Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal
otonom (untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan) dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[1][2]
Desentralisasi Fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah.[3]
Pada sistem pemerintahan yang desentralisasi diwujudkan dengan sistem otonomi daerah yang
memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat
diputuskan di tingkat pemerintahan daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan
dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk
daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau
oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat
Konsep Desentralisasi
Machfud Siddik (2002) menulis, desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai
salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi,
akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah
untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),
terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan
adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.[8]
Bantuan Inpres
Memberikan bantuan pembangunan daerah baik yang bersifat umum maupun khusus yang
diberikan atas Instruksi Presiden.
Tujuan dari Bantuan Inpres adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal
kesempatan kerja, berusaha, dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan
terbatasnya kemampuan kemuangan Pemerintah Daerah untuk membiayai urusan-urusan
tersebut.
Tahun anggaran 1999/2000, anggaran yang dikelola oleh daerah dikenal dengan Dana
Pembangunan Daerah (DPD) sebagai nama pengganti Bantuan Inpres.[9]
Daftar Isian Proyek
Daftar Isian Proyek (DIP) diklasifikasi menjadi in-kind allocation, karena walaupun dananya
mengalir ke daerah, tidak masuk dalam anggaran pemerintah daerah. Sementara subsidi dan
bantuan dapat dikategorikan sebagai bantuan antartingkat pemerintahan (intergovernmental
grant) karena menjadi bagian anggaran dari pemerintah daerah.[9]
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan kewenangan dari pusat ke
daerah sehingga kewenangan daerah menjadi sangat besar. Sebagai konsekuensi, maka kantor
pemerintah pusat yang ada di daerah (Kantor Wilayah dan Kantor Departemen) sebagian besar
diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan asetnya.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan sumber keuangan kepada
daerah, terutama melalui mekanisme transfer yang cukup besar kepada daerah dan juga dibarengi
dengan kekuasaan pengelolaannya. Undang-Undang ini lebih menitikberatkan pada pola
perimbangan yang didasarkan pembagian kekayaan sumber daya alam dan masih sangat sedikit
yang berbasis pada perpajakan.
Dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
terdapat beberapa perubahan yang cukup fundamental, yaitu:
Petubahan peraturan tentang desentralisasi fiskal juga tak lepas dari adanya perubahan keuangan
negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.[9]
Desentralisasi Pemilihan pemimpin nasional dan daerah Pemilihan pemimpin nasional dan dae
Politik dilakukan secara semilangsung. secara langsung oleh masyarakat.
Desentralisasi Kewenangan Pemerintah Pusat sangat luas, Kewenangan Pemerintah Pusat terbat
Administrasi kewenangan Daerah Tingkat II terbatas. kewenangan Kabupaten/Kota bertamb
Jumlah wilayah relatif konstan dari tahun ke Pemekaran wilayah berkembang deng
tahun, yaitu 27 Daerah Tingkat I dan 292 Daerah Tahun 2010 tercatat ada 33 provinsi d
Tingkat II. kabupaten/kota.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) Jumlah PNSD mencapai 3.052.865 or
masih relatif kecil, sekitar 700 ribu orang pada 2009.
tahun 1999.
Desentralisasi Transfer ke Daerah sangat terbatas (18% dari Alokasi Transfer ke Daerah yang mas
Fiskal belanja APBN 2000). cukup besar (33% dari belanja APBN
Kewenangan memungut pajak bagi daerah masih Peningkatan kewenangan daerah dala
terbatas. pajak.
Tabel bersumber dari Modul Tinjauan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal bagi Kemampuan
Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Perkembangan Aliran Dana APBN ke Daerah
Alokasi Transfer ke Daerah selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp 253,3 triliun pada
realisasi tahun 2007 menjadi Rp 518,9 triliun pada APBN 2013.
Transfer ke daerah telah mencapai kisaran 1/3 dari belanja negara. Pada APBN Perubahan
Tahun 2012, total transfer ke daerah mencapai 30,9% dari belanja negara dan direncanakan
menjadi 31,3% pada APBN 2013.
Selain dana transfer ke daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan sebagian besar belanja
untuk mendanai urusan pusat di daerah dan pelayan kepada masyarakat, antara lain melalui
subsidi, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, bantuan masyarakat melalui PNPM dan
Jamkesmas, dan lain-lain.
Apabila dihitung secara keseluruhan, maka dana yang mengalir ke daerah mencapai kisaran
60% dari belanja negara.[9]
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian
Daerah
Beberapa Fakta Keberhasilan
Secara nasional (agregat), transfer per kapita yang meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun
selaras dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran.
Pada beberapa daerah yang tingkat transfer per kapitanya sangat tinggi, ternyata mengalami
menurunan kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Desetralisasi fiskal telah secara nyata memberikan dampak catching-up bagi daerah-daerah
yang sebelumnya sangat tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya.
Telah terjadi peningkatan output layanan publik di daerah:
Output pendidikan (Angka Partisipasi Murni/APM Sekolah Dasar)yang meningkat di
seluruh provinsi.
Output kesehatan (Angka Kematian Bayi/IMR) yang menurun signifikan di seluruh
provinsi.[9]
Keberhasilan Desentralisasi Fiskal dari Sudut Pandang “International
Expert/Scholars”
Sistem transfer yang berbasis equalization di Indonesia terbukti bekerja secara lebih efektif
dibanding beberapa negara lain seperti Cina dan Filipina.
Desain sistem Dana Alokasi Umum (DAU) di Indonesia banyak mengurangi ketimpangan
antardaerah sehingga mampu mendukung peningkatan identitas lokal dan sekaligus
mengurangi gejolak perpecahan antardaerah.
Desentralisasi fiskal telah mendorong pemerintah daerah membelanjakan secara lebih banyak
pada sektor layanan publik yang mendasar, utamanya pendidikan dan kesehatan, guna
mengejar ketertinggalan kualitas laynan di kedua sektor tersebut.[9]
Kendala dan Tantangan
Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pajak Daerah
Baru 18 dari 492 daerah yang telah memungut PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)sebagai
pajak daerah pada tahun 2012, meskipun batas waktu pengalihan sampai dengan Januari 2014.
Sampai akhir 2012 50,2% Pemda siap untuk memungut PBB-P2, yang dari sisi potensi telah
mencakup 91,3%.
Beberapa daerah terkendala oleh kecilnya potensi PBB-P2, kesiapan SDM, sarana dan
prasarana, dan perangkat pendukung lainnya.[9]
Kendala dan Tantangan Transfer ke Daerah
Dana Bagi Hasil (DBH)
Identifikasi daerah penghasil (prinsip by origin) seringkali terlambat karena keterlambatan
penyediaan data perhitungan.
Penyaluran DBH didasarkan pada realisasi yang baru diketahui pada tahun berikutnya,
sehingga menimbulkan permasalahan kurang bayar.
Banyaknya usulan daerah untuk mendapatkan bagi hasil yang belum diatur dalam UU,
misalnya pajak ekspor, perkebunan, daerah pengolah migas.[9]
Dana Alokasi Umum (DAU)
Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan gaji PNSD, menyebabkan inefisiensi dalam belanja
pegawai daerah.
Formulasi dan kebijakan DAU yang dialokasikan secara otomatis untuk daerah otonom baru
mendorong pemekaran daerah.
Alokasi DAU hasilnya baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah
penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Kerancuan fokus DAK, equalisasi, national priority, atau support untuk daerah dengan
kapasitas fiskal rendah.
Petunjuk teknis DAK yang rigid dan seringkali terlambat sehingga menyulitkan daerah dalam
melaksanakan kegiatan DAK.
Penyediaan Dana Pendamping dianggap memberatkan bagi beberapa daerah.
Penetapan daerah penerima dan besarannya tidak dapat diprediksi dan baru dapat
diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah penetapan APBN akhir Oktober)
menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]
Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pengelolaan APBD
APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan.
Namun, pada tahun 2012, 524 daerah, yang menetapkan APBD tepat waktu hanya sebanyak
274 daerah (52% daerah). Pada 2011 hanya 211 daerah (40%) dan 2010 sebanyak 214 daerah
(41%).
Proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk
provinsi di kisaran 25% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 51%) dan terus meningkat hingga
tahun 2011. Baru tahun 2012 belanja pegawai mengalami penurunan secara proporsi terhadap
belanja total.
Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, dimana belanja modal
mempunyai proporsi diatas 20%.[
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan
daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai
dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang
berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah
daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004
menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada
pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun
2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak
tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan
desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat
daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya
reformasi pajak daerah.
Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di Indonesia masih
mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya.
Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat
maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih
sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya
diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal.
Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan
berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang pengaturan hubungan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian
aspirasi jangka pendek yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan.
Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan kebijakan
desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand design yang menjadi cetak biru dari
hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang
seyogyanya dicapai dalam jangka panjang.
Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan perundang-undangan di
Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses
desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah
dari Undang-undang. Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja
menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada hakekatnya harus
menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan
menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya
memuat grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan
referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya.
Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan
keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka
panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain. Selanjutnya, grand design ini akan mengurai
secara detail perumusan visi dan misi kebijakan desentraliasi fiskal. Visi dan misi ini kemudian
diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan kebijakan serta strategi praktis yang harus dilakukan, baik dalam
jangka pendek maupun panjang.
Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan mekanisme
pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi
pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara
umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih
merata di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan (multi-level
government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjaditugas dari masing-masing tingkat pemerintahan
yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan
ini (yang belakangan disebut sebagai first-generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa
pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates
2005). Redistribusi pendapatan akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah
yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang
lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat
(dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan.
Sistem multi-level government juga biasanya memiliki aktifitas redistribusi yang lain, yaitu pemerataan
fiskal (fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya kepada daerah
yang lebih miskin sedemikian hingga setiap daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk
menyediakan sejumlahlayanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap
daerahsering menjadi kunci dari konsep pemerataan antar daerah. Namun demikian, bukan hanya jumlah
transfer fiskal saja yang penting. Padovano (2007) juga mencatat pentingnya perbedaan
pengadministrasian program redistribusi pendapatan ditingkat pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari
sisi pemerintah pusatmembedakan treatment redistribusi terhadap pemerintah daerah, dengan tujuan
mendapatkan konsensus pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat (Alesina et al., 1999;
Lockwood, 2002; Besley dan Coate, 2003). Ataupun dapat pula dilihat sebagai perbedaan strategi
pemerintah daerah dalam mengadministrasikan program redistribusi (misalnya di Emerson, 1988).
Berbeda dengan apa yang dikatakan Musgrave (1959) di atas, Buchanan (1974) menunjukkan bahwa
redistribusi pendapatan juga dapat secara efektif jika dilakukan oleh pemerintah daerah. Kuncinya adalah
dalam penyediaan barang publik lokal. Penyediaan barang publik oleh pemerintah biasanya dilandaskan
atas sifat dari barang publik itu sendiri. Beberapa barang memiliki ciri non-exludability dan non-rivalry
dalam konsumsinya. Mekanisme pasar menghadapi sifat optimal individu sebagai free rider yang pada
gilirannya akan menyebabkan barang publik tidak akan tersedia dalam jumlah yang cukup. Buchanan
(1974) menunjukkan bahwa dengan penyediaan barang publik yang dipadukan dengan adanya persaingan
antar daerah, maka tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan terlalu jauh dari batas optimal Pareto.
Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi di perekonomian adalah untuk menyediakan
perlindungan sosial. Masyarakat menginginkan adanya perlindungan sosial dari resiko kemiskinan di usia
tua, resiko kesehatan, dan resiko pengangguran dalam jangka waktu lama. Gramlich (1990) menyatakan
bahwa penyediaan skema perlindungan sosial akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah pusat.
Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya mobilitas orang antar daerah. Namun yang tidak boleh
dilupakan juga adalah, seperti yang diuraikan di atas, bahwa literatur telah menunjukkan perlunya
pembedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Karena itu
pemerintah daerah, dalam kerangka hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah, juga dapat menjadi agen
perubahan dalam hal perlindungan sosial di masyarakat.
Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak
digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang
semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik
dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk mendanai
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya
dilakukan dengan prinsip ”money follow function”. Dalam implementasinya, seiring dengan pelimpahan
kewenangan Pusat kepada yang Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan, terutama
melalui transfer yang jumlahnya cukup besar.
Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut juga
dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah.
Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi
stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada
Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada
kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi
jumlah penduduk miskin.
Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia
adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan
desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi
(kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan
negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan
berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan berpijak pada dua hal tersebut di atas, strategi kebijakan dari grand design desentralisasi fiskal di
Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem yang ada saat ini dapat dikembangkan dan diperbaiki
untuk disesuaikan dengan normatif dari kebijakan desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dari
perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama desentralisasi
fiskal yang harus disempurnakan, yaitu
Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari sistem desentralisasi
(Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru menciptakan inefisiensi dari
perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal yang dapat memperparah inefisiensi suatu
perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint,
terciptanya local capture yang melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang
lebih rendah, serta kondisi low transaction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.
Sistem Dana Perimbangan
Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer antar tingkat
pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan
dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di
Indonesia di cirikan oleh: 1) Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga
conditional grants DAK, 2) Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan penerapan
earmarked pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan 3) Perubahan total alokasi block
grants DAU dan DAK, serta 4) belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau
dalam hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum).
Namun, apakah keleluasaan untuk menentukan tarif pajak atau perluasan pajak daerah vis a vis penurunan
alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah, sangat tergantung dari kondisi awal keuangan
publik daerah dan juga konsensus politik. 2 Pengalaman negara-negara lain menunjukkan pemerintah
daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih "status quo" dalam penerimaan
pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan Osei Wusu 2004).
Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam bentuk peningkatan batasan defisit
anggaran daerah (dan juga batasan akumulasi pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin
belum sepenuhnya berjalan, atau terbatasnya sumber penerimaan untuk penyediaan barang publik,
menyebabkan beberapa daerah memiliki anggaran defisit.
Kebijakan penganggaran pada pemerintahan pusat dan daerah merupakan reformasi yang relatif baru
dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun 2007). Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran
di tingkat pusat dan daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah,
yang bertujuan untuk memperkuat
1. Akuntabilitas dari pengeluaran (input),
Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Dalam konteks penyediaan layanan
publik, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan
jenis pelayanan publik, hal yang sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk propinsi, yang sampai
saat ini lebih berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan fungsi pemerintah pusat pada tingkat lokal.
Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran wilayah, kriteria benefit costs dari kebijakan pemekaran juga tidak
disertai oleh kebijakan pemerintah pusat untuk tetap mendasarkan administrasi pelayanan berdasarkan
cakupan skala ekonomis dari pelayanan publik yang terkait.
Penyediaan layanan publik melalui penerapan SPM seyogyanya mengkaitkan antaran batasan sumberdaya
dan penetapan target SPM sektor (Martinez-Vazquez et al. 2004, Brodjonegoro 2004). Pengaturan standar
pelayanan minimum (SPM) adalah langkah pemerintah pusat untuk mempertahankan kesamaan akses pada
penyampaian layanan dasar, sehingga, konsep penerapan SPM harus juga mempertimbangkan diskresi
bagi pemerintah daerah.4 Namun demikian, konsep desentralisasi penyediaan barang publik yang
disesuaikan preferensi lokal, juga berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam akses dan kualitas
pelayanan publik (Joumard dan Giorno 2005).
Dalam konteks Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia, yang patut diperhatikan adalah keterkaitan
dokumen ini dengan dokumen kebijakan lainnya yang menyangkut arah dari desentralisasi. Hal ini
dimaksudkan untuk membuat framework dengan cakupan seluas mungkin (broad) mengenai kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia dalam jangka yang lebih panjang dan juga menetapkan kesesuaian
pencapaian tujuan dengan kerangka besar yaitu visi dan misi dari tujuan desentralisasi fiskal.
Berdasarkan pidato Presiden dalam pengantar Nota Keuangan dan Rancangan APBN (R-APBN) 2016,
pemerintah untuk pertama kalinya mengalokasikan belanja Transfer ke Daerah lebih besar dibandingkan belanja
Kementerian/Lembaga (K/L). Hal ini didasarkan atas pertimbangan semakin banyaknya kewenangan yang
sudah diserahkan kepada daerah di era desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Menteri Keuangan (Menkeu)
juga dimaknai hal ini sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal seutuhnya, meskipun sejatinya Indonesia sudah
memiliki sejarah panjang dari mulai era Orde Lama hingga era Orde Reformasi.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut
diawali dengan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD).
Hingga kini, kedua regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Awalnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di
daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta
keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan
berupa penyerahan basis-basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme Transfer ke Daerah
sesuai asas money follows function. Masih adanya mekanisme Transfer ke Daerah didasarkan kepada
pertimbangan mengurangi ketimpangan yang mungkin terjadi baik antar daerah (horisontal imbalances)
maupun antara pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances).
Meskipun dianggap terlalu terburu-buru, banyak pihak kemudian mengapresiasi pelaksanaan desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Menurut mereka, dengan segala keterbatasan dan kendala yang
ada, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia dapat dijadikan salah satu best
practice terbaik di dunia, mengingat luasnya wilayah serta besarnya jumlah penduduk dengan berbagai ragam
karakteristiknya. Satu hal yang perlu diingat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah
desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue).
Desentralisasi seutuhnya
Desentralisasi fiskal dari sisi belanja (expenditure) didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengalokasikan
belanja sesuai dengan diskresi seutuhnya masing-masing daerah. Fungsi dari Pemerintah Pusat hanyalah
memberikan advice serta monitoring pelaksanaan. Sayangnya, justru dari pola inilah yang menjadikan
pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia terasa semakin jauh dari apa yang dicita-
citakan sebelumnya. Daerah justru semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat, munculnya praktek dinasti
penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Idiom yang muncul kemudian
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tak lain hanya memindahkan eksternalitas negatif dari Pemerintah Pusat
di era Orde Baru menuju Pemerintah Daerah (Pemda) di era reformasi ini.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Berbagai kebijakan yang sifatnya
antisipasif dan reaktif terus dijalankan dengan tetap mengutamakan aspek penguatan kapasitas Pemda dalam
menjalankan proses desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tersebut. Melalui revisi UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah misalnya, pemerintah telah melakukan penguatan pembagian kewenangan antara
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari aspek penyempurnaan mekanisme
pembiayaan, pemerintah juga memberikan perhatian yang tak kalah seriusnya. Pengalokasian Dana Desa
sebagai pemenuhan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga menjadi bukti teranyar komitmen
tersebut. Begitupula konsistensi pemerintah untuk menggunakan formula dalam perhitungan DAU serta
keberanian menghilangkan aspek hold harmless yang akan memberikan jaminan alokasi DAU di suatu daerah
dipastikan tidak akan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, meskipun sesungguhnya memberikan
tekanan fiskal yang besar terhadap APBN.
Dilihat dari sisi besaran alokasi anggaran dalam APBN, alokasi Transfer ke Daerah senantiasa meningkat setiap
tahunnya. Jika dilihat dari historis data, dalam tahun 2008 saja, besaran Transfer ke Daerah sudah mencapai
Rp292,4 triliun atau sekitar 29,6% total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2011, alokasi tersebut sudah
mencapai Rp412,5 triliun dengan rincian alokasi Dana Perimbangan (Daper) sebesar Rp347,5 triliun sementara
alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian sekitar Rp64,9 triliun. Terakhir dalam APBN-P 2015,
pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan Transfer ke Daerah sebesar Rp643,8 triliun, sementara alokasi
Dana Desa 20,7 triliun. Dari keseluruhan alokasi Transfer ke Daerah 2015, besaran Dana Alokasi Umum (DAU)
tetap mendominasi sebesar Rp352,8 triliun, disusul Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp110,0 triliun dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) sebesar 58,8 triliun. Untuk besaran alokasi Dana Otsus meningkat menjadi Rp17,1
triliun, Dana Keistimewaan DIY menjadi Rp547,5 miliar dan Dana Transfer Lainnya sebesar Rp104,4 triliun.
Sebagai sebuah konsekuensi politik, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia saat ini
sudah berada pada kondisi point no return, sehingga aspek-aspek yang dikedepankan lebih bersifat penguatan
kapasitas serta quality improvement. Dengan demikian, ke depannya, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah
diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan. Segala upaya
dan kerja pemerintah tersebut tentu wajib mendapatkan dukungan sepenuhnya dari segala pihak yang terkait dan
berkepentingan dalam mendukung suksesnya pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi di Indonesia
seutuhnya. Tanpa dukungan seluruh pihak, niscaya pemerintah sendiri tidak akan mampu melaksanakan secara
optimum dan pendulum otonomi justru akan lebih sering bergerak ke arah dampak yang sifatnya negatif dan
merusak. Koordinasi dan kerelaan untuk saling mendukung dari segala pihak kemudian menjadi kata kunci yang
utama baik di internal Pemerintahan Pusat maupun antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan salah datu cara ataupun instrumen yang digunakan oleh
pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun
nasional (pusat). Desentralisasi fiskal memiliki tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal
merintah pusat dan pemerintah daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah,
menjamin fiscal sustainabily di daerah. Dalam mencapai tujuannya tersebut desentralisasi
fiskal memiliki instrumen yaitu, Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi ( DAU dan DAK).
Ketiga instrument dalam desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengurangi ketimpangan
fiskal yang terjadi, tetapi tidak seluruh dari instrumen tersebut mampu mengurangi
ketimpangan fiskal yang terjadi dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap
daerah.
Berikut akan saya uraikan instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal yang
terjadi baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun ketimpangan fiskal antar daerah.
1. Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalane)
adalah Pajak Daerah, Bagi Hasil, dan Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Setiap daerah pasti memiliki sumber PAD
yang berbeda oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk menerapkan jenis pajak yang disetiap daerah. Dari pengetian diatas maka dapat
dikatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut pajak daerahnya
masing-masing dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan dengan persetujuan
Pemerintah Pusat agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar pusat dan daerah. Dengan kata
lain instrument desentralisasi fiscal dalam hal pajak daerah mampu mengurangi vertical fiscal
imbalance (ketimpangan fiscal vertical)
Dana Bagi Hasil mampu mengurangi vertical fiscal imbalance hal ini dapat dilihat bahwa
bagi hasil merupakan pemberian sebagian pendapatan nasional dari suatu sumber tertentu
kepada daerah dimana pendapatan itu diperoleh.Untuk mengurangi ketimpangan vertikal
(vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak
dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan
persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.
Begitu juga dengan Subsidi (DAU,DAK) dapat mengurangi ketimpangan fiscal vertical
karena akan memberikan pemertaan kepada setiap daerah dari pemberian DAU dan DAK.
Setiap daerah yang belum mampu memenuhi kebutuhannya makan pemerintah pusat akan
memberikan Dana alokasi tersebut.
Sebagai contoh, hampir seluruh daerah yang ada di Indonesia diberikan kewenangan oleh
pusat dalam mengurusi keuangan daerahnya, baik dalam pajak daerah, bagi hasil dan subsidi
agar ketimpangan fiskal antar pusat dan daerah tidak terjadi begitu besar.
2. Instrumen yang dapat mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalane)
adalah Subsidi (DAU,DAK).
Pajak Daerah tidak mampu mengurangi ketimpangan fiscal antar daerah karena
kemampuan setiap daerah berbeda dalam sumber Pendapatan Asli daerah yang berbeda,
ketika suatu daerah memiliki PAD rendah yang diakibatkan pemekaran dan provinsi
memberikan jenis pajak yang sama dalam setiap daerah maka daerah tersebut belum tentu
mampu mengumpulkan uang yang sama besarnya. Sehingga hal ini akan menyebabkan
ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal fiscal imbalance).
Bagi hasil akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara
daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia
yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas),
pertambangan, dan kehutanan. Oleh karena itu instrument desentralisasi fiscal ini tidak dapat
mengurangi horizontal fiscal imbalance tetapi akan menimbulkan ketimpangan fiscal antar
daerah (horizontal fiscal imbalance) karena yang paling memperoleh alokasi yang besar
adalah daerah penghasil dan akan terlihat disporitas yang sangat tinggi dalam komponen bagi
hasil.
Subsidi (DAU,DAK) mampu memperbaiki ketimpangan fiscal horizontal (ketimpangan
fiscal antar daerah) karena instrument desentralisasi fiscal ini mampu mendorong suatu
daerah untuk berbuat sesuatu melalui insentif. Subsidi mengurangi ketimpangan dalam
kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan
adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan
DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dana Alokasi Umum memiliki
tujuan yaitu pengurangan kesenjangan fiscal antar daerah, dimana konsep kesenjangan fiscal
untuk mengalokasi DAU sudah tepat karena telah memperhitungkan dua aspek yaitu
kebutuhan dan kemampuan fiscal pemerintah daerah. DAu diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, oleh karena itu jika dalam suatu darah provinsi ada
kabupaten atau kota yang belum mampu memenuhi kebutuhannya maka pemerintah provinsi
akan memberikan DAU kepada kabupaten atau kota tersebut. Pemberia DAU ini sesuai
dengan prinsip pemberian subsidi yaitu berdasarkan rumusan fiscal gap. Fiscal gap
merupakan ketidakmampuan suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain
jika fiscal gap suatu daerah besar maka subsidi yang diberikan akan besar pula dan
sebaliknya.
DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah tetapi hanya kepada daerah tertentu yang
mempunyai kondisi khusus. Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah
dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus
adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain,
misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana
baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase
primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.[1] Pemaparan diatas
mengenai DAK dapat diartikan bahwa jika suatu daerah dalam provinsi belum memilik dana
dalam mengelola hutan khususnya makan pemerintah pusat akan memberikan DAK tersebut
kepada provinsi, dan sebaliknya pemerintah daerah memberikan DAK kepada kabupaten atau
kota tertentu. Oleh karena itu DAK dalam hal ini dapat mengurangi ketimpangan fiscal antar
pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) serta ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal
fiscal imbalance). Pemaparan diatas dapat menyimpulkan bahwa instrument desentralisasi
fiskal yang dapat mengurangi ketimpangan fiscal horizontal adalah hanya subsidi (DAU dan
DAK). Sebagai contoh daerah seperti papua, aceh yang masih belum mampu memenuhi
kebutuhan daerah melalui pendapatan daerah tersebut, sehingga pemerintah daerah provinsi
memberikan dana alokasi khusus agar tidak terjadi ketimpangan fiscal antar daerah di daerah
tersebut.
Desentralisasi fiskal ini merupakan desentralisasi yang paling banyak dibahas di banyak negara,
karena tugasnya yang mengatur dan mengumpulkan pajak, yang melakukan pengeluaran atau
belanja pemerintah daerah, dan bagaimana beberapa ketidakseimbangan vertikal (antara
pemerintah daerah dengan pusat) dikoreksi. Sedangkan desentralisasi politik merujuk pada satu
tingkatan yang di dalamnya institusi politis memetakan keserbaragaman minat dan kepentingan
warga negara terhadap keputusan-keputusan kebijakan yang dibuat (Inman dan Rubinfeld, 1997).
Desentralisasi pemerintahan berkaitan dengan bagaimana ber bagai institusi politis, ketika
ditentukan, mengeluarkan keputusan-keputusan dalam bentuk kebijakan ke dalam hasil-hasil
alokatif dan distributif baik melalui aksi fiskal ataupun dengan regulasi yang telah ditetapkan.
Keputusan politik untuk mendelegasikan kekuasaan dari pemerintah pusat, misalnya, hanya bisa
ditafsirkan ke dalam kekuatan yang sebenarnya yang telah tergantikan jika pemerintahan
daerah memiliki kapasitas fiskal, politik, dan administratif untuk mengatur tanggung jawab ini
(Litvack, dkk., 1999). Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa desentralisasi dalam konteks
sistem politik dan sektor nega ra bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis utama, yaitu: dekonsentrasi
atau desentralisasi pemerintahan, desentralisasi fiskal, dan devolusi atau desentralisasi demokratis,
dan secara kolektif merujuk pada hal ini sebagai desentralisasi demokratis (Manor, 1999: 5). Lebih
lanjut Manor menyatakan bahwa dekonsentrasi, yang merujuk pada pembubaran berbagai agen
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke arena yang berada pada tingkatan yang lebih rendah.
Ketika dekonsentrasi terjadi dalam isolasi, atau ketika ia terjadi bersamaan dengan desentralisasi
fiskal, tapi tanpa demokratisasi yang simultan, yaitu ketika agen-agen ingkat pemerintahan yang
lebih tinggi bergerak menuju arean tingkatan yang lebih rendah tapi tetap akutanbel hanya bagi
orang yang lebih tinggi dalam sistem tersebut, maka hal itu memampukan penguasan pusat untuk
berpenetrasi secara lebih efektif ke dalam arena-arena tersebut tanpa meningkatkan pengaruh
kepentingan yang dirancang sedemikian rupa pada tingkatan tersebut. Pemerintah pusat dalam hal
ini tidaklah menyerahkan sebagian wewenangnya.
Hal ini hanya terjadi dalam bentuk relokasi para pejabatnya pada tingkatan atau titik yang berbeda
secara nasional. Dalam lingkungan seperti itu, hal itu pada praktiknya cenderung merupakan
sentralisasi, ketika ia memperluas daya angkat dari mereka yang berada di puncak sistem. Ini
khususnya benar dalam negara-negara yang kurang berkembang. Istilah desentralisasi kadang
merujuk pada transfer fiskal kepada pemerintah daerah, yang di dalamnya pemerintah pusat dalam
sebuah sistem memberikan pengaruh terhadap anggaran dan keputusan finansial kepada
pemerintah daerah (Manor, 1999: 5-6).
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 bertujuan untuk mendorong
perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia.
Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk
mengatur keuangannya sendiri diharapkan memberi pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan
ekonomi, tenaga kerja, dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro
job, dan pro poor). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya adalah dengan
meningkatkan pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Peningkatan
pendapatan daerah dan besarnya dana transfer dari pemerintah pusat pada masa otonomi
daerah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena hasil dari kebijakan
desentralisasi fiskal tergantung pada implementasi daerah masing-masing. Oleh karena itu
penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu menganalisis dampak desentralisasi fiskal
terhadap PDRB, tenaga kerja, dan kemiskinan di Jawa Barat yang ditunjukkan oleh variabel
dummy dan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan di Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan data time series Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1993
hingga 2009. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Jawa Barat, Bank Indonesia,
penelitian-penelitian terdahulu, dan instansi-instansi terkait. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode 2
Stage Least Square (2SLS) terhadap persamaan simultan. Hasil yang diperoleh dari penelitian
ini menunjukkan bahwa variabel dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB
dan tenaga kerja pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan
simultan terlihat faktor-faktor yang memengaruhi PDRB Jawa Barat adalah modal pemerintah
yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Transfer (DAFER), Investasi (INV), tingkat
keterbukaan daerah (XM), Tenaga Kerja (L), variabel dummy desentralisasi fiskal dan krisis
ekonomi. Pendapatan Asli Daerah (PAD) signifikan dengan nilai elastisitas 0,47 yang berarti
bahwa peningkatan PAD sebesar 1 persen akan diiringi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,47 persen dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan Dana Transfer (DAFER) juga
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas 0,13. Sesuai dengan
tujuannya, pemberian dana transfer dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat dalam rangka mendorong percepatan
pembangunan daerah.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah
daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan
keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber
keuangan yang memaclahi, baik yang berasal dari Pendapatan Ash Daerah (PAD) termasuk surcharge
of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah
pusat. Menurut Bahl (2001) desentralisasi fiskal hams diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah
dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah
daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh
pemerintah ini secara teori dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah. Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa tax
revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai
berbagai pengeluaran publik. Sebaliknya, dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat
dijelaskan karena pajak menimbulkan "deadweight loss of tax". Ketika pajak dikenakan pada barang,
maka pajak akan mengurangi surplus konsumen dan produsen. Menurut Oates (1993) desentralisasi
fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena
pemerintah sub nasional/ pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan
barang-barang
publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk
menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Oates juga menyatakan
bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan
dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah
daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya
daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan
memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.