Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL: STRESS DAN


KECEMASAN PASIEN ICU, DEPRESI, DISTRESS SPIRITUAL,
KOMUNIKASI PADA PASIEN, KELUARGA, DAN KOLEGA DALAM
KEADAAN KRITIS

Fasilitator :
Dr. Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep.Ns.,MANP
Disusun oleh :
Kelompok 4 (AJ-2 / B20)
1. Ida Berliana 131711123013
2. Melan Apriyati Simbolon 131711123031
3. Achmad Tirmidzi 131711123035
4. Elizabeth Risha M. Lema 131711123052
5. Maria Yasintha Seran 131711123056
6. Nurlita Kurnia Wijaya 131711123076

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah Small
Group Discussion (SGD) yang berjudul “Kebutuhan Psikososial Dan Spiritual :
Stress Dan Kecemasan Pasien Icu, Depresi, Distress Spiritual, Komunikasi Pada
Pasien, Keluarga, dan Kolega Dalam Keadaan Kritis”, sebagai tugas mata ajar
Keperawatan Kritis dengan baik.

Kami menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:


1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)., selaku Dekan yang senantiasa memacu,
dan memotivasi mahasiswa untuk selalu bersemangat dalam belajar;
2. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns.,M.Kep., selaku Penanggung Jawab Mata Ajar
Keperawatan Kritis.
3. Dr. Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep.Ns.,MANP selaku fasilitator yang
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
4. Teman-teman sekalian yang telah bekerja sama dalam penyelesaian tugas ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran yang
dapat membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih
baik lagi. Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.

Surabaya, 8 Februari 2018

(Penyusun)

BAB 1
PENDAHULUAN

2
1.1. Latar Belakang
Pasien kritis merupakan pasien dengan satu atau berbagai masalah
fungsi organ, inflamasi, stress oksidatif, penurunan imun, dan masalah
metabolism tubuh. Kelangsungan hidup pasien kritis terancam dan tergantung
terhadap pengobatan farmakologis dan alat bantu hidup seperti ventilator di
ICU (Grune & Berger, 2007). Pasien pada unit perawatan kritis yang
dikelilingi oleh teknologi canggih sangat penting untuk kelangsungan
hidupnya, namun dapat menimbulkan keasingan untuk pasien dan keluarga.
(Hanafie, 2012).
Keadaan tersebut dapat menimbulkan krisis bagi pasien dan keluarga,
terutama jika sumber krisis merupakan stimulus yang belum pernah dihadapi
oleh pasien dan keluarga sebelumnya sehingga dapat menyebabkan
kecemasan yang tinggi. Jika pasien dan keluarga cemas maka keluarga sebagai
sumber daya untuk perawatan pasien tidak berfungsi dengan baik. Selain itu
kecemasan keluarga dapat dikomunikasikan atau ditransfer kepada pasien
sehingga berakibat memperparah penyakit dan menghambat proses
penyembuhan.
Stres dapat berdampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik,
psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual, stres dapat mengancam
keseimbangan fisiologis (Derek, Rottie, & Kallo, 2017). Pasien yang
mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep
psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada
sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan
menghasilkan CRF, yaitu pada sel basofilik. Sel basofilik tersebut akan
mengekspresikan ACTH (Adrenal Cortico Tropic Hormone) yang akhirnya
dapat mempengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata, kelenjar
ini akan menghasilkan kortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres
yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan
cortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun (Apasou
& Sitkorsky, 1999, as cited in Nursalam, 2007).
Kecemasan keluarga pasien yang dirawat di ICU salah satunya
disebabkan oleh kurangnya informasi dan komunikasi antara petugas
kesehatan dan keluarga pasien. Bagaimana keadaan pasien yang gawat,

3
apakah mengancam sehingga mengakibatkan kematian, juga perawatan ICU
yang memerlukan dana yang banyak (Aaronson & Jeremy, 2008).
Dukungan psikososial dibutuhkan oleh pasien pada unit perawatan
kritis termasuk bantuan dalam mengatasi efek perawatan di rumah sakit
sebanding dengan penyakit kritis. Pasien dalam penanganan perawatan kritis
dapat memberikan efek negatif yang dapat mempengaruhi kondisi pasien
tersebut diantaranya pada aspek psikososial. Aspek psikososial dari sakit kritis
merupakan suatu tantangan bagi perawat pada keperawatan kritis (Young &
Koopsen, 2015).
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada
pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping
pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan
pemberian dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan
material (Batuman, 1990, as cited Nursalam, 2007). Makalah keperawatan
kritis “Kebutuhan Psikososial dan Spiritual: Stress dan Kecemasan Pasien
Icu, Depresi, Distress Spiritual, Komunikasi pada Pasien, Keluarga, dan
Kolega dalam Keadaan Kritis” sangat penting untuk di susun sebagai bahan
diskusi dalam mata kuliah keperawatan kritis, sehingga harapannya perawat
dapat memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang komprehensif
meliputi bio-psiko-sosial-spritual.

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang masalah yang dikemukakan diatas maka

penulis mengajukan beberpa rumusan masalah yaitu :


1.2.1. Bagaiamana mekanisme terjadinya stress pada pasien dan keluarga

pasien yang dirawat di ruangan ICU?


1.2.2. Bagaimana mekanisme terjadinya kecemasan pada pasien dan

keluarga pasien yang dirawat di ruangan ICU?


1.2.3. Bagaimana mekanisme terjadi distress spiritual pada pasien yang

dirawat di ruangan ICU?


1.2.4. Bagaimana cara komunikasi pada pasien dan keluarga dalam kondisi

kritis?

4
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui bagaimana

kebutuhan psikososial dan spiritual pada pasien-pasien yang dirawat

di ruangan ICU
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui mekanisme terjadinya stress pada pasien dan keluarga

pasien yang dirawat di ruangan ICU


2) Mengetahui mekanisme terjadinya kecemasan pada pasien dan

keluarga pasien yang dirawat di ruangan ICU


3) Mengetahui mekanisme terjadinya distress spiritual pada pasien

yang dirawat di ruangan ICU


4) Mengetahui cara komunikasi pada pasien dan keluarga dalam

kondisi kritis.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan teoritik

untuk keperawatan dan untuk memperkaya ilmu keperawatan dalam

pemberian asuhan keperawatan pada pasien khususnya di ICU.

1.4.2. Manfaat Praktis


1. Bagi Perawat
Makalah ini dapat menjadi suatu sumber informasi bagi perawat

dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien ICU.


2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi rumah sakit dalam rangka

meningkatkan mutu pelayanan khususnya kepada pasien dan

keluarga yang dirawat di ICU sehingga mutu pelayanan Rumah

Sakit tercapai.
3. Bagi Pendidikan
Makalah ini diharapkan untuk memperbanyak khasanah ilmu

keperwatan dan menjadi suatu bahan masukan untuk

5
perkembangan ilmu keperawatan khususnya pada pasien dan

keluarga di ruangan ICU khususnya tentang aspek psikososial

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Psikososial dan Spiritual
2.1.1. Pengertian psikososial
Psikososial berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko
mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan
perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu
dengan orang-orang di sekitarnya. Menurut Depkes (2011) psikososial
adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat
psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.
masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh
timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau
gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan
jiwa
2.1.2. Masalah-masalah dalam psikososial
Menurut NANDA (2012) masalah-masalah psikososial adalah :
a. Berduka

6
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Risiko penyimpangan perilaku sehat
f. Gangguan citra tubuh
g. Koping keluarga tidak efektif
h. Sindroma post trauma
i. Penampilan peran tida efektif
j. Harga Diri Rendah situasional
2.1.3. Kecemasan
a. Pengertian kecemasan
Menurutt Lubis (2009) kecemasan adalah tanggapan dari sebuah
ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena
adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika
berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi.
Kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya.
Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan
tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang
terganggu. Kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan,
penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D.
Gunarsa, 2008).
Ansietas adalah perasan takut yang tidak jelas dan tidak
didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa cemas,
individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki
firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa
emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat
diidentifikasi sebagi stimulus ansietas. Ansietas merupakan alat
peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu
(Videbeck, 2008).
b. Penyebab
Menurut Nuratif & Kusuma (2013) penyebab kecemasan yaitu :
a) Perubahan dalam (status ekonomi, lingkungan, status
kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran),
b) Pemanjanan toksin,
c) Terkait keluarga,
d) Herediter,
e) Infeksi/kontaminan interpersonal,
f) Penularan penyait interpersonal,
g) Krisis maturasi, krisis situasional,
h) Stress, ancaman kematian,

7
i) Penyalahgunaan zat,
j) Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status kesehatan,
pola interaksi, fungsi peran,status peran, konsep diri),
k) Konflik tidak disadari mengenai nilai yang esensial/penting,
l) Kebutuhan tidak dipenuhi.

c. Gejala-gejala kecemasan
a) Gejala perilaku dari kecemasan yaitu: penurunan produktivitas,
gerakan yang ireleven, gelisah, melihat sepintas, insomnia,
kontak mata yang buruk, mengekspresikan kekawatiran karena
oerubahan dalam peristiwa hidup, agitasi, mengintai dan
tampak waspada.
b) Gejala afektif dari kecemasan yaitu: gelisah, distress, kesedihan
yang mendalam, ketakutan, perasaan tidak adekuat, berfokus
pada diri sendiri, peningkatan kewaspadaan, iritabilitas, gugup
senang berlebihan, rasa nyeri yang meningkatkan
ketidakberdayaan, peningkatan rasa ketidakberdayaan yang
persisten, bingung, menyesal, ragu/tidak percaya diri dan
khawatir.
c) Gejala fisiologis dari kecemasan: wajah tenang, tremor tangan,
peningkatan keringat, peningkatan ketegangan, gemetar,
tremor, suara bergetar.
d) Gejala simpatik dari kecemasan yaitu: anoreksia, eksitasi
kardiovaskular, diare, mulut kering, wajah merah, jantung
berdebar-debar, peningkatan reflek, peningkatan frekuensi
pernafasan, pupil melebar, kesulitan bernafas, vasokontriksi
superfisial, lemah dan kedutan pada otot.
e) Gejala parasimpatik dari kecemasan yaitu: nyeri abdomen,
penurunan tekanan darah, penurunan denyut nadi, diare, mual,
vertigo, letih, gangguan tidur, kesemutan pada ekstremitas,
sering berkemih, anyang-anyangan, dorongan segera berkemih.
f) Gejala kognitif dari kecemasan: menyadari gejala fisiologis,
bloking fikiran, konfusi, penurunan lapang persepsi, kesulitan
berkonsetrasi, oenurunan kemampuan untuk belajar, penurunan

8
kemampuan untuk memecahkan masalah, ketakutan terhadap
konsekuensi yang tidak spesifik, lupa, gangguan perhatian,
khawatir, melamun, cenderung menyalahkan orang lain.

d. Kecemasan Pada Pasien dan Keluarga di ICU


Perawatan diruang ICU dilakukan dengan cepat dan cermat
serta pamantauan hemodinamik yang terus menerus selama 24 jam.
Penggunaan alat- alat diruang ICU sangat diperlukan dalam rangka
memperoleh hasil yang optimal. Pasien di ICU dalam keadaan
sakit kritis, kehilangan kesadaran atau mengalami kelumpuhan,
sehingga segala sesuatu yang terjadi pada pasien hanya dapat
diketahui melalui monitoring yang baik dan teratur. Perubahan
yang terjadi harus dianalis secara cermat untuk mendapatkan
tindakan atau pengobatan yang tepat. Pemberian perawatan di ICU
telah berpusat pada pasien kurang memperhatikan kebutuhan
keluarga, Penerimaan pasien ke ICU sering akut, transisi non
elektif memunculkan ketidakpastian bagi pasien serta keluarga
pasien. Paling sering kebutuhan fisiologis pasien menjadi
keprihatinan bagi dokter perawatan kritis. Memperhatikan
kebutuhan sakit kritis penting selama episode penyakit kritis,
namun mengatasi kebutuhan psikologis keluarga pasien pada awal
penyakit kritis juga harus diperhatikan (Ronald & Sara, 2010).
Keadaan penyakit kritis menghadapkan keluarga pasien ke
tingkat tinggi dari tekanan psikologis. Gejala tekanan psikologis
mempengaruhi lebih dari setengah dari anggota keluarga terkena
penyakit kritis pasien. Menurut Ronald & Sara dalam Sugimin
(2017) proporsi anggota keluarga mengalami tekanan psikologis
yang berat dari penyakit kritis akan terus meningkat, sejalan
dengan meningkatnya angka pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif untuk penggunaan alat bantu yang berkepanjangan.
Kecemasan dapat menjadi sumber masalah klinis jika sudah
sampai tingkat ketegangan yang sedemikian rupa sehingga

9
mempengaruhi kemampuan berfungsinya seseorang dalam
kehidupan sehari-hari, Karena orang tersebut jatuh kedalam
kondisi maladaptive yang dicirikan reaksi fisik dan psikologis
ekstrem. Pengalaman menegangkan, irasional dan tidak dapat
diatasi ini merupakan dasar gangguan kecemasan. Menurut Smith
& Custard dalam Sugimin (2017) beban perawatan yang
ditanggung pada anggota keluarga yang mempunyai penyakit kritis
dapat berdampak pada kecemasan. Anggota keluarga pasien sakit
kritis mengalami tingkat kecemasan tinggi situasional dan stress
ketika orang-orang tercinta yang dirawat di ICU. Beberapa faktor
yang berhubungan stress ini, kecemasan situasional muncul dari
kekhawatiran tentang penderitaan dan kematian pasien, prosedur,
komplikasi dan peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien.
Pasien dan anggota keluarga menjalani pengalaman berbeda
dalam menderita gangguan emosional selama tinggal dan setelah
keluar ICU. Kecemasan, depresi dan gangguan stress pasca trauma
lebih tinggi anggota keluarga daripada pasien, dan bisa bertahan
sampai tiga bulan, sementara pada pasien gejala menurun. Selamat
dari ICU mungkin mengalami tekanan psikologis untuk waktu
yang lama, baisanya pasien dan anggota keluarga menderita gejala
kecemasan, depresi dan stress pasca trauma, Fumis, dkk, 2015
(dalam Sugimin 2017). Mengatasi masalah psikologis merupakan
bagian integral dari pendekatan perawatan kritis yang
komprehensif, anggotak keluarga memainkan peran penting dalam
mem- promosikan kesejahteraan psikologis dari kondisi pasien
kritis. Kehadiran dan kepedulian keluarga, interaksi yang
bermakna dan kolaborasi dengan tim perawatan dapat membantu
pasien selama perawatan di ICU. Oleh karena itu perawat memiliki
tanggung jawab penting untuk mengatasi kebutuhan dan
keprihatinan anggota keluarga selama di ICU (Bailey, Sabbagh,
Loiselle, Boileau, & McVey, 2010).

2.2. Konsep Stress Pada Pasien ICU


2.2.1. Pengertian Stress

10
Stress merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu fisiologi
dan neuroendokrinologi untuk merujuk faktor-faktor yang
menyebabkan ketidak-seimbangan pada organisme shingga
mengancam homeostasis tubuh. Stresor bisa saja merupakan akibat
dari trauma fisik, gangguan mechanism perubahan kimia, atau fator
emosional. Tespon tubuh terhadap faktor-faktor tersebut akan
bergantung pada besarnya stressor, durasi kejadian, dan status nutrisi
pasien. Barash (2001) dalam Fitri (2014) menyebutkan bahwa respon
stress normal ditandai dengan respon neuro hormonal simpatis skibat
stimulasi dari sistem simpatoadrenal dan kontribusi kelenjar pituitary
dan dapat mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, epinefrin,
kortisol, dan glucagon. Sistem sensoris kompleks memicu reflex
sistem saraf bereaksi terhadap stressor yang akan menyiagakan sistem
saraf pusat terhadap gangguan. Didalam sistem saraf pusat, neuron
nucleus paraventrikular dai hipotalamus menguraikan corticotropin-
releasing hormone (CRH) dan mengaktivasi hypothalamic-pituitary-
adrenal (HPA). Disamping itu, area lain dari otak akan memberi sinyal
kepada sistem saraf otonom perifer. Kedua sistem ini akan
menimbukan respon terintegrasi, yang disebut respon stress,
mengonrol secara utama fungsi tubuh arousal (keadaab terjaga atau
reaktif terhadap stimulus, baik secara fisik maupun psikologis), tonus
kardiovaskular, respirasi, dan metabolism tinda lanjut. Fungsi lainnya,
seperti perilaku seksual dan makan ditekan, sementara fungsi kognitif
dan emosional akan diaktifkan. Disamping itu, aktivitas
gastrointestinal dan imunitas/respon inflamasi akan berubah.
Pada keadaan normal, ketika terjadi stress, baik akibat trauma
fisik atau sepsis maka respon stress yang terjado adalah perubahan
pada sistem metabolic dan hormonal, meliputi respon endokrin,
imnologi, dan inflamasi yang bertujuan untuk mempertahankan
homeostasis sehingga pasien dapat bertahan hidup. Namun, pada
pasien dalam kondisi kritis, dimana fungsi organ-organ tubuh dapat
dengan mudah mengalami perubahan akibat stressor maka sulit untuk
melakukan mekanisme pertahanan, sehingga individu dapat dengan

11
mudah mengalami perubahan akibat stressor maka sulit melakukan
mekanisme pertahanan, sheingga individu dapat dengan mudah
mengalami ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis
tubuh. Pada pasien kritis, respon terhadap terapi baik medical ataupun
peralatan sulit idudga dan berbeda-beda pada setiap individu,
tergantung pada penyakit dan kemampuan dalam berespon terhadap
ketidakseimbangan yang terjadi akibat penyakit (Fitri, 2014).
2.2.2. Respon Metabolik terhadap Stres
a. Fase Ebb dan Fase Flow
Menurut Fitri (2014) respon metabolik tubuh terhadap
stress terjadi melalui dua fase, yaitu fase ebb dan fase flow. Fase
ebb dimulai segera setelah terjadi stress, baik akibat trauma atau
sepsis dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat
berlangsung lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan
kecukupan resusitasi. Fase ebb disamakan juga dengan periode
syok yang memanjang dan tidak teratasi, yang ditandai dengan
hipoperfusi jaringan dan penurunan aktivitas metabolik secara
keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh terhadap keadaan
ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana norepinefrin
menjadi mediator utama fase ebb. Norepinefrin dikeluarkan dari
saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta 1 di jantung dan
reseptor beta 2 diperifer dan dasar vaskular splanik. Efek paling
penting adalah pada sistem kardiovaskular, karena noepinefrin
merupakan stimulan kuat jantung, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan denyut jantung vasokonstriksi. Hal ini
merupakan udaha dalam mengembalikan tekanan darahm
menignkatkan performa jantung dan maksimalisasi venous return.
Hiperglikemia mungkin terjadi pada fase ebb.
Hiperglikemia terjadi akibat glikogenolisis hepar yang merupakan
efek sekunder dari katekolamin dan akibat stimulasi simpatik
langsung dari pemecah glikogen. Hiperglikemia yang terjadi
setelah trauma merupakan masalah yang sangat penting untuk
segera diatasi karena dapat menempatkan pasien pada kondisi
berisiko tinggi terhadap berbagai komplikasi masa penyembuhan

12
yang lebih lama, peningkatan waktu lama rawat, bahkan
menyebabkan kematian.
Permulaan fase flow, yang meiputi fase anabolic dan
katabolic, ditandai dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan
restorasi oxygen delivery dan substrat metabolik. Durasi fase flow
tergantung pada keparahan trauma atau adanya infeksi dan
perkembangan menjadi komplikasi. Secara khasm puncak fase ini
adlah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pad 7-10 hari, dna akan
melebur kedalam fase anabolic selama beberapa minggu. Selama
terjadi fase hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun
peningkatan level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan
menetralkan hampir semua efek metabolic dari insulin.
Peningkatan mobilasasi asama amino dan free fatty acids dari
simpanan otot perifer dan jaringan adipose merupakan akibat
ketidakseimbangan hormone-hormon tersebut. Beberapa hormone
akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi energy
salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver
sebagai trigleserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap
sintetis protein di liver, dimana mediator humoral akan
menngkatkan produksi reaktan fase akut. Sintesis protein yang
serupa juga terjadi sistem imun guna menyembuhkan kerusakan
jaringan. Meskipun, fase hipermetabolik ini melibatkan proses
katabolik dan anabolik, hasilnya adalh kehilangan protein secara
signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negative
dan penurunan simpanan lema. Hal ini akan menuju pada
modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan
kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan lemak, disertai
dengan meluasnya kompartemen cairan ekstraseluler dan
intraselular.

b. Metabolisme Protein dan Glukosa


Selama periode kelaparan, infus glukosa akan menghambat
gluconeogenesis hepar, tetapi setelah terjadi trauma meskipun

13
sirkulasi glukosa dalam konsentrasi tinggi, gluconeogenesis akan
tetap berlangsung. Asam mino yang dihasilkan dari katabolisme
protein dioto diambil oleh liver dalam jumlah besar akan lebih
digunakan untuk memproduksi glukosa, daripada digunakan
sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan energy.
Kebutuhan energy akan disediakan cadangan lemak (sekitar 80%-
90%). Mengapa pasien dengan trauma membutuhkan begitu tinggi
produksi glukosa endogeneous akan dijelaskan oleh tingginya
kebutuhan jaringan yang terkena trauma akan glukosa. Sebagai
contoh, pasien dengan luka bakar berat pada satu lengan dan
trauma minor pada lengan lainnya mempunyai empat kali
peningkatan ambilan glukosa oleh ektremitas yang terkena luka
bakar. Pada saat yang sama, lengan yang terbakar memproduksi
sejumlah besar laktat, yang merupakan hasil dari
respirasianaerobik sel. Laktat ini akan dikembalikan ke liver untuk
proses gluconeogenesis, dalam siklua Cori. Satu mol glukosa
meghasilkan 2 ATP melalui glikolisis tetapi melalui
glukoneogenesis membutuhkan 3 ATP. Hal ini menambah
peningkatan laju metabolisme.
Hormon pituitary dapat mengakibatkan efek sekunder
terhadap sekresi hormon dari organ target, salah satunya adalah
pada organ pankreas akan dikeluarkan hormon glukagon dan
penurunan sekresi hormone insulin. Insulin memiliki efek anabolik
melalui sintesis sejumlah besal molekul dari molekul-molekul kecil
dan menghambat katabolisme. Insulin juga akan meningkatkan
oksidasi glukosa dan sinstesi glikogen, mengingat insulin
menghambat glikogenolisis dan glukoneogenesis. Dengan kata
lain, hormon katabolic seperti katekolamin, kortisol, dan glukagon
akan meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
c. Respon Cairan dan Elektrolit
Hipovolemi terjadi pada fase ebb hypovolemia dan dapat
reversible sepenuhnya dengan terapi cariran yang tepat. Namun,
ketiadaan resusitasi cairan dalam 24 jam, akan meingkatkan risiko

14
kematian. Respon awal pasien terhadap hipovolemia ditujukan
untuk menjaga perfusi adekuat otak dan jantung. Oliguria, yang
tejadi pada saat trauma, adalah konsekuensi dari pelepasan dari
Antidiuretic Hormone (ADH) dan aldosterone. Sekresi ADH dari
supraoptic nuclei di hipotalamus anterior distimulus oleh
pengurangan volume dan peningkatan osmolalitas. Peningkatan
osmolalitas akan menyebabkan peningkatan sodium dicariran
eksraselular.
Sejumlah reseptor terletak didalam pembuluh darah arium
dan pulmonal dan osmoreseptor terletak didekat neuron ADH di
hipotalamus. ADH sebagian besar bertindak pada tubulus
connecting ginajl, dan juga pada tubulus distal untuk menigkatkan
reabsorbsi air. Aldosterone sebagian besar bertindak pada tubulus
renal distal untuk meningkatkan reabsorbsi sodium dan bikarbonat
dan meningkatkan eksresi potassium dan ion-ion hydrogen.
Aldosterone juga memodifikasi efek ketekolamin terhadap sel,
sehingga mempengaruhi pertukaran sodium dan potassium
melewati semua membrane sel. Pelepasan sejumlah besar
potassium intraseluler ke dalam cariran ekstraseluler adalah akibat
dari katabolisme protein dan dapat menyebablan kenaikan jumlah
serum potassium, khususnya jika fungsi ginjal terganggu.
Retensi sodium dan bikarbonat akan menghasilkan
alkalosis metabolik dengan kerusakan pengantaran oksigen
jaringan. Setelah terjadi trauma, eksresi sodium akanturun 10-25
mmol/24 jam dan eksresi potassium akan meningkat 100-200
mmol/24 jam. Cairan intraselular dan cairan eksogenous akan
mengumpul di ruang ketiga ekstraselular karena peningkatan
permeabilitas vaskular dan peningkatan relative ditekanan onkotik
interstisial; hal inilah yang menyebabkan kebanyakan pasien
mengalami edema setelah hari pertama trauma dan resusitasi.

2.2.3. Respon Hormonal Terhadap Stres


a. Respon Endokrin
a) Aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal

15
Pada respon neuroendokrin akan diaktivasi aksis
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang akan mencetuskan
pengeluaran kortisol, sehingga mengakibatkan terjadinya
sekresi epinefrin, norepinefrin, glucagon, dan growth hormone.
Hipotalamus mensekresi Corticotropin Releasing Hormone
(CRH) dalam upaya berespon terhadap stressor. CRH
menstimulasi produksi-melalui pituitary-adrenocorictotopic
hormone (ACTH) atau dikenal dengan kortikotropin, yang akan
menstimulasi korteks adrenal. Secara spesifik, hormone ini
akan memicu sekresi glukokortikoid, seperti kortisol, dan
sedikit mengontrol sekresi aldosterone. CRH sendiri akan
dihambat oleh glukokortikoid dan menjadikannya masuk
kedalam negative feedback loop. Sekresi aldosterone
kemungkinan besar dibawah control sistem renin-angiotensin
teraktivasi.
Hiperkortikolisme akut merubah metabolisme protein,
lemakm dan karbohidrat, sehingga energy dengan sedera dan
selektif tersedia untuk kebutuhan organ vital seperti otak, dan
dengan demikan anabolisme akan ditunda. Retensi cairan
intravascular dan inotropic yang tinggi dan respon vasopressor
terhadap katekolamin dan angiotensin II memberikan manfaat
hemodinamil dalam respon “fight or flight”. Hiperkortikolisme
dapat diinterpretasi sebagai usaha organisme untuk menahan
kaskade inflamasinya sendiri, sehingga melindungi organisme
melawan overresponses. Serum ACTH dijumpai menurun pada
kondisi kritis kronik sedangkan konsentrasi kortisol akan tetap
meningkat. Aktivasi HPA juga mencetuslan sinyal anti
inflamasi sistemik yang digambatkan dengan penurunan kadar
beberapa mediator proinflamasi atau sel-sel imun untuk
memproduksi molekul anti inflamasi, seperti interleukin.
b) Respon Inflamasi
Respon fisiologis terhadap trauma merupakan kejadian
molecular dan selular yang sangat kompleks, dimana sel-sel

16
inflamasi, seperti sel polimorfonuklear (PMNs), makrofag, dan
limfosit diikut sertakan ke lokasi trauma dan
mengeluarkanmediator-mediator inflamasi. Endometilium pada
sel yang mengalami trauma juga turut berpartisipasi. PMNs
adalah sel pertama yang akan tiba pada lokasi trauma dan
melepaskan molekul oksidasi kuat, termasuk hydrogen
peroksida, asam hipoklorus, radikal bebas oksigen, enzim
proteolitik, dan subtansi vasoaktif seperti leukotriene,
eicosanoids, dan platelet activating factor (PAF). Radikal
bebas oksigen adalah molekul proinflamasi yang menyebabkan
perioksidasi lipid, inaktivasi enzim-enzim, dan pemakaian
antiokasidan. PMNs mengeluarkan enzin proteolitik yang akan
mengativasi sistem kinin/kallikrein, yang pada akhirnya
menstimulus pengeluaran angiotensin II, bradikinin, dan
plasminogen teraktivasi. Bradikini menyebabkan vasodilatasi
vascular. Makrofag diaktivasi olek sitokin dan akan menelan
organisme yang ada. Makrofag juga memakan jaringan
nekrotik host dan menguraikan yang sitokin berlebih.
TNF-alfa dan IL-1 adalah mediator proinflamasi proksimal.
Sitokin-sitokin ini menginisiasi penguraian dan pengeluaran
sitokin-sitokin lain seperti IL-6 dan juga menstimulus respon
fase akut hepatic. TNF-α ddan IL-1 akan dikeluarkan dalam
jumlah yang sedikit dalam waktu 1 jam setelah awitan dan
keduanya mempunyai efek local dan sistemik. Kedua sitokini
ini secara individual menghasilkan respon hemodinamik yang
tidak signifikan tetapi menyebabkan kerusakan paru-paru dan
hipotensi jika bekerja bersama-sama.
Sitokin merupakan protein dengan berat molekul yang
rendah, yang terdiir dari interleukin dna interferon. Sitokini
merupakan golongan peptide dan dihasilkan oleh berbagai sel
imun dan inflamasi, termasuk makrofag, monosit, neutrophil,
sel T dan sel B. zat ini juga dihasilkan oleh sel non-inflamasi,
termasuk fibroblast dan sel endotel. Sitokin berfungsi sebagai

17
hormone local yang mempengaruhi respon pertahanan host
terhadap cedera atau infeksi.
IL-6 disekresikan oleh monosit dan makrofag, neutrophil,
sel B dan T, sel endothelial sel oto halus, fibroblast, dan sel
mast. Sitokini ini mungkin merupakan inductor paling
potensial dari respon fase akut, meskipun peran tepatnya dalam
respon inflamasi masih belum jelas. Di lain sisi, sitokin ini
dipertimbangkan menjadi indikasi prognosis yang reliable,
terutama pada sepsis, karena mencerminkan keparahan trauma.
IL-8 termasuk ke dalam grup mediator yang disebut dengan
kemokin karena kemampuannya dalam merekrut sek inflamasi
ke lokasi trauma. IL-8 disintesis oleh monosit, makrifag,
neutrophil, dan sel endothelial. IL-8 digunakan sebagai indeks
besaran inflamasi sistemik, dan mampu memberikan prediksi
perkembangan menjadi MODS. IL-4 dan IL-10 adalah sitokin
anti-inflamasi, yang disintesis oleh limfosit dan monosit dan
mempunyai efek yang serupa. Sitokin ini menghambat sintesis
TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8. Nitric oxide (NO) dikeluarkan
oleh beberapa tipe sel, termasuk sel endothelial, neuron,
makrofag, sel otot halus, dan fibroblast. NO memediasi
vasodilatasi dan mengatur vascular tone. NO mungkin
merupakan mediator kunci dalam patofisiologi stress dan syok.

c) Respon Imunologi
Sebagai bagian integral dari respon tubuh terhadap infeksi
dan trauma, mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6)
mengeluarkan substrat dari jaringan host untuk membantu
aktivitas limfosit T dan B, dengan cara menciptakan
lingkungan “bermusuhan” terhadap pathogen yang datang.
Mediator inflamasi ini meningkatkan suhu tubuh dan
memproduksi substrat oksidan yang akan menginisiasi
downregulation. Meskipun demikian, mekanisme ini dapat
menyebabkan terjadinya SIRS, dan pada beberapa pasien SIRS

18
dapat berkembang menjadi MODS. SIRS merupakan suatu
reaksi tubuh yang lebih kompleks dan lebih intensif
dibangdingkan dengan reaksi fase akut. SIRS dapat menuju
pada gangguan homeostasis yang kompleks dan berpotensi
untuk merusak tubuh. Mayoritas pasien yang bertahan dengan
SIRS tanpa perkembangan menjadi MODS dini dan setelah
periode stabilitas klinik relative, menunjukkan sindroma
compensatory inflammatory response (CARS) dengan disertai
dengan penekanan imunitas dan pengurangan resistensi
terhadap infeksi. Interaksi anta asistem imunitas bawaan dan
adaptif diduga menjadi inductor penting bagi SIRS dan CARS.
Sel T dari sistem imun adaptif memainkan peran dalam respon
dini SIRS terhadap trauma dan pada CARS. Mediator CARS
lain yang mungkin adalah prostaglandin tipe E. dan juga,
produk aktivasi komplemen yang menginduksi produksi TNF-
α.
Sementara itu, kadar glukosa darah > 110 sampai 200
mg/dL menunjukkan paningkatan terhadap risiko infeksi pada
pasien post operasi. Peningkatan risiko infeksi ini juga
disebabkan karena respon stress operasi, dimana kondisi respon
stress operasi, dimana kondisi respon stress dapat mendorong
terjadinya cedera pada sel disekitar luka trauma. Hiperglikemia
mempunyai efek yang berbahaya bagi sel dan sistem organ
karena dapat mempengaruhi sistem imun dan bertindak sebagai
mediator inflamasi.
Menurut Fitri (2014) pada penelitian terhadap pasien post
kraniotomi ditemukan bahwa pasien dengan kadar glukosa
darah yang berada dalam rentang 141-180 mg/dL lebih banyak
mengalami SIRS pada 24 jam dan 72 jam post operasi
kraniotomi jika dibandingkan dengan kelompok rentang kadar
glukosa darah lain. Hiperglikemia menyebabkan sekresi sitokin
proinflamasi sehingga mencetuskan terjadinya inflamasi secara
sistemik.

19
b. Sumber-sumber Stres
Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya
individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup
berlangsung. Menurut Sarafino (2008) sumber datangnya stres ada
tiga yaitu:
a) Diri Individu
Stres individu dapat muncul salah satunya melalui kesakitan.
Stres juga dapat muncul melalui penilaian dari kekuatan
motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik.
Konflik merupakan sumber stres yang utama. Menurut Miller
dalam Sarafino (2008), pendorong dan penarik dari konflik
menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu
approach dan avoidance.
b) Keluarga
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan
kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada
interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga
yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino
(2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan
munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan
adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian, juga
perselisihan dalam masalah keluarga, dalam masalah keuangan,
perasaan saling acuh dan tak acuh, tujuan yang saling berbeda.
c) Komunitas dan masyarakat
Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak
sumber stres. Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan
persaingan. Adanya pengalaman-pengalaman seputar dengan
pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat menyebabkan
seseorang menjadi stres (Sarafino, 2008).
c. Dampak Stres
Menurut Safarino (2008) stress dapat berpengaruh pada kesehatan
dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres
secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat
mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres
mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya
penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada.
d. Gejala Stres

20
Gejala stres dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a) Gejala fisik
Gejala fisik meliputi: pernafasan cepat dan pendek, jantung
berdebar debar cepat dan tidak teratur, berkeringat dan muka
memerah, otot – otot tegang, nafsu makan berubah, sulit tidur,
sakit kepala, dada sesak dan nyeri pada uluh hati.
b) Gejala mental
Gejala mental meliputi: menarik diri, rasa tertekan,
kebingungan, kehilangan, depresi, dan kecemasan, overaktif,
dan agresif, kekecewaan (Depkes, 2009).
e. Stres pada pasien ICU
Pasien dan anggota keluarga menjalani pengalaman
berbeda dalam menderita gangguan emosional selama tinggal dan
setelah keluar ICU. Kecemasan, depresi dan gangguan stres pasca
trauma lebih tinggi pada anggota keluarga daripada pasien, dan
bisa bertahan sampai tiga bulan, sementara pada pasien gejala
menurun. Selamat dari ICU mungkin mengalami tekanan
psikologis untuk waktu yang lama, biasanya pasien dan anggota
keluarga menderita gejala kecemasan, depresi dan stres paska
trauma (Fumis, Ranzani, Martins, & Schettino, 2015).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1778/MEN KES/SK/XII/2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. Ruang ICU
merupakan suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan
staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus ditujukan untuk
observasi, perawatan dan terapi pasien yang menderita penyakit
akut, cedera, beberapa penyulit yang mengancam jiwa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang
diharapkan masih reversible.

Tekanan psikologis akibat tingkat stress yang sangat tinggi


pada pasien yang dirawat di ICU dapat disebabkan karena pasien
secara simultan terkena ancaman bagi kehidupan, prosedur medis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasikan dan hilangnya kontrol

21
personal dapat memicu terjadinya ICU Delirium (Mc.Guire et.al.,
2000). Stres menghasilkan respon fisiologis dan biokimia yang
unik pada setiap orang tergantung intensitas dan durasi stres.
Respon psikofisiologi akibat stress dapat mengaktivasi
hipotalamus, hipofisis, adrenal dan sistem saraf simpatik yang
ditandai oleh peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan
output jantung. Respon stres dapat meningkatkan beban kerja pada
sistem kardiovaskuler yang kemungkinan dapat mengancam
kehidupan (Bally, 2010).

Relaksasi merupakan teknik yang berhubungan dengan


tingkah laku/tindakan manusia diantaranya dengan metode kognitif
behavioral terdiri dari guided imagery, musik dan pernafasan.
Guided imagery adalah proses yang menggunakan kekuatan
pikiran dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri,
memelihara kesehatan/relaksasi melalui komunikasi dalam tubuh
melibatkan semua indera (visual, sentuhan, pedoman, penglihatan
dan pendengaran). Guided Imagery merupakan tekhnik relaksasi
yang sederhana, biaya murah dan efektif untuk menurunkan stres
serta kondisi lain misalnya kecemasan, insomnia, nyeri (Moffat,
2010).

2.3. Kebutuhan Spiritual Pasien ICU


2.3.1. Kesehatan Spiritual
Kesehatan (wellness) adalah suatu keseimbangan dimensi
kebutuhan manusia yang berbeda secara terus menerus-spiritual,
sosial, emosional, intelektual, fisik, okupasional, dan lingkungan.
Kesehatan atau kesejahteraan spiritual adalah rasa keharonisan, saling
kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan
yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang
menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan
mereka dengan hubungan mereka didalam diri mereka sendiri dan
dengan orang lain. Ketidakseimbangan spiritual (spirituality
disequilibrium) adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi ketidak

22
kepercayaan yang dipegang teguj tergoncang hebat. Kekacauan ini
seringkali muncul ketika kepercayaan yang dipegang teguh tergoncang
hebat. Kekacauan inis eringkali muncul ketika penyakit yang
mengancam hidup berhasil didiagnosis (Taylor 1991 dalam Yusuf
2016).
Kesehatan spiritual adalah kondisi yang dalam pandangan
sufustik disebut sebagai terbebasnya jiwa dari berbagai penyakit
ruhaniah, seperti syirik (polutheist), kufur (atheist) , nifaq atau
munafik (hypocrite), dan fusuq (melanggar hukum). Kondisi spiritual
yang sehat terlihat dari hadirnya iklas, tauhid (meng-Esa-kan Allah),
tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Allah). Spiritualotas adalah
pandangan pribadi dan perilaku yang mengekspresikan rasa
keterkaitan ke dimensi transcendental atau untuk sesuatu yang lebih
besar dari diri (Asy’arie, 2013 dalam Yusuf 2016). Dubos memandang
sehat sebagai suatu proses kreatif dan menjelaskannya sebagai kualitas
hidup, termasuk kesehatan sosial, emosional, mental, spiritual, dan
biologis dari individu, yang disebabkan oleh adaptasi terhadap
lingkungan. Kontinum sehat dan kesehatan mencakup enam dimensi
sehat yang mempengaruhi gerakan di sepanjang kontinum. Dimensi ini
diuraikan sebagai berikut :
a. Sehat fisik ukuran tubuh, ketajaman sensorik, kerentanan
terhadap penyakit, fungsi tibuh, kebugaran fisik, dan kemampuan
sembuh
b. Sehat intelektual kemampuan untuk berfiri dengan jernih dan
menganalisis secara kritis untuk memenuhi tantangan hidup.
c. Sehat sosial kemampuan untuk memiliki hubungan
interpersonal dan interaksi dengan orang lain yang memuaskan.
d. Sehat emosional ekspresi yang sesuai dengan control emosi;
harga diri, rasa percaya, dan cinta
e. Sehat lingkungan penghargaan terhadap lingkungan eksternal
dan peran yang dimainkan seseorang dalam mempertahankan,
melindungi, dan memperbaiki kondisi lingkungan.
f. Sehat spiritual keyakinan terhadap Tuhan atau cara hidup yang
ditentukan oleh agama; rasa terbimbing akan makna atau nilai
kehidupan.

23
Banyak orang menyakini kesehatan optimum paling baik
dicapai dengan pendekatan holistic saat terdapat keseimbangan
anatara dimensi-dimensi.

Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial


dan spiritual dimana setiap dimensi harus dipenuhi
kebutuhannya. Seringkali permasalahan yang muncul pada
klien ketika mengalami suatu kondisi denan penyakit tertentu
(misalnya penyakit fisik) mengakibatkan terjadinya masalah
psikososial dan spiritual. Ketika klien mengalami penyakit,
kehilangan dan stres, kekuatan spiritual dapat membantu
individu tersebut menuju penyembuhan dan terpenuhinya
tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual.

2.3.2. Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien ICU


Kebutuhan spiritual merupakan salah satu kebutuhan dasar
yang dibutuhkan oleh setiap manusia, salah satunya adalah pasien
dalam kondisi kritis maupun terminal yang dirawat di ruang intensif
(Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, & Blais, 1995) dalam (Sonia,
2010). Pasien kritis akan dirawat di ruang ICU seingga mendapatkan
pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinir,
berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus menerus.
Pasien kritis tidak hanya memerlukan perawatan fisik tetapi
membutuhkan perawatan secara holistic. Kondisi pasien yang dirawat
di ICU yaitu : yang pertama, pasien saki berat, pasien tida stabil yang
memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat
vasoaktif melalui infus secara terus menerus, seperti pasien dengan
gagal napas berat, pasien pasca bedah jantung terbuka, dan syok
septik. Kedua pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif
sehingga komplikas berat dapat dihindari atau dikurangi seperti pasien
pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, dan
ginjal. Dan yang pasien yang memerlukan terapi intensif untuk
mengatasi komplikasi-komplikasi dari penyakitnya seperti pasien
dengan tumor ganas dengan komplikasi infeksi dan penyakit jantung

24
Hanafie, 2007 dalam Sonia, 2010). Hal tersebut menjelaskan kondisi
pasien ICU yang megalami perawatan fisik akan mempengaruhi
kondisi psikis, sosial dan spiritual. Hupcey dalam Sonia (2010)
mengatakan dalam penelitiannya mengatakan 45 pasien ICU yang
dirawat selama tuga hari di ICU mengalami distress spiritual. Distress
spiritualitas merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami
gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya
kekuatan, harapan dan arti hidup, yang ditandai dengan pasien
meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan
dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan dalam sistem
kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan
hidup, mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian, menolak
kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri,
cemas dan marah, kemudian didukun dengan tanda-tanda fisik seperti
nafsu makan tergnggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat.
Menurut Young and Koopsen (2015) pasien yang dirawat di
ICU bukan hanya mengalami masalah fisik, psikis dan sosial, tetapi
mengalami masalah pada spiritualitas sehingga pasien kehilangan
hubungan dengan Tuhan dan hidup tidak berarti. Perasaan-perasaan
tersebut menyebabkan seseorang menjadi stres dan depresi berat
menurunkan kekebalan tubuh dan akan memperberat kondisinya.
1.4. Komunikasi Pada Pasien, Keluarga Pasien dan Kolega di ICU
1.4.1. Pengertian Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris
berasl dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico,
communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to
make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling
sering sebagai asal usul komunikasi, yang merupakan akar dari kata-
kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu
pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Jadi,
komunikasi dapat terjadi apabila adanya pemahaman yang sama antara
penyampai pesan dan penerima pesan.(Mulyana, 2010).
Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
professional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien,

25
(Siti Fatmawati 2010). Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan
untuk kesembuhan pasien, Indrawati, dalam Siti Fatmawati, (2010).
Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari
penyembuhan (Anas, 2014). Maka di sini diartikan bahwa terapeutik
adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan.
Sehingga komunikasi terapeutik itu sendiri adalah komunikasi yang
direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan/
pemulihan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
profesional bagi perawat.
1.4.2. Komunikasi Dengan Pasien ICU

Perawat diruang ICU cenderung cepat dan cermat dalam


memberikan pelayanan serta kegiatannya dilakukan secara terus
menerus dalam waktu 24 jam. Unit ini berbeda dengan unit lainnya,
karena selain pasien dirawat oleh perawat terlatih atau tim medis
khusus, unit ini juga membatasi kunjungan keluarga terhadap keluarga.
Hal ini menyebabkan keluarga merasa cemas dengan kondisi pasien
yang dirawat di ICU diantaranya keluarga takut akan terjadi kecacatan
pada pasien, takut kehilangan, masalah sosial ekonomi dan kurangnya
pemberian sebuah informasi atau pendidikan kesehatan dari tenaga
kesehatan. Menurut Canggara dalam Nafdianto (2016) komunikasi
perawa yang kurang baik akan berdampak buruk bagi pasien maupun
keluarga pasien diantaranya bisa menimbulkan kesalah-pahaman
antara perawat dengan pasien maupun keluarga pasien. Perawat harus
bisa menggunakan bahasa yang mudah di menegrti oleh pasien dan
keluarga pasien, dimana dalam menerangkan tindakan komunikasi
adalah menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa yang
disampaikan, melaui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya.
Ada beberapa cara komunikasi yang dapat dilakukan oleh perawat
kepada pasien yang dirawat di ICU, yaitu :
1. Menjelaskan secara spesifik tindakan apa yang akan dilakukan oleh
perawat kepada pasien.

26
2. Menfokuskan informasi yang akan diberikan kepada pasien dengan
menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
3. Memberikan informasi mengenai kemajuan dari status
kesehatannya secara terbuka sehingga dapat menumbuhkan
kepercayaan pasien dan pendorongnya untuk menjadi lebih baik.
4. Mempertahankan ketenagan dalam berkomunikasi dengan pasien
dengan menunjukkan dengan kesabaran dalam merawat pasien.
Ketenangan perawat dapan ditunjukkan dengan komunikasi non
verbal berupa sentuhan yang hangat.

1.4.3. Komunikasi Dengan Keluarga Pasien ICU

Natalie (2010) pada penelitiannya yang dilakukan pada


keluarga dengan kasus End Of Life di ICU menunjukkan bahwa
keluarga membutuhkan komunikasi yang lebih baik, komunikasi
tersebut untuk meminimalkan kecemasan dan depresi yang di alami
keluarga. Komunikasi antara perawat dengan anggota keluarga pasien
sangat dibutuhkan karena dalam pemenuhan kebutuhan pasien dan
pengambilan keputusan bersama perlu melibatkan keluarga oleh
karena itu komunikasi antara perawat dan keluarga sangat penting.
Adapun bentuk komunikasi yang dapat dilakukan dengan
anggota keluarga pasien yaitu dengan komunikasi yang terapeutik.
Bentuk komunikasi terapeutik perawat dan keluarga pasien yaitu :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
a. Hadapi klien ketika mereka bicara
b. Pertahankan kontak mata yang alamiah untuk menunjukan
keinginan untuk mendengar
c. Mengambil postur yang menunjukkan menyimak. Hindari
menyilangkan kaki dan tangan karena ini menunjukan postur
yang defensif.
d. Hindari gerakan tubuh yang mengganggu seperti meremas
tangan, mengetukkan kaki atau bermain-main dengan sebuah
benda di tangan.

27
e. Mengangguk untuk mengakui ketika klien berbicara tentang
hal penting atau mencari persetujuan.
f. Condong kepembicaraan untuk menunjukan keterlibatan.
2. Tunjukan penerimaan terhadap informasi dan menunjukan
ketertarikan dan tidak menilai.
3. Tanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan terbuka
untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai kondisi
nyata dari keluarga pasien.
4. Ulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
(Parafrase)
5. Klarifikasi dilakukan apabila pesan yang disampaikan oleh klien
belum jelas
6. Fokuskan pembicaraan agar lebih mudah dimengerti
7. Sampaikan hasil observasi mengenai topik pembicaraan
8. Tawarkan informasi kepada pasien seperti penkes
9. Diam
10. Beri kesempatan untuk memulai pembicaraan kepada keluarga
pasien.
11. Anjurkan keluarga pasien untuk meneruskan pembicaraan
Anjurkan keluarga pasien untuk mengemukakan dan menerima ide dan
perasaanya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
1.4.4. Komunikasi dengan Kolega di ICU
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada klien komunikasi
antar tenaga kesehatan terutama sesawa perawat sangatlah penting.
Kesinambungan informasi tentang klien dan rencana tindakna yang
telah, sedang dan akan dilakukan perawat dapat tersampaikan apabila
hubungan atau komunikasi antar perawat berjalan dengan baik.
Hubungan perawat dengan perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi hubungan professional,
hubungan structural dan hubungan intrapersonal.
Hubungan professional antara perawat dengan perawat merupakan
hubungan yang terjadi karena adanya hubungan kerja dan tanggung
jawab yang sama dalam memberikan pelayanan keperawatan.

28
Hubungan sktruktural merupakan hubungan yang terjadi berdasarkan
jabatan atau struktur masing-masing perawat dalam menjalankan tugas
berdasarkan wewenang dan tanggung jawabnya dalam memberikan
pelayanan keperawatan.
Laporan perawat pelaksana tentang kondisi klien kepada perawat
primer, laporan perawat primer atau ketua tim kepada kepala ruang
tentang perkembangan kondisi klien, dan supervisi yang dilakukan
kepala ruang kepada perawat pelaksana merupakan contoh hubungan
structural. Hubungan interpersonal perawat dengan perawat
merupakan hubungan yang lazim dan terjadi secara alamiah.
Umumnya, isi komunikasi dalam hubungan ini adalah hal-hal yang
tidak terkait dengan pekerjaan dan tidak membawa pengaruh dalam
pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

29
BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Trigger Case


3.1.1 Kasus
Sdr. A datang ke UGD RS Universitas Airlangga bersama
keluarganya dengan post KLL (Kecelakaan Lalu Lintas). Dari
hasil pemeriksaan di UGD didapatkan kaki kanan tidak bisa
digerakkan. Pengkajian tingkat nyeri P : Kecelakaan lalu lintas
dengan fraktur cruris, Q : seperti ditusuk-tusuk, R : kaki kanan,
S: 8. Kesadaran Sdr. A composmentis dengan GCS E3 V2 M4.
Hari ini adalah hari ke 5 klien berada di ICU dengan terpasang
ventilator dengan TD: 110/80 mmHg, RR: 25x/ menit, HR:
110x/ menit, Suhu: 37 C. Dan hari ini klien akan dipindahkan ke
ruang perawatan (rawat inap) dan ventilator yang terpasang
padanya akan dilepas juga (yang biasa disebut dengan proses
weaning). Namun klien merasa cemas karena klien takut cacat
dan tidak bisa berjalan.

3.2 Identitas
Tanggal masuk ICU : 8 Agustus 2017
Jam : 03.45 WIB
No. RM : 9003678
Pasien
Nama : Sdr. A
Umur : 25 tahun
Agama : Islam

30
Pendidikan : SMTA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status Pernikahan : Belum Kawin
Alamat : Kalijudan

Penanggung Jawab
Nama : Sdr. T
Umur : 26 tahun
Hubungan : Teman
Alamat : Kalijudan
3.3 Pengkajian
Pengkajian Primer
1. Airway : Tidak ada sumbatan jalan nafas
2. Breathing :
I : Tidak terlihat retraksi dada RR : 25x/mnt
P : Gerakan dada dan kiri sama semitris
P : Tidak terkaji
A : Tidak terdengar suara tambahan
3. Sirkulasi :
TD : 110/80 mmHg,
N : 110x/mnt, teraba kuat dan tidak teratur ekteremitas
teraba dingin
4. Disablity : Kondisi klien dalam keadaan sadar
(composmentis), komunikasi terbatas karena klien lebih terfokus
pada nyeri yang dirasakan, GCS E3 V2 M4.

Pengkajian Sekunder
1. Keluhan Utama
Klien merasa cemas.
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Klien mengatakan sebelumnya tidak mempunyai riwayat penyakit
yang berat seperti diabetes mellitus, stroke, jantung dan lain
sebagianya.
3. Riwayat Kesehatan Lalu
Klien tidak mempunyai riwayat penyakit yang berat sebelumnya.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga


Klien mengatakan dalam keluarga tidak mempunyai riwayat
penyakit yang berat.

5. Riwayat Penyakit Sekarang


Klien datang ke UGD RS Universitas Airlangga post kecelakaan
lalu lintas dengan fraktur cruris, klien datang dengan kondisi

31
sesak RR 28 x/menit, TD: 110/80 mmHg, HR: 110x/menit, Suhu:
37 C. Pengkajian tingkat nyeri P : Kecelakaan lalu lintas dengan
fraktur cruris, Q : seperti ditusuk-tusuk, R : kaki kanan, S: 8.
3.4 Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing)
Bentuk hidung simetris, tidak ada cairan yag keluar, terdapat sisa
darah yang kering, tidak ada luka lecet pada hidung ataupun pada
leher, posisi trakea berada ditengah. Bentuk dada simetris, tidak
ada luka lecet, tidak ada retraksi dinding dada, RR:28x/menit irama
teratur.
2. B2 (Blood)
Pasien tampak pucat, mukosa bibir kering, terdapat fraktur cruris
dan perdarahan aktif. Pada jantung terdapat denyutan normal, tidak
ada pembengkakan, detak jantung keras, Capilarry Refill Time
(CRT) < 2 detik, akral teraba hangat. Terpasang ventilator. TD:
110/80 mmHg, HR: 110x/ menit. Bunyi yang dihasilkan saat
perkusi adalah bunyi redup dan saat auskultasi ditemukan bunyi
jantung S1 dan S2 tunggal.
3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran secara composmentis, dengan GCS: E:3, V:2,
M:4 total 9.
4. B4 (Bladder)
Perut tampak simetris, tidak ada jejas, tidak ada luka lecet, tidak
ada distensi kandung kemih, tidak terpasang kateter dan klien
mengatakan BAK 1 kali berwarna kuning, tidak ada nyeri saat
BAK dan tidak ada nyeri tekan .
5. B5 (Bowel)
Tidak ada luka lecet, bising usus 8x/menit, klien mengatakan sejak
masuk rumah sakit belum BAB.
6. B6 (Bone)
Pada ekstremitas atas tidak mengalami fraktur dan pendarahan
aktif. Sedangkan pada ekstremitas bawah terdapat fraktur cruris
bagian kanan. Kekuatan otot ekstremitas atas dapat digerakkan
sedangkan ekstremitas bawah tidak dapat digerakkan.

3.5 Data Penunjang


3.5.1 Terapi yang diberikan
a. Terpasang infus RL 30 tpm di ekstremitas atas bagian kiri

32
b. O2 3 lpm
c. Ceftriaxone 2x1 gr (1000 mg)/ intravena
d. Ketorolac 3x30/ IV
e. Piracetam 3x3gr/ IV
f. Kalnex 3x500gr/ IV
g. Ranitidin 2x1 Amp/ IV

3.5.2 Radiologi
Dilakukan foto polos AP/ Lateralis dan foto Thorax AP.

ANALISIS DATA

No Data Masalah Penyebab

1 DS : klien mengatakan cemas dan takut


ketika tahu bahwa ventilatornya akan dilepas

DO :

 klien tampak cemas


 wajahnya meringis Ansietas Stres
 mukosa bibir kering
 banyak bertanya
 melihat sepintas
 klien tampa gelisah
 wajah tegang
 TTV : TD : 110/80 mmHg ; HR :
110x/menit; RR: 25 x/menit

33
No Data Masalah Penyebab

2 DS : klien mengatakan malu ketika nanti


harus menghadapi kenyataan bahwa kakinya
kan cacat, klien takut jika ditolak oleh teman-
temannya, klien mengatakan selama di rumah
sakit klien tidak pernah sholat.

DO : Distress
Sakit
spiritual
 klien tampak cemas
 wajahnya meringis
 mukosa bibir kering
 melihat sepintas
 klien tampak gelisah
 wajah tegang
TTV : TD : 110/80 mmHg ; HR : 110x/menit;
RR: 25 x/menit

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Risiko distress spiritual.

2. Ansietas.

RENCANA KEPERAWATAN

Rencana

Tujuan dan KH Intervensi


Diagnosa

Distress Setelah dilakukan tindakan Spiritual support:


spiritual. keperawatan 2x7 jam klien
1.Gunakan komunikasi terapeutik untuk
dapat mengontrol rasa
membangun kepercayaan dan
kecemasannya dengan
kepedulian empatik
kriteria hasil: 2.Perlakukan individu dengan
bermartabat dan hormat
 Mampu mengontrol 3.Dorong partisipasi dalam interaksi

34
kecemasan dengan anggota keluarga, teman, dll
 Mampu Mengontrol 4.Selalu siap untuk mendengarkan
tingkat depresi dan Ievel perasaan individu
5.Bantu individu untuk mengekspresikan
stress
 Mampu memproses dengan benar dan mengurangi
informasi kemarahan dengan cara yang tepat.
 Mampu beradaptasi
terhadap ketidakmampuan
fisik / cacat fisik.

Ansietas Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction


 Mendengarkan penyebab
keperawatan 2x7 jam klien
kecemasan klien dengan
dapat mengontrol rasa penuh perhatian
kecemasannya dengan
 Observasi tanda verbal dan
kriteria hasil:
non verbal dari kecemasan
klien
 Kecemasan pada klien
berkurang dari skala 3 Calming Technique
menjadi skala 4
 Menganjurkan keluarga
untuk tetap mendampingi
klien

 Mengurangi atau
menghilangkan rangsangan
yang menyebabkan
kecemasan pada klien

Coping enhancement

 Meningkatkan pengetahuan
klien mengenai glaucoma.

 Menginstruksikan klien
untuk menggunakan tekhnik
relaksasi

35
36
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.
Contoh gangguan psikososial yaitu pertama kecemasan adalah rasa khawatir,
takut yang tidak jelas sebabnya dan kedua Stress merupakan dalam ilmu
fisiologi dan neuroendokrinologi untuk merujuk faktor-faktor yang
menyebabkan ketidak-seimbangan pada organisme sehingga mengancam
homeostasis tubuh. Pada pasien dalam kondisi kritis, dimana fungsi organ-
organ tubuh dapat dengan mudah mengalami perubahan akibat stressor maka
sulit untuk melakukan mekanisme pertahanan, sehingga individu dapat dengan
mudah mengalami ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis
tubuh. Sehingga di ruang ICU mungkin mengalami tekanan psikologis untuk
waktu yang lama, biasanya pasien dan anggota keluarga menderita gejala
kecemasan, depresi dan stres paska trauma.
Tindakan untuk mengurangi gangguan psikososial yaitu relaksasi
merupakan teknik yang berhubungan dengan tingkah laku/tindakan manusia
diantaranya dengan metode kognitif behavioral terdiri dari guided imagery,
musik dan pernafasan.
Ketidakseimbangan spiritual adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi
ketidak kepercayaan yang dipegang teguj tergoncang hebat. Distress
spiritualitas merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami gangguan
dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan
dan arti hidup.
Dalam hal mengatasi masalah psikososial dan spiritual yang dialami oleh
pasien dan keluarga, kita sebagai seorang perawat yang paling banyak waktu
dengan pasien dan keluarga harus memiliki kemampuan komunikasi yang
baik yaitu dalam bentuk komunikasi terapeutik kepada pasien maupun
keluarga sehingga dengan kita sering melakukan komunikasi dan
memperhatikan kebutuhan pasien dan keluarga dapat menurunkan tingkat
kecemasan yang dirasakan oleh pasien dan keluarga pasien.

4.2 Saran

37
Setelah kita mengatahui bagaimana kebutuhan psikososial dan spiritual
dari pasien kritis yang dirawat di ICU diharapkan perawat dalam memberikan
Asuhan keperawatan kritis harus berasarkan sumber teori yang jelas dan
memperhatikan aspek tersebut jangan hanya berfokus pada kebutuhan fisik
saja, dan tak lupa harus juga memperhatikan kebutuhan keluarga pasien
karena keluarga pasien juga merupakan bagian dari suatu proses keperawatan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Ah.Yusuf, Rizky Fitryasari,Hanik Endang. (2015). Buku Ajar keperawatan


kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba Medika.

Bally, (2010). Efektifitas Terapi Kognitif terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan


pada Penderita Asma di Surakarta. Tesis dipublikasikan. Fakultas
Psikologi-UGM. Jogjakarta.

Derek, M. I., Rottie, J., & Kallo, V. (2017). Hubungan Tingkat Stres Dengan
Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II Di Rumah Sakit
Pancaran Kasih Gmim Manado. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 5(1).
Retrieved from https://www.neliti.com/id/publications/105312/hubungan-
tingkat-stres-dengan-kadar-gula-darah-pada-pasien-diabetes-melitus-tipe

Fitri, Eka Yuliani (2014). Respon Stres Pada Pasien Kritis. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=472054&val=9725&title=Respon%20Stres%20Pada%20Pasien
%20Kritis pada 12 Februari 2018.

Grune, T., & Berger, M. M. (2007). Markers of oxidative stress in ICU clinical
settings: present and future. Current Opinion in Clinical Nutrition and
Metabolic Care, 10(6), 712–717.
https://doi.org/10.1097/MCO.0b013e3282f0c97c

Gunarsa, Singgih D. 2008. Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan Anak dan


Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Lubis, Namora Lumongga. (2009). Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Mulyana Deddy, M.A, Ph.D. (2010). Suatu Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:
Rosda.

Nanda Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta.

Nursalam, Ninuk, 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi
HIV. Salemba Medika : Jakarta.

39
Sarafino, E. P. 2008. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions Sixth
Edition. USA: The College of New Jersey.

Siti Fatmawati, 2010 , komunikasi Keperawatan Plus materi Komunikasi


Terapeutik,Yogjakarta: Medical Book.

Videbeck, Sheila L,. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Young, C, Koopsen, C. (2015). Spiritual, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan:


Bina Perintis.

40

Anda mungkin juga menyukai