Mini Project DBD
Mini Project DBD
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta siswa/i Sekolah Dasar
dalam pelaksanaan program PSN-DBD, dengan memberikan penyuluhan DBD dan
pelatihan jumantik untuk membantu menurunkan angka kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Talang Padang.
- Membentuk kerjasama dan koordinasi yang baik pihak puskesmas dengan pihak
sekolah.
- Mengetahui tingkat pengetahuan siswa SD sebelum dan sesudah dilakukan
penyuluhan DBD.
- Mengetahui efektivitas dari keterampilan penyuluh terhadap respon dari siswa SD
2
- Mengetahui efektivitas dari penyuluhan terhadap lingkungan sekolah dengan
melihat kebersihan
- Mengetahui kepatuhan siswa SD dalam mengisi lembar jumantik.
Hasil dari pelatihan juru pemantau jentik yang telah dilaksanakan, kami membuat
semacam laporan penelitian, guna mengevaluasi jalannya program tersebut. Penelitian ini
dilakukan di tujuh sekolah dasar negeri wilayah Talang Padang, yaitu SDN 01 Banding
Agung, SDN 01 Talang Padang, SDN 02 Talang Padang, SDN 03 Talang Padang, SDN
04 Talang Padang, SD Alhariyah Sinar Banten, MIM Sinar Banten yang dilaksanakan
pada 23 September 2013 hingga 28 September 2013. Dipilihnya 7 sekolah dasar tersebut
didasarkan pada :
a. Ketujuh SD berada di wilayah yang terdapat peningkatan angka kejadian
DBD di wilayah Talang Padang.
b. Lokasi ketujuh SD tersebut termasuk yang wilayah kerja dengan
Puskesmas Talang Padang.
4
- Desa Suka Negeri - Desa Singosari
- Desa Talang Padang - Desa Banding Agung
- Desa Sinar Semendo - Desa Talang Sepuh
- Desa Sinar Petir - Desa Sukarame
- Desa Negeri Agung - Desa Sukanegeri Jaya
- Desa Sinar Banten - Desa Sukabumi
- Desa Banjarsari - Desa Kejayaan
- Desa Kalibening - Desa Way Halom
- Desa Sinar Betung - Desa Sinar Harapan
Kegiatan survei jentik diadakan 3 kali dalam seminggu yaitu pada hari senin,
rabu, dan jumat. Pada hari senin dilakukan pemeriksaan jumantik di rumah siswa serta 1
rumah tetangga di sebelah kanan rumah siswa. Pada hari rabu dilakukan pemeriksaan
jumantik di rumah siswa serta 1 rumah tetangga di sebelah kiri rumah siswa. Pada hari
jumat dilakukan pemeriksaan jumantik di rumah siswa serta di sekolah. Penelitian ini
menggunakan rancangan quasi experimental, dengan melakukan intervensi (pelatihan)
dipantau hasilnya melalui penurunan angka kejadian DBD.
Tim peneliti menghubungi pihak sekolah dasar dan menemui kepala sekolah serta
staf guru setiap SD yang akan diberikan penyuluhan dan pelatihan. Peneliti meminta izin
untuk melakukan penyuluhan serta pelatihan jumantik kid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PENDAHULUAN
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
5
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
II.2 ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat
reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever,
Japanese enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survey epidemiologi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian
pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.
II.3 EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
6
mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A.aegypti dan A.albopictus). peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).
II.4 PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antiobodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2
dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit dan
makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d). Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
7
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halsstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-
fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-
α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan
terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi
sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tilang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadinya trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi
di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi
trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada
demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway).
Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi
kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
8
II.5 MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom
syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RTPCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis
yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM
maupun IgG.
9
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi
darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder
IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.
II.7 DIAGNOSIS
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah.
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia/artralgia
Ruam kulit
10
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
Leukopenia
dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Sindroma Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.
11
DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE
II.8 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien
dewasa berdasarkan kriteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi
Praktis dalam pelaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
12
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Lekosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila dalam keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat
Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000, jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12
jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.
13
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan
infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam,
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol
tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
14
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
16
BAB III
METODE
17
III.3 Populasi dan Sampel
Polulasi pada penelitian ini di SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN
04, SD Alharijah, MIM. Sedangkan sampel pada penelitian ini adalah adalah semua siswa
kelas 4 dan 5 di SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN 04, SD Alharijah, MIM pada
23 September 2013 hingga 28 September 2013 yaitu sebanyak 617 orang.
18
Setelah data penelitian didapatkan, maka dilakukan entry data dan dilakukan
editing, yaitu memeriksa adanya kesalahan atau ketidaklengkapan data.
BAB IV
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN
Penduduk wilayah kerja Puskesmas Talang Padang terdiri dari 42.699 jiwa yang
tersebar di 19 (sembilan belas) desa.
19
IV.3 Sumber Daya Kesehatan yang Ada\
- apoteker :1 - loket :1
- bagian laboratorium : 2
20
IV.5 Data Kesehatan Masyarakat (Primer)
IV 337 54,6
V 280 45.4
SDN 01 IV – V 3 4
SDN 01 IV – V 3 3
SDN 02 IV – V 4 4
SDN 03 IV 4 5
SDN 04 IV 4 3
SD Alharijah IV 2 5
MIM IV 3 5
Nilai Rata-Rata
SD Kelas Nilai
SDN 01 IV – V 7,65
SDN 01 IV – V 7,55
21
SDN 02 IV – V 7,51
22
BAB V
DISKUSI
23
dijadwalkan. Hal ini sangat disayangkan karena pada wilayah SD tersebut,
angka kejadian DBD cenderung masih meningkat.
Hal ini dipengaruhi banyak faktor antara lain adalah waktu antara
penyuluhan, pengisian lembar jumantik, PSN mingguan, dan pembuatan
laporan terlalu singkat. Pemeriksaan yang dilakukan hanya terbatas di rumah
siswa dan sekolah saja.
24
Dari hasil kerja lapangan untuk pelatihan juru pemantau jentik di ke 7 SD
yang dilakukan oleh 5 orang penyuluh, terdapat 2 orang dari 5 penyuluh tersebut
yang melakukan pelatihan sebanyak 2 sesi di sekolah yang berbeda, didapatkan
hasil pretest dan posttest yang berbeda antara sekolah masing-masing. Dan
diketahui bahwa SD yang memiliki nilai pretest dan posttest yang baik, ternyata
tidak memliki hubungan yang signifikan dengan keterampilan penyuluh dalam
memberikan pelatihan . Hal ini lebih berhubungan dengan nilai rata – rata kelas
dan kondisi lingkungan yang mendukung saat pelatihan berlangsung, seperti
koordinasi yang baik dengan guru, ketertiban siswa saat mendengarkan materi,
media audio visual, serta keaktifan siswa saat bertanya kepada penyuluh.
26
Dalam melaksanakan kegiatan Jumantikid ini, peneliti menemukan beberapa
kendala yang cukup bermakna terhadap hasil kegiatan dalam menurunkan angka
kejadian DBD.
Adapun berikut adalah beberapa kendala dalam hal lembar jumantik yaitu
kurangnya dana puskesmas dan sekolah untuk memperbanyak lembar jumantik
(biaya fotokopi). Beberapa pihak sekolah merasa keberatan dengan pengeluaran
biaya tersebut dikarenakan dana BOS yang keluar tidak tepat waktu . Hal ini
mengakibatkan beberapa sekolah tidak mengumpulkan lembar jumantik sesuai
jadwal. Masalah lain yaitu pengisian lembar jumantik, banyak kami temukan
kesalahan pada pengisian. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat kegiatan
pelatihan, guru UKS yang mana berlaku sebagai pembimbing karena beberapa hal
tidak hadir mendampingi siswa. Beberapa guru UKS juga tidak memahami secara
baik tujuan dan pelaksanaan kegiatan Jumantikid ini. Sehingga saat siswa bingung
dalam cara mengisi lembar, guru pun tidak dapat menjawab secara benar. Kendala
lain adalah tidak tersedianya alat periksa berupa lampu senter di rumah siswa dan
sekolah. Tidak terpenuhinya kriteria juru pemantau jentik yang telah ditetapkan
resmi oleh dinas kesehatan Republik Indonesia.
Kader juru pemantau jentik direkrut dari masyarakat sesuai dengan tujuan
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk.
Adapun kriteria yang dimaksud :
a. Pendidikan : minimal SMU atau sederajat
b. Berasal dari desa/kelurahan yang bersangkutan
c. Belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap
d. Mampu melaksanakan tugas dan bertanggung jawab
e. Mampu menjadi motivator ditempat tinggalnya
f. Mampu bekerja sama dengan petugas PUSTU dan puskesmas dan
masyarakat
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
27
Dari hasil penelitian yang kami laksanakan proses berjalan dengan lancar dan
perlu dilkakukan evaluasi kedepannya untuk kesinambungan program yang sudah terlaksana ini.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan adalah terdapat hubungan antara kinerja jumantikid
terhadap penurunan angka penyakit DBD di beberapa wilayah kerja Puskesmas Talang Padang
yang sebelumnya data angka kesakitan penyakit DBD pada bulan Desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus sedangkan pada bulan Januari 2013 ditemukan sebanyak 2
kasus dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 4 kasus. D an masyarakat sekitar pun telah
menyadari bahwa angka kejadian penyakit DBD ini berhubungan erat dengan kesehatan
lingkungan masyarakat itu sendiri. Tingkat pengetahuan siswa/i sebelum dan sesudah
dilakukannya pelatihan dan penyuluhan tentang penyakit DBD, serta kepatuhan dan keakuratan
dalam mengisi lembar jumantik berbanding lurus dengan tingkat prestasi siswanya. Untuk
efektifitas dari penyuluh terhadap kesehatan lingkungan sekolah dengan survei lapangan secara
langsung untuk melihat kebersihan sekolah berbanding lurus dengan diadakannya pelatihan dan
penyuluhan tentang penyakit DBD. Namun dalam pelatihan dan penyuluhan jumantikid tidak
ditemukan nilai bermakna ataupun hubungan antara efektifitas dan pengetahuan penyuluh
terhadap respon dari siswa/i tersebut, ini dikarenakan oleh banyaknya faktor yang menjadi
peranan dalam responsif siswa/i.
VI.2 Saran
Agar pemantauan jentik yang berkesinambungan dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, perlu dilakukan motivasi kepada ketua RT dan kader
jumantik secara berkesinambungan. Keterlibatan petugas kesehatan sangat
diperlukan untuk memberdayakan masyarakat dalam pemantauan jentik secara
berkala. Lalu untuk tolak ukur data angka kejadian penyakit DBD maka pihak
puskesmas dapat menyediakan fasilitas laboratorium lengkap untuk menunjang
dignosis penyakit DBD. Untuk mencapai Angka Bebas Jentik pada wialayah kerja
puskesmas Talang Padang peneliti menyarankan perekrutan kader Juru Pemantau
Jentik ( JUMANTIK ) resmi yang memenuhui kriteria dari Departemen
Kesehatan 2012. Adapun kegiatan Jumantikid ini merupakan kegiatan sekolah
yang bermanfaat khususnya bagi program UKS, terkait dengan kendala lembar
28
jumantik maka disarankan kepada sekolah untuk menggunakan kertas buku tulis
saja tidak perlu lembar jumantik untuk diperbanyak. Untuk mendapatkan
keakuratan data tentang angka bebas jentik, maka nantinya diperlukan peran serta
kader JUMANTIK beserta petugas puskesmas dalam survei lapangan secara
berkesinambungan pada hari jum’at.
Menyikapi kendala tidak tersedianya alat jumantik maka dibutuhkan dana
khusus untuk pengadaan alat tersebut (senter dan lembar jumantik).
DAFTAR PUSTAKA
30