Anda di halaman 1dari 17

KEKOSONGAN HUKUM EKSEKUSI ATAS HAK

KEBENDAAN KOLEKTIF
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Ketua Pengadilan Agama Magetan

Permasalahan
HIR dan R.Bg menurut sejarahnya semula hanya diperuntukkan mengabdi kepada hukum
materiil dalam KUH Perdata (BW). Dalam kurun waktu sekian lama masih harus tetap kita pakai
untuk menyelesaikan perkara-perkara perdata dalam hukum kekeluargaan, yang telah
berkembang dan bahkan terus berkembang seperti materi hukum yang diatur dalam Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta hukum kewarisan Islam, bahkan juga
untuk hukum ekonomi syari’ah yang “sekarang” menjadi kewenangan Peradilan Agama.1
Kita semua tahu bahwa fungsi hukum formil adalah untuk mengabdi/melayani
kepentingan hukum materiil, akan tetapi sejak lahirnya hingga sekarang HIR dan R.Bg nyaris
tidak pernah mengalami perkembangan dan pembaharuan, bahkan disana sini pasal-pasal HIR
dan R.Bg telah digerogoti (autgehot). Idealnya, setiap terjadi perkembangan hukum materiil,
seharus diikuti pula dengan hukum formil/acaranya.2 Karena hukum acara yang baik, harus
dapat melaksanakan permasalahan yang akan timbul dari hukum materiilnya.3
Ketiadaan pembaruan HIR, RBg, dan RV tersebut, menyebabkan terjadinya
disharmonisasi hukum yang berakibat menyulitkan tugas peradilan. Karena hukum acara yang
ada dirasakan telah tidak memadai lagi dalam mengabdi pada hukum materiil yang selalu dan
terus berkembang.
Suatu hal yang dapat dikategorikan telah terjadi kekosongan hukum dalam HIR dan
R.Bg. adalah tidak adanya aturan tentang eksekusi riil atas obyek harta benda kolektif (gebonden
mede-eigendom). Karena HIR dan R.Bg hanya mengatur execution verkoop, yakni eksekusi riil
terhadap barang untuk dijual lelang guna pembayaran sengketa hutang-piutang dan grose akta
hipotik mapun fiducia yang sekarang identik dengan hak tanggungan. Sedangkan yang diatur
oleh RV hanya mengenai eksekusi riil yang berkenaan dengan executorial verkoop dengan latar

1
Atas Dasar Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 dan perubahannya; Pasal 50
2
R.Subekti, Hukum Acara Perdata,Bina Cipta,Bandung, 1977,hal.21;
3
Mahkamah Agung RI, Himpunan Tanya Jawab Masalah Tehnis Yustisial Dalam Rakernas 1989, Jakarta,hal.23;
belakang sengketa yang bersifat antara pribadi dan dalam obyek hak yang bersifat pribadi, bukan
atas hak kebendaan kolektif seperti misalnya pembagian harta-waris dan pembagian harta-
bersama. Oleh karena itu menggunakan HIR, R.Bg. maupun RV sebagai landasan yuridis
melaksanakan eksekusi terhadap hak-hak kebendaan yang bersifat kolektif dalam kasus
pembagian harta bersama dan harta warisan tidaklah tepat dan tidak relevan lagi.
Hal ini terjadi karena pada perkembangan Hukum Materiil dalam hukum kekeluargaan
nasional kita, tidak diikuti dengan perkembangan hukum formilnya yang memuat aturan-aturan
untuk memudahkan penetapan pelaksanaannya. Karenanya hukum acara kita sangat memerlukan
pembaharuan.
Tulisan ini bermaksud mengangkat sebagian permasalahan yang ditimbulkan kekosongan
hukum tersebut, khususnya masalah eksekusi atas hak-hak kebendaan kolektif, utamanya
eksekusi pembagian warisan dan pembagian harta bersama.
Apa itu Hak Kebendaan Kolektif
Umumnya suatu benda dimiliki oleh satu orang pemegang hak, tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa suatu benda dimiliki oleh lebih dari satu orang yang lazim disebut sebagai
pemilikan bersama-sama.4 Masing-masing pemilik benda dalam pemilikan bersama disebut
“pemilik serta“.5 Hak kepilikan yang melekat pada pemilik serta atas benda disebut hak
kebendaan kolektif dalam hukum perdata disebut “gebonden mede-eigendom.6
Suatu benda yang dapat dikategorikan sebagai milik/hak kolektif adalah harta bersama
(gono-gini) setelah sesaat suami istri terjadi perceraian dan harta warisan (tirkah/boedel) setelah
sesaat terjadinya kematian seseorang pemilik harta.
Hubungan antara orang (subyek hukum) dengan hak kebendaan (zakelijkerecht) atas hak
kebendan kolektif mempunyai karateristik yang sangat berbeda dengan hak kebendaan pribadi.
Pada hak kebendaan kolektif, masing-masing pemilik-serta mempunyai kedudukan yang sama
dan setara untuk memiliki, menguasai dan memanfaatkan benda tersebut. Masing-masing
pemilik-serta mempunyai hak atas keseluruhan benda milik bersama tetapi dengan mengakui hak
milik orang lain atas keseluruhan benda itu juga,7 sedangkan pada harta yang bersifat pribadi

4
J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel,Cetakan ke-1, Citra Aditya Bakti,Bandung,Hal.19;
5
Ibid,hal.3;
6
Ibid, hal.30;
7
Ibid. hal.27;
maka pemiliknya adalah bersifat perseorangan tidak ada orang lain yang berserikat didalamnya,
pemilik mempunyai kebebasan yang utuh dan sempurna untuk memiliki, menguasai dan
memanfaatkan secara penuh dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.8
Karena adanya perbedaan karateristik antara hak kebendaan individu dengan hak
kebendaan kolektif maka Pengadilan dalam mengeksekusi sengketa pembagian harta bersama
maupun harta warisan sering menghadapi permasalahan. Sebab aturan eksekusi yang ada dalam
HIR dan R.Bg semula hanya mengenai hak kebendaan pribadi/individu sebagai akibat hubungan
hukum perikatan antar individu misalnya; jual-beli, sewa-menyewa, ganti rugi, hipotik, bukan
eksekusi terhadap hak kebendaan kolektif. Jika dalam HIR dan R.Bg telah diatur tentang
eksekusi riil misalnya, maka aturan tersebut adalah berkenaan dengan executorial verkoop,
yakni eksekusi riil terhadap barang yang dijual lelang atas pembayaran hutang bukan eksekusi
riil tentang pembagian dan pemisahan harta bersama dan harta warisan. Menerapkan HIR dan
R.Bg sebagai hukum acara untuk mengeksekusi pembagian dan pemisahan harta bersama dan
harta warisan sangat membuka peluang penafsiran yang “disparitas” antara Pengadilan bahkan
antara eksekutor dengan para pihak (Penggugat dan Tergugat), sehingga melaksanakan eksekusi
pembagian harta bersama dan harta warisan dengan mempedomani HIR dan R.Bg dirasakan
adanya disharmonisasi dan ketidak singkronan bahkan kejanggalan antara aturan hukum yang
tersedia dengan kebutuhan praktek (proses orde).
Dalam praktek selama ini, nampaknya ketentuan tentang eksekusi perdata tidak pernah
dipermasalahkan, baik dalam forum ilmiah maupun dalam forum-forum resmi dalam rangka
pembinaan dan pelatihan teknis yustisial bagi aparat peradilan. Dengan demikian terkesan bahwa
seakan-akan ketentuan eksekusi yang telah ada dalam hukum acara baik HIR dan R.Bg selama
ini masih memenuhi standar efektifitas dalam rangka menjalankan putusan pengadilan. Tetapi
benarkah demikian.
Beberapa literatur yang telah ditulis oleh para pakar hukum mengenai masalah eksekusi
selama ini masih sangat terbatas menginterpretasi ketentuan-ketentuan yang ada serta terbatas
pada kajian teoritis yuridis dan analitis. Tetapi itu semua tidak menjawab maksud dan tujuan
seseorang mengajukan perkaranya kepada pengadilan dan timbale balik yang diberikan
pengadilan yang bernilai kepastian hukum, kebenaran dan keadilan yang sifatnya dass
sollen kepada pencari keadilan.

8
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1974, hal.79
Ketentuan eksekusi perdata yang diatur dalam HIR dan R.Bg pada dasarnya hanya
menyangkut putusan yang berkaitan kewajiban Individu dan atas obyek hak kebendaan yang
bersifat invidu pula, sehingga pelaksanaan eksekusi baik eksekusi“ membayar sejumlah uang “
maupun eksekusi “ riil “, misalnya berupa tindakan eksekusi pengosongan maupun pelelangan
terhadap obyek sengketa dengan mengacu kepada HIR dan R.Bg dapat diduga tidak mengalami
hambatan dan kesulitan yuridis, karena sifat obyek sengketa yang diperintahkan untuk
dikosongkan maupun dilelang tersebut adalah merupakan hak milik pribadi untuk memenuhi
kewajiban hukum pribadinya terhadap orang lain atas dasar putusan pengadilan. Tidak juga
mengalami kesulitan kalau sampai harus ditempuh eksekusi pelelangan di depan umum dalam
eksekusi “ membayar sejumlah uang “ yang timbul karena sengketa hutang piutang, ganti rugi,
maupun pengakuan hutang dengan pemasangan hipotik atau fiducia, karena tentunya hal tersebut
telah diperjanjikan lenih dahulu oleh pihak-pihak secara pribadi sebelum terjadi sengketa. Akan
tetapi timbul pertanyaan, apakah ketentuan eksekusi dalam HIR dan R.Bg tersebut masih relevan
diterapkan untuk mengeksekusi terhadap harta-harta yang bersifat kolektif dalam harta bersama
maupun maupun harta warisan. Padahal substansi hak kebendaan yang bersifat individual
dengan hak kebendaan yang bersifat kolektif sangat berbeda.
Harta bersama dan harta warisan menurut hukum perdata merupakan hak milik bersama
yang terikat (gebonden medeegendom) yang salah satu cirinya adalah bahwa pemilik serta
adalah berhak atas seluruh bendanya.9 Jika HIR dan R.Bg tersebut tetap dipaksakan sebagai
landasan yuridis dalam mengeksekusi hak kebendaan yang bersifat kolektif, maka eksekusi
tersebut sama sekali tidak relevan dengan kontek pokok perkara, karena maksud dan tujuan
pihak yang mengajukan gugatan harta bersama maupun harta warisan, pada hakikatnya adalah
untuk memperoleh “pembagian dan pemisahan “ secara riil harta yang ada yang dalam istilah
hukum perdata disebut Scheiding Van Georderen atau Van boedelscheiding10 dengan maksud
untuk mengakhiri suatu pemilikan bersama atas boedel keluarga (familie-vermogen) bukan
untuk memperoleh penggantian pembayaran sejumlah uang atau melaksanakan atau
menghentikan perbuatan tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan maksud dan tujuan orang yang
mengajukan gugatan sengketa hak milik yang bertujuan agar obyek sengketa dikembalikan
kepada Penggugat, berbeda dengan maksud dan tujuan gugatan hutang piutang, hipotik dan

9
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit, hal.82;
10
Soetojo Prawirohamidjoyo, R.dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986,hal.99
fiducia atau ganti rugi diajukan agar hak milik atau piutangnya supaya dibayar oleh Tergugat dan
atau kerugian yang diderita oleh Penggugat supaya dibayar oleh Tergugat meskipun sampai harta
atau hak kebendaan pribadi Tergugat harus dilelang, dengan demikian maka ketentuan eksekusi
yang ada baik dalam HIR dan R.Bg yang digunakan sebagai landasan yuridis menyelesaikan
eksekusi terhadap harta bersama maupun harta warisan oleh Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Umum sangatlah tidak tepat atau salah. Karenanya Pengadilan dalam
melaksanakan eksekusi dalam kasus posisi ini tidak menjamin kepastian hukum karenanya
ketentuan eksekusi yang diatur dalam HIR dan R.Bg tersebut semestinya tidak dapat diterapkan
untuk mengeksekusi putusan pembagian dan pemisahan harta bersama dan harta warisan.
Landasan Yuridis Eksekusi Putusan Perdata.
Kata “Executie” dari bahasa Belanda, bahasa Inggrisnya ditulis “excecution”11 yang
dalam bahasa Indonesianya biasa ditulis “eksekusi”. Terdapat berbagai terminologi mengenai
istilah “eksekusi”. R. Soebekti, mengalihbahasakan kata “executie” dengan istilah
“pelaksanaan” putusan.12 Retno Wulan Sutanto, mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia
dengan istilah “pelaksanaan” putusan,13 demikian juga menurut M. Yahya Harahap.14
Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat R.Bg. eksekusi
itu didefinisikan sebagai “tenuitvoer legging van vonnissen” yang artinya sama dengan
“menjalankan putusan”. Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain dari makna melaksanakan
isi putusan pengadilan.15 Oleh karena itu menurut penulis pembakuan kata “pelaksanaan”
putusan sebagai kata ganti eksekusi sudah tepat dan hampir semua penulis membakukan istilah
“pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi.
Sudikno Mertokusumo secara terminologis menjelaskan bahwa, eksekusi pada
hakikatnya tidak ada lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi
prestasi yang tercantum dalam putusan. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada
Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa
(eksecution forcee).16

11
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Pen. Aneka Ilmu, Semarang, 1977 hal.364.
12
Subekti, Op.Cit. hal.128
13
Retno Wulan Sutanto, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, hal. 111
14
Yahya Harahap, Op.Cit.hal.5
15
R. Tresna, Komentar HIR. Cetakan ke-15.Pradnya Paramita,Jakarta, 1996.hal.256
16
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, 1998.hal.210
Suatu perkara perdata diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan untuk
mendapatkan pemecahan atau penyelesaian yang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan
dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Oleh karena itu eksekusi adalah
persoalan terpenting dan merupakan tindakan yang berkesinambungan dan tidak terpisahkan dari
seluruh rangkaian proses hukum acara.
Landasan yuridis eksekusi perdata hingga saat ini adalah mengacu pada pasal-pasal
eksekusi dalam HIR untuk Peradilan di Jawa dan Madura dan R.Bg. untuk Peradilan di luar Jawa
dan Madura. Kedua buku hukum tersebut disusun hampir dua ratus tahun yang lalu. Namun
dengan berdasarkan Pasal II dan IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juncto
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 juncto Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Darurat Nomor
1 Tahun 1951, HIR dan R.Bg. dinyatakan sebagai Peraturan Hukum Acara Perdata yang harus
diikuti dan diindahkan dalam menyelesaikan sengketa perdata.
Secara ekplisit pasal-pasal yang mengatur eksekusi adalah dalam Bab Kesepuluh
Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat R.Bg. Oleh karena itu bagi Ketua
Pengadilan atau Panitera maupun Jurusita sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam
menjalankan eksekusi, harus memahami dan meneliti pasal-pasal yang diatur dalam kedua buku
hukum tersebut apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut telah diatur pasal-
pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan secara garis besar mulai dari tata cara peringatan
(aanmaning), sita eksekusi (executorial beslag), penyanderaan (gejzeling) dan lain sebagainya.
Eksekusi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 R.Bg.
Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-pasal tersebut efektif. Yang masih betul-
betul berlaku efektif adalah Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal
206 sampai Pasal 240 dan Pasal 257 R.Bg. sedangkan Pasal 209 sampai dengan Pasal 223 HIR
atau Pasal 242 sampai dengan Pasal 257 R.Bg. yang mengatur tentang “sandera” (gezeling) tidak
berlaku lagi.17 Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan sandera,
dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran (SEMA) Nomor : 2/1964, tanggal 22
Januari 1964 yang ditujukan kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum yang
isinya tidak boleh dipergunakan lagi pasal-pasal aturan sandera (gezeling), yakni Pasal 209-223
HIR atau Pasal 247-257 R.Bg dengan alasan karena tindakan penyanderaan seseorang debitur

17
Yahya Harahab,Op.Cit.hal.3;
dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan, walaupun Surat Edaran Mahkamah Agung
tersebut menimbulkan pro dan kontra.
Terlepas dengan sikap pro dan kontra terhadap penghapusan ketentuan sandera, maka
sejak dikeluarkan SEMA No.2/1964, pasal-pasal yang mengatur sandera dalam eksekusi tidak
berlaku lagi sebagai landasan pedoman menjalankan putusan pengadilan.
Bagi setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi perdata, harus
merujuk ke dalam HIR dan R.Bg. tersebut. Ketidak tahuan secara tepat tentang peraturan
perundang-undangan dimana ketentuan eksekusi perdata itu diatur, akan berakibat terjadinya
tindakan cara-cara eksekusi menyimpang, karena pejabat yang melaksanakan eksekusi tidak
berpedoman kepada ketentuan perundang-undangan. Menyimpangi hukum acara dalam
menjalankan eksekusi tidak dapat dibenarkan menurut hukum, karena sebagaimana diketahui
bahwa hukum acara perdata termasuk mengenai eksekusi adalah merupakan “hukum publik”
sebagai sub system kenegaraan. Negara telah menciptakan lembaga peradilan sebagai alat negara
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. Negara menyediakan aparatur negara untuk
memaksakan dan melaksanakan eksekusi putusan hakim.18
Dalam hukum publik, hukum formil berfungsi sebagai publiekrechtelijk
instrumentarium untuk menegakkan hukum materiil, sehingga ada adegium peradilan tanpa
hukum materiil akan lumpuh karena tidak tahu apa yang akan dijelmakannya, sebaliknya
peradilan tanpa hukum formil akan liar sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan
wewenangnya.19
Unsur formil hukum acara mengatur tentang cara yangharus diperhatikan dalam
beracara, yakni mengatur tentang caranya menggunakan wewenang seperti ditentukan dalam
unsur materiil agar dalam pelaksanaan dan penyelesaian sengketa tercipta betertiban yang
memberikan kepuasan bagi pihak-pihak pencari keadilan dan tindakan “eigenrichting” dapat
dicegah.20
Disamping pasal-pasal tersebut, masih terdapat lagi pasal lain yang mengatur eksekusi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 250 R.Bg yang bunyi kedua pasal

18
Mahkamah Agung RI, Op.Cit. hal 22;
19
Suparto Wijoto, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cetakan pertama, Airlangga University Press, Surabaya,
1997
20
Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Cetakan V, Alumni Bandung, 1989.
tersebut sama. Pasal ini mengatur eksekusi tentang putusan pengadilan yang menghukum
Tergugat untuk “melakukan suatu perbuatan tertentu”.
Kedua pasal tersebut merupakan aturan alternatif yang diberikan undang-undang jika
Tergugat atau pihak yang kalaha tidak menjalankan putusansecara sukarela tuntutan untuk
melakukan perbuatan tertentu yang disebut dalam amar putusan, maka putusan yang semula
berbunyi untuk melakukan perbuatan tertentu diganti dengan perintah membayar sejumlah uang.
Sekiranya Ketua Pengadilan mengabulkan permintaan penggantian bentuk eksekusi dari
melaksanakan perbuatan tertentu dengan membayar sejumlah uang, maka beralihlah sifat
eksekusi dari eksekusi riil menjadi eksekusi pembayaran sejumlah uang. Dengan demikian
kemacetan eksekusi dapat diatasi dengan mempergunakan tata cara eksekusi pembayaran
sejumlah uang sebagaimana diatur dalam Pasal 197 HIR atau Pasal 208 R.Bg, sehingga
pemenuhan putusan sudahdapat dipaksakan pihak yang kalah melalui eksekutorial beslag yang
dilanjutkan dengan penjualan lelang terhadap harta kekayaan pihak yang kalah. Cuma untuk
memperoleh pemenuhan berdasarkan peralihan sifat eksekusi tersebut memerlukan proses
yanglebih panjang, jika dibandingkan dengan proses eksekusi riil.
Disamping itu terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 R.Bg. yang mengatur tentang
pelaksanaan putusan “serta merta” (uitvoerbaar bij voorrad), yaitu pelaksanaan putusan segera
dapat dijalankan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah bilamana tidak ada perlawanan dan tidak ada
permohonan peninjauan kembali, maka eksekusi tersebut dilakukan op last en order leiding dari
Ketua Pengadilan yang memutus perkara itu pada tingkat perama.
Menurut Pedoman Eksekusi Putusan Perkara Perdata yang diterbitkan oleh puslitbang
Diklat Mahkamah Agung R.I. menjelaskan sebagai berikut :
“Hendaknya diingat bahwa perbuatan eksekusi yang terjadi op last en order leiding dari Ketua
Pengadilan tersebut bukanlah perbuatan mengadili (bukan recht bedeeling). Dalam kota-kota
besar Ketua Pengadilan Negeri tersebut dilakukan oleh Hakim yang ditunjuk khusus untuk itu
(Hakim Eksekusi). Disamping itu dalam perbuatan masih ada ruang gerak untuk kebijaksanaan
umpamanya :
- diberikan tenggang waktu untuk penyerahan/pengosongan;
- pelunasan tidak sekaligus dan sebagainya.”21

21
Proyek Pembinaan Tehnis Yustisial Mahkamah Agung RI. Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih dahulu (Uitvoerbaar
bij vooraad), Puslitbang Mahkamah Agung RI. 1997. hal.7
Disamping sumber hukum eksekusi dalam HIR maupun R.Bg. tersebut sama sekali
tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat pada asas-asas hukum, yurisprudensi,
maupun praktek peradilan sebagai alat Bantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang
timbul dalam konkreto. Misalnya, eksekusi mengenai barang yang terkait dengan hipotik, tidak
dapat diselesaikan pelaksanaannya secara tepat dan sempurna tanpa mengaitkan pasal-pasal
eksekusi dengan peraturan perundang-undangan hipotik yang diatur dalam KUH Perdata maupun
dengan UUPA No.5/1960. Demikian juga permasalahan eksekusi antara instansi peradilan
dengan PUPN, tidak akan bisa dipecahkan tanpa mengaitkan aturan pasal-pasal eksekusi dengan
Undang-Undang No.49 Prp/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur “parate eksekusi”
yang dilimpahkan undang-undang kepada PUPN.
Aturan-aturan lain yang tidak kurang petingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah
peraturan-peraturan yang menyangkut ketentuan lelang antara lain:
1. Vendu Reglemen Stb. 1908 Nomor : 189 tentang Peraturan Penjualan Lelang Dimuka Umum
di Indonesia;
2. Vendu Instructie Stb.1908 Nomor : 190 Tentang Instruksi bagi para Pejabat yang ditugaskan
melaksanakan peraturan lelang Stb.1908 Nomor 190.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 390 Tahun 1949 Tentang Pungutan Bea Lelang untuk
Pelelangan dan Penjualan Umum;
4. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 Tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara;
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Stb.1847 No.23);
6. Undang-Undang perbendaharaan Indonesia (Stb.1925 No.448);
7. Undang-Undang Nomor 49 Prp.Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara;
8. Undang-Undang Nomro 21 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997
Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dari Pengalihan
Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan.22

22
Didik Wahyu Purwandi. Departemen Keuangan RI. Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara. Penjualan Barang Secara
Lelang, Kantor Pejabat Lelang Klas II,Jember, 1999,hal.3.
Semua aturan tersebut, secara keseluruhan merupakan aturan yang tidak dapat dipisahkan
dari tindakan menjalankan eksekusi. Dengan demikian memindahkan bentuk eksekusi dari
eksekusi riil kepada eksekusi pembayaran sejumlah uang atau memindahkan eksekusi riil berupa
membagi dan menyerahkan barang secara natura kepada eksekusi dengan menyerahkan harga
dengan jalan melalui lelang bukanlah proses yng sederhana, tetapi harus melalui permohonan
kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 225
HIR atau 259 R.Bg. jo. 197 HIR atau 208 R.Bg.
Macam-macam Eksekusi Perdata
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah merealisasi
daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam
putusan. Putusan yang bernilai eksekutorial yang ditentukan Hukum Acara Perdata apabila
diktum putusan bersifat condemnatoir.
Mengenai cirri putusan yang bersifat condemnatoir sudah dijelaskan rinciannya, yakni
dalam amar putusan tersebut terdapat pernyataan penghukuman. Bisa jadi berbunyi
“menghukum atau memerintahkan” kepada pihak Tergugat untuk memenuhi prestasi atau
melakukan salah satu perbuatan :
1. Menyerahkan suatu barang kepada pihak lawan.
2. Mengosongkan sebidang tanah atau rumah;
3. Melakukan perbuatan tertentu;
4. Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan tertentu;
5.
Membayar sejumlah uang.23
Sudikno Mertokusumo dan R. Subekti mengelompokkan lima macam kategori diktum
putusan condemnatoir yang diatur dalam HIR dan R.Bg tersebut ke dalam tiga jenis eksekusi :
1. Eksekusi membayar sejumlah uang; Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah
uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 R.Bg.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan; Hal ini diatur
dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 R.Bg. Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi
prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada
hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang;

23
Yahya Harahab, Op.Cit. hal. 13
3. Eksekusi riil; Eksekusi riil adalah eksekusi untuk melakukan tindakan nyata (riil), yaitu
menyerahkan suatu barang kepada pihak yang menang (Penggugat) atau berbentuk perintah
mengosongkan sebidang tanah atau rumah atau mungkin berbentuk perintah melakukan
perbuatan tertentu ataupun menghentikan perbuatan tertentu, atau dalam bentuk perintah
menyerahkan sesuatu benda.24
Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR dan R.Bg. tetapi diatur dalam Pasal 1033 Reglement
of de Rechts Vordering (R.V.) yang semula merupakan hukum acara perdata untuk golongan
Eropa dan orang yang dipersamakan di forum Raad van justitie (R.v.J) sebagai instansi
peradilan tingkat pertama sekaligus merupakan peradilan tingkat banding bagi golongan Bumi
Putra. Sejak berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Raad van Justitie telah
dihapus maka peradilan tingkat pertama bagi semua golongan penduduk di hadapan Peradilan
Umum atau Pengadilan Negeri bersamaan dengan itu RV. sebagai hukum acara perdata yang
diperlakukan di forum Raad van Justitie ikut dihapuskan oleh Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951. Akan tetapi kenyataannya sampai saat sekarang dalam praktek peradilan
masih tetap mempergunakan pasal-pasal tertentu dari RV untuk kebutuhan praktek peradilan
(proses orde) termasuk ketentuan tentang eksekusi riil dalam Pasal 1033 RV tersebut.
Pemberlakuan pasal-pasal tertentu dalam RV tersebut mendasarkan ketentuan Pasal 393 HIR
melalui pendekatan penafsiran “ a contrario “. Menurut Pasal ini ditegaskan:“Dalam mengadili
perkara di hadapan Mahkamah Bumi Putra tidak boleh diperhatikan peraturan lain atau yang
lebih dari pada yang ditentukan dalam reglement ini”.25
Dengan pendekatan a contrario terhadap Pasal 393 HIR tersebut pada prinsipnya HIR
dan R.Bg. tidak melarang mempergunakan ketentuan acara yang tersebut dalam pasal-pasal RV
asal pengambilan itu benar-benar “inherent” dan sangat diperlukan untuk kebutuhan praktek
(proses orde). Maka sejak masa Hindia Belanda sampai sekarang telah dipancangkan suatu asas
“process doel matig heid“ yang membuka kemungkinan menerapkan ketentuan-ketentuan RV
sebagai landasan, apabila hal itu benar-benar dibutuhkan dalam proses pemeriksaan perkara.
Oleh karena dalam HIR maupun R.Bg hanya mengatur eksekusi riil yang berkenaan dengan

24
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.hal.210, R.Subekti,Op.Cit.hal.128
25
R.Tresna.Op.Cit.hal.280
executorial verkoop, yakni eksekusi riil terhadap barang dijual lelang atas pembayaran hutang
sebagaimana diatur dalam Pasal 200 Ayat (11) HIR atau Pasal 218 Ayat (2) R.Bg.26
Dari tiga macam pembagian eksekusi menurut Sudikno Mertokusumo tersebut apabila
dilihat dari hubungan hukum yang harus dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan
menurut penulis hakikatnya hanya terdapat dua macam eksekusi, yaitu “eksekusi riil “ dan
eksekusi “membayar uang “.
Dari kelima rincian putusan condemnatoir tersebut, angka 1, 2, 3, dan 4 adalah
penghukuman yang berbentuk eksekusi riil.27 Karena tuntutan menyerahkan suatu barang,
mengosongkan sebidang tanah, melakukan suatu perbuatan tertentu dan menghentikan suatu
perbuatan atau keadaan tertentu pada hakikatnya adalah tuntutan untuk merealisasi suatu
prestasi, sehingga keempat tuntutan prestasi tersebut dapat dikategorikan sebagai “Ekeskusi riil
“. Sedangkan pada dictum putusan berupa perintah “membayar sejumlah uang”, eksekusi
semacam ini tidak dapat disebut sebagai eksekusi riil, karena untuk membayar sejumlah uang
tertentu tersebut tidak dapat serta merta Jurusita bertindak dan berhubungan langsung terhadap
obyek sengketa, akan tetapi untuk meralisasi perintah tersebut diperlukan proses lain yang
ditentukan hukum acara. Oleh karena itu menurut penulis pelaksanaan atau eksekusi putusan
perkara perdatapada dasarnya hanya dibedakan kepada dua jenis eksekusi yaitu :
1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang, dan;
2. Eksekusi riil.
Menghukum Tergugat menyerahkan barang yang disengketakan kepada Penggugat.
Apabila Tergugat enggan menyerahkannya dengan sukarela, maka penyerahan barang kepada
Penggugat dilaksanakan secara paksa melalui eksekusi. Barang itu secara paksa diambil dari
kekuasaan Tergugat, kemudian secara nyata barang itu diserahkan kepada kekuasaan Penggugat.
Disebutkan penghukuman menyerahkan suatu barang berbentuk eksekusi riil, karena tindakan
hukuman menyerahkan barang itu dilakukan dari pihak Tergugat kepada Penggugat secara
langsung tanpa mengubah bentuk dan keadaan barang yang dieksekusi.
Begitu pula halnya dalam penghukuman pengosongan sebidang tanah atau rumah adalah
merupakan bentuk eksekusi riil. Sebab secara nyata tanah maupun rumah tersebut harus

26
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 7
27
Ibid, hal. 20
ditinggalkan/dikosongkan oleh Tergugat agar ditempuh dan atau dikuasai oleh Penggugat secara
utuh dan sempurna tanpa mengubah bentuk rumah maupun ukuran luas tanah tereksekusi.
Pada penghukuman untuk melakukan sesuatu perbuatan, yang dituntut dan harus
dipenuhi adalah perbuatan nyata dari Tergugat secara langsung secara langsung melakukan
perbuatan itu. Karena tuntutan melakukan perbuatan tersebut bersifat sangat pribadi dan spesifik
yang hanya dapat diselesaikan Tergugat sendiri secara pribadi, maka bilamana Tergugat enggan
untuk melaksanakan suatu perbuatan tersebut undang-undang telah mengantisipasi bentuk
penyelesaiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 R.Bg. dengan bentuk
bahwa keengganan Tergugat untuk melakukan perbuatan tersebut dapat dinilai/diganti dengan
tuntutan membayar sejumlah uang tunai kepada Penggugat. Dengan prosedur pihak Penggugat
dapat meminta kepada Ketua Pengadilan supaya kepentingan pemenuhan putusan melakukan
perbuatan, dinilai dengan membayar sejumlah uang. Apabila Ketua Pengadilan telah menetapkan
nilai jumlah uang tunai sebagai pengganti perbuatan yang mesti dilakukan Tergugat, tetapi juga
tidak dibayar oleh Tergugat, maka pemenuhan dapat dilakukan melalui eksekusi, sehingga
bentuk eksekusi riil semula telah di rumah menjadi eksekusi membayar sejumlah uang.
Demikian pula mengenai penghukuman menghentikan suatu perbuatan, merupakan
eksekusi riil berupa tindakan secara nyata menghentikan perbuatan yang dihukumkan kepada
Tergugat. Penghentian perbuatan yang dihukumkaan mesti dihentikan secara langsung dan nyata
oleh Tergugat. Misalnya Tergugat dihukum untuk menghentikan penggalian atas tanah
terperkara. Berarti Tergugat secara langsung dan nyata harus berhenti melakukan penggalian di
atas tanah tersebut.
Maksud dan tujuan diajukan gugatan atas harta bersama dalam perkawinan maupun
gugatan harta waris (boedel) berbeda dengan diajukannya gugatan atas sengketa milik, gugatan
ganti rugi atau gugatan hutang piutang. Harta bersama dalam perkawinan dan harta warisan
(boedel) adalah harta kolektif apapun bentuk dan wujudnya selama belum dilakukan pemisahan.
Oleh karena itu gugatan seorang Penggugat atas harta bersama dan harta warisan adalah untuk
mendapatkan bagian sesuai dengan hukum atas harta benda yang ada agar dibagi dan diserahkan
serta diadakan pemisahan sesuai dengan porsi haknya. Karenanya dalam sengketa harta bersama
dan sengketa warisan berarti pihak-pihak menghendaki adanya pembagian dan pemisahan boedel
secara riil, sehingga putusan pengadilan tetang pembagian harta bersama antara suami isteri atau
putusan pembagian harta waris antara para ahli waris, amarnya senantiasa berbentuk perintah
menghukum seseorang yang menguasai barang sengketa untuk “membagi dan menyerahkan”
harta sengketa kepada pihak lain.
Tuntutan pelaksanaan untuk “membagi dan menyerahkan” sesuatu barang adalah berisi
dua tuntutan sekaligus dan dua-duanya hukuman tersebut bersifat riil. Oleh karena itu eksekusi
putusan pembagian harta bersama dan pembagian harta waris adalah “eksekusi riil”, dan bukan
dan tidak sama dengan putusan pembayaran sejumlah uang, walaupun dalam pembagian harta
bersama maupun harta waris tersebut mungkin terdapat uang yang harus dibagi antara suami-istri
atau dibagi para ahli waris.
Yahya Harahap berpendapat bahwa secara teoritis eksekusi riil sangatlah mudah dan
sederhana. Tidak memerlukan prosedur dan formalitas yang rumit. Itu sebabnya eksekusi riil
tidak diatur secara terinci dalam Undang-Undang.28 Berbeda halnya dengan eksekusi untuk
membayar sejumlah uang. Adakalanya tergugat sama sekali tidak mempunyai sejumlah uang.
Yang ada hanyalah berupa harta benda, maka untuk mewujudkan pembayaran berbentuk uang
tunai dari harta benda Tergugat, pada dasarnya tidak mudah dan tidak sederhana. Untuk
pelaksanaan tersebut diperlukan syarat dan tata cara yang tertib dan terinci, agar jangan sampai
terjadi penyalahgunaan yang merugikan pihak Tergugat pada satu pihak, maupun merugikan
kepentingan Penggugat di pihak lain. Dalam praktek, eksekusi terhadap pembayaran
sejumlah uang pada umumnya tetap harus melalui proses penjualan lelang terhadap harta
benda kekayaan Tergugat sesuai dengan kebutuhan, sehingga diperlukan tata cara yang cermat
dalam pelaksanaan eksekusinya, yang garis besarnya :
1. Harus melalui tahap proses eksekutorial beslag, dan;
2. Dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan Kantor Lelang Negara;
Pentahapan proses seperti tersebut di atas, tidak diperlukan dalam menjalankan eksekusi
riil. Pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan cukup mengeluarkan surat penetapan yang
memerintahkan eksekusi. Dengan penetapan itu, Panitera atau Jurusita pergi ke lapangan
melaksanakan “penyerahan atau pembongkaran” secara nyata. Dengan penyerahan dan
pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai. Tidak demikain halnya dengan
eksekusi membayar sejumlah uang. Maka untuk mendapatkan uang itu, harta Tergugat harus
dilelang lebih dahulu. Dan untuk sampai ke tahap penjualan lelang, harus melalui beberapa

28
M.Yahya Harahap.Op Cit.hal.21
ketentuan aturan dan tata tertip. Berkenaan dengan itu Undang-Undang tidak memuat aturan
yang berkenaan dengan eksekusi riil.
Jika memperhatikan ketentuan dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 atau Pasal 206 sampai
Pasal 240 R.Bg. adalah merupakan rincian aturan mengenai tata tertip eksekusi pembayaran
sejumlah uang. Di situ diatur dengan somasi (peringatan), eksekutorial beslag, pengumuman
lelang dan penjualan lelang.
Eksekusi pembagian dan pemisahan harta bersama dan eksekusi pembagian dan
pemisahan harta waris (boedel) merupakan eksekusi riil. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya
Harahap bahwa secara teoritis telah dikatakan bahwa eksekusi riil mudah dan sederhana, bukan
berarti eksekusi riil terhadap pembagian harta bersama dan pembagian waris terlepas samak
sekali dari berbagai masalah. Dalam praktek untuk mengeksekusi membagi harta bersama dan
membagi harta warisan justru banyak dijumpai hambatan dan kesulitan sebagaimana dijumpai
dalam mengeksekusi untuk pembayaran seumlah uang, misalnya jika benda yang akan dibagi
dan diserahkan kepada pihak lawan merupakan benda yang tidak dapat dibagi secara natura dan
pihak-pihak tidak mensepakati tentang harga dari satuan benda tersebut, maka untuk melindungi
kepentingan semua pihak secara adil merata dan seimbang, pembagiannya harus dilakukan
dengan membagi harta benda tersebut dan tentunya harus dengan jalan menjual lelang barang
sengketa. Untuk memperoleh harga yang obyektif dan adil tentunya para pihak akan memilih
dengan penjualan lelang di depan umum.
Kekosongan Hukum Eksekusi Hak Kebendaan Kolektif
Dalam menjalankan eksekusi riil atas harta bersama dan harta warisan atas benda tidak
bergerak baik berupa rumah maupun tanah tidak menutup kemungkinan diperlukan tindakan
pengosongan. Maka tindakan eksekusi riil berupa pengosongan tersebut tidak tepat dan dirasakan
tidak sesuai dengan rasa keadilan. Karena tuntutan gugatan pembagian harta bersama dan harta
warisan pokoknya adalah bukan untuk mengosongkan, karena terikat prinsip bahwa status harta
masih merupakan hak bersama pihak-pihak yang bersengketa (ahli-waris), secara hukum
pihak-pihak sebagai pemilik serta, sama-sama berhak menempati secara penuh, sehingga
eksekusi pengosongan atas harta bersama dan harta warisan tidaklah tepat menurut hukum.
Mengeksekusi riil terhadap harta bersama maupun harta warisan atas harta/benda tidak bergerak,
misalnya tanah yang padanyan terikat dengan ketentuan Hukum Pertanahan yang tidak
sederhana. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaksanaan eksekusi pembagian dan
penyerahannya dengan hanya memasang patok misalnya, maka tindakan eksekusi pembagian,
pemisahan dan penyerahan hak atas tanah semacam ini belum mencerminkan kepastian hukum.
Sebab kepastian hukum hak atas tanah akan diperoleh secara penuh apabila bagian haknya
diikuti dengan pengakuan haknya secara sah menurut hukum pertanahan yang berlaku dalam hal
ini ketentuan kadasteral. Demikian juga jika mengeksekusi rumah dengan cara menyekatnya saja
atau membatasi garis demarkasi, maka eksekusi semacam ini tidak mempunyai nilai manfaat dan
kepastian hukum karena belum sampai memberikan hak yang pasti kepada pemohon eksekusi.
Eksekusi riil terhadap pembagian harta bersama dan harta warisan dengan menempuh
jalan pelelangan, juga tidak tepat, karena asal usul pelelangan menurut hukum acara semula
adalah untuk dan akibat dari pemasangan hipotik atau fiducia. Disamping itu pelelangan
memerlukan proses panjang yang berliku-liku dan tidak sederhana serta biaya yang mahal yang
harus dibayar oleh pemohon eksekusi. Bisa jadi biaya pelelangan tidak seimbang dengan yang
akan didapatkan bahkan mungkin rugi. Jika demikian maka hukum acara yang ada selama ini
masih belum memberikan azas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dalam mengeksekusi harta bersama dan harta warisan yang tidak dapat dibagi secara
natura, misalnya sebuah rumah gedung yang berdiri di atas tanah milik pihak ketiga, maka tidak
menutup kemungkinanbahwa eksekusianya adalah dibongkar paksa bila pihak-pihak tidak dapat
mencari solusi damai. Jika demikian yang terjadi maka berarti hukum yang ada selama ini tidak
memberikan jaminan manfaat kepada pencari keadilan.
Kesimpulan
1. Harta bersama dalam perkawinan adalah merupakan harta kolektif yang terikat (gebonden
medeegendom). Sifat eksekusi atas harta bersama dan harta warisan pasti harus eksekusi riil
berupa tindakan pejabat yang berwenang untuk membagi dan menyerahkan benda obyek
sengketa secara langsung, apapun bentuk harta bersama maupun harta warisan tersebut.
2. Aturan eksekusi riil dalam HIR dan R.Bg. hanya mengatur execution verkoop yakni eksekusi
riil terhadap barang untuk dijual lelang, guna pembayaran sengketa hutang-piutang dan grose
akta hipotik mapun fiducia dan hak tanggungan;
3. Pelaksanaan eksekusi riil atas harta bersama dan harta warisan terhadap benda bergerak yang
dapat dibagi secara natura tidak akan mengalami hambatan secara teknis dan dapat
dibenarkan secara yuridis. Akan tetapi eksekusi atas benda-benda baik bergerak maupun
tidak bergerak yang tidak dapat dibagi secara natura, jelas akan mengalami kendala, karena
HIR maupun R.Bg hanya mengatur eksekusi riil yang berkenaan dengan executorial
verkoop dalam sengketa antara pribadi dan dalam obyek hak yang bersifat pribadi pula, oleh
karena itu menggunakan HIR dan R.Bg. sebagai landasan yuridis untuk melaksanakan
eksekusi meliputi “pelelangan, pengosongan, pembongkaran rumah atau bangunan,
pematokan tanah “ secara yuridis tidaklah tepat. Karena ketentuan eksekusi dalam HIR dan
R.Bg adalah untuk eksekusi sengketa yang obyek dan subyek hukumnya bersifat pribadi,
sedangkan status harta bersama dan harta warisan oleh hukum dianggap sebagai milik
bersama.
4. Eksekusi riil terhadap harta bersama dan harta warisan dengan dilakukan pelelangan juga
tidak tepat, karena ketentuan pelelangan dalam HIR dan R.Bg. adalah sebagai akibat dari
sengketa hutang piutang, pemasangan hipotik atau fiducia yang dikenal dengan executorial
verkoop. Latar belakang gugatan sengketa harta bersama dan harta warisan berbeda dengan
sengketa hutang piutang maupun hipotik, disamping itu pelelangan memerlukan proses
yang tidak sederhana dan biaya yang cukup besar. Bisa jadi biaya lelang yang harus
dikeluarkan oleh pihak-pihak tidak seimbang dengan harta atau barang yang dibagi, malah
pihak-pihak dapat mengalami kerugian. Sehingga eksekusi pelelanganpun akan dirasakan
tidak memenuhi azas sederhana, cepat dan biaya ringan.
5. HIR dan RBg. tidak mengatur secara rinci tentang eksekusi riil atas harta hak kolektif, karena
beranggapan bahwa eksekusi riil adalah mudah, anggapan ini sangatlah tidak benar.

Anda mungkin juga menyukai