Anda di halaman 1dari 26

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

otonom (untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan) dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[1][2]

Desentralisasi Fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah.[3]

Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan


kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur
organisasi.[4]

Pada sistem pemerintahan yang desentralisasi diwujudkan dengan sistem otonomi daerah yang
memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat
diputuskan di tingkat pemerintahan daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan
dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk
daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau
oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat

Konsep Desentralisasi
Machfud Siddik (2002) menulis, desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai
salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi,
akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah
untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),
terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan
adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.[8]

Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas:[8]

 Desentralisasi Politik (Political Decentralization);


 Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization);
 Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan
 Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Manfaat dan Kelemahan Desentralisasi Fiskal
Menurut Bahl (2008), terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal.[7]

Manfaat desentralisasi fiskal adalah:


 Efisiensi ekonomis.
Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan preferensi
masyarakat setempat dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.
 Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah.
Pemerintah daerah bisa menarik pajak dengan basis konsumsi dan aset yang tidak bisa ditarik
oleh pemerintah Pusat.
Sedangkan kelemahannya adalah:

 Lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi makro.


 Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
 Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
 Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.
Manfaat Penerapan Desentralisasi Fiskal di Indonesia
 Desentralisasi akan lebih mampu menyukseskan tujuan-tujuan pembangunan lewat pemberian
hak kontrol kepada masyarakat yang memiliki informasi dan insentif untuk membuat
keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
 Pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih kepada daerah dapat meningkatkan
kualitas dan efisiensi dari layanan publik.[9]
Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Sampai Tahun 1999
 1948: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Tentang Pemerintahan
Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
 1957: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
 1965: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Pembagian tingkatan daerah menjadi Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan.
 1971: MPR hasil Pemilu 1971 menetapkan konsep otonomi yang berbeda, yaitu “otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab”.
 1974: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
Pemerintah daerah dibagi dalam 2 tingkatan, yaitu Provinsi (Daerah Tingkat I) dan
Kabupaten/Kotamadya (Daerah Tingkat II). Fokus otonomi pada Daerah Tingkat II.
Otonomi daerah tingkat II ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena tidak ada
peraturan pelaksanaannya.
 1992: Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II.
 1995: Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pemerintahan kepada 26 (Dua Puluh Enam) Daerah Tingkat II Percontohan.[9]
Praktik penyelenggaraan publik menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974:[9]

 Dekonsentrasi: Penyediaan pelayanan dilaksanakan dan dibiayai langsung oleh instansi


departemen di tingkat Daerah Tingkat II.
 Desentralisasi: Penyediaan pelayanan sepenuhnya dilaksanakan dengan wewenang otonomi
pemerintah daerah.
 Tugas Pembantuan: Penyediaan pelayanan dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan
bimbingan teknis dari departemen di pusat.
Kenyataannya:[9]

 Penyediaan pelayanan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah daerah menganut


pendekatan pembantuan.
 Penyediaan pelayanan/program yang bersifat padat modal sebagian besar diselenggarakan oleh
instansi departemen di Daerah Tingkat II melalui pendekatan dekonsentrasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, yang diterbitkan tanggal 29 April 1995, diharapkan
menjadi tahapan awal untuk menuju otonomi daerah yang lebih luas dan menjadi terobosan dari
belenggu proses desentralisasi yang sedang terjadi pada waktu itu. Tanggal 29 April dicanangkan
menjadi Hari Otonomi Daerah oleh Presiden Soeharto.[9]

Ke-26 daerah yang menjadi Daerah Tingkat II Percontohan adalah:

1. Kabupaten Aceh Utara (Daerah Istimewa Aceh)


2. Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara)
3. Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat)
4. Kabupaten Kampar (Riau)
5. Kabupaten Batanghari (Jambi)
6. Kabupaten Muara Enim (Sumatera Selatan)
7. Kabupaten Lampung Tengah (Lampung)
8. Kabupaten Bengkulu Selatan (Bengkulu)
9. Kabupaten Bandung (Jawa Barat)
10. Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah)
11. Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta)
12. Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur)
13. Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat)
14. Kabupaten Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah)
15. Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan)
16. Kabupaten Kutai (Kalimantan Timur)
17. Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara)
18. Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah)
19. Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan)
20. Kabupaten Kendari (Sulawesi Tenggara)
21. Kabupaten Badung (Bali)
22. Kabupaten Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat)
23. Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur)
24. Kabupaten Aileu (Timor Timur)
25. Kabupaten Maluku Tengah (Maluku)
26. Kabupaten Sorong (Irian Jaya)
Transfer Pemerintah Pusat ke Daerah Sebelum Tahun
2001
Subsidi Daerah Otonom
 Bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna membantu menciptakan
perimbangan keuangan antartingkat pemerintahan.
 Sekitar 95% digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah.
 Sebagian kecil lainnya digunakan untuk keperluan lain, yaitu subsidi bagi pengeluaran rutin di
bidang pendidikan dasar, ganjaran bagi pegawai peedesaan, subsidi untuk penyelenggaraan
rumah sakit di daerah, dan subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah.
 Dikategorikan dalam transfer pusat yang bersifat khusus (specific grant), karena daerah tidak
memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan Subsidi Daerah Otonom (SDO).
Kegunan dari transfer ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sejak Tahun ANggaran 1999/2000, dalam rangka memperjelas anggaran yang dikelola pusatdan
daerah, digunakan istilah Dana Rutin Daerah (DRD) sebagai nama pengganti dari SDO. Seluruh
komponen dan mekanisme yang ada dalam SDO sama dengan yang ada dalam DRD.[9]

Bantuan Inpres
 Memberikan bantuan pembangunan daerah baik yang bersifat umum maupun khusus yang
diberikan atas Instruksi Presiden.
 Tujuan dari Bantuan Inpres adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal
kesempatan kerja, berusaha, dan berpartisipasi dalam pembangunan.
 Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan
terbatasnya kemampuan kemuangan Pemerintah Daerah untuk membiayai urusan-urusan
tersebut.
 Tahun anggaran 1999/2000, anggaran yang dikelola oleh daerah dikenal dengan Dana
Pembangunan Daerah (DPD) sebagai nama pengganti Bantuan Inpres.[9]
Daftar Isian Proyek
Daftar Isian Proyek (DIP) diklasifikasi menjadi in-kind allocation, karena walaupun dananya
mengalir ke daerah, tidak masuk dalam anggaran pemerintah daerah. Sementara subsidi dan
bantuan dapat dikategorikan sebagai bantuan antartingkat pemerintahan (intergovernmental
grant) karena menjadi bagian anggaran dari pemerintah daerah.[9]

Era Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya (2001-


Sekarang)
Tahun 1998 kekuasaan orde baru berakhir. Tuntutan demokrasi dan pemberdayaan daerah
menjadi sangat kuat. Pada masa Presiden Habibie (1999) dikeluarkan Undang-Undang yang
mengatur mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan kewenangan dari pusat ke
daerah sehingga kewenangan daerah menjadi sangat besar. Sebagai konsekuensi, maka kantor
pemerintah pusat yang ada di daerah (Kantor Wilayah dan Kantor Departemen) sebagian besar
diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan asetnya.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan sumber keuangan kepada
daerah, terutama melalui mekanisme transfer yang cukup besar kepada daerah dan juga dibarengi
dengan kekuasaan pengelolaannya. Undang-Undang ini lebih menitikberatkan pada pola
perimbangan yang didasarkan pembagian kekayaan sumber daya alam dan masih sangat sedikit
yang berbasis pada perpajakan.

Dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
terdapat beberapa perubahan yang cukup fundamental, yaitu:

 Konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan dekonsentrasi.


 Pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal daripada vertikal.
 Pengaturan yang lebih jelas mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah.
 Kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah.
Dengan didasarkan pada kedua Undang-Undang tersebut, dimulailah pelaksanaan desentralisasi
secara nyata di Indonesia pada Januari 2001.

Pada tahun 2004,dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,


dan tuntutan penyelenggaraan otonomi darerah, dikeluarkan Undang-Undang baru, yaitu Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Petubahan peraturan tentang desentralisasi fiskal juga tak lepas dari adanya perubahan keuangan
negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.[9]

Perbandingan Kondisi Sebelum dan Sesudah Penerapan


Kebijakan Desentralisasi Fiskal Tahun 2001
Jenis
Sebelum Desentralisasi Fiskal Setelah Desentralisasi Fis
Desentralisasi

Desentralisasi Pemilihan pemimpin nasional dan daerah Pemilihan pemimpin nasional dan dae
Politik dilakukan secara semilangsung. secara langsung oleh masyarakat.

Desentralisasi Kewenangan Pemerintah Pusat sangat luas, Kewenangan Pemerintah Pusat terbat
Administrasi kewenangan Daerah Tingkat II terbatas. kewenangan Kabupaten/Kota bertamb

Jumlah wilayah relatif konstan dari tahun ke Pemekaran wilayah berkembang deng
tahun, yaitu 27 Daerah Tingkat I dan 292 Daerah Tahun 2010 tercatat ada 33 provinsi d
Tingkat II. kabupaten/kota.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) Jumlah PNSD mencapai 3.052.865 or
masih relatif kecil, sekitar 700 ribu orang pada 2009.
tahun 1999.

Desentralisasi Transfer ke Daerah sangat terbatas (18% dari Alokasi Transfer ke Daerah yang mas
Fiskal belanja APBN 2000). cukup besar (33% dari belanja APBN

Kewenangan memungut pajak bagi daerah masih Peningkatan kewenangan daerah dala
terbatas. pajak.

Tabel bersumber dari Modul Tinjauan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal bagi Kemampuan
Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Perkembangan Aliran Dana APBN ke Daerah
 Alokasi Transfer ke Daerah selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp 253,3 triliun pada
realisasi tahun 2007 menjadi Rp 518,9 triliun pada APBN 2013.
 Transfer ke daerah telah mencapai kisaran 1/3 dari belanja negara. Pada APBN Perubahan
Tahun 2012, total transfer ke daerah mencapai 30,9% dari belanja negara dan direncanakan
menjadi 31,3% pada APBN 2013.
 Selain dana transfer ke daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan sebagian besar belanja
untuk mendanai urusan pusat di daerah dan pelayan kepada masyarakat, antara lain melalui
subsidi, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, bantuan masyarakat melalui PNPM dan
Jamkesmas, dan lain-lain.
 Apabila dihitung secara keseluruhan, maka dana yang mengalir ke daerah mencapai kisaran
60% dari belanja negara.[9]
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian
Daerah
Beberapa Fakta Keberhasilan
 Secara nasional (agregat), transfer per kapita yang meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun
selaras dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran.
 Pada beberapa daerah yang tingkat transfer per kapitanya sangat tinggi, ternyata mengalami
menurunan kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
 Desetralisasi fiskal telah secara nyata memberikan dampak catching-up bagi daerah-daerah
yang sebelumnya sangat tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya.
 Telah terjadi peningkatan output layanan publik di daerah:
 Output pendidikan (Angka Partisipasi Murni/APM Sekolah Dasar)yang meningkat di
seluruh provinsi.
 Output kesehatan (Angka Kematian Bayi/IMR) yang menurun signifikan di seluruh
provinsi.[9]
Keberhasilan Desentralisasi Fiskal dari Sudut Pandang “International
Expert/Scholars”
 Sistem transfer yang berbasis equalization di Indonesia terbukti bekerja secara lebih efektif
dibanding beberapa negara lain seperti Cina dan Filipina.
 Desain sistem Dana Alokasi Umum (DAU) di Indonesia banyak mengurangi ketimpangan
antardaerah sehingga mampu mendukung peningkatan identitas lokal dan sekaligus
mengurangi gejolak perpecahan antardaerah.
 Desentralisasi fiskal telah mendorong pemerintah daerah membelanjakan secara lebih banyak
pada sektor layanan publik yang mendasar, utamanya pendidikan dan kesehatan, guna
mengejar ketertinggalan kualitas laynan di kedua sektor tersebut.[9]
Kendala dan Tantangan
Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pajak Daerah
 Baru 18 dari 492 daerah yang telah memungut PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)sebagai
pajak daerah pada tahun 2012, meskipun batas waktu pengalihan sampai dengan Januari 2014.
 Sampai akhir 2012 50,2% Pemda siap untuk memungut PBB-P2, yang dari sisi potensi telah
mencakup 91,3%.
 Beberapa daerah terkendala oleh kecilnya potensi PBB-P2, kesiapan SDM, sarana dan
prasarana, dan perangkat pendukung lainnya.[9]
Kendala dan Tantangan Transfer ke Daerah
Dana Bagi Hasil (DBH)
 Identifikasi daerah penghasil (prinsip by origin) seringkali terlambat karena keterlambatan
penyediaan data perhitungan.
 Penyaluran DBH didasarkan pada realisasi yang baru diketahui pada tahun berikutnya,
sehingga menimbulkan permasalahan kurang bayar.
 Banyaknya usulan daerah untuk mendapatkan bagi hasil yang belum diatur dalam UU,
misalnya pajak ekspor, perkebunan, daerah pengolah migas.[9]
Dana Alokasi Umum (DAU)
 Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan gaji PNSD, menyebabkan inefisiensi dalam belanja
pegawai daerah.
 Formulasi dan kebijakan DAU yang dialokasikan secara otomatis untuk daerah otonom baru
mendorong pemekaran daerah.
 Alokasi DAU hasilnya baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah
penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]
Dana Alokasi Khusus (DAK)
 Kerancuan fokus DAK, equalisasi, national priority, atau support untuk daerah dengan
kapasitas fiskal rendah.
 Petunjuk teknis DAK yang rigid dan seringkali terlambat sehingga menyulitkan daerah dalam
melaksanakan kegiatan DAK.
 Penyediaan Dana Pendamping dianggap memberatkan bagi beberapa daerah.
 Penetapan daerah penerima dan besarannya tidak dapat diprediksi dan baru dapat
diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah penetapan APBN akhir Oktober)
menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]
Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pengelolaan APBD
 APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan.
Namun, pada tahun 2012, 524 daerah, yang menetapkan APBD tepat waktu hanya sebanyak
274 daerah (52% daerah). Pada 2011 hanya 211 daerah (40%) dan 2010 sebanyak 214 daerah
(41%).
 Proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk
provinsi di kisaran 25% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 51%) dan terus meningkat hingga
tahun 2011. Baru tahun 2012 belanja pegawai mengalami penurunan secara proporsi terhadap
belanja total.
 Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, dimana belanja modal
mempunyai proporsi diatas 20%.[

Desentralisasi Fiskal di Indonesia


Indonesia memasuki era baru desentralisasi dalam waktu yang sangat cepat (Alm, Aten, dan Bahl 1999).
Undang-undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 disusun dan ditetapkan dalam periode yang sangat singkat
setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto, yang sekaligus menandai perubahan paradigma
pembangunan termasuk dalam hal hubungan antar-tingkat pemerintahan. Pada pemerintahan Presiden
Habibie selama periode 1998-1999, berbagai undang-undang yang mencerminkan paradigma baru tersebut
disusun dan ditetapkan. Sementara itu, ronde kedua perumusan kebijakan desentralisasi yang ditandai oleh
keluarnya Undang-undang No. 32 dan No. 33 tahun 2004. Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota ditata kembali. Secara spesifik, peranan pemerintah provinsi dikembalikan sebagai
penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan
daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai
dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang
berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah
daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004
menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada
pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun
2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak
tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan
desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat
daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya
reformasi pajak daerah.

Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di Indonesia masih
mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya.
Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat
maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih
sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya
diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal.

Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan
berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang pengaturan hubungan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian
aspirasi jangka pendek yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan.
Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan kebijakan
desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand design yang menjadi cetak biru dari
hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang
seyogyanya dicapai dalam jangka panjang.

Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan perundang-undangan di
Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses
desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah
dari Undang-undang. Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja
menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada hakekatnya harus
menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan
menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya
memuat grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan
referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya.

Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan
keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka
panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain. Selanjutnya, grand design ini akan mengurai
secara detail perumusan visi dan misi kebijakan desentraliasi fiskal. Visi dan misi ini kemudian
diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan kebijakan serta strategi praktis yang harus dilakukan, baik dalam
jangka pendek maupun panjang.

Peranan Pemerintah Daerah


Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu.
Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik,
dan perlindungan sosial (Gramlich 1990).

Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan mekanisme
pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi
pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara
umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih
merata di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan (multi-level
government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjaditugas dari masing-masing tingkat pemerintahan
yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan
ini (yang belakangan disebut sebagai first-generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa
pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates
2005). Redistribusi pendapatan akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah
yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang
lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat
(dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan.

Sistem multi-level government juga biasanya memiliki aktifitas redistribusi yang lain, yaitu pemerataan
fiskal (fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya kepada daerah
yang lebih miskin sedemikian hingga setiap daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk
menyediakan sejumlahlayanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap
daerahsering menjadi kunci dari konsep pemerataan antar daerah. Namun demikian, bukan hanya jumlah
transfer fiskal saja yang penting. Padovano (2007) juga mencatat pentingnya perbedaan
pengadministrasian program redistribusi pendapatan ditingkat pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari
sisi pemerintah pusatmembedakan treatment redistribusi terhadap pemerintah daerah, dengan tujuan
mendapatkan konsensus pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat (Alesina et al., 1999;
Lockwood, 2002; Besley dan Coate, 2003). Ataupun dapat pula dilihat sebagai perbedaan strategi
pemerintah daerah dalam mengadministrasikan program redistribusi (misalnya di Emerson, 1988).

Berbeda dengan apa yang dikatakan Musgrave (1959) di atas, Buchanan (1974) menunjukkan bahwa
redistribusi pendapatan juga dapat secara efektif jika dilakukan oleh pemerintah daerah. Kuncinya adalah
dalam penyediaan barang publik lokal. Penyediaan barang publik oleh pemerintah biasanya dilandaskan
atas sifat dari barang publik itu sendiri. Beberapa barang memiliki ciri non-exludability dan non-rivalry
dalam konsumsinya. Mekanisme pasar menghadapi sifat optimal individu sebagai free rider yang pada
gilirannya akan menyebabkan barang publik tidak akan tersedia dalam jumlah yang cukup. Buchanan
(1974) menunjukkan bahwa dengan penyediaan barang publik yang dipadukan dengan adanya persaingan
antar daerah, maka tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan terlalu jauh dari batas optimal Pareto.

Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi di perekonomian adalah untuk menyediakan
perlindungan sosial. Masyarakat menginginkan adanya perlindungan sosial dari resiko kemiskinan di usia
tua, resiko kesehatan, dan resiko pengangguran dalam jangka waktu lama. Gramlich (1990) menyatakan
bahwa penyediaan skema perlindungan sosial akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah pusat.
Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya mobilitas orang antar daerah. Namun yang tidak boleh
dilupakan juga adalah, seperti yang diuraikan di atas, bahwa literatur telah menunjukkan perlunya
pembedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Karena itu
pemerintah daerah, dalam kerangka hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah, juga dapat menjadi agen
perubahan dalam hal perlindungan sosial di masyarakat.

Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak
digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang
semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik
dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk mendanai
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya
dilakukan dengan prinsip ”money follow function”. Dalam implementasinya, seiring dengan pelimpahan
kewenangan Pusat kepada yang Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan, terutama
melalui transfer yang jumlahnya cukup besar.

Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut juga
dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah.
Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi
stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada
Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada
kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi
jumlah penduduk miskin.

Elemen utama desentralisasi fiskal Indonesia


Satu hal penting yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal adalah instrumen,
bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah
dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui
mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam
pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih
baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.

Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia
adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan
desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi
(kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan
negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan
berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan berpijak pada dua hal tersebut di atas, strategi kebijakan dari grand design desentralisasi fiskal di
Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem yang ada saat ini dapat dikembangkan dan diperbaiki
untuk disesuaikan dengan normatif dari kebijakan desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dari
perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama desentralisasi
fiskal yang harus disempurnakan, yaitu

1. Sistem dana perimbangan (transfer),

2. Sistem pajak dan pinjaman daerah,

3. Sistem administrasi dan anggaranpemerintahan pusat dan daerah, serta

4. Penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM.

Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari sistem desentralisasi
(Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru menciptakan inefisiensi dari
perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal yang dapat memperparah inefisiensi suatu
perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint,
terciptanya local capture yang melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang
lebih rendah, serta kondisi low transaction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.
Sistem Dana Perimbangan
Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer antar tingkat
pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan
dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di
Indonesia di cirikan oleh: 1) Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga
conditional grants DAK, 2) Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan penerapan
earmarked pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan 3) Perubahan total alokasi block
grants DAU dan DAK, serta 4) belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau
dalam hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).

Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah


Pembatasan otonomi dari segi penerimaan cenderung berimplikasi pada penetapan retribusi baru, dan juga
untuk beberapa daerah, pembatasan atau penundaan mekanisme penerusan pinjaman luar negeri, tidak
berarti tidak adanya praktek defisit anggaran. Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di
Indonesia cenderung menetapkan berbagai jenis retribusi untuk mengurangi keterbatasan jenis pajak yang
berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis 2003). Praktek penetapan berbagai retribusi oleh
pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan penerimaan dari pajak daerah bukan merupakan kejadian
yang hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain di mana pemerintah daerahnya memiliki otonomi
pajak yang relatif rendah juga mengalami peningkatan praktek adopsi retribusi untuk menghasilkan
pendapatan tambahan (Bryson 2008).

Namun, apakah keleluasaan untuk menentukan tarif pajak atau perluasan pajak daerah vis a vis penurunan
alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah, sangat tergantung dari kondisi awal keuangan
publik daerah dan juga konsensus politik. 2 Pengalaman negara-negara lain menunjukkan pemerintah
daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih "status quo" dalam penerimaan
pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan Osei Wusu 2004).

Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam bentuk peningkatan batasan defisit
anggaran daerah (dan juga batasan akumulasi pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin
belum sepenuhnya berjalan, atau terbatasnya sumber penerimaan untuk penyediaan barang publik,
menyebabkan beberapa daerah memiliki anggaran defisit.

Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah


Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk pemerintah daerah,
yaitu sistem transfer dan revenue assignments, tetapi juga menyangkut efisiensi dari pengeluaran
pemerintah. Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari
pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah.

Kebijakan penganggaran pada pemerintahan pusat dan daerah merupakan reformasi yang relatif baru
dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun 2007). Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran
di tingkat pusat dan daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah,
yang bertujuan untuk memperkuat
1. Akuntabilitas dari pengeluaran (input),

2. Keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan

3. Keterkaitan dengan pancapaian peningkatan aspek kesejahteraan di masyarakat (outcome).

Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Dalam konteks penyediaan layanan
publik, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan
jenis pelayanan publik, hal yang sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk propinsi, yang sampai
saat ini lebih berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan fungsi pemerintah pusat pada tingkat lokal.
Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran wilayah, kriteria benefit costs dari kebijakan pemekaran juga tidak
disertai oleh kebijakan pemerintah pusat untuk tetap mendasarkan administrasi pelayanan berdasarkan
cakupan skala ekonomis dari pelayanan publik yang terkait.

Penyediaan layanan publik melalui penerapan SPM seyogyanya mengkaitkan antaran batasan sumberdaya
dan penetapan target SPM sektor (Martinez-Vazquez et al. 2004, Brodjonegoro 2004). Pengaturan standar
pelayanan minimum (SPM) adalah langkah pemerintah pusat untuk mempertahankan kesamaan akses pada
penyampaian layanan dasar, sehingga, konsep penerapan SPM harus juga mempertimbangkan diskresi
bagi pemerintah daerah.4 Namun demikian, konsep desentralisasi penyediaan barang publik yang
disesuaikan preferensi lokal, juga berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam akses dan kualitas
pelayanan publik (Joumard dan Giorno 2005).

Penetapan Grand Design di Negara Lain


(Hal ini mungkin tidak perlu disampaikan karena justru akan memperlemah argumentasi diperlukannya
Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, karena toh tidak banyak negara yang membuatnya) Dari
kajian dan informasi yang dapat diperoleh, seperti terlihat di Tabel, aplikasi dari Grand Design ataupun
dokumen sejenis lainnya yang menjabarkan framework kebijakan desentralisasi suatu negara umumnya
dapat berbentuk sebagai bagian kebijakan jangka pajang negara seperti yang terjadi di Korea, dicantumkan
dalam nota keuangan tahun berjalan seperti yang terjadi di Ireland, ataupun bagian dari perubahan besar
konstitusi seperti dicontohkan oleh Afrika Selatan, ataupun bagian dari perundang-undangan mengenai
desentralisasi yang umumnya dirumuskan pada awal adopsi kebijakan desentralisasi.

Tabel Grand Desain Desentralisasi: Aplikasi di Negara-Negara Lain


Sumber:a.http://16cwd.pa.go.kr/cwd/en/archive/archive_view.php?meta_id=en_speeches&navi=preside
nt&id=015560845 75392ca4a2df672; b. Yagi (2004); c. Irish Times (2007);

Dalam konteks Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia, yang patut diperhatikan adalah keterkaitan
dokumen ini dengan dokumen kebijakan lainnya yang menyangkut arah dari desentralisasi. Hal ini
dimaksudkan untuk membuat framework dengan cakupan seluas mungkin (broad) mengenai kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia dalam jangka yang lebih panjang dan juga menetapkan kesesuaian
pencapaian tujuan dengan kerangka besar yaitu visi dan misi dari tujuan desentralisasi fiskal.

Desentralisasi Fiskal Seutuhnya


Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Berdasarkan pidato Presiden dalam pengantar Nota Keuangan dan Rancangan APBN (R-APBN) 2016,
pemerintah untuk pertama kalinya mengalokasikan belanja Transfer ke Daerah lebih besar dibandingkan belanja
Kementerian/Lembaga (K/L). Hal ini didasarkan atas pertimbangan semakin banyaknya kewenangan yang
sudah diserahkan kepada daerah di era desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Menteri Keuangan (Menkeu)
juga dimaknai hal ini sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal seutuhnya, meskipun sejatinya Indonesia sudah
memiliki sejarah panjang dari mulai era Orde Lama hingga era Orde Reformasi.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut
diawali dengan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD).
Hingga kini, kedua regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Awalnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di
daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta
keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan
berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme Transfer ke Daerah
sesuai asas money follows function. Masih adanya mekanisme Transfer ke Daerah didasarkan kepada
pertimbangan mengurangi ketimpangan yang mungkin terjadi baik antar daerah (horisontal imbalances)
maupun antara pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances).

Meskipun dianggap terlalu terburu-buru, banyak pihak kemudian mengapresiasi pelaksanaan desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Menurut mereka, dengan segala keterbatasan dan kendala yang
ada, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia dapat dijadikan salah satu best
practice terbaik di dunia, mengingat luasnya wilayah serta besarnya jumlah penduduk dengan berbagai ragam
karakteristiknya. Satu hal yang perlu diingat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah
desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue).

Desentralisasi seutuhnya

Desentralisasi fiskal dari sisi belanja (expenditure) didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengalokasikan
belanja sesuai dengan diskresi seutuhnya masing-masing daerah. Fungsi dari Pemerintah Pusat hanyalah
memberikan advice serta monitoring pelaksanaan. Sayangnya, justru dari pola inilah yang menjadikan
pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia terasa semakin jauh dari apa yang dicita-
citakan sebelumnya. Daerah justru semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat, munculnya praktek dinasti
penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Idiom yang muncul kemudian
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tak lain hanya memindahkan eksternalitas negatif dari Pemerintah Pusat
di era Orde Baru menuju Pemerintah Daerah (Pemda) di era reformasi ini.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Berbagai kebijakan yang sifatnya
antisipasif dan reaktif terus dijalankan dengan tetap mengutamakan aspek penguatan kapasitas Pemda dalam
menjalankan proses desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tersebut. Melalui revisi UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah misalnya, pemerintah telah melakukan penguatan pembagian kewenangan antara
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari aspek penyempurnaan mekanisme
pembiayaan, pemerintah juga memberikan perhatian yang tak kalah seriusnya. Pengalokasian Dana Desa
sebagai pemenuhan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga menjadi bukti teranyar komitmen
tersebut. Begitupula konsistensi pemerintah untuk menggunakan formula dalam perhitungan DAU serta
keberanian menghilangkan aspek hold harmless yang akan memberikan jaminan alokasi DAU di suatu daerah
dipastikan tidak akan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, meskipun sesungguhnya memberikan
tekanan fiskal yang besar terhadap APBN.

Dilihat dari sisi besaran alokasi anggaran dalam APBN, alokasi Transfer ke Daerah senantiasa meningkat setiap
tahunnya. Jika dilihat dari historis data, dalam tahun 2008 saja, besaran Transfer ke Daerah sudah mencapai
Rp292,4 triliun atau sekitar 29,6% total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2011, alokasi tersebut sudah
mencapai Rp412,5 triliun dengan rincian alokasi Dana Perimbangan (Daper) sebesar Rp347,5 triliun sementara
alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian sekitar Rp64,9 triliun. Terakhir dalam APBN-P 2015,
pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan Transfer ke Daerah sebesar Rp643,8 triliun, sementara alokasi
Dana Desa 20,7 triliun. Dari keseluruhan alokasi Transfer ke Daerah 2015, besaran Dana Alokasi Umum (DAU)
tetap mendominasi sebesar Rp352,8 triliun, disusul Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp110,0 triliun dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) sebesar 58,8 triliun. Untuk besaran alokasi Dana Otsus meningkat menjadi Rp17,1
triliun, Dana Keistimewaan DIY menjadi Rp547,5 miliar dan Dana Transfer Lainnya sebesar Rp104,4 triliun.

Sebagai sebuah konsekuensi politik, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia saat ini
sudah berada pada kondisi point no return, sehingga aspek-aspek yang dikedepankan lebih bersifat penguatan
kapasitas serta quality improvement. Dengan demikian, ke depannya, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan. Segala upaya
dan kerja pemerintah tersebut tentu wajib mendapatkan dukungan sepenuhnya dari segala pihak yang terkait dan
berkepentingan dalam mendukung suksesnya pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi di Indonesia
seutuhnya. Tanpa dukungan seluruh pihak, niscaya pemerintah sendiri tidak akan mampu melaksanakan secara
optimum dan pendulum otonomi justru akan lebih sering bergerak ke arah dampak yang sifatnya negatif dan
merusak. Koordinasi dan kerelaan untuk saling mendukung dari segala pihak kemudian menjadi kata kunci yang
utama baik di internal Pemerintahan Pusat maupun antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan salah datu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh
pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun
nasional (pusat). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal
merintah pusat dan pemerintah daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah,
menjamin fiscal sustainabily di daerah. Dalam mencapai tujuannya tersebut desentralisasi
fiskal memiliki instrumen yaitu, Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi ( DAU dan DAK).
Ketiga instrument dalam desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengurangi ketimpangan
fiskal yang terjadi, tetapi tidak seluruh dari instrumen tersebut mampu mengurangi
ketimpangan fiskal yang terjadi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap
daerah.
Berikut akan saya uraikan instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal yang
terjadi baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun ketimpangan fiskal antar daerah.
1. Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalane)
adalah Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Setiap daerah pasti memiliki sumber PAD
yang berbeda oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk menerapkan jenis pajak yang disetiap daerah. Dari pengetian diatas maka dapat
dikatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak daerahnya
masing-masing dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan dengan persetujuan
Pemerintah Pusat agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah. Dengan kata
lain instrument desentralisasi fiscal dalam hal pajak daerah mampu mengurangi vertical fiscal
imbalance (ketimpangan fiscal vertical)
Dana Bagi Hasil mampu mengurangi vertical fiscal imbalance hal ini dapat dilihat bahwa
bagi hasil merupakan pemberian sebagian pendapatan nasional dari suatu sumber tertentu
kepada daerah dimana pendapatan itu diperoleh.Untuk mengurangi ketimpangan vertikal
(vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak
dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan
persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.
Begitu juga dengan Subsidi (DAU,DAK) dapat mengurangi ketimpangan fiscal vertical
karena akan memberikan pemertaan kepada setiap daerah dari pemberian DAU dan DAK.
Setiap daerah yang belum mampu memenuhi kebutuhannya makan pemerintah pusat akan
memberikan Dana alokasi tersebut.
Sebagai contoh, hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia diberikan kewenangan oleh
pusat dalam mengurusi keuangan daerahnya, baik dalam pajak daerah, bagi hasil dan subsidi
agar ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah tidak terjadi begitu besar.
2. Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalane)
adalah Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah tidak mampu mengurangi ketimpangan fiscal antar daerah karena
kemampuan setiap daerah berbeda dalam sumber Pendapatan Asli daerah yang berbeda,
ketika suatu daerah memiliki PAD rendah yang diakibatkan pemekaran dan provinsi
memberikan jenis pajak yang sama dalam setiap daerah maka daerah tersebut belum tentu
mampu mengumpulkan uang yang sama besarnya. Sehingga hal ini akan menyebabkan
ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance).
Bagi hasil akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara
daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia
yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas),
pertambangan, dan kehutanan. Oleh karena itu instrument desentralisasi fiscal ini tidak dapat
mengurangi horizontal fiscal imbalance tetapi akan menimbulkan ketimpangan fiscal antar
daerah (horizontal fiscal imbalance) karena yang paling memperoleh alokasi yang besar
adalah daerah penghasil dan akan terlihat disporitas yang sangat tinggi dalam komponen bagi
hasil.
Subsidi (DAU,DAK) mampu memperbaiki ketimpangan fiscal horizontal (ketimpangan
fiscal antar daerah) karena instrument desentralisasi fiscal ini mampu mendorong suatu
daerah untuk berbuat sesuatu melalui insentif. Subsidi mengurangi ketimpangan dalam
kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan
adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan
DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dana Alokasi Umum memiliki
tujuan yaitu pengurangan kesenjangan fiscal antar daerah, dimana konsep kesenjangan fiscal
untuk mengalokasi DAU sudah tepat karena telah memperhitungkan dua aspek yaitu
kebutuhan dan kemampuan fiscal pemerintah daerah. DAu diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, oleh karena itu jika dalam suatu darah provinsi ada
kabupaten atau kota yang belum mampu memenuhi kebutuhannya maka pemerintah provinsi
akan memberikan DAU kepada kabupaten atau kota tersebut. Pemberia DAU ini sesuai
dengan prinsip pemberian subsidi yaitu berdasarkan rumusan fiscal gap. Fiscal gap
merupakan ketidakmampuan suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain
jika fiscal gap suatu daerah besar maka subsidi yang diberikan akan besar pula dan
sebaliknya.
DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah tetapi hanya kepada daerah tertentu yang
mempunyai kondisi khusus. Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah
dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus
adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain,
misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana
baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase
primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[1] Pemaparan diatas
mengenai DAK dapat diartikan bahwa jika suatu daerah dalam provinsi belum memilik dana
dalam mengelola hutan khususnya makan pemerintah pusat akan memberikan DAK tersebut
kepada provinsi, dan sebaliknya pemerintah daerah memberikan DAK kepada kabupaten atau
kota tertentu. Oleh karena itu DAK dalam hal ini dapat mengurangi ketimpangan fiscal antar
pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) serta ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal
fiscal imbalance). Pemaparan diatas dapat menyimpulkan bahwa instrument desentralisasi
fiskal yang dapat mengurangi ketimpangan fiscal horizontal adalah hanya subsidi (DAU dan
DAK). Sebagai contoh daerah seperti papua, aceh yang masih belum mampu memenuhi
kebutuhan daerah melalui pendapatan daerah tersebut, sehingga pemerintah daerah provinsi
memberikan dana alokasi khusus agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar daerah di daerah
tersebut.

Desentralisasi fiskal ini merupakan desentralisasi yang paling banyak dibahas di banyak negara,
karena tugasnya yang mengatur dan mengumpulkan pajak, yang melakukan pengeluaran atau
belanja pemerintah daerah, dan bagaimana beberapa ketidakseimbangan vertikal (antara
pemerintah daerah dengan pusat) dikoreksi. Sedangkan desentralisasi politik merujuk pada satu
tingkatan yang di dalamnya institusi politis memetakan keserbaragaman minat dan kepentingan
warga negara terhadap keputusan-keputusan kebijakan yang dibuat (Inman dan Rubinfeld, 1997).
Desentralisasi pemerintahan berkaitan dengan bagaimana ber bagai institusi politis, ketika
ditentukan, mengeluarkan keputusan-keputusan dalam bentuk kebijakan ke dalam hasil-hasil
alokatif dan distributif baik melalui aksi fiskal ataupun dengan regulasi yang telah ditetapkan.
Keputusan politik untuk mendelegasikan kekuasaan dari pemerintah pusat, misalnya, hanya bisa
ditafsirkan ke dalam kekuatan yang sebenarnya yang telah tergantikan jika pemerintahan

daerah memiliki kapasitas fiskal, politik, dan administratif untuk mengatur tanggung jawab ini
(Litvack, dkk., 1999). Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa desentralisasi dalam konteks
sistem politik dan sektor nega ra bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis utama, yaitu: dekonsentrasi
atau desentralisasi pemerintahan, desentralisasi fiskal, dan devolusi atau desentralisasi demokratis,
dan secara kolektif merujuk pada hal ini sebagai desentralisasi demokratis (Manor, 1999: 5). Lebih
lanjut Manor menyatakan bahwa dekonsentrasi, yang merujuk pada pembubaran berbagai agen
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke arena yang berada pada tingkatan yang lebih rendah.
Ketika dekonsentrasi terjadi dalam isolasi, atau ketika ia terjadi bersamaan dengan desentralisasi
fiskal, tapi tanpa demokratisasi yang simultan, yaitu ketika agen-agen ingkat pemerintahan yang
lebih tinggi bergerak menuju arean tingkatan yang lebih rendah tapi tetap akutanbel hanya bagi
orang yang lebih tinggi dalam sistem tersebut, maka hal itu memampukan penguasan pusat untuk
berpenetrasi secara lebih efektif ke dalam arena-arena tersebut tanpa meningkatkan pengaruh
kepentingan yang dirancang sedemikian rupa pada tingkatan tersebut. Pemerintah pusat dalam hal
ini tidaklah menyerahkan sebagian wewenangnya.

Hal ini hanya terjadi dalam bentuk relokasi para pejabatnya pada tingkatan atau titik yang berbeda
secara nasional. Dalam lingkungan seperti itu, hal itu pada praktiknya cenderung merupakan
sentralisasi, ketika ia memperluas daya angkat dari mereka yang berada di puncak sistem. Ini
khususnya benar dalam negara-negara yang kurang berkembang. Istilah desentralisasi kadang
merujuk pada transfer fiskal kepada pemerintah daerah, yang di dalamnya pemerintah pusat dalam
sebuah sistem memberikan pengaruh terhadap anggaran dan keputusan finansial kepada
pemerintah daerah (Manor, 1999: 5-6).

Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong
perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia.
Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk
mengatur keuangannya sendiri diharapkan memberi pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan
ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro
job, dan pro poor). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya adalah dengan
meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Peningkatan
pendapatan daerah dan besarnya dana transfer dari pemerintah pusat pada masa otonomi
daerah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena hasil dari kebijakan
desentralisasi fiskal tergantung pada implementasi daerah masing-masing. Oleh karena itu
penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu menganalisis dampak desentralisasi fiskal
terhadap PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat yang ditunjukkan oleh variabel
dummy dan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan data time series Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1993
hingga 2009. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Jawa Barat, Bank Indonesia,
penelitian-penelitian terdahulu, dan instansi-instansi terkait. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode 2
Stage Least Square (2SLS) terhadap persamaan simultan. Hasil yang diperoleh dari penelitian
ini menunjukkan bahwa variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB
dan tenaga kerja pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan
simultan terlihat faktor-faktor yang memengaruhi PDRB Jawa Barat adalah modal pemerintah
yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer (DAFER), Investasi (INV), tingkat
keterbukaan daerah (XM), Tenaga Kerja (L), variabel dummy desentralisasi fiskal dan krisis
ekonomi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) signifikan dengan nilai elastisitas 0,47 yang berarti
bahwa peningkatan PAD sebesar 1 persen akan diiringi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,47 persen dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan Dana Transfer (DAFER) juga
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas 0,13. Sesuai dengan
tujuannya, pemberian dana transfer dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat dalam rangka mendorong percepatan
pembangunan daerah.

PEMBAGIAN KEWENANGAN DALAM MENGATUR DAN


MENGELOLA ANGGARAN (DESENTRALISASI FISKAL):
TANTANGAN DAN REALITAS
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya, termasuk urusan
ekonomi. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintah daerah. Tujuannya
ialah agar daerah dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional. Desentralisasi
sendiri berada dalam wilayah administrasi negara.
Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi ialah persoalan desentralisasi fiskal. Secara
konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah harus
disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan besarnya kewenangan tersebut. Desentralisasi fiskal
merupakan salah satu jalan untuk mengatasi ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi,
dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan desentralisasi fiskal, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No.25/1999tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang masing-masing telah
direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UUNo.33/2004, ditetapkan oleh pemerintah dengan maksud untuk
mengakselerasi peningkatan kinerja perekonomian daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dimulai pada tahun
2001.
Dengan adanya desentralisasi fiskal, maka daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola
anggarannya sendiri untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari
pemerintahan yang lebih tinggi (pusat) dan menentukan belanja rutin dan investasi. Dengan kata lain,
pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk menentukan regulasi terhadap anggarannya sendiri. Namun yang
menjadi tantangan ialah apabila daerah tersebut belum siap dan tidak memiliki sumber daya yang cukup, maka
desentralisasi fiskal ini akan menjadi hambatan bagi tujuannya sendiri yaitu memandirikan dan memajukan
pembangunan nasional.
Setiap daerah memiliki potensinya masing-masing, baik itu berupa sumber daya alam maupun sumber daya
manusia. Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi, yang diantaranya terdapat 5 provinsi dengan status spesial dan
salah satunya memiliki spesial administrasi wilayah, merupakan sebuah negara yang sangat unik dan memiliki
karakteristik yang kompleks. Ada wilayah yang terdiri dari kepulauan sehingga akses merupakan tantangan
dalam pembangunan, namun ada juga wilayah yang terdiri dari daratan namun tidak banyak memiliki potensi
sumber daya alam yang dapat di gali untuk menjadi sumber pendapatan. Desentralisasi fiskal yang memberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengelola anggaran sendiri, jika tidak diikuti oleh potensi pendapatan daerah
yang cukup untuk menjalankan roda pemerintahan daerahnya, maka tingkat pelayanannya akan menurun atau
daerah akan menjadi beban bagi pusat untuk memberikan dana. Hal ini akan menjadi ketimpangan bagi daerah
lain yang memiliki sumber pendapatan yang cukup tinggi dan mengharuskan daerah tersebut untuk membagi
sumber pendapatan daerahnya bagi wilayah lain. Namun menjadi suatu tantangan juga apabila suatu daerah
memiliki sumber pendapatan daerah yang tinggi namun sumber daya manusianya tidak cukup bisa melakukan
pengelolaan pendapatan asli daerahnya (PAD), maka daerah tetap tidak akan bisa maju, baik dalam pelayanan
maupun dalam pembangunannya. Diperlukan suatu mekanisme pembagian kewenangan daerah yang cukup bisa
mengatur semua daerah yang ada di Indonesia sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Suatu contoh kasus yang pernah dilakukan pendampingan di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Kabupaten
ini memiliki sumber daya alam yang cukup banyak untuk menjadi pendapatan asli daerah (PAD). Namun
tingginya PAD tidak bisa menjadikan pembangunan di daerah ini cukup maju. Kabupaten ini terdiri dari dari 24
distrik yang terdiri dari wilayah pesisir dan wilayah gunung. Akses untuk menjangkau setiap distrik memerlukan
biaya yang cukup tinggi karena harus melalui speed boat atau pesawat perintis. Meski adanya kesempatan bagi
daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri, namun mekanisme anggaran pemerintah Indonesia
yang masih setengah-setengah, setengah diberikan wewenang ke daerah dan setengah lagi harus mengikuti
mekanisme pusat, menjadikan daerah ini cukup mengalami kelambatan dalam proses pembangunan. Mengapa
dikatakan demikian? Jauh sebelum dilakukan pendampingan terhadap sumber daya manusia di Kabupaten Teluk
Bintuni, daerah hanya mengelola anggaran APBD setiap tahunnya hanya untuk pembangunan fisik saja. Namun
pembangunan fisik yang tidak diikuti oleh pembangunan manusia maka akan menjadikan pembangunan fisik
hanya bersifat sementara dan semu saja. Beberapa tahun, bangunan-bangunan tersebut akan rusak karena tidak
terawat dengan baik. Namun bagaimana daerah bisa melakukan pembangunan manusia, lewat pelatihan
misalnya, jika beban biaya untuk datang ke distrik-distrik sangatlah tinggi. Sedangkan jika suatu dinas
mengajukan anggaran belanja untuk melakukan pelatihan untuk peningkatan kapasitas pegawai distrik dengan
biaya perjalanan yang sangat tinggi pasti akan di tolak oleh DPRD Kabupaten dengan alasan akan menjadi
beban APBD yang perolehannya sudah ‘dibagi-bagi’ oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang menjadi tantangan
dan kebingungan bagi daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing sehingga mampu
melakukan pembangunan. Setelah dilakukan pendampingan yang bekerja sama dengan perusahaan lokal
mengenai peningkatan kapasitas pemerintah daerah di bidang perencanaan dan penganggaran, aparat tersebut
semakin mengerti dan memahami tentang prosedur dan regulasi terkait dokumen-dokumen perencanaan dan
penganggaran daerah yang telah diatur oleh pemerintah pusat. Peningkatan kapasitas yang seharusnya diberikan
oleh pemerintah provinsi atau pusat kepada daerah-daerah yang baru mekar ini sangatlah efektif guna
menjalankan tujuan desentralisasi. Aparat pemerintah kabupaten tersebut sudah bisa mengkategorikan kegiatan-
kegiatan sesuai dengan tujuannya dan membuat dokumen rencana kerja (renja) dan rencana strategis (renstra)
yang dapat terukur dan rasional.
Desentralisasi fiskal yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengelola anggarannya
sendiri belum cukup bisa meningkatkan daerah-daerah di Papua dan Papua Barat karena sumber daya
manusianya belum cukup mampu jika dibandingkan dengan daerah lain. Perlu adanya peningkatan kapasitas
pemerintah daerah sebelum agar pembagian wewenang untuk mengatur dan mengelola daerah serta anggaran
daerah dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Perlu juga adanya regulasi yang cukup bisa mengcover
karakteristik setiap daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan desentralisasi.
Hal ini masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi setiap stakeholder yang ada, yang memiliki fokus terhadap
administrasi pemerintahan Indonesia.
Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.


merupakan komponen Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif
dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik,
maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik
yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak,
Pinjaman, maupun Subsidi / Bantuan dari Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor
berikut:

 Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement;


 SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;
 Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan
dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang
didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah
dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan
prioritas masingmasing daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan
baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut :
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement;
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan
pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan
desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun
lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan ini
tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi
daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam
serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak
dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan
Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut
intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan.
Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah diberikan kewenangan untuk
menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam
bidang pertahanan
keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi
pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut
pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang
diserahkan kepada Daerah sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat
dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi
kewenangannya.
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor
25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 ini,
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal
mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan Daerah yang utama dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi:
1. PAD (Pendapatan Asli Daerah)
a. Dana Perimbangan
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
2. Pinjaman Daerah

Desentralisasi Fiskal • Asat-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan


UndangUndang No.33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu : desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah
otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Desentralisasi
fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebihtinggi
kepadapemerintahan yang lebihrendah untuk mendukung fungsi atau tugas peme-rintahan dan
pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
Menurut Kusaini (2006: 29) desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi
maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam melaksanakan
desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang
hams diperhatikan dan dilaksanakan (Bah1,2000: 19). Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan
wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melalcsanalcankewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah
merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang
pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka
kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.
Bahl (2000:25-26) mengemukakan dalam aturan yang keduabelas, bahwa desentralisasiharus
memacu adanyapersaingan di antaraberbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there
must be a champion forfrscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan
publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar danmemberikan apa yang terbaik
yang dibutuhkan olehmasyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran
masyarakat yang semakin besar meningkatkankesejahteraanralcyat, partisipasi rakyat setempat
dalam pemerintahan dan Pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung tiga
misi utama, yaitu (Barzelay,1991) : a Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya
daerah b.Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. c.
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam
proses pembangunan. Berdasarkan uraian di atas urgensi dari otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut : 1.Sebagai perwujudan fungsi dan
peran negara modem, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (welfare
state). 2.Hadimya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai
organisasi, kekuasaan yang didalamnyaterdapat lingkungan kekuasaan baik pada tingkat
suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari
hal itu, perlu pemencaran kekuasaan (dispersed of power). 3.Dari perspektifmanajemen
pemerintahan negara modem, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa
keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan
perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi
mewujudkan kesejahteraan umum

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah
daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan
keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber
keuangan yang memaclahi, baik yang berasal dari Pendapatan Ash Daerah (PAD) termasuk surcharge
of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah
pusat. Menurut Bahl (2001) desentralisasi fiskal hams diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah
dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah
daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh
pemerintah ini secara teori dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah. Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa tax
revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai
berbagai pengeluaran publik. Sebaliknya, dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat
dijelaskan karena pajak menimbulkan "deadweight loss of tax". Ketika pajak dikenakan pada barang,
maka pajak akan mengurangi surplus konsumen dan produsen. Menurut Oates (1993) desentralisasi
fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena
pemerintah sub nasional/ pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan
barang-barang

publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk
menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Oates juga menyatakan
bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan
dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah
daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya
daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan
memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.

Anda mungkin juga menyukai