Makalah Landasan Pedagogik
Makalah Landasan Pedagogik
Diajuakan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan Pedagogik Program
Studi Manajemen SPS
Dosen Pengampu
PENDAHULUAN
Kajian pada makalah ini akan menjelaskan hakikat filsafat pendidikan yang dikaitkan
dengan filsafat secara umum. Hal itu dilakukan dengan cara mengeksplorasi aliran-aliran filsafat
umum yang dinilai memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan pengembangan konsep pendidikan
di dunia. Selanjutnya, disesuaikan dengan lingkup proses belajar mengajar kita di Indonesia, maka
secara khusus akan disajikan pula penjelasan mengenai kaitan Pancasila sebagai landasan hidup
bangsa dengan konsep pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pada setiap sila-nya
terkandung pemahaman yang mendalam mengenai proses pembelajaran di Indonesia.
Pada bagian terakhir, penulis akan membahas peran dari pendidik dan peserta didik di dalam
mencapai sasaran pendidikan di Indonesia. Meski sumber pustaka yang penulis gunakan lebih
cenderung mengkajinya dari sisi pendidik, akan tetapi penulis akan mencoba membahas dari sisi
peserta didik. Kajian pada bagian ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kajian dari sisi
humanistik, behavioristik, dan konstruktivistik. Di samping itu, penulis juga akan menyajikan
beberapa potret pengajar dari beberapa aliran filsafat yang dijadikan kajian pada makalah ini.
1.1.1 Kajian Beberapa Pandangan Filsafat Terhadap Hakikat Manusia Dan Pendidikan
Jawaban Terhadap Tiga Persoalan Pokok dalam filsafat yaitu metafisika, epistemologi dan
aksiologibelum memiliki kesamaan suara. Hal tersebut menimbulkan banyak aliran filsafat. Lebih
lanjut, perbedaan kepercayaan filosofis tersebut akan menimbulkan keragaman teori dan praktik
kependidikan. Makalah ini akan membahas kaitan pendidikan dengan pandangan filsafatnya yaitu
terhadap 2 aliran tradisional (idealisme dan realisme), 2 aliran filsaffat modern (pragmatisme dan
eksistensialisme) serta filsafat Pancasila.
Para siswa merespon rangsangan dari lingkungan mereka. Siswa dapat diprogram
sebagaimana sebuah komputer. Namun berbeda dengan program komputer, pemrograman seorang
siswa tidak langsung berhasil seketika tetapi melalui pembinaan, pelatihan dan pembentukan agar
dapat membuat respon yang sesuai.
Berbeda dengan siswa yang dianggap sebagai penonton yang melihat mesin alam yang
besar, guru dapat dilihat sebagai pengamat yang lebih kompleks yang mengetahui banyak hal
tentang hukum-hukum kosmos. Peran guru adalah memberikan informasi yang akurat menyangkut
realitas pada siswa secara efisien dan cepat.
Metode pengajaran realisme sangat mementingkan indrawi. Siswa dapt belajar dengan baik dan
maksimal jika mereka dapat merasa, mencium dan mendengar materi yang diajarkan, serta
melihatnya. Penganut aliran ini menyukai demonstrasi (peragaan materi) di ruang kelas karya
wisata dan penggunaan alat bantu audio-visual.
Pengetahuan menurut penganut pragmatis berakar dari pengalaman (Knight, 2007). Lebih
lanjut, manusia mempunyai akal-pikir kejiwaan yang aktif dan menjelajah bukan sekedar akal-
pikir kejiwaan yang pasif dan reseptif. Sebagai akibatnya, manusia tidaklah begitu saja menerima
pengetahuan, ia menciptakan pengetahuan karena ia berinteraksi dengan lingkungan. Manusia
berbuat sesuatu terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia yang mengitari.
Lebih lanjut, Knight menyebutkan bahwa guru bukanlah seseorang yang mengetahui apa
yang dibutuhkan para subyek didik di masa depannya, melainkan memiliki fungsi menanamkan
unsur esensial pengetahuan pada diri siswa. Guru dapat dilihat sebagai pendamping subyek didik
dalam pengalaman pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap harinya adalah menghadapi
dunia yang berubah. Guru sebagai pendamping yang lebih berpengalaman merupakan pemandu
atau pengarah. Ia adalah orang yang menasihati, memandu aktivitas-aktivitas subyek didik yang
muncul di luar apa yang sibutuhkan subyek didik, dan ia melaksanakan peran ini dalam konteks
pertimbangan pengalamannya yang lebih luas.
Ruang kelas dipandang sebagai kaca mata sebuah laboratorium ilmiah di mana ide gagasan
siap diuji coba untuk melihat apakah dapat diverifikasi. Karyawisata dianggap telah memberikan
keuntungan belajar melebihi aktivitas-aktivitas belajar seperti membaca dan pengalaman audio-
visual, karena peserta didik mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam
interaksi langsung dengan lingkungan.
Tujuan sekolah tidaklah mengharuskan peserta didik menghafal materi pelajaran, melainkan lebih
pada belajar bagaimana cara belajar sehingga mereka bisa beradaptasi terhadap dunia yang
berubah. Kurikulum sekolah kalangan pragmatis lebih memperhatikan proses daripada muatan
materi.
1.5 Filsafat Eksistensialisme
Menurut Knight (2007), filsafat eksistensialisme sangat memperhatikan emosi-emosi
manusia. Eksistensialisme berkaitan dengan watak manusia. Individualisme adalah pilar utama
eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap dehumanisasi industrialisme
modern dan merupakan pemberontak terhadap masyarakat yang telah terampas individualitasnya.
(Knight, 2007)
Menurut Knight (2007), peran guru lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu
para subyek didik mengeksplorasi jawaban-jawaban yang mungkin. Guru memperhatikan
keunikan individulitas masing-masing subyek didik. Guru merupakan fasilitator yang mau
menghargai aspek emosional dan irasional dan mau berupaya serius mengarahkan subyek didik ke
pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Menurut eksistensialisme, kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberi para
siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-
kesimpulan mereka sendiri (Sadulloh, 2012). Lebih lanjut, Sadulloh (2012) menyebutkan bahwa
dalam eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang
lainnya. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah
IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
Pancasila merupakan landasan hidup bangsa Indonesia yang didalamnya terkandung falsafah
utama yang menegaskan bagaimana kita sebagai bangsa harus bertindak/bersikap. Meskipun
memiliki lima sila yang disajikan terpisah, akan tetapi kelima sila tersebut tidak berdiri sendiri
(Kaelan, 2004:62). Sebaliknya, lima sila ini merupakan rancangan hirarkis yang disusun
sedemikian rupa untuk menggambarkan hakikat satu kesatuan filsafat yang memiliki dasar
ontologis, epistemologis, dan aksiologis tersendiri sehingga berbeda dari aliran filsafat lain.
Pancasila merupakan ciri khas dan menjadi jati diri Bangsa Indonesia.
Pancasila diharapkan dapat mengarahkan seluruh kehidupan bersama bangsa, interaksinya
dengan bangsa lain serta perkembangan masyarakat Indonesia dari waktu kewaktu. Dasar
ontologis di dalam Pancasila terkandung pada pemahaman bahwa manusia itu memiliki hakikat
mutlak. Subjek utama di dalam Pancasila adalah manusia (Kaelan, 2008:62). Seluruh sila yang ada
di dalamnya mengandung peran dari manusia (rakyat Indonesia). Apabila dikaitkan bahwa
Pancasila adalah dasar negara, maka kata negara disini juga memperlihatkan adanya unsur manusia
(rakyat). Tidak ada negara yang didirikan tanpa memiliki rakyat. Hal ini menegaskan bahwa dasar
antropoligis dari Pancasila adalah keberadaan manusia sebagai mahluk pelaku utama. Di samping
itu, filsafat Pancasila memaknai manusia sebagai yang bersifat kodrati sebagai mahluk sosial dan
individu. Sedangkan dasar epistemologisnya adalah bahwa manusia memiliki potensi untuk
mendapatkan pengetahuan dan kebenaran serta memanfaatkannya bagi kesejahteraan bersama
sesuai dengan prinsip aksiologis yang diusungnya. Nilai dan etika yang terkandung di dalam setiap
sila nya merupakan dasar aksiologis yang menjadi penuntun bagi Bangsa Indonesia untuk bersikap
(Sadulloh, 2012:189).
Hakikat Pancasila bersifat universal sebagai pedoman penyelenggaraan suatu negara. Kelima
sila nya; Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan merupakan sistem nilai
yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan sesamanya, dan dengan
kelompoknya (negara). Selanjutnya kelima sila tersebut juga menjadi prinsip dasar dalam
mengelola keteraturan sosial, masyarakat, dan di dalam kehidupan berbangsa. Pancasila menjadi
dasar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, di dalam adat istiadatnya,
kebudayaan, keagamaan (Kaelan, 2004:72).
Pancasila telah menjadi landasan bagi Bangsa Indonesia untuk bersikap dan bertindak.
Falsafah pengaturan hubungan vertikal dan horizontal yang terkandung di dalamnya secara tegas
mencerminkan bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Bangsa Indonesia harus
memanifestasikan Pancasila pada setiap pikiran, tindakan, dan keputusannya dalam mewujudkan
manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bersaing sekaligus hidup berdampingan dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
1.6.1 Hakikat Manusia
Pancasila memandang manusia sebagai pendukung pokok dari setiap sila dalam Pancasila.
Manusia juga merupakan unsur utama bagi suatu negara (rakyat), sehingga pada dasarnya hakikat
dasar antropologis dari Pancasila adalah manusia (Kaelan, 2004:63).
Ke lima sila di dalam Pancasila tidak bisa dilepas dan berdiri sendiri karena setiap sila
tersebut merupakan kesatuan majemuk tunggal (Kaelan, 2004:58). Di samping itu, Pancasila
memandang manusia sebagai bagian utama atau inti di dalam setiap silanya. Kaelan (2004:58)
menyatakan bahwa Pancasila mengandung pemahaman hakikat manusia yang monopluralis.
Monopluralis memiliki tiga unsur; susunan kodrat (jasmani dan rohani), sifat kodrat (individu-
mahluk sosial), dan kedudukan kodrat (pribadi mandiri, mahluk Tuhan). Ketiga unsur tersebut
dikatakan memiliki fungsi mandiri akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Pancasila
merupakan satu kesatuan yang bulat dan saling mengisi.
Melalui penjabaran di atas, penulis menyimpulkan bahwa dengan Pancasila sebagai dasar
negara, maka hakikat manusia Indonesia adalah sebagai mahluk individu yang memiliki hak-hak
pribadi. Akan tetapi di dalam menjalankan hak pribadinya tersebut manusia Indonesia wajib
mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar (sosial) dan senantiasa mendasarkan setiap
perbuatannya pada prinsip Ke-Tuhanan.Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tesebut
diharapkan dapat tercipta Bangsa Indonesia yang berke-Tuhanan, berkemanusiaan, berkesatuan,
Berdasarkan Kerakyatan Dan Keadilan Sosial.
Sejak bangsa Indonesia merdeka pendidikan di Indonesia telah berkembang secara dinamis
bahkan pada jaman keemasannya, pendidikan di Indonesia menjadi acuan bagi negara tetangga
seperti Malaysia untuk mengembangkan sumberdayanya. Hal ini tidak lepas dari keseriusan
pemerintah dalam menempatkan pendidikan sebagai suatu yang penting, seperti yang tercantum
dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2, “pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah
sebagai satu sistem pengajaran nasional (setiap warga
Meski menjunjung tinggi prinsip universalisme di dalam pendidikan, akan tetapi Bangsa
Indonesia dalam memenuhi hak dasarnya untuk memperoleh pendidikan dan memanusiakan
rakyatnya, wajib mendasarkan konsep pendidikannya dengan Pancasila.
Oleh karena itu pula, maka Pancasila menjadi dasar pendidikan nasional (Sadulloh,
2012:181). Setiap aspek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia wajib mengejawantahkan atau
mengamalkan sila-sila tersebut di dalam setiap kegiatannya.
Manusia Indonesia sebagai mahluk hidup yang memiliki kebebasan diharapkan dapat
memperoleh proses pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuannya, baik dari sisi keilmuan
maupun dari sisi moralitas. Definisi pengetahuan sangat luas untuk dijelaskan disini, karena
menyangkut kebutuhan seseorang untuk mempelajari sesuatu saat ini dan di masa yang akan
datang, dan tentunya kecuali bermanfaat bagi individu, diharapkan pengetahuan yang dipelajari
bisa membawa manfaat bagi lingkungannya. Sedangkan untuk unsur moralitas (etika dan estetika),
Bangsa Indonesia wajib menjadikan pokok-pokok di dalam setiap sila Pancasila sebagai dasar
untuk bersikap. Meski saat ini begitu banyak dan besar pengaruh dari dunia luar, akan tetapi
kaidah-kaidah yang ada di dalam Pancasila masih dapat dijadikan panduan dasar bagi manusia
Indonesia untuk menyongsong kehidupan masa depannya. Negara atau bangsa mana yang tidak
mengagungkan Tuhan, bangsa mana yang menginginkan terjadinya ketidakadilan, negara mana
yang rakyatnya tidak ingin bersatu, penduduk mana yang tidak menginginkan memiliki dan
didengar suaranya di dalam pengelolaan negara, dan terakhir bangsa mana yang tidak
menginginkan adanya keadilan sosial bagi rakyatnya. Meski terkesan muluk dan banyak kejadian
yang menurunkan nilai-nilai tersebut, akan tetapi secara ideal, kondisi-kondisi itulah yang layak
dicapai suatu negara agar dapat berfungsi dengan optimal.
Pendidikan pada dasarnya berkaitan dengan nilai. Nilai-nilai pendidikan nasional di
Indonesia harus dilandaskan pada prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini berarti bahwa
tujuan, materi, motivasi, kurikulum, dan metode belajar yang dirancang harus sesuai dengan
kaidah-kaidah Pancasila, sebagai cita-cita ideal bangsa (Sadulloh, 2012:196). Oleh karena itu,
pendidikan nasional Indonesia harus didasarkan pada kajian metafisik, epistemologis, dan
aksiologis Pancasila. Artinya di dalam melaksanakan pendidikan, manusia Indonesia harus
memiliki tujuan positif ketika menjalani proses mencari ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Apabila ditinjau dari sisi metafisik dan aksiologis, tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah
menciptakan manusia yang beriman kepada Tuhan, yang mendasarkan setiap tindakannya
berdasarkan kepentingan hidup bersama agar mampu mempertahankan nilainilai persatuan bangsa
yang dilandaskan pada sistem demokrasi yang berkeadilan sosial. Sekali lgi dalam prinsip ini
terkandung hak manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab dalam hubungannya dengan
Tuhan dan sesama.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan nasional pun juga harus dirancang sedemikian rupa
agar tidak hanya menekankan pentingnya pengetahuan yang harus diajarkan akan tetapi juga
proses kegiatan pendidikannya (pedagogis). Proses pendidikan harus dirancang secara terintegrasi
dari mulai pengetahuan yang hendak diajarkan dan nilai-nilai kemanusiaan yang hendak
ditanamkan (Sadulloh, 2012:198). Keduanya harus terwakili di dalam kurikulum dan materi
pengajaran yang hendak disampaikan kepada peserta didik. Tentu saja, materi ajar yang
disampaikan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat dan kemampuan
serta kebutuhan dari peserta didik.
Langkah-langkah penyesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan perserta didik tidak
terlepas dari metode yang digunakan dalam tranfer pengetahuan. Metode merupakan cara untuk
melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan. Dikaitkan dengan kependidikan, metode
merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Sadulloh, 2012:201).
Banyak faktor yang terkandung di dalam pengertian metode, diantaranya adalah situasi,
lingkungan, pendidik, dan peserta didik. Sejalan dengan filsafat pendidikan Pancasila, maka
pemilihan metode juga harus diselaraskan dengan kajian metafisik, epistemologis, dan aksiologis.
Artinya, metode dalam pendidikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan ajaran Ke-
Tuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan, serta harus disesuaikan dengan pengetahuan yang hendak
diajarkan/dipelajari dan mudah dipahami untuk kepentingan penyebaran pengetahuan tersebut.
Dengan menggunakan dasar Pancasila sebagai filsafat pendidikan di Indonesia, diharapkan
dibentuk manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan dan kebenaran wahyu, intuisi, rasional,
dan empiris. Di samping itu juga dapat mengimplementasikannya pada kehidupan keseharian
untuk meningkatkan kehidupan pribadi dan bangsanya.
1.7 Implikasi Pandangan Antropologi Filsafi Terhadap Peranan Pendidik Dan Peserta Didik
Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan
Di dalam pendidikan peran pendidik dan peserta didik sangat besar dalam menentukan
keberhasilan proses pendidikan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk
mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupan di masa depn. Peserta didik sebagai
calon warga negara, warga bangsa, dan orang dewasa di kelak kemudian hari akan mengemban
tugas penting baik untuk keluarganya maupun lingkungannya. Hasil proses pendidikan berupa
manusia-manusia lebih dewasa yang diharapkan memiliki kemampuan melaksanakan peranan
tersebut di masa yang akan datang. Pada realitanya, peran yang diemban para lulusan tersebut
sangat beragam sesuai dengan bidang pekerjaan, jabatan, dan posisinya kelak. Hal ini membuat
keberhasilan pendidikan menjadi vital dalam perkembangan suatu bangsa. Oleh karenanya dua
unsur utama di dalam proses pendidikan, yaitu pendidik dan peserta didik harus secara bersama-
sama dan aktif memainkan perannya untuk mencapai sasaran tersebut.
Saat ini sudah bukan jamannya lagi menganggap bahwa pendidik adalah satu-satunya
sumber ilmu yang benar atau peserta didik adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui
apa yang hendak diajarkan. Penulis menilai, proses belajar mengajar saat ini lebih tepat jika
diistilahkan dengan berbagi pengetahuan dimana kedua pihak aktif berperan. Untuk memudahkan
pembahasan dalam kajian ini, penulis akan membagi penjelasan peran masing-masing secara
terpisah.
1.8 Peran Pendidik Dan Peserta Didik Dari Sisi Filsafat Idealisme
Apabila dilihat dari filsafat idealisme, seorang pendidik harus membimbing siswa agar
mampu mengembangkan watak yang terbaik. Ini terkait dengan sikap kesadaran dalam diri siswa.
Socrates, Plato, dan Kant berpendapat bahwa pengetahuan terbaik adalah pengetahuan yang
muncul atau dikeluarkan dari dalam diri siswa bukan karena dipaksakan (Sadulloh, 2012:101). Di
dalam prosesnya pendidik harus dapat meletakkan dasar yang bisa dilihat oleh peserta didik
sebagai suatu pedoman yang baik. Pendidik perlu memberikan dan sekaligus menjadi contoh bagi
peserta didik.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka peran pendidik adalah menjadi pihak yang
menguasai pengetahuan dan memiliki ketrampilan serta mampu menyajikan dalam bentuk yang
menarik kepada siswa. Pendidik diasumsikan memiliki pengalaman lebih banyak karena sudah
mempelajarinya terlebih dahulu. Pengetahuan baik dan buruk yang disampaikan merupakan
bentuk rangkuman pengalaman pendidik di dalam kehidupannya. Pendidik juga diharapkan bisa
menyelenggarakan proses belajar mengajar yang mendorong siswa untuk bisa mengoptimalkan
kemampuan indrawinya secara keseluruhan. Artinya metode beragam yang dapat
merangsannnggg nafsu belajar siswa perlu dikuasai.
Sedangkan bagi peserta didik, peran sertanya di dalam filsafat ini adalah mengembangkan
sikap disiplin, baik mental dan moral. Tingkat disiplin yang tinggi akan membentuk komitmen
terhadap pengetahuan yang hendak dipelajari dan pada akhirnya akan membentuk komitmen
mencapai tujuan yang positif.
1.10 Peran Pendidik Dan Peserta Didik Dari Sisi Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu manusia. Manusia
diajak untuk memikirkan apa makna sesuatu bagi individu dan apa yang benar untuk individu
tersebut. Eksistensialisme juga memberikan pilihan kreatif, subyektivitas pengalaman manusia,
dan tindakan konkret dari keberadaan manusia (Sadulloh, 2012:133). Mengacu pada kerangka
subyektivitas tadi maka manusia hadir (lahir) untuk kemudian memutuskan apa yang perlu
dimaknai. Makna keberadaan ditentukan oleh individu setelah dia hadir.
Penekanan pada unsur kebebasan ini berarti menuntut para pendidik untuk senantiasa
menciptakan lingkungan yang bebas, dalam arti kebebasan akademik. Kebebasan akademik dapat
diartikan sebagai kebebasan yang dimiliki oleh civitas academika dalam menjalankan kegiatan
ilmiah berupa penulisan hasil studi, penelitian, dan diskusi yang memenuhi kriteria keilmuan.
Kebebasan akademik merupakan kesempatan bagai akademisi baik secara sendiri atau bersama-
sama,berikhtiar mengembangkan ilmu pengetahuan serta menguji pendapat, pandangan dan
penemuan secarailmiah (Supriyoko, 1988).Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang
menuntut adanya komitmen (Sadulloh, 2012:139). Pendidik juga memiliki kebebasan dalam
mengarahkan siswanya. Akan tetapi di dalam menjalankan kebebasan ini harus tetap fokus pada
perkembangan siswa dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip transfer pengetahuan. Pendidik perlu
mendorong munculnya keberanian dari siswa untuk mencarikebenran ilmiah dan mempertanyakan
sesuatu yang dirasa belum jelas. Bahkan untuk saat ini, pendidik juga perlu mengembangkan sikap
keterbukaan atas kritik dari siswanya. Selama didasarkan pada kaidah ilmiah, maka segala bentuk
perdebatan atau diskusi harus difasilitasi dengan baik.
Peran peserta didik di dalam filsafat eksistensialisme ini diharapkan dapat membangun
komitmen positif bagi pengembangan diri pribadi mereka. Kesempatan yang diberikan oleh
pendidik dalam mempertanyakan setiap masalah yang belum jelas secara akademik, peserta didik
dituntut untuk kritis dan senantiasa menggali setiap alternatif solusi dari masalah yang dihadapi.
Peserta harus aktif, sikap pasif akan membuat mereka tertinggal karena pendidik telah
mengasumsikan bahwa kebebasan sudah diberikan. Siswa yang hanya menunggu akan dianggap
sudah paham dan kemungkinan akan tertinggal dalam pembelajaran di kelas. Peserta didik juga
perlu mengembangkan sikap proaktif untuk lebih memperluas cakupan belajarnya. pertanyaan-
pertanyaan yang diluar pokok bahasan akan tetapi masih dalam koridor bidang kajian dapat
Disampaikan Ke Pengajar Untuk Memperoleh Pemahaman Lebih Luas.
1.11 Peran Pendidik Dan Peserta Didik Dari Sisi Filsafat Pancasila
Sebagai pandangan hidup bangsa kita, dan sekaligus sebagai salah satu dasar pendidikan
nasional, maka Pancasila harus menjadi acuan bagi pendidik dan peserta didik di dalam proses
belajar mengajar. Di dalam setiap silanya dan di dalam filsafatnya, Pancasila memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sesuai
dengan keinginannya. Agar kesempatan tersebut dapat dioptimalkan, maka pendidik dan peserta
didik harus menjalankan peran mereka.
Pendidik yang berlatar belakang filsafat Pancasila diharapkan dapat menjadi pendorong
perkembangan anak didik. Pengertian mendorong ini mengandung pengertian memberikan
bantuan dan bimbingan agar peserta didik bisa memilih pengetahuan yang sesuai minatnya,
selanjutnya mereka lebih mudah menemukan sumber pengetahuan yang relevan, mampu
melakukan analisis, serta pada akhirnya memperoleh kesimpulan atas kajian yang dilakukan.
Pendidik harus bersikap proaktif untuk menggali kebutuhan siswa. Untuk mengenali kebutuhan
ini, mereka perlu mengenal siswa didiknya terlebih dahulu. Sadulloh (2012:204) menegaskan
bahwa pendidik harus memiliki kesabaran, mampu bersikap fleksibel, kreatif, cerdas, dan memiliki
sudut pandang luas. Seorang pendidik yang wawasannya terbatas akan sulit membantu peserta
didik untuk memperoleh pengetahuan yang komprehensif. Pendidik harus menghindari bentuk
pengajaran yang bersifat memaksakan kehendak atau pemikirannya, sebaliknya dia harus mampu
menciptakan situasi yang mendorong anak didik untuk termotivasi. Hubungan saling
membutuhkan dan saling menguntungkan akan menjadi dasar yang positif bagi proses belajar
mengajar.
Sikap pendidik yang demokratis dan terbuka ini hendaknya diimbangi juga oleh peran
peserta didik yang aktif. Berlandaskan semangat pengembangan pengetahuan, peserta didik harus
memiliki wawasan yang luas serta tidak cepat menyerah pada tantangan yang dihadapi.
Berdasarkan pengalaman penulis, perubahan sikap pendidik juga perlu diimbangi dengan
perubahan sikap peserta didik. Pola-pola lama ketika siswa hanya menunggu informasi dari
pengajar harus sudah ditinggalkan. Siswa perlu memahami bidang-bidang yang hendak dipelajari
terlebih dahulu, untuk kemudian pada saat sesi pertemuan dengan pengajar bekal tersebut dapat
menjadi bahan diskusi interaktif. Di samping itu, ketika menyelesaikan tugas, hendaknya peserta
didik juga menyelesaikannya dengan serius. Perilaku negatif siswa, di antaranya plagiarisme,
harus mulai ditinggalkan. Komitmen kejujuran dan integritas perlu mulai dikembangkan.
BAB II
Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak
jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus
diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas, dan tanggap terhadap
masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal
yang sangat wajar, karena kepedulian untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat,
namun setiap perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab
tantangan zaman.
Syiwaisme yang berkembang di Indonesia berbeda dengan di India yang sangat bertentangan
dan hidup bermusuhan dengan Budhisme. Di Indonesia Syiwaisme dan Budhisme hidup dan
tumbuh berdampingan, walaupun terjadi penumpasan Wangsa Syailendra yang beragama Budha
oleh Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun di masyarakat/rakyat biasa tidak nampak
pertentangan tersebut, bahkan mungkin dapat dikatakan telah terjadi sinkretisme antara
Hinduisme, Budhisme, dan kepercayaan animisme/samanisme, suatu keyakinan untuk
menyatukan figur Syiwa, Budha, dan arwah-arwah nenek moyang sebagai suatu sumber dari maha
tinggi.
Pendidikan normal (dalam arti diselenggarakan oleh kerajaan) pada zaman Hindu yang terjadi
di kerajaan-kerajaan Tarumanegara, Kutai, sudah berkembang. Materi pelajaran berpusat kepada
ajaran agama, membaca dan menulis (huruf Palawa) dan bahasa Sangsekerta. Keterampilan
membuat candi dan patung-patung tidak terlepas dari inspirasi ajaran agama, dapat diajarkan
secara formal oleh pemahat, atau mereka belajar langsung dari orang tua mereka, demikian juga
cara-cara bela diri (berperang). Para pendidiknya atau guru ialah orang-orang pandai yang
memahami ajaran agama (para pandita), yang berasal dari kasta Brahmana. Para peserta didiknya
ialah keturunan para Brahmana dan anak-anak bangsawan dan raja (kasta Ksatria).
Pada zaman Hindu pendidikan masih terbatas kepada golongan minoritas (kasta Brahmana,
Ksatria), belum menjangkau golongan mayoritas kasta Waisya dan Sudra, apalagi kasta Paria.
Namun perlu diketahui bahwa penggolongan kasta di Indonesia tidak begitu ketat seperti halnya
di India yang menjadi asalnya agama Hindu. Pendidikan pada zaman Hindu lebih tepat dikatakan
sebagai “perguruan”, dimana para murid berguru kepada cendekia. Kemudian lembaga pendidikan
dikenal dengan nama Pesantren (Pecatrikan: tempat santri menuntut ilmu). Jadi berbeda sekali
dengan sekolah yang kita kenal sekarang.
Sistem perguruan yang dikenal dengan sebutan pesantren itu berkembang terus sanpai pada
pengaruh Budha, dan sampai zaman Islam, sampai sekarang (pesantren tradisional). Pada zaman
Budha pendidikan berkembang pada kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, sudah
terdapat Perguruan Tinggi Budha, dimana murid-muridnya banyak yang berasal dari Indocina,
Jepang, dan Tiongkok. Guru yang terkenal pada saat itu ialah Dharmapala. Perguruan-perguruan
Budha tersebut mungkin menyebar ke seluruh kekuasaan Sriwijaya. Mungkin sekali candi-candi
Borobudur, Mendut, dan Kalasan merupakan pusat pendidikan agama Budha.
Jika kita memperhatikan peninggalan-peniinggalan sejarah seperti candi-candi, patung-
patung, maka sudah pasti para santri/murid belajar pula ilmu membangun dan seni pahat. Karena
pembuatan candi memerlukan kemampuan teknik dan seni yang tinggi. Demikian juga dalam
memahar relief-relief candi dibimbing oleh suatu alur cerita yang menceritakan kehidupan sang
Budha atau para Dewa, atau cerita Ramayana.
Hasil karya sastra yang ditulis para pujangga banyak yang bermutu tinggi, antara lain:
Pararaton, Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Barata Yudha. Para Pujangga yang terkenal
diantaranya: Mpu Kawa, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Prapanca.
Pendidikan Islam di Jawa mulai teratur sejak seorang ulama bernama Maulana Malik Ibrahim
(wafat 1419 M), mengajarkan agama secara khusus di rumahnya, kemudian medirikan langgar di
Gresik. Bahkan beberapa penulis sejarah mengatakan bahwa beliaulah yang pertama-tama
mendirikan pesantren. Istilah pesantren mungkin berasal dari kata “santri” artinya murid, jadi
pesantren berarti tempat murid-murid. Mungkin juga kata pesantren berasal dari kata “santri” yang
berarti huruf. Dari kata santri tersebut diperkirakan para murid belajar huruf-huruf Arab dari Al-
Qur’an maupun dari kitab-kitab kuning yang diajarkanoleh seorang Kyai (suatu panggilan
terhormat bagi guru agama).
Dalam penyebaran agama dan pendidikan Islam para ulama Islam, yang pada waktu iti di
Jawa dikenal dengan Wali, telah banyak menentukan perkembangan dan kemajuan pendidikan
Islam. Para Wali disebut dengan Wali Songo, karena jumlahnya sembilan orang. Yang termasuk
Wali Songo itu adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijogo, Sunan Maria, dan Sunan Gunung Jati. Para wali
tersebut dalam mengembangkan ajaran dan pendidikan Islam memperhatikan filsafat hidup dan
kebudayaan yang hidup di masyarakat, dan mereka mengisinya dengan ajaran dan pendidikan
Islam. Sehingga dengan demikian sangat mudah ajaran Islam diterima oleh masyarakat pada waktu
itu.
Pendidikan Islam lebih teratur setelah Raden Patah mendirikan Pesantren di Hutan Glagah
Arum tahun 1475 yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Glagah Arum menjadi kota
Bintaro, dimana ia menjadi bupatinya. Raden Patah adalah orang yang pertama kali mengorganisir
pendidikan Islam dengan mendirikan organisasi Bayangkare Islah pada tahun 1476, dengan tujuan
untuk mempergiat usaha pendidikan dan ajaran Islam sesuai rencana yang teratur.
Pada tahun 1500 Masehi, Raden Patah memisahkan diri dari Majapahit yang sudah sangat
lemah, dimana Bintaro menjadi ibu kotanya. Dengan demikian pengembangan pendidikan Islam
lebih leluasa lagi, dan dari sinilah Islam menyebar ke seluruh pelosok Pulau Jawa. Raden Patah
mengorganisir para wali untuk mengorganisir pendidikan Islam di daerah tertentu, misalnya Sunan
Giri bertugas untuk mengembangkan pendidikan Islam di Surabaya dan Madura, bahkan sampai
ke Makasar dan Ambon. Sunan Gunung Jati bertugas untuk mengembangkan ajaran dan
pendidikan Islam di Jawa Barat, beliau mendirikan kerajaan di Cirebon dan Banten, sehingga
Pajajaran dan pelabuhannya Sunda Kelapa dapat ditaklukkan, kemudian didirikan Jayakarta pada
tanggal 22 Juni 1927, yang sampai sekarang menjadi Jakarta.
Pada tahun 1568 kerajaan Demak ditaklukkan oleh Panjang, sehingga pusat pemerintahan
pindah dari Demak ke Panjang. Namun kerajaan Panjang tidak begitu lama umurnya, karena pada
tahun 1586 ditaklukkan oleh Mataram. Sejak itulah pemerintahan dan penyebaran serta pendidikan
Islam berpusat di Mataram. Pada waktu kerajaan Mataram terutama pada waktu Sultan Agung
memerintah pada tahun 1615-1645 diadakan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pendidikan
Islam. Di tiap kota kabupaten harus didirikan mesjid Gede, yang paten. Menurut Muhammad
Yunus (1960) pada waktu itu telah ada lembaga-lembaga pendidikan yang berupa: Pengajian
Quran, Pengajian Kitab, Pesantren Besar, dan Pesantren Keahlian/Tarikat. Pada waktu Sultan
Agung pula terjadi suatu sinesta antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan sebelumnya yaitu
kebudayaan Hindu (Setiasih dan Sadulloh, 2017). Sintesa tersebut adalah:
1. Pada tahun 1633 diperintahkan agar Caka 1555 tidak lagi menggunakan atas dasar perhitungan
peredaran matahari, namun berdasarkan peredaran bulan sesuai dengan tahun hijriyah.
2. Gamelan saketan hanya dibunyikan di halaman masjid pada upacara Grebeg Maulud saja.
3. Pernyataan Grebeg ditentukan pada bulan puasa disebut Grebeg Poso, dan pada hari Maulid
Nabi Muhammad disebut Grebeg Mulud.
Yang pertama-tama mengembangkan agama Khatolik di Indonesia bagian Timur itu adalah
dari Ordo Franciskan, namun kemudian mereka terdesak oleh Ordo Yezuit dibawah pimpinan
Franciscus Xaverius, dimana ia menjadi peletak dasar Khatilicisme di Indonesia. Untuk
mengembangkan agama Khatolik itu, penguasa Portugis di Maluku Antonio Galvano pada tahun
1536 mendirikan sekolah seminary. Mungkin inilah lembaga pendidikan pertama yang berbentuk
sekolah di Indonesia. Di seminary itu diajarkan agama Khatolik dan baca tulis huruf latin, dan juga
diajarkan bahasa latin.
Pendudukan Portugis di Indonesia bagian Timur tidak bertahan lama, karena pada akhirnya
Belanda dapat mengusirnya, dan kemudian mengambil alih harta kekayaan Gereja Khatolik,
termasuk lembaga pendidikannya, dan diserahkan kepada misi zending Protestan (Setiasih dan
Sadulloh, 2017).
2.3.2 Zaman VOC
Pada tahun 1596 Belanda pertama kali mendarat di teluk Banten di bawah Cornelius de
Houtman. Kemudian mereka menelusuri ke Timur Banten, sehingga sampai di Jayakarta, dirubah
namanya menjadi Batavia, dan pada tahun 1602 didirikanlah suatu perkumpulan dengan
Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC). Selanjutnya keluarga Belanda membutuhkan
pendidikan, baik pendidikan umum (pengetahuan umum) maupun pengetahuan khusus, dan
sebagai perkumpulan dagang VOC membutuhkan tenaga pembantu dari bumi putra, maka mereka
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (Setiasih dan Sadulloh, 2017).
Di Indonesia pada tahun 1807 Raja mengangkat Daendles menjadi Gubernur Jendral dan
Raja memberi perintah kepadanya untuk meringankan penderitaan penduduk pribumi dan
menghapus perbudakan. Namun terhadap hal ini ia tidak banyak memperhatikannya, bahkan ia
memerintah dengan tangan besi sehingga banyak penduduk yang menderita daripada yang
diperbaiki nasibnya. Hal ini terbukti dengan terlaksananya sistem rodi (kerja paksa) dalam
membuat jalan raya dari Anyer sampai ke Pasuruan (Jawa Timur). Orientasi Daendels terpusat
kepada masalah keamanan dan segi-segi militer. Karena itu sekolah pertama yang diperhatikannya
ialah sekolah alteri (1806) dan Meester Cornelis (Jatinegara), berikutnya pada tahun 1808 didirikan
sekolah pelayaran di Semarang, dan pada tahun berikutnya dibuka sekolah bidan (1809) di Jakarta.
Taman Kanak-kanak Muhammadiyah didirikan pada tahun 1926, HIS met de Qur’an
pertama kali didirikan pada tahun 1923 di Jakarta, kemudian tahun 1926 di Kudus, dan tahun 1928
di Aceh. Selanjutnya Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah seperti: HIS, Volschool,
Verpolgschool, Schakelschool. Jadi pada dasarnya Muhamaddiyah mendirikan sekolah sesuai dan
sama dengan sekolah-sekolah belanda.
Taman Siswa. Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 (hari Senin Kliwon) oleh R.
M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dengan Ki Pronowidigso, Sutatmo Suryokusumo
beserta kawan-kawan lainnya dan perkumpulan kebatinan Jawa Slasa Kliwon. Pada waktu
didirikannya bernama National On derwijs Institut Taman Siswa, kemudian dijadikan Perguruan
Nasional Taman Siswa berpusat di Mataram Yogyakarta pada tahun 1930.
Mohamad Syafei berpandangan bahwa dalam corak belajar dan bekerja, watak anak dapat
dibentuk, begitu juga rasa sosial dan tolong-menolong. Jadi di sekolah tidak hanya menghafal saja
seperti zaman Pesantren, karena itu anak-anak Indonesia perlu diajar bekerja, mampu
menggunakan anggota badannya disamping kemampuan otaknya (Setiasih dan Sadulloh, 2017).
Konstitusi Sementara RIS berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Pasal-
pasal Konstitusi Sementara RIS yang menyatakan secara tersurat tentang pendidikan termasuk
dalam Bab V tentang Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia, terdapat pada pasal 30 yang memuat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Setelah melalui proses yang sangat panjang antara lain melalui Kongres Pendidikan
Indonesia di Solo (1947) dibawah pimpinan Prof. Sunarya Kalapaking yang bertujuan meninjau
kembali berbagai masalah pendidikan/pengajaran, usaha pembentukan panitia pembentukan
Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran (1984) yang diketuai oleh Ki Hajar
Dewantara, serta Kongres Pendidikan di Yogyakarta (1949), maka lahirlah UU No.4 Tahun 1950
tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia yang
diundangkan pada tanggal 4 April 1950. UU ini diberlakukan untuk seluruh wilayah Negara
Kesatuan II yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1950, melalui UU No. 12 Tahun 1954 tentang
pernyataan berlakunya UU No.4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia (Setiasih dan Sadulloh, 2017).
Tujuan pendidikan masyarakat adalah membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila yang akan diraih dengan dua cara, yakni metode belajar (ceramah dan tanya jawab,
diskusi, partisipasi aktif, dan orientasi pada masalah), serta metode kerja yang dilaksanakan secara
masal dan integral di suatu desa. Metode bekerja yang digunakan adalah metode Panca Marga,
yakni lima jalan untuk mencapai tujuan, sebagai berikut:
b. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi terdiri atas dua macam, yaitu pendidikan tinggi republik dan pendidikan
tinggi di daerah pendidikan Belanda. Pendidikan tinggi yang diselenggarakan pada masa ini, antara
lain:
1) Ika Daigaku di Jakarta (pendudukan Belanda), dilanjutkan dan diperluas menjadi Sekolah
Tinggi Kedokteran.
2) Sekolah Tinggi Hukum, serta Sastra dan Filsafat dibuka 1946 tetapi ditutup oleh penguasa
Belanda setelah aksi militer I, 1947 meskipun kuliah-kuliah masih tetap ada yang dilaksanakan
secara informal.
3) Perguruan Tinggi Kedokteran dan Kedokteran Gigi, keduanya didirikan di Malang 1946, tetapi
setelah aksi militer I dipindahkan ke Klaten.
4) Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan didirikan oleh Kementrian Kemakmuran di Bogor 1947
yang kemudian dipindakan ke Klaten.
5) Sekolah Tinggi Teknik didirikan oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan di
Bandung 1946. Setelah aksi militer I dipindahkan ke Yogyakarta.
6) Yogyakarta memiliki lima jenis Perguruan Tinggi, yakni: Akademik Politik, Akademik
Hukum, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada, Sekolah Tinggi Islam Indonesia, dan Universitas
Gajah Mada.
7) Solo dan Klaten memiliki empat jenis Perguruan Tinggi, yakni: Sekolah Tabib Tinggi
(Perguruan Tinggi Kedokteran I), Sekolah Tabib Tinggi (Perguruan Tinggi Kedokteran II),
Sekolah Tinggi Farmasi, dan Sekolah Tinggi Pertanian.
8) Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah Tabib Tinggi,
Sekolah Tinggi Pertanian dan Akademi Politik dimasukan ke dalam Universitas Gajah Mada.
Akademi Polisi dipindahkan ke Jakarta dengan nama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK).
9) Pendidikan Tinggi di daerah pendudukan Belanda dimulai atas prakarsa pihak Belanda.
d. Kurikulum Pendidikan
Salah satu hasil dari Panitia Penyelidik Pengajaran, yang berkenaan dengan kurikulum,
menetapkan bahwa setiap rencana pelajaran (kurikulum) pada setiap jenjang pendidikan sekolah
hendaknya meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat; meningkatkan pendidikan
jasmani; dan meningkatkan pendidikan watak.
Pembaharuan kurikulum, antara lain menghasilkan kurikulum SR 1947. Kurikulum ini terdiri
atas 16 mata pelajaran, yaitu: Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu
Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Gerak Badan,
Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, Pendidikan Agama (Setiasih dan Sadulloh,
2017).
Pada pasal 5, dinyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalah bahasa
pengantar di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, dan pada pasal 5 ayat 2, dinyatakan, di Taman
Kanak-Kanak dan tiga kelas yang terendah di sekolah rendah bahasa daerah boleh dipergunakan
sebagai bahasa pengantar.
UU No. 4 Tahun 1950 mulai berlaku di seluruh Indonesia dalam rangka Negara Kesatuan
pada tanggal 18 Maret 1954, setelah menjadi UU No. 12 Tahun 1954 (Setiasih dan Sadulloh,
2017).
Dalam kenyataannya, seringkali sila-sila tersebut sering tidak sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Misalnya, rumusan yang tercantum dalam Dasar dan
Azas Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat dalam Konsepsi Sitem Pendidikan Nasional untuk
menyempurnakan konsep pendidikan Pancawardhana, sebagai berikut:
Untuk mencapai dasar dan tujuan tersebut, isi pendidikan adalah sebagai berikut:
Mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama; Mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan; Membina/mengembangkan fisik yang kuat yang kuat dan sehat.
Sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, Lampiran C1 No. 1, supaya Anggaran
Belanja Negara untuk bidang pendidikan yang berjumlah 25% dilaksanakan. Dalam hubungan
Anggaran Belanja ini termasuk perbaikan nasib Guru/Pendidik Bangsa (pasal 6)
UU No. 12 Tahun 1954 dan UU No. 22 Tahun 1961 masih tetap berlaku, tetapi sudah
mengalami perbaikan melalui Tap MPRS No. II/MPRS/1966, terutama tentang tujuan pendidikan
(Setiasih dan Sadulloh, 2017).
1. Zaman Realisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar tidak hanya diperoleh melalui penginderaan semata, tetapi
juga melalui persepsi penginderaan.
2. Zaman Rasionalisme
Tokoh pendidikan pada perode ini adalah John Locke. Aliran ini memberikan kekuasaan
kepada manusia untuk berpikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena latihan sangat
diperlukan.
3. Zaman Naturalisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang
tidak wajar seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Aliran ini juga
menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dan dapat menemukan
jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri.
4. Zaman Developmentalisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah Pestalozzi, Johann Fredrich Herbath, dan Stanley
Hall. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga
sering disebut sebagai gerakan psikologis dalam pendidikan.
5. Zaman Nasionalisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah La Chatolais, Fichte, dan Jefferson. Aliran ini
berpendapat bahwa pendidikan dibentuk sebagai upaya membentuk patriot bangsa dalam
mempertahankan bangsa dari kaum imperialis.
6. Zaman Liberalisme dan Positivisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah Adam Smith. Aliran ini berpendapat bahwa
pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan. Sedangkan
tokoh pendidikan pada periode positivisme adalah August Comte. Aliran ini mempercayai
bahwa kebenaran dapat diamati oleh panca indera, sehingga kepercayaan pada agama semakin
melemah.
7. Zaman Sosialisme
Tokoh pendidikan pada periode ini adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John
Dewey.
Nama kuniahnya Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Beliau juga
bergelar Al Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu
kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia. Sedangkan
gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Imam Al-Ghazali adalah seorang
ulama, ahli pikir, dan ahli filsafat Islam terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi
perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah menjabat sebagai Naib Kanselor di Madrasah
Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.
Al Ghazali telah menunjukkan rasa cintanya terhadap ilmu pengetahuan sejak ia masih anak-
anak. Hal tersebut juga ia tunjukkan dengan kegigihannya dalam mencari ilmu dengan beberapa
tenaga pengajar yang ada di tempat lahirnya. Al Ghazali juga diketahui sebagai muslim yang
sangat cakap menjelaskan konsep pendidikan yang menurutnya meliputi dari tujuan pendidikan,
metode pembalajaran, etika guru, kurikulum dan siswa.
2. John Locke
John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 dan wafat pada tanggal 28 Oktober 1704
saat usianya menginjak 72 tahun. John Locke adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah
satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, John
Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke
dipandang sebagai salah satu figur terpenting di masanya.
John Lock mendapatkan gelar sarjana mudanya pada tahun 1656 dari Universitas Oxford.
Setelah mendapatkan gelar sarjana muda, ia kemudian mendapatkan gelar sarjana penuh dua tahun
kemudian. Kala itu, John Locke yang masih remaja diketahui begitu tertarik dengan ilmu
pengetahuan. Ketertarikannya tersebut membuatnya terpilih menjadi salah satu anggota Royal
Society pada usia yang menginjak 36 tahun. John Locke fokus menyoroti masalah kurikulum
dalam pendidikan. Menurutnya, kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan harus
diarahkan dengan baik untuk mendapatkan kecerdasan individual, kemampuan, serta
keistimewaan anak-anak agar mereka dapat mengusasai dan memahami pengetahuan dalam arti
yang sebenarnya, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban belajar saja.
John Locke juga menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (post-
Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang
dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu. Kemudian Locke juga menekankan pentingnya
pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Tulisan-tulisan John Locke tidak hanya berhubungan dengan filsafat saja, tetapi juga tentang
pendidikan, ekonomi, teknologi, dan medis. Karya-karya Locke yang terpenting adalah "Esai
tentang Pemahaman Manusia" (Essay Concerning Human Understanding), "Tulisan-Tulisan
tentang Toleransi" (Letters of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises
of Government).
3. John Dewey
John Dewey merupakan tokoh lain yang memiliki pengaruh besar dalam bidang ilmu
pengetahuan. John Dewey lahir di Burlington, Vermont tanggal 20 Oktober 1859 dan wafat pada
tanggal 1 Juni 1952.
Dewey adalah Bapak Pendidikan Amerika yang termasuk Mazhab Pragmatisme. Selain
sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Karirnya di bidang filosofi dimulai setelah lulus tahun 1879. Tahun 1884 Dewey mendapat gelar
doktor dari John Hopkins University dengan disertasi tentang filsafat. Sebagian besar
kehidupannya dihabiskan dalam dunia pendidikan dan ia diterima mengajar di University of
Michigan (1884-1894). Tahun 1894 Dewey berpindah tugas ke University of Chicago dan menjadi
kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan. Di sini, Dewey mengembangkan aliran
Pragmatisme bersama dengan Charles Sanders Peirce dan William James, di universitas ini pulalah
Dewey memperoleh gelar Profesor of Philosophy pada tahun yang sama. Tahun 1899, Dewey
mulai menulis buku berjudul The School and Society, yang memformulasikan metode dan
kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak dan membantu mendirikan sekolah
baru bagi Social Research di New York. Tahun 1904 Dewey berpindah ke Columbia University di
Department of Philosophy hingga purna tugas. Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah
problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teori maupun praktek. Reputasinya terletak
pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika.
Dewey dikenal kerap melakukan berbagai penelitian tentang sistem pendidikan yang
diterapkan di beberapa sekolah. Selain itu, ia menerapkan teori yang ia kembangkan pada beberapa
sekolah. Implementasi yang dilakukan oleh Dewey kemudian mampu mengganti sistem
pendidikan tradisional yang lebih mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal
seseorang selama ini dengan sistem pendidikan yang menekankan kreativitas dan keterlibatan para
murid dalam sebuah diskusi efektif untuk mendapatkan pemecahan masalah.
Disamping itu sepanjang hidup dan karirnya, Dewey telah banyak menulis buku maupun
artikel mengenai teori pengetahuan dan metafisika, serta pendidikan. Buku How We Think (1910)
dan Democracy and Education (1916), Freedom and Cultural, Art and Eksperience, The Quest of
Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925) merupakan karya
yang fenomenal.
4. Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir pada tahun 980 di Afsyahnah dekat Bukhara dan meninggal dunia pada bulan
Juni 1037 di Hamadan, Persia. Ibnu Sina juga dikenal sebagai Avicenna di Dunia Barat. Beliau
adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter. Ibnu Sina dikenal sebagai seorang intelektual
muslim yang pernah menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan sebenarnya harus diarahkan
pada pengembangan potensi yang dimiliki oleh seseorang. Bukan hanya dengan mengembangkan
fisik, namun juga mengembangkan intelektual dan tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang.
Sebab dengan begitu, maka orang tersebut dapat siap hidup dalam masyarakat umum.
Dia adalah pengarang dari 450 buku dengan beberapa pokok bahasan besar. Banyak di
antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai
"bapak kedokteran modern." George Sarton menyebut Ibnu Sina "ilmuwan paling terkenal dari
Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu". Karyanya yang
paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine yang dikenal sebagai
sebagai Al-Qanun fi At Tibb.
5. George Kerschensteiner
George Kerschensteiner, ia lahir di kota Munchen Jerman pada tahun 1855 dan wafat pada
tahun 1932. Beliau adalah seorang pekerja keras dan suka dengan kemandirian oleh karena itu
dengan usahanya sendiri ia mampu bersekolah hingga mencapai cita-citanya yaitu menjadi seorang
Guru.
Ketika George Kerschensteiner meninggal, ia meninggalkan kesan abadi sebagai salah satu
pendidik terkemuka di Jerman, karya-karya besarnya adalah sebagai berikut:
"Kewarganegaraan pendidikan pemuda Jerman" (1901)
"Masalah-masalah mendasar dari organisasi sekolah" (1907)
"Konsep pekerjaan sekolah" (1912)
"Karakter konsep dan pendidikan karakter" (1912)
"Sifat dan nilai dari kurikulum ilmu" (1914)
"Dasar aksioma proses pendidikan dan implikasinya bagi organisasi sekolah (1917)
"Jiwa pendidik dan masalah pendidikan guru" (1921)
"Otoritas dan kebebasan dari kebijakan pendidikan" (1924)
"Teori Pendidikan" (1926)
"Pedagogi kehadiran dalam ekspresi diri" (1926)
6. Francis Bacon
Sir Francis Bacon lahir pada tanggal 22 Januari 1561 dan wafat pada tanggal 9 April 1626.
Beliau adalah seorang filsuf, negarawan dan penulis Inggris. Beliau dianugerahi gelar ksatria (Sir)
pada tahun 1603, diangkat menjadi Baron Verulam pada tahun 1618, dan menjadi Viscount Alban
pada tahun 1621. Pada masa akhir hidupnya, Bacon melakukan suatu percobaan untuk
mengawetkan makanan dengan menggunakan salju. Akibat percobaan tersebut, ia menderita
bronkitis yang kemudian merenggut nyawanya.
Cara induksi secara sederhana adalah bermula dari rasio bertitik pangkal pada pengamatan
indrawi, lalu maju sampai pada ungkapan-ungkapan yang paling umum guna menurunkan secara
deduktif. Agar tidak terjebak pada generalisasi yang tidak sesuai, maka yang perlu dihindari empat
penghalang prakonsepsi, empat hal tersebut adalah:
a. The Idols of Tribe. Menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab
yang diperiksa secara dangkal (sebagaimana pada umumnya manusia awam/tribus).
b. The Idols of the Cave. Menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka, prejudice (seperti
manusia di dalam gua/specus).
c. The Idols of the Market Place. Menarik kesimpulan hanya karena umum berpendapat demikian
(opini publik/opini pasar/forum).
d. The Idols of the Theatre. Menarik kesimpulan berdasarkan kepercayaan dogmatis, mitos dan
seterusnya. Karena manganggap dunia adalah panggung sandiwara.
Johann Friedrich Herbart lahir di Oldenburg Jerman pada tanggal 4 Mei 1776 dan wafat di
Göttingen Jerman pada tanggal 14 Agustus 1841 saat berusia 65 tahun. Beliau adalah seorang
tokoh pendidik terkemuka asal Jerman yang ternama dan berpengaruh pada akhir abad 18 dan awal
abad 19.
Jean Jacques Rousseau lahir di Jenewa, Swiss pada tanggal 28 Juni 1712 dan wafat di
Ermenonville, Oise, Perancis pada tanggal 2 Juli 1778 di usia 66 tahun. Beliau adalah seorang
tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada zamannya. Banyak pikiran menarik dan orisinil
terdapat dalam tulisan-tulisan politik Rousseau. Tetapi yang paling menonjol dari semuanya itu
adalah gairahnya yang berkobar-kobar terhadap terjelmanya persamaan hak dan derajat. Rousseau
tidak menganjurkan tindak kekerasan, tetapi jelas dia mempengaruhi orang lain memilih revolusi
yang keras untuk mencapai perbaikan tingkat demi tingkat. Beliau diberi kehormatan sebagai
pahlawan nasional di Panthéon Paris pada tahun 1794, enam belas tahun setelah kematiannya.
9. Philip H. Coombs
Philip Hall Coombs lahir pada tahun 1915 di Holyoke dan wafat pada 15 Februari 2006 di
Chester. Beliau mengajar ekonomi di Williams College dan merupakan direktur untuk program
pendidikan di Ford Foundation.
A. Ki Hajar Dewantara
Biografi
Ki Hajar Dewantara, terlahir di Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat. Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa
Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara lahir dalam
keluarga bangsawan, maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan
pada zamannya. Ia pertama kali bersekolah di ELS (Europese Lagere School) yaitu Sekolah Dasar
untuk anak-anak Eropa, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di STOVIA.
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal
ini dibuktikannya dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa
itu. Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong
Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya. Pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan
bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia
terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai
metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 03 Juli 1922. Sekolah
tersebut dikenal dengan nama Taman Siswa.
Ontologi. Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia
seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai
manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan
pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis
atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio – anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah: ”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”. Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.
Epistimologi. Cara mengajar beliau menerapkan metode “among”. Metode ini dapat
dikatakan sebagai metode pembelajaran inovatif yang mampu mengembangkan jiwa merdeka
siswa. Metode ini melawan metode klasikal yang kaku, statis, dan dingin dengan info-info guru
semata. Among mempunyai pengertian menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih
sayang. Lalu gurunya disebut pamong karena momong (mengasuh) yang mempunyai kepandaian
dan pengalaman lebih dari yang diamong.
Metode among memberikan ciri jiwa merdeka. Jadi, mengajar dengan sistem among yang
pertama harus ditumbuhkan adalah mengenalkan, menanamkan, dan mewujudkan jiwa merdeka.
Dengan jiwa merdeka, kreativitas dan imajinasi siswa akan muncul dan kelak menjadi bekal untuk
membangun Indonesia. Oleh karena itu, sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan
paksaan/kekerasan yang akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Metode among dilaksanakan
secara “Tut Wuri Handayani”, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilakukan dengan kasih sayang.
Anak didik harus dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena
paksaan dari luar atau perintah orang lain. Seperti prinsip Ki Hadjar Dewantara bahwa kita tidak
perlu segan-segan memasukkan bahan-bahan dan kebudayaan asing, dari manapun asalnya. Perlu
diingat bahwa dengan bahan itu kita dapat menaikkan derajat hidup kita dengan mengembangkan
apa yang sudah menjadi milik kita, dan memperkaya apa yang belum kita miliki.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan: kita harus
mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan batin, kecintaan
pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan
kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi pekerti, pikiran merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan dapat memajukan kesempurnaan hidup. Yakni:
kehidupan yang selaras dengan perkembangan dunia tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi
dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi
sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka
penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan;
menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat.
Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/kinerja seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif
demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Biografi
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau adalah tokoh pahlawan nasional
Indonesia dari suku Jawa. Raden Ajeng Kartini berasal dari bangsa priyayi. Kartini bersekolah di
ELS (Europese Lagere School) sampai usia 12 tahun. Di sisi lain Kartini belajar Bahasa Belanda.
Ia juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia
juga menerima leestrommel paket majalah yang diedarkan took buku kepada langganan.
Diantaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahaun yang cukup berat. Kartini banyak
membuat tulisan dan mengutip kalimat. Perhatiannya tersorot pada emansipasi wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih
luas.
Kartini telah membawa banyak perubahan dan kemajuan dalam pendidikan Indonesia.
Kartini mengajarkan bahwa seorang wanita harus mempunyai pemikiran jauh ke depan. Di mata
Kartini pendidikan adalah hal penting. Pendidikan akan mampu mengangkat derajat dan martabat
bangsa. Kartini konsisten mengemukakan pentingnya pendidikan yang mengasah budi pekerti,
atau yang kita kenal sebagai pendidikan karakter pada masa sekarang.
Kartini mengatakan bahwa pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam, tetapi
budi pekerti pun harus dipertinggi. Sekolah diperlukan dalam memajukan pendidikan. Pendidikan
di sekolah juga harus dibarengi dengan pendidikan di keluarga. Untuk para guru di sekolah, kartini
berharap guru tidak hanya mengajar semata, tetapi juga harus menjadi pendidik. Dalam notanya
berjudul ‘Berilah Orang Jawa Pendidikan’ Kartini dengan tegas mengatakan “guru-guru memiliki
tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu,
yaitu pendidikan pikiran dan budi pekerti”
Bagi Kartini mendidik perempuan merupakan kunci peradaban, karena perempuan yang
akan mendidik anak-anak (generasi muda). Beliau juga memiliki pemikiran tentang kebijakan
pendidikan, dimana pemerintah berkewajiban meningkatkan kesadaran budi perempuan, mendidik
perempuan, memberi pelajaran perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai ibu dan pendidik
yang cakap dan cerdas. Namun Kartini juga tidak lantas membatasi pendidikan yang normatif,
beliau memberi kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan mengutarakan pendapat. Bahan
bacaan menjadi gagasan kartini juga, karena bahan bacaan atau yang sekarang ini kita artikan
sebagai sumber belajar merupakan alat pendidikan yang diharapkan banyak mendatangkan
kebajikan. Anak-anak hendaknya diberi bahan bacaan yang mengasyikkan, bukan karangan kering
yang semata-mata ilmiah.
Biografi
K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh pendidikan Indonesia sekaligus pendiri Muhammadiyah.
Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912. Dasar tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu
ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul dalam usaha penyelenggaraan
pendidikan.
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Kajian Historis Tokoh Pendidikan Dunia
Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya, bahwa ada 10 tokoh pendidikan dunia yang
dibahas dalam makalah ini beserta dengan kontribusinya masing-masing, yakni:
1. Al Ghazali. Kontribusi Al Ghazali terhadap pendidikan dunia adalah kaya tulisnya. Karya-
karya Imam Alghazali cukup banyak, diantaranya yang paling terkenal adalah Ihya
Ulumudddin (Kitab tasawuf). Selain itu masih banyak lagi karya-karya beliau seperti Kimiya
as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan), Misykah al-Anwar (The Nice of Lights), Maqasid al-
Falasifah, Tahafut al-Falasilah, al-Musthtasfa min 'Il al-Ushul, Mi'yar al-Ilm (The Standard
Measure of Knowledge), al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance), Mihakk al-Nazar fi al-
Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).
2. John Locke. Salah satu pemikiran Locke yang paling berpengaruh di dalam sejarah filsafat
adalah mengenai proses manusia mendapatkan pengetahuan. Menurut Locke, seluruh
pengetahuan bersumber dari pengalaman manusia. Locke berpendapat bahwa sebelum
seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran atau rasio manusia itu belum berfungsi atau
masih kosong. Situasi tersebut diibaratkan Locke seperti sebuah kertas putih yang kemudian
mendapatkan isinya dari pengalaman yang dijalani oleh manusia itu.
3. John Dewey. Di dalam bidang pendidikan, ia mengemukakan teori dan metode Learning by
Doing. Dalam teori dan metodenya ini, ia berpendapat bahwa untuk mempelajari sesuatu,
orang tidak perlu terlalu banyak mempelajari itu. Dalam melakukan apa yang hendak
dipelajari, dengan sendirinya ia akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatan-perbuatan
yang tepat, sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari itu dengan sempurna.
4. Ibnu Sina. Dalam ilmu kedokteran, buku Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad
menjadi buku rujukan utama dan paling otentik. Buku ini mengupas kaedah-kaedah umum
ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Ibnu Sina juga memiliki peran
besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya
Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi,
Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas
kepada khazanah keilmuan dunia
5. George Kerschensteiner. Mendirikan sekolah kerja Pendidikan Kewarganegaraan.
6. Francis Bacon. Francis Bacon dikenal sebagai pencetus pemikiran empirisme yang mendasari
sains hingga saat ini. Tulisan dan pemikirannya mempengaruhi metodologi sains yang
menitikberatkan pada eksperimen yang dikenal juga sebagai "Metode Bacon"
7. Johan Friedrich Herbart. Pemikiran Herbart yang berkaitan dengan pokok pembahasan ini
adalah mengenai akal dan pikiran manusia, menurutnya akal adalah kumpulan gagasan dan
pendidik perlu menolong pelajar untuk menambah pengetahuan. Herbart mengutamakan
mutlaknya pengetahuan dan pengertian dalam kurikulum, yang mengurangi pentingnya
perasaan dan keterampilan jasmani.
8. J.J. Rousseau.Pemikiran filosofi Rousseau memengaruhi revolusi Prancis dalam
perkembangan politik modern dan dasar pemikiran edukasi. Beberapa karya Jean Jacques
Rousseau dalam dunia pendidikan sebagai berikut: Beliau menuliskan kunci pokok
Pendidikan Kewarganegaraan yang seutuhnya; Julie, Ou La Nouvelle Héloïse adalah novel
sentimental yang merupakan karya penting yang mendorong pengembangan era pre-romantic
dan romantic di bidang tulisan fiksi; Dalam bidang autobiografi karya Rousseau adalah:
Confession, yang menginisiasi bentuk tulisan autobiografi modern; Reveries of a Solitary
Walker; dan Age of Sensibility, yang berfokus pada masalah subjektifitas dan introspeksi yang
mengkarakterisasi era modern; Rousseau juga menulis dua drama dan dua opera dan
menyumbangkan kontribusi penting dibidang musik sebagai teoris pada periode revolusi
Prancis.
9. Philip H. Coombs. Coombs mengorganisir UNESCO, Institut Internasional untuk
Perencanaan Pendidikan. Coombs juga menulis beberapa buku tentang kebijakan luar negeri
dan pendidikan.
10. William Stern.Pemikiran pendidikan William Stern bertumpu pada hasil sinestetis dari dua
teori sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan teori Konvergensi. Lebih tepatnya bahwa
Konvergensi ini menyatakan kecerdasan itu bukan hanya dipengaruhi oleh pengalaman saja
tapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan pendidik disekitar.
3.1.2 Kajian Historis Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia
Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya, bahwa ada 10 tokoh pendidikan dunia yang
dibahas dalam makalah ini beserta dengan kontribusinya masing-masing, yakni:
1. Ki Hajar Dewantara. Relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin diwujudkan dengan pendidikan yang
memerdekakan dan membentuk karakter kemanusian yang cerdas dan beradab. Oleh karena
itu, konsepsi pendidikan Ki Hajar Dewantara dapat menjadi salah satu solusi membangun
kembali pendidikan dan kebudayaan nasional yang telah diporak-porandakan oleh
kepentingan kekuasan dan neoliberalisme.
2. Raden Ajeng Kartini. Kontribusi R.A Kartini dalam memajukan pendidikan di Indonesia
merupakan salah satu contoh kontribusi wanita dalam sejarah. Kartini mendobrak kondisi
yang memprihatinkan dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu beliau juga
mendirikan perpustakaan bagi anak-anak. Kartini dalam memajukan pendidikan Indonesia
tertuang dalam karya nya “Door Duisternis Tot Licht”, yang diartikan sebagai ‘Habis Gelap
Terbitlah Terang’.
3. Kyai H. Ahmad Dahlan. Sumbangan pemikiranya dalam dunia pendidikan yaitu dengan
usaha-usaha yang direalisasikan melalui: Memasukkan pelajaran agama Islam ke dalam
lembaga pendidikan milik kolonial Belanda; Penerapan sistem dan mengadopsi metode
pendidikan Barat dalam lembaga pendidikan Islam; dan Memadukan antara pelajaran agama
dengan pelajaran umum.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan dan Dosen Universitas gajah Mada. (2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta :
Paradigma
Kuswana, Wowo S. (2013). Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan. Alfabeta:
Bandung.
Setiasih, O. dkk. (2017). Landasan Pendidikan. Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriyoko, Ki. (1988). Masalah Kebebasan Akademik Mahasiswa. Surat Kabar Harian
“WAWASAN”. Semarang:Edisi 8 Desember 1988
Sumber Internet:
http://fidiupiserang.blogspot.co.id/2014/10/kumpulan-tokoh-pendidikan-dan-teorinya .html
(08/02/2017, 10:15)
https://godliefmalatuny.blogspot.co.id/2016/10/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
(17/02/2017, 11:16)
http://www.insanpendidikan.com/2016/09/tokoh-tokoh-berpengaruh-dalam-dunia-pendidikan-
dari-luar-negeri.html (9/02/2017, 16:32)
https://www.slideshare.net/ernimaturbongs/tokoh-pendidikan-dunia (01/03/2017, 19: 11)