Oksimeter denyut (Pulseoxymetry)
Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas
pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen konsentrator.
c. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas masing-masing minimal memiliki
1 set buku pedoman Pengendalian ISPA, yang terdiri dari:
 Pedoman Pengendalian ISPA
 Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
 Pedoman Autopsi Verbal
 Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
 Pedoman Respon Nasional menghadapi Pandemi Influenza
d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)
 DVD Tatalaksana pneumonia Balita
Media ini berisi cara-cara bagaimana memeriksa anak yang menderita batuk,
bagaimana menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit dan melihat tanda
penderita Pneumonia berat berupa tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(chest indrawing).
 TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita
 Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan Masyarakat
e. Media pencatatan dan pelaporan
 Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita sebagai status
penderita.
 Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel)
 Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
Pemantauan logistik dilaksanakan sampai di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama (dengan menggunakan formulir supervisi) yang dilakukan oleh petugas pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Di semua tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan
ketentuan pengelolaan barang milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan
usaha milik negara). Penilaian kecukupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik
pengendalian ISPA.

2.2.4 Supervisi
Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian ISPA berjalan
sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam pedoman baik di provinsi,
kabupaten/kota, Puskesmas dan rumah sakit menggunakan instrumen supervisi
(terlampir). Supervisi dilakukan secara berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota,
Puskesmas yang pencapaian cakupan rendah, pencapaian cakupan tinggi namun
meragukan serta kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik.
a. Pelaksana supervisi
 Petugas pusat
 Petugas provinsi
 Petugas kabupaten/kota
 Petugas Puskesmas.
b. Alat
Formulir (checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen program (pencapaian
target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.
c. Luaran
Luaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian ISPA adalah:
 Data umum wilayah
 Data pencapaian target program
 Data pelatihan
 Data logistik
 Identifikasi masalah
 Cara pemecahan masalah
 Langkah tindak lanjut
 Laporan supervisi dan bimbingan teknis

2.2.5 Pencatatan dan Pelaporan


Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data dasar (baseline)
dan data program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau informasi tersebut diperoleh
dari:
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat setiap
bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja
tetapi dari semua fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari lokasi sentinel
setiap bulan.
c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi.
Disamping pencatatatan dan pelaporan tersebut di atas, untuk memperkuat data
dasar diperlukan referensi hasil survei dan penelitian dari berbagai lembaga mengenai
pneumonia. Data yang telah terkumpul baik dari institusi sendiri maupun dari institusi luar
selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan
baik oleh Puskesmas, kabupaten/kota maupun provinsi.
BAB III
METODE

3.1 Metode Kegiatan


 Tempat dan Waktu Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Sukamaju pada bulan Mei-September
2017 tentang jumlah penemuan kasus pneumonia di wilayah kerja Puskesmas
Sukamaju periode Januari 2016- Juni 2017.
 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data
sekunder pasien pneumonia yang berobat di Puskesmas Sukamaju periode Januari
2016- Juni 2017.

3.2 Pelaksanaan Intervensi


Adapun intervensi yang dilakukan dalam rangka manajemen kasus pneumonia di
Puskesmas Sukamaju adalah dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, pengobatan, edukasi serta rujukan ke rumah sakit untuk kasus
resisten atau rekuren.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum


Wilayah kerja puskesmas Sukamaju adalah lingkup wilayah kecamatan Sukamaju
terletak antara 01° 53, 19°-02°, 55 36 lintang Selatan dan 119° 47 46 - 120° 37 44 bujur
Timur yang berbatasan dengan:
- Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Rampi,
- Sebelah Timur berbatasan denagn kecamatan Malangke,
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Bone-bone,
- sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Mappedeceng.
Kecamatan Sukamaju diapit oleh sungai Uraso dan sungai Tamboke, dengan luas
wilayah tercatat 255,48 Km² dan secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 17 desa
dengan 67 dusun. Iklim kecamatan Sukamaju termasuk iklim tropis, dengan curah hujan
rata-rata 188,75 mm, dan hari hujan rata-rata 11,83 dengan kelembaban rata-rata 82,92%.
Dari 17 desa yang terluas adalah desa Tamboke dengan luas wilayah 63,11 Km²,
sedangkan yang terkecil adalah desa Wonosari dengan luas wilayah 0,89 Km².

4.2 Keadaan Demografi


Jumlah penduduk kecamatan Sukamaju tahun 2016 tercatat sebanyak 29.120 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 14.599, perempuan 14.521 jiwa dan tersebar di 17 desa, dengan
jumlah penduduk terbesar yakni 3.520 jiwa mendiami desa Sukamaju, dan jumlah
penduduk terkecil yakni 619 jiwa mendiami desa Sukaharapan.
Kepadatan penduduk di kecamatan Sukamaju pada tahun 2016 telah mencapai 134
jiwa per-km2. Desa Wonosari adalah desa terpadat dengan tingkat kepadatan mencapai
1.057 jiwa per-km2, sedangkan desa yang tingkat kepadatannya yang paling rendah adalah
desa Tamboke yaitu 20,27 jiwa per km2.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Desa Tahun 2012 s/d 2016

No. Desa Jumlah Penduduk Tahun


2012 2013 2014 2015 2016
1 Lampuawa 1.687 1.884 1670 2.013 2019
2 Minanga Tallu 2.032 1.482 1400 1.801 1818
3 Tamboke 1.331 1.383 1248 1.276 1279
4 Kaluku 2.631 3.137 3.059 2.384 2389
5 Salulemo 1.533 1.581 1.475 1.677 1680
6 Saptamarga 1.851 1.796 1.650 1.600 1606
7 Sukamaju 3.576 3.804 3700 3.536 3520
8 Wonosari 984 922 911 939 941
9 Tulung Sari 1.106 1.126 1.020 1.103 1106
10 Ketulungan 3.254 2.720 2.700 2.987 2994
11 Tulung Indah 1.969 1.895 1.845 1.994 1999
12 Mulyasari 1.414 1.475 1.400 1.489 1495
13 Sukadamai 805 784 705 838 841
14 Sukaharapan 718 673 612 616 619
15 Sukamukti 1.180 1.168 1.013 1.130 1135
16 Sidoraharjo 2.084 2.089 2.100 1.861 1866
17 Tolangi 2,119 1.797 1.600 1.810 1813
18 Mulyorejo 4,518 4.032 4.046
19 Rawamangun 3,059 2.594 2.468
20 Paomacang 1,130 1.065 1.063
21 Wonokerto 3,108 2.793 2.793
22 Sumber Baru 929 851 851
23 Banyu Wangi 282 257 268
24 Subur 1,357 1.288 1198
25 Lino 998 726 716
Jumlah 43.520 43.320 41.511 29.054 29.120

Sumber : BPS Tahun 2016


4.3 Sumber Daya Kesehatan yang Ada di Puskesmas Sukamaju Tahun 2016
No. Tenaga Kesehatan Jumlah
1 Dokter Umum 2
2 Dokter Gigi 1
3 Perawat 13
4 Perawat Gigi 1
5 Asisten Apoteker 1
6 Bidan 22
7 Nutrisionis 1
8 Analis Kesehatan 1
9 Pejabat Struktural 2
10 Staff Administrasi 3
TOTAL 47

4.4 Data 10 Penyakit Terbesar Puskesmas Sukamaju Tahun 2016


Gambaran 10 penyakit terbesar dipuskesmas sukamaju dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.

Gambar 4.1
10 penyakit terbesar puskesmas sukamaju
Tahun 2016

2933

1243 1150
739 656 501 458 439 404 347
4.5 Data Kasus Pneumonia di Puskesmas Sukamaju
Upaya pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) difokuskan

pada upaya penemuan secara dini dan tata laksana kasus yang cepat dan tepat terhadap

penderita pneumonia balita yang ditemukan, dengan Upaya Manajemen Terpadu Balita

Sakit (MTBS).

Tabel 4.2. Jumlah Penemuan Kasus Pneumonia pada Tahun 2016

PNEUMONIA PADA BALITA

NO KECAMATAN PENDERITA DITEMUKAN DAN DITANGANI


L P L+P
JUMLAH % JUMLAH % JUMLAH %
1 2 3 4 5 6 7 8
1 SUKAMAJU 13 104.8 12 73.6 25 87.11
2 SALULEMO 11 135.8 1 12.8 12 75.5
3 SAPTA MARGA 6 85.7 2 29.0 8 57.6
4 KALUKU 7 68.0 4 42.1 11 55.6
5 TAMBOKE 5 111.1 5 102.0 10 106.4
6 LAMPUAWA 4 58.8 1 10.9 5 31.25
MINANGA
7 7 97.2 3 33.3 10 61.7
TALLU
8 TULUNG INDAH 1 11.0 0 0.0 1 5.6
9 KETULUNGAN 3 29.4 5 45.0 8 37.6
10 TULUNG SARI 1 21.7 1 23.3 2 22.5
11 WONOSARI 0 0.0 0 0.0 0 0.0
12 MULYASARI 1 23.3 3 44.8 4 36.4
13 SUKADAMAI 1 27.0 4 87.0 5 60.2
14 SUKAHARAPAN 4 166.7 6 133.3 10 144.9
15 SUKAMUKTI 1 21.7 1 16.4 2 18.7
16 SIDORAHARJO 1 16.4 1 11.8 2 13.7
17 TOLANGI 5 84.7 7 104.5 12 95.2
J JUMLAH 71 63.73 56 42.72 127 52.37
Di tahun 2016 ada 127 kasus Pneumonia di Puskesmas Sukamaju dan persentase

penanganannya sebesar 52,37%. Kasus terbanyak berasal dari desa Sukamaju dengan kasus

penanganan sebesar 87,11% dan kasus terendah dari desa Tulungindah sebesar 5,6%.

GAMBAR 4.2
PERSENTASE CAKUPAN PENEMUAN DAN PENANGANAN
PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS SUKAMAJU
TAHUN 2016

TOLANGI 95.2
13.7
SUKAMUKTI 18.7
144.9
SUKADAMAI 60.2
36.4
WONOSARI 0.0
22.5
KETULUNGAN 37.6
5.6
MINANGA TALLU 61.7
31.25
TAMBOKE 106.4
55.6
SAPTA MARGA 57.6
75.5
SUKAMAJU 87.11

Adapun penemuan kasus pneumonia pada tahun 2017, data yang saat ini tersedia
yaitu jumlah penderita dari bulan Januari hingga Juli 2017, seperti yang terlihat pada tabel
di bawah.
Tabel 4.3. Jumlah Penemuan Kasus Pneumonia pada Tahun 2017
NO. BULAN RAWAT INAP RAWAT JALAN JUMLAH
1 Januari 0 2 2
2 Februari 0 4 4
3 Maret 0 5 5
4 April 1 4 5
5 Mei 0 11 11
6 Juni 0 2 2
7 Juli 2 11 13
TOTAL 42
Berdasarkan pemaparan data kasus pneumonia di atas, pada tahun 2016 jumlah
kasus pneumonia adalah 127 dari total 2.425 balita (5%) dan persentase total dari kasus
pneumonia yang ditemukan dan ditangani adalah 52,37% dari jumlah perkiraan kasus.
Jumlah tersebut hanya sekitar setengah dari jumlah perkiraan cakupan penemuan kasus
pneumonia. Sedangkan pada tahun 2017, sudah ditemukan 42 kasus pneumonia per bulan
Juli 2017. Melihat persentase penemuan kasus pneumonia di beberapa desa di kecamatan
sukamaju, terdapat 2 desa dengan persentase lebih dari 100% dan total 8 desa dengan
persentase kurang dari 75% yang menandakan kurangnya angka penemuan kasus. Namun
angka kejadian pneumonia di kecamatan sukamaju secara umum sebesar 5% dari total
populasi, dimana jumlah tersebut terbilang cukup besar. Dibutuhkan langkah-langkah
strategis dan komprehensif untuk menunrukan angka kejadian pneumonia di wilayah kerja
puskesmas sukamaju, selain itu dibutuhkan pula langkah-langkah khusus untuk
meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia.
Adapun metode penemuan kasus pneumonia (case finding) saat ini adalah dengan
mtode pasif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kepada
pasien yang datang berobat ke puskesmas baik di poliklinik ataupun rawat inap.
Sedangkan dalam manajemen pasien pneumonia di puskesmas adalah dengan
tatalaksana rawat jalan untuk pneumonia ringan, dan rawat inap untuk pneumonia berat,
dan rujukan jika pneumonia sangat berat dengan tanda gagal napas atau jika dalam 2 hari
perawatan tidak ada perbaikan. Tatalaksana yang diberikan di puskesmas sudah sesuai
dengan tetapan WHO dan Depkes sebagaimana yang tertera pada bab sebelumnya.
BAB V
DISKUSI

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan


masyarakat merupakan salah satu tataran pelaksanaan pendidikan dan pemantauan kesehatan
masyarakat. Penemuan dan penanganan kasus pneumonia merupakan bagian dari tugas tenaga
kesehatan puskesmas di wilayah kerjanya masing-masing. Tugas tersebut menjadi sangat
penting dan kompleks karena tingginya angka kematian pneumonia pada anak khususnya
balita. Apabila penemuan dan penanganan kasus pneumonia tidak terlaksana dengan baik dapat
menyebabkan semakin tingginya angka kematian pneumonia pada balita karena terlambatnya
penanganan yang diberikan.
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya tentang angka cakupan penemuan kasus,
didapatkan hanya 52,37% persentase penemuan kasus pneumonia dari perkiraan, hal ini tentu
masih sangat rendah, oleh karena itu beberapa pertimbangan yang mungkin menjadi penyebab
masih kurangnya angka cakupan ini yaitu ;

1. Petugas Puskesmas belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia


Petugas Puskesmas Sukamaju belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia, khususnya bagi pemegang program P2 ISPA di Puskesmas Sukamaju.
Pengetahuan mengenai pneumonia hanya didapatkan secara mandiri.
2. Program penemuan kasus pneumonia pada balita hanya dilakukan secara pasif
Selama ini Puskesmas Sukamaju menemukan kasus pneumonia pada balita hanya
dilakukan secara pasif. Penemuan kasus pneumonia hanya didapatkan dari pasien-
pasien rawat jalan yang berobat ke poliklinik balita di Puskesmas Sukamaju.
Kunjungan secara aktif ke rumah-rumah masyarakat wilayah kerja Puskesmas
Sukamaju masih belum pernah dilakukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya
dana dan kurangnya informasi dari kader atau masyarakat yang tinggal di sekitar
tempat tinggal penderita.
3. Kurangnya sosialisasi mengenai kasus pneumonia pada balita
Puskesmas Sukamaju belum pernah memberikan penyuluhan mengenai pneumonia
kepada kader maupun masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukamaju. Hal inilah
yang mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kasus
pneumonia pada balita. Selama ini, kebanyakan masyarakat akan datang membawa
anaknya berobat bila kondisi anak semakin berat. Sosialisasi mengenai pneumonia
penting agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang pneumonia dan orang tua
dapat lebih waspada terhadap kondisi anaknya sehingga pengobatan pun dapat
diberikan sedini mungkin.
4. Perlengkapan logistik kurang lengkap
Puskesmas Sukamaju masih belum memiliki perlengkapan logistik yang lengkap,
misalnya seperti 1 set buku pedoman pengendalian ISPA, alat-alat kesehatan seperti
Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer), oksigen konsentrator,
oksimeter denyut (Pulseoxymetry) yang tidak berfungsi, nasal canule untuk bayi dan
balita, serta tidak adanya media untuk KIE (elektronik dan cetak). Selama ini
puskesmas hanya menggunakan Formulir 2D bila menemukan penderita pneumonia.

Dari segi penatalaksanaan kasus, pasien pneumonia didiagnosis melalui serangkaian


tahapan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang/laboratorium.
Pasien pneumonia selama ini ditemukan melalui pasien yang berobat rawat jalan atau yang
berobat melalui UGD. Pasien yang tergolong pneumonia biasa/ringan dapat berobat jalan
dengan diberikan antipiretik dan antibiotik sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Antibiotik
yang tersedia yaitu amoxicillin tablet dan syrup, atau cotrimoxazol tablet atau syrup, sedangkan
untuk symptomatiknya di puskesmas tersedia paracetamol, glyceril guaiacolat, CTM,
domperidon syrup dan efedrin. Pada kasus rawat inap, terkhusus pada pasien dengan intake
oral yang tidak adekuat, maka di puskesmas diberikan antibiotik injeksi cefotaxim dan
paracetamol infus. Pasien rawat inap dipantau kondisinya, dan jika tidak ada perbaikan dalam
48 jam maka dilakukan rujukan ke Rumah Sakit. Prosedur ini sudah terbilang cukup baik di
puskesmas sukamaju, dan sebaiknya terus dipertahankan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengamatan yang telah dilakukan, jumlah pasien
pneumonia tahun 2016 adalah 127 dari 2.425 balita (5%), cakupan penemuan kasus
pneumonia tahun 2016 adalah 52,37% serta jumlah kasus pneumonia tahun 2017 sampai
bulan Juli yaitu 42 kasus. Tatalaksana pneumonia di puskesmas sukamaju meliputi terapi
antibiotik amoxicillin atau cotrimoxazol atau cefotaxim injeksi dan terapi simtomatik
seperti paracetamol, CTM, efedrin, GG dan domperidon, baik itu rawat inap maupun rawat
jalan tergantung berat tidaknya gejala pneumonia yang ditemukan.

6.2 Saran
1. Perlunya upaya active case finding dalam upaya peningkatan angka cakupan penemuan
kasus pneumonia
2. Perlunya sosialisasi kasus pneumonia dengan sasaran pada orang tua agar lebih
waspada terhadap penyakit pneumonia pada balita.
3. Perlunya memperlengkap persediaan logistik terkait dengan penatalaksanaan
pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Pedoman Kerja Puskesmas Mengacu Indonesia Sehat 2010.


Jakarta, 2003
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011.
3. Puspitarini D, Hendrati LY. Evaluasi Pelaksanaan MTBS Pneumonia di
Puskesmas di Kabupaten Lumajang Tahun 2013. Jurnal Berkala Epidemiologi
2013; 1: 291-301.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Modul Tatalaksana Standar Penumonia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010.
5. WHO. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002.
6. Heriyana, dkk. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Anak Umur
1 Tahun di RSUD Labuang Baji Kota Makassar. Makassar, 2005. Diambil dari
http://digilib.litbang.depkes.go.id.
7. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Nasional, 2000.
8. Notoatmodjo S. Kesehatan Mayarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta, 2007.
LAPORAN KEGIATAN INTERNSIP
UKM & UKP
MINI PROJECT

OLEH
dr. Tri Kurniawan
dr. Irfan Syamsu Zainuddin
dr. Eza Agusalam
dr. Deri Lidya M.
dr. Angelia P. Andilolo

DIBAWAKAN DALAM RANGKA


MENYELESAIKAN TUGAS SEBAGAI DOKTER INTERNSIP
KABUPATEN LUWU UTARA
PERIODE MEI 2017-MEI 2018
UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

Kode Kegiatan Laporan


F.1 Upaya Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
F.2 Upaya Kesehatan Lingkungan
F,3 Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta
Keluarga Berencana
F.4 Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
F.5 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Menular dan Tidak Menular
F.6 Upaya Pengobatan Dasar
F.7 Mini Project

PENDAMPING

dr. Nur Wely

Anda mungkin juga menyukai