• SEDENTER : hidup yang telah menetap relatif lebih lama, membangun tempat
tinggal yang lebih tahan lama dan kokoh, masih bergantung pada alam
Sebelum itu golongan pemuda telah mengadakan perundingan di salah satu lembaga
bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini
diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan
janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam
harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.
Ir. Soekarno dan Mr. Moh. Hatta diculik sehari penuh di Rengasdengklok. Ini demi kebaikan
mereka agar tidak terpengaruh Jepang dan cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Peristiwa Rengasdengklok ini Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memiliki wibawa yang
besar dan karena itu golongan muda enggan mendekati mereka.
Berdasarkan pernyataan Soekarno kepada Shudanco Sanggih bahwa Ir. Soekarno bersedia
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah kembali ke Jakarta. Esok siangnya,
Shudanco Sanggih kembali ke Jakarta dan menyampaikan berita kepada kawan-kawan dan
golongan muda bahwa Ir. Soekarno akan bersiap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sementara itu di Jakarta sedang terjadi perundingan antara Perwakilan Golongan Tua
(Achmad Subarjo) dengan Perwakilan Golongan Muda (Wikana). Mereka sepakat bahwa
akan melaksanakan proklamasi di Jakarta, dan Laksamana Tadachi Maeda mengizinkan
rumah kediamanya sebagai tempat perundingan dan menjamin keselamatan mereka.
Akhirnya Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Yusuf Kunto segera menuju Rengasdengklok.
Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB. Peranan Ahmad Subardjo
sangat penting dalam peristiwa kembalinya Soekarno Hatta ke Jakarta, sebab mampu
meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan
harinya paling lambat pukul 12.00 WIB.
Nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat
bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke Jakarta.
-siapa:
-pki madiun: 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis
Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
-pemimpin G30S/PKI:
Persoalan internal ad
Dinas intelejen as(cia)
Pertemuan antara kepentingan inggris-as
Soekarno
Tidak ada
Pki
11. Pemberobtakan di/tii
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI)
yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman.
Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII)
dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini
sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion
423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng
Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah
memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya
seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya
tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah
peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan
kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI
mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan
untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan
pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada
tanggal 22 Maret 1965.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin
oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan
operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di
tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada
penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan
kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28
Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel
M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang
di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin
oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru
bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi
tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang
sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area
tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang
di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi
DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi
penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang
Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari
1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat
itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan
beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan
sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum
negara.
12. RMS
Ingin membuat Republik Maluku Serikat dengan memisahkan diri dari Republik Indonesia,
hal ini dilatar belakangi dari ketidakpuasan Mr. Christiaan Soumokil terhadap penggabungan
Maluku dengan RI, karena Soumokil anti dengan RI.april 1950
tokoh :
Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali
kendala yang muncul antara lain sebagai berikut.
1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-
barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimport beras.
3. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana
dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
4. Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan
partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini
diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan
dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang
Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri
pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan
perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah denganadanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di
Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah
menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullahmosi tidak percaya dan menuntut diadakan
reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti
peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno
agar membubarkan kabinet.
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan
pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak
menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan
dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
-Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua
uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan
ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan
SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi
defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar. Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan
karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan
kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan
pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat
pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
pepera
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) - Sebagai wujud perjanjian New York, sebelum
akhir tahun 1969 diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
1. Tahap pertama, dimulai pada tanggal 24Maret 1969 dilakukan konsultasi dengan
dewan-dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
2. Tahap kedua, yaitu pemilihan Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir
pada bulan juni 1969 dengan dipilihnya 1.026 anggota dari delapan kabupaten, terdiri
dari 983 pria dan 43 wanita.
3. Tahap ketiga, adalah pelaksanaan Pepera yang di berlakukan di kabupaten-kabupaten,
mulai tanggal 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di
Jayapura.
Hasil Pepera selanjutnya dibawa ke forum PBB, oleh utusan sekjen PBB Ortis Sanz
untuk di laporkan dalamSidangUmumPBBke-24 (November 1969).
Pada tanggal 19 November 1969 Sidang Umum PBB menyetujui Resolusi Belanda,
Malaysia, Muangthai, Thailand, Belgia, Luxemburg, dan Indonesia agar Sidang
Umum PBB menerima hasil-hasil Pepera yang telah dilaksanakan sesuai dengan isi
Persetujuan New York.
Dewan musyawarah Pepera dengan suara bulat memutuskan bahwa Irian Barat tetap
merupakan bagian dari Republik Indonesia. Pelaksanaan Pepera dalam tiap tahapnya
disaksikan oleh utusan Sekjen PBB Ortis Sanz. Pada sidang Dewan Musyawarah
Pepera dihadiri oleh beberapa duta besar asing di Jakarta, antara lain Dubes Australia
dan Dubes Belanda.
18. Nasakom
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Tanggal 1962–1966
Lokasi Kalimantan, Asia Tenggara
Hasil Perjanjian perdamaian 1966
Pihak terlibat
Malaysia
Britania Raya
Selandia Baru Indonesia
Australia
Tokoh dan pemimpin
Sukarno
Omar Dani (Panglima
Tunku Abdul Rahman Komando Mandala
Walter Walker Siaga)
Soeharto
Abdul Haris Nasution
Kekuatan
tidak diketahui tidak diketahui
Korban
114 korban jiwa 590 korban jiwa
181 cedera 222 cedera
“
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika
para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek
foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila
ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri
Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak
Garuda[3], amarah Sukarno terhadap Malaysia pun
meledak. ”
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September
1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap
Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia[3] dan juga karena
serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti
pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia
mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu
pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai
memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan
penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.
Sukarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia
yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[4] dan ingin melakukan balas dendam
dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Sukarno
memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato dia yang sangat
bersejarah, berikut ini:
“
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai
martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan
kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih
memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Sukarno
-Sedangkan dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah
fungsi. Yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana
tugas keamanan Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di kenal
dengan ABRI masuk desa maka dapat di kategorikan ABRI sebagai dinamisator
sedangkan sebagai stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara.
awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden
Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir
Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa
melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang
belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral
Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga
terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi
Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat
menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI
itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet
karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang
kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab
dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk
menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir
Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana
Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan
Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut
menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan
memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan
kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf,
pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai
Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang
ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar2
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00
waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal
tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telpon dari
Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto
meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu
juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend
Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar
hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis
finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada
pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang
kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti
bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan
peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar
berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan
penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil
Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara
Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru
tajam untuk tembakan peringatan.
-Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian
ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta
puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 -
1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka
tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti
kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas
Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan
jurnalis, Anggie Dwi Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena
tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman ,baik
karena tidak efisien maupun tidak bersih “Reformasi atau mati”. Demikian tuntutan
yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang
di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui
kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998.
Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes
yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998. Gerakan
ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan
politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.
25. Gusdur diturunkan jabatannya oleh dpr
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur
opsional.[51] Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[52]
Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada
Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan
kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR
jika hal tersebut terjadi.[53] Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1
Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi
diadakannya Sidang Khusus MPR di mana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota
PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di
antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar.
Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur
membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[54] Namun,
demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April
mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga
mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada
kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari
kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[55] Menteri Kehutanan
Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan
dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[56]
yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi
hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri.
Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa
MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan
(Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat.
Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri
lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[57] Akhirnya pada 20 Juli, Amien
Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI
menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah
Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[58] Gus Dur kemudian mengumumkan
pemberlakuan dekret yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar[59] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[60] Abdurrahman Wahid terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari,
namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah
kesehatan.[61]
4. Kasus Boluggate
Kemudian Gus Dur diberhentikan melalui TAP MPR, karena tidak menjawab
memorandum dari DPR dan tidak menghadiri panggilan MPR.
Jajak pendapat dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1999. Sekjen PBB Kofi Annan
mengumumkan hasil jajak pendapat 4 hari lebih cepat dari yang dibicarakan banyak
pihak. Tanggal 4 September 1999, dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Kofi Annan
mengumumkan bahwa 78% rakyat Timor Timur menolak paket otonomi luas yang
ditawarkan oleh Indonesia. Hanya 21,5% yang menerima hal tersebut. MPR
kemudian mengesahkan hasil jajak pendapat tersebut pada tanggal 19 Oktober 1999.
Sejak saat itu Timor Timur lepas dari NKRI. Pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur
secara resmi merdeka dengan nama Republik Demokratik Timor Leste.
Peristiwa lepasnya Timor Timur ini oleh masyarakat Indonesia dianggap kesalahan
terbesar dalam pemerintahan Habibie. Seharusnya Habibie sebagai presiden mampu
mempertahankan Timor Timur, padahal saat beliau di angkat sebagai presiden telah di
ambil sumpahnya agar mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI. Oleh karena
itu, pertanggung-jawaban beliau di akhir jabatannya pada sidang Paripurna MPR di
tolak sehingga tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden kembali.