1. Ketuhanan (al-rabbaniyah)
2. Kemanusiaan (al-insyaniyyah)
3. Kompreshensifitas (al-syumuliyah)
4. Kemoderatan (al-wasathiyah)
5. Realitas (al-waqiyah)
6. Kejelasan (al-wudhuh)
7. Kohesi antara stabilitas dan fleksibilitas (al-jam’bayna al-isabat wa al-murunah)
Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental yang menjadi
tolak ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insaniyyah) dan
kemoderatan (al-wasathiyah). Al-rabbaniyah, menurut al-qaradhawi, merupakan tujuan dan
muara dari masyarakat madani itu sendiri. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang yang menjadi fondasi pembangunan
masyarakat madani yaitu:
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai sosok egois dan pragmatis,
sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan
kebebasan personal; kaum sosialis melakukan sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri
hak-hak personal dengan mengatasnamakan kepentingan sosial.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salam al-Alamy wa al islamy
mengamini bahwa keseimbangan sosial (al-tawazun al ijtima’iy) merupakan fondasi
utama guna mewujudkan keadilan sosial (al adalah al-ijtima’iyah) di tengah-tengah
masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur
untuk mewujudkan ketrentaman dan kedamaian didalam kehidupan bersyarakat dalam
konteks pembangunan masyarakat madani.
Jika dikaitakan dengan kaum muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah
kelonggaran, kemudahan, dan fleksibilias ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Sebab pada hakikatnya, ajaran isla, telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk
dipahami. Sehingga islam sebagai rahmatan lil alamin benar –benar dimanisfestisikan
didalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah. Untuk itu, sebagai
konsekuensi logis dari Islam sebagai Rahmatan lil al-alamin yang shalih li kulli
zaman wa makan, maka substansi ajaran islam harus benar-benar mudah dipahami
dan fleksibel untuk diaplikasikan.