Anda di halaman 1dari 3

KESALAHAN dalam penanganan penumpang internasional Lion Air dan Indonesia AirAsia beberapa

waktu lalu menarik perhatian luas publik. Muncul banyak pertanyaan mengapa kesalahan itu bisa terjadi,
apalagi terulang dalam waktu sepekan.

Sebagai hukuman atas kesalahan itu, Kementerian Perhubungan menjatuhkan sanksi kepada Lion Air dan
AirAsia dengan membekukan izin ground handling kedua maskapai.

Lion Air dinilai melakukan kesalahan prosedur dalam penanganan kedatangan penumpang dari
Singapura di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang pada 10 Mei 2015. Penumpang Lion Air JT 161
seharusnya diantar menuju terminal kedatangan internasional. Namun, sopir bus ground handling Lion
Air membawa mereka ke terminal domestik.

Akibatnya, beberapa penumpang lolos pemeriksaan imigrasi. Sanksi serupa juga dijatuhkan kepada
AirAsia akibat kesalahan yang sama.

Pada 17 Mei 2016, layanan ground handling pesawat AirAsia QZ 509 dari Singapura di Bandara Ngurah
Rai Denpasar salah mengantarkan penumpang ke terminal domestik

Apakah sanksi itu tindakan yang benar dan tepat? Hal pertama yang tentunya harus dilakukan oleh
Kemenhub selaku regulator adalah melakukan investigasi dan analisa secara teliti dengan melibatkan
para pemangku kepentingan.

Investigasi tidak hanya ditujukan kepada operator, tetapi juga perlu melihat peran instansi terkait di
bandara, seperti otoritas bandara, pengelola bandara (Angkasa Pura), imigrasi, dan Bea Cukai.

Investigasi ini bukan sekadar untuk mencari siapa yang salah dan menghukumnya, yang paling penting
adalah menemukan solusi sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi.

Selain maskapai penerbangan, peran instansi lain di bandara sangat menentukan. Kita bisa menyaksikan
kondisi Bandara Soekarno-Hatta yang kelebihan beban akibat tingginya frekuensi penerbangan.

Pada saat jam sibuk, banyak pesawat terpaksa parkir di remote area. Di sini, pesawat dari luar negeri dan
domestik parkir di lokasi yang sama.
Penumpang pun harus menggunakan bus atau berjalan kaki menuju terminal atau pesawat karena
penggunaan garbarata sudah penuh.

Terminal di sebagian besar bandara juga masih menggunakan apron yang sama untuk penumpang
internasional dan domestik. Idealnya, apron dipisahkan atau steril guna meminimalkan terjadinya salah
terminal.

Dalam menjalankan regulasi, operator bersifat pasif sebab regulator yang membuat aturan dan
bertanggung jawab mengawasinya.

Jika terjadi kesalahan, pada akhirnya akan bermuara kepada regulator itu sendiri. Kemenhub perlu
mengintrospeksi diri apakah sudah menjalankan pengawasan dengan baik.

Kejadian tersebut justru menunjukkan bahwa pengawasan Kemenhub melalui otoritas bandara sangat
lemah. Sebagai contoh, regulator tidak bisa memantau pergerakan kendaraan di area bandara secara
real time.

Semua urusan ground handling pun diserahkan kepada operator tanpa disertai pengawasan yang
memadai.

Peralatan dan staf ground handling untuk penerbangan internasional dan domestik masih campur aduk
sehingga meningkatkan peluang terjadinya kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang.

Regulator seharusnya memiliki sistem pengawasan yang ketat dan sistem peringatan dini guna mencegah
kesalahan prosedur di bandara. Hal ini penting sebab peralatan di bandara masih menggunakan tenaga
manusia yang sangat mungkin berbuat kesalahan, baik sengaja atau tidak disengaja.

Selain itu, sistem rekruitmen, pelatihan, dan sertifikasi harus segera dibenahi sebab kasus ini
membuktikan regulator belum berhasil mencetak sumber daya manusia berkualitas.

Kejadian salah terminal tidak hanya menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan negara, tetapi juga
bisa menurunkan kepercayaan internasional terhadap penerbangan nasional.
Padahal, Indonesia berpotensi besar menjadi pusat transit penerbangan dunia. Negara ini memiliki posisi
strategis dalam poros transportasi udara dunia karena dilalui jalur penerbangan internasional.

Saat ini saja, kepercayaan internasional terhadap penerbangan nasional masih sangat rendah. Standar
keamanan penerbangan Indonesia masih masuk kategori II alias di bawah standar, baik menurut ICAO
(International Civil Aviation Organization) maupun Federal Aviation Administration (FAA).

Oleh sebab itu, semua pemangku kepentingan, termasuk operator dan regulator, harus bekerja sama
melayani rakyat yang sangat membutuhkan jasa penerbangan yang aman, nyaman dan terjangkau.
(Bambang Haryo Soekartono, Anggota Komisi VI DPR RI)

Anda mungkin juga menyukai