Filsafat Pendidikan
DOSEN PENGAMPU :
Dra. Risma Sitohang, M.Pd.
OLEH:
APRIANA M.S SINURAT
4183121056
FISIKA DIK C 2018
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan
karunia yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun yang menjadi judul tugas saya adalah “Critical Book Report”. Tujuan saya menunlis
makalah ini ialah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah “Filasafat Pendidikan”.
Jika dalam penulilsan makalah saya terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam
penulisanya, maka kepada para pembaca saya memohon maaf sebesar-besarnya atas koreksi-
koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu evaluasi dalam
pembuatan makalah ini.
Mudah-mudahan dengan adanya pembuatan tugas ini dapat memberikan manfaat berupa ilmu
pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.
Penulis
IDENTITAS BUKU
Buku 1
Pengarang : Prof.Dr.H.Jalaluddin
Prof. Dr.H.Abdullah Idi, M.Ed.
Penerbit : PT RAJA GRAFINDO PERSADA
Judul :Filsafat Pendidikan (edisi revisi)
Kota terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2013
Buku 2
KATA PENGANTAR..................................................................................................
IDENTITAS BUKU......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Ruang lingkupnya mencakup
seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan. Apabila kita
mempelajari karya tulis yang membahas pepnpdidikan, baik sains peniddikan (sciens of
education) maupun filsafat pendidikan (philosophy of education), maka akan kia
temukan berbagai macam pengertian atau uraian yang beraneka ragam tentang
pendidikan.
Pembahasan tersebut pada umumnya berkisar sekitar dasar dan tujuan pendidikan,
proses pendidikan, materi pendidikan, dan kebijakan-kebijakan operasional pendidikan.
Hal ini terjadi kareana pendekatan yang dipergunakan setiap penulis berbeda-beda.
Mereka mungkin menggunakan pendekatan filosofi, mungkin pendekatan sains (ilmiah),
bahkan mungkin pula menggunakan pendekatan dogmatis religi.
1.3 Tujuan
1. Mengulas semua bab dalam buku tersebut
2. Mencari dan mengetahui informasi mengenai buku tersebut
3. Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan pada buku.
BAB II
ISI BUKU
2.1 Ringkasan Buku I
2.1.1 BAB I FILSAFAT
PENGERTIAN FILSAFAT
Kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos
artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kearifan atau kebijakan. Jadi, arti
filsafat secara harfiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearifan atau kebijakan.
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup (weltanschaung). Filsafat
diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai keakar-akarnya.
Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang
penting atau apa yang berarti dalam kehidupan. Ada pula yang beranggapan, bahwa para
filosofi telah bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti
halnya Karl Marx dan Federick Engels telah menciptakan komunisme. Thomas Jefferson dan
John Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang dianut dalam masyarakat demokratis.
John Dewey adalah peletak dasar kehidupan pragmatis diAmerika.
Filsafat dapat dipelajari secara akademis, diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang
sangat mendalam sampai keakar-akarnya (radix) mengenai segala sesuatu yang ada (wujud).
“Philosophy means the attempt to conceive and present inclisive and systematic view of
universe and man’s in it”. (Henderson, 1959 : 16).
Filsafat dapat diartikan juga sebagai “Berpikir refleksi dan kritis” (reflektif and critical
thinking). Namun, Randall dan Buchler (1942) memberikan kritik terhadap pengertian
tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan karena beberapa
alasan, yaitu :
1) Tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda antara berfikir filosofi dengan fungsi-
fungsi kebudayaan dan sejarah,
2) Para ilmuwan juga berpikir refleksi dan kritis, padahal antara sains dan filsafat
berbeda,
3) Ahli hukum, ahli ekonomi, juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir refleksi
dan kritis, padahal mereka bukan filosof atau ilmuwan.
Menurut Al-Syaibany (1979), hikmat mengandung kematangan pandangan dan pikiran yang
jauh, pemahaman dan pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja.
Selanjutnya Al-Syaibany mengemukakan bahwa hikmat yang dicintai oleh filosof dan selalu
berusaha mencapainya mengndung lima unsur, yaitu universal, pandangn yang luas, cerdik,
pandangan perenungan (mediatif, spekulatif), dan mengetahui pelaksanaan pengetahuan
tersebut atau pengetahuan yang disertai dengan tindakan yang baik.
Harold Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti
luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan dengan metodologi
atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai
“science of science”, dimana tugas utamanya memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-
asumsi dan konsep-konsep sains, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian
pengetahuan.
Pada bagian lain Harold Titus mengemukakan makna filsafat, yaitu :
1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta;
2) Filsafat adalah suatu metode berpikir refleksi, dan penelitian penalaran;
3) Falsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah;
4) Filssafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir.
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam
menentukan dan menemukan eksintensinya. Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua
berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir dengan sadar, yang
mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum-hukum
berpikir yang berlaku.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berppikir
manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan.
MODEL-MODEL FILSAFAT
1. Filsafat spekulatif
Filsafat spekulatif adalah cara berpikir sistematis tentang segala yang ada. Filsafat spekulatif
tergolong filsafat tradisisonal. Dalam hal ini filsafat dianggap sebagai suatu bangunan
pengetahuan (body of knowledge). Filsafat Yunani Kuno, seperti filsafat Socrates, Plato,
Aristoteles, dan filsafat yang lainnya, daapt dijadikan paradigma bagi seluruh filsafat
spekulatif. Filsafat spekulatif merenungkan sacara rasional spekulatif seluruh persoalan
manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada pada jagat raya ini.
Plato sebagai pelopor filsafat idealisme klasik membahas semua persoalan yang berkaitan
dengan manusia, masyarakat, dan eksistensi manusia dalam alam ini. John Dewey
membangun filsafat pragmatisme, berbicara tentang manusia, jagat raya yang bersifat fisik
dan natural, berbicara tentang pengetahuan empiris dan teruji oleh pengalaman, dan juga
berbicara tentang nilai.
Filsafat spekulatif mencari keteraturan dan keseluruhan yang diterapkan, bukan pada suatu
item pengalaman khusus, melainkan kepada semua pengalaman dan pengetahuan.
2. Filsafat Preskriptif
Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standard) penilaian tentang
nilai-nilai, penilaian tentang perubahan manusia, dan penilaian tentang seni. Bagi ahli
psikologi eksperimental, keanekaragaman perbuatan manusia secara moral bukan baik dan
juga bukan jahat, melainkan merupakan suatu bentuk saderhana dari tingkah laku yang
dipelajari secara empiris.
3. Filsafat Analitik
Model analitik terdapata dua golongan, yaitu analitik linguistik dan analiltik postivistik logis.
a. Analitik linguistik
Pendekatan analitik linguistik memusatkan perhatiannya pada analisis bahasa, kata-
kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa. Pendekatan analitik
linguistik akan menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif.
Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan, seperti
“manusia seutuhnya” sebagai tujuan pendidikan, “pendidikan seumur hidup”,
“pendidikan akademik”, “kedewasaan”, “kewibawaan”, dan sebaginya.
Filsafat analitik linguistik bukan merupakan suatu bangunan pengetahuan, melainkan
merupakan suatu aktivitas yang bertujuan menjernihkan istilah-istilah yang
dipergunakan.
b. Analitik Positivistik logis
Bertrand Russel yang berakar pada dan meneruskan filsafat positivisme dan Comte
yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu
(science), dengan meletakakan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
Menurut Kunto Wibisono (1997) Positivisme merupakan suatu model dalam
pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang didalam langkah kerjanya
menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana
diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam pengmbangan
ilmu-ilmu sosial.
Paradigma Positivisme menunjukkan lima aksioma (Moleong: dalam Hadi
Sutarmanto, 1997):
Aksioma 1 : Hakekat kenyataan (Ontologi)
Terdapat kenyataan yang sifatnya tunggal, nyata, terbagi dalam variabel bebas,
dan proses yang dapat diteliti secara terpisah dari yang lainnya
Aksioma 2 : Hubungan antar pencari tahu dan yang tahu
Pencari tahu dan obyek inkuiri adalah bebas; pencari tahu yang kemudian
membentuk dualisme yang pilah
Aksioma 3 : Kemungkinan Menggeneralisasi
Tujuan penelitian adalah mmengembangkan tubuh pengetahuan (body of
knowledge) yang nomotetik dalam bentuk generalisasi, yaitu pernyataan benar
yang bebas dari waktu dan lonteks
Aksioma 4 : Kemungkinan hubungan kausalitas
Setiap tindakan dapat diterangkan sebagai hasil atau akibat dari suatu sebab
sesungguhnya yang mendahului akibat tersebut secara sementara
Aksioma 5 : Peran nilai dalam inkuiri (aksiologi)
Penelitian adalah bebas nilai dan dapat dijamin demikian oleh kebaikan
pelaksanaan metoda obyektif.
Aksioma di atas menunjukkan bahwa paradigma positivistik bersifat atomistik, dapat
mencapai generalisasi yang digunakan untuk meramalkan/ memprediksi, dan juga sifatnya
daterministik yaitu untuk menuju kepada kebenaran dengan menguji hipotesis.
Positivisme merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para
penganutnya menyebut dirinya berparadigma ilmiah (scientific paradigma). Model apapun
dalam pendekatan filosofis semuanya penting. Kebanyakan ahli pikir sepakat bahwa sebuah
model diatas bermanfaat dalam mengkaji segala sesuatu.
C. MISI FILSAFAT
Para filosof berusaha memecahkan masalah-masalah yang penting bagi manusia, baik
langsung maupun tidak langsung. Filosof mencoba membuat generalisasi, sistematisasi, dan
gambaran-gambaran yang konsisten tentang semua hal yang ia ketahui dan ia pikirkan.
Kalau kita mencoba mempelajari latar belakang kehidupan filosof, kita dapat melihat bahwa
mereka berasal dari beraneka ragam keahlian dan latar belakang sosial yang berbeda. Di
antaranya ada filosof yang menjadi pemimpin/imam geraja, seperti St. Agustinus, Berkeley,
yang mencoba untuk memberikan penjelasan filsafatnya dari sudut pandang agama.Dari
sudut pekerjaannya, kita dapat melihat bahwa di antara mereka ada yang menjadi guru (guru
besar), seperti Thomas Aquino pada zaman Scholastik.
Tanpa melihat tujuan, pekerjaan, dan latar belakang sosialnya, para filosof telah
menyumbangkan suatu keyakinan mengenai pentingnya pangujian dan analisis yang kritis
terhadap pandangan-pandangan manusia, baik yang bersumber dari pengalaman sehari-hari,
berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah, maupun yang berasal dari kepercayaan ajaran
agama.
Titus (1959) mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas utama filsafat, yaitu :
a) Mendapatkan pandangan yang menyeluruh;
b) Menemukan makna dan nilai-nilai dari segala sesuatu;
c) Menganalisis dan memadukan kritik terhadap konsep-konsep.
Filsafat tertarik terhadap aspek-aspek kualitatif segala sesuatu, terutama berkaitan dengan
makna dan nilai-nilainya. Filsafat menolak untuk mengabaikan setiap aspek yang otentik dari
pengalaman manusia.
D. LAPANGAN FILSAFAT
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa filsafat adalah berpikir radikal, sistematis, dan
universal tentang segala sesuatu. Jadi, yang menjadi objek pemikiran filsafat adalah segala
sesuatu yang ada. Segala ynag ada merupakan bahan pemikiran filsafat.
Al-Syaibany (1979) mendefenisikan filsafat sebagai usaha mencari yang hak dan mengenai
kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang berwujud, atau usaha untuk
mengetahui tentang nilai segala sesuatu yang mengelilingi manusia dalam alam semesta ini.
Selanjutnya uraian berikut ini akan menjelaskan ketiga persoalan yang menjadi lapangan
kajian filsafat.
1. Metafisika
Secara etimologi, metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari dua
kata, “meta” dan “fisika”. Meta berarti sesudah, di belakang, atau melampaui, dan
fisika berarti alam nyata.
2. Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme”
berarti teori pengrtahuan. Etimologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau
mengkaji tentang teori pengrtahuan.
a. Jenis-jenis pengetahuan
1) Pengetahuan wahyu (revealed knowledge)
Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang
diberikan Tuhan kepada manusia.
2) Penetahuan intuitif (intuitive knowledge)
Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat
dia menghayati sesuatu.
3) Pengetahuan rasional (rational knowledge)
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan
rasio/akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa
faktual.
4) Pengetahuan empiris (empirical knowledge)
Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan,
pendengaran, dan sentuhan indera-indera lainnya, sehingga kita memiliki
konsep dunia di sekitar kita.
5) Pengetahua otoritas (authoritative knowledge)
Kita menerima suatu pengetahuan itu benar bukan karena telah menceknya di
luar diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang
berwibawa, memiliki wewenang, berhak) di lapangan.
b. Teori pengetahuan
1) Teori korespondensi (correspondence theory)
Menurut teori korespondensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta
dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan dalam
fikiran dengan situasi lingkungannya.
2) Teori koherensi (coherence theory)
Menurut teori koherensi, kebenaran bukan persesuaian antara pikiran dengan
kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita
dengan pengetahuan kita yang telah dimiliki.
3) Teori pragmantisme (pragmatism theory)
Menurut teori pragmantisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan
kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja.
3. Aksiologi
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logosa” yang berarti teori. Jadi, aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Menurut objektivisme metafisika,
nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas
metafisika.
a. Karakteristik nilai
1) Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu obyektif jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang
menilai ; sebaliknya, nilai itu ‘subyektif’ jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik.
2) Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang
sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang
masa, serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras, maupun
kelas sosial.
b. Tingkatan (hierarki) nilai
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai, yaitu :
Pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana
nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka
menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu
manusia menentukan realitas objektif, hukum-hukum alam, dan aturan-aturan berpikir
logis.
Ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti, Menurut mereka, suatu
aktivitas diaktakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang
penting, dan memiliki nilai instrumental.
c. Jenis-jenis nilai
1) Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani), yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan
dengan “moral”, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Jadi etika
merupakan cabang filsafat atau filsafat moral yang membicarakan perbuatan
manusia.
2) Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni degan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Kadang-kadang
estetika diartikan sebagai filsafat seni, tetapi kadang-kadang pula prinsip-
prinsip yang berhubungn dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat
keindahan.
a). Etika
pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilema
yang muncul dikelas.
b). Estetika
cabang dari aksiologi yang dikenal sebagai estetika itu berhubungan dengan nilai-
nilai yang berkaitan dengan keindahan dan seni.
3. Nilai
Menurut pandangan idealisme, niali itu absolut. Apa yang diaktakan baik, benar, salah,
cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak beruba dari generasi ke generasi. Pada
hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagian dari
alam semesta.
4. Pendidikan
Dalam hubungannya dengan pendidikan idealisme memberi sumbangan yang besar terhadap
perembangan teori pendidikan, khususnya filsafat pendidikan, tokoh idealisme merupakan
orang-orang yang memiliki nama besar.
Power (1982 : 89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut :
Tujuan pendidikan
Kedudukan siswa
Peranan guru
Kurikulum
Metode
1. Realisme Rasional
Realisme rasional dapat didefenisikan pada dua aliran yaitu realisme klasik dan
realisme religius. Bentuk utama dari realisme religius ialah “Scholastisisme”.
Realisme klasik ialah filsafat Yunani yang pertama kali dikembangkan oleh
Aristoteles, sedangkan realisme religius, terutama scholastisisme oleh Thomas
Aquina, dengan menggunakan filsafat Aristoteles dalam membahas teologi gereja.
a. Realisme Klasik
Realisme kalsik oleh Brubacher (1950) disebut humanisme rasional. Realisme
klasik berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki ciri rasional.
Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip “self evident”, dimana
manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident merupakan hal
yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas
pembuktian tentang realitas dan kebenaran sekaligus
b. Realisme Religius
Realisme religius dalam pandangannya tampak dua listis. Ia berpendapat
bahwa terdapat dua order yang terdiri atas “order natural” dan “order super
natural”. Kedua order tersebut berpusat kepada Tuhan.
2. Realisme Natural Ilmiah
Realisme natural ilmiah menyertai lahirnya sains di Eropa pada abad kelima belas dan
keenam belas, yang di pelopori oleh Francis Bacon, John Locke, Ghaleo, David
Hume, john stuart Mill, dan lain-lainnya.
3. Neo-Realisme dan Realisme kritis
Selain aliran-aliran realisme diatas, masih ada pandangan-pandangan lain, yang
termasuk realisme. Aliran-aliran tersebut di sebut “Neo-Realisme” dari frederick
Breed, dan “Realisme kritis” dari imanual kant.
Semua aliran filsafat pendidikan menyetujui.
Proses pendidikan berpusat pada tugas mengembangkan laki laki dan wanita
yang hebat dan kuat.
Tugas manusia didunia adalah memejukan keadilan dan kesejahteraan umum
Kita seharusnya memandang bahwa tujuan akhir pendidikan adalah
memecahkan masalah-masalah pendidikan
1. Realitas
Realitas dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga
tidak terikat kepadanya. Realitas merupakn interaksi antara manusia dengan
lingkungnnya.
Tema pokok filsafat pragmatisime adalah
a) Esemsi realitas adalah perubahan
b) Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial
c) Relatifitas nilai
d) Penggunaan intelektensi secara kritis
2. Pengetahuan
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif
dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya
secara empiris. Pragmatisme juga berpandangan bahwa metode intelegel merupakan
cara ideal untuk memperoleh pengetahuan. Dalam menerapkan konsep pragmatisme
secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya melalui melalui 5 tahap
yaitu :
1) Indeterminate situation
2) Diagnosis
3) Hypothesis
4) Hypothesis testing
5) Evalution
3. Nilai
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif.
Menurut pragmatisme, kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan
tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya
memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.
4. Pendidikan
a) Konsep pendidikan
Tidak bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah memberikan suatu
sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. Menurut Dewey,
terdapat dua teori pendidikan yang saling bertantangan antara yang satu
dengan yang lain. Kedua teori tersebut adalah paham konserfatif dan
unfolding teori atau teori pemberkahan.
b) Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan tidak berada diluar kehidupan melainkan berada didalam
kehidupan sendiri.
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang harus diperhatikan adalah
Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang
didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik
Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang
dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlansung
Tujuan pendidikan adalah spesifik dan lansung
c) Proses pendidikan
Bahan pelajaran apabila dikaitkan dengan demokrasi dalam pendidikan,
adalah bahwa bahan pelajaran terdiri atas seperangkat tindakan untuk
memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu.
Metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode disiplin,
bukan dengan kekuasaan. Kedisplinan merupakan kemauan dan minat yang
keluar dari dalam diri anak sendiri.
B. BEHAVIORISTIK
Behavioristik didasarkan pada prinsip bahwa peirilaku manusia yang diinginkan merupakan
produk desain bukannya kebetulan. Menurut kaum behavioristik, merupakan suatu ilusi yang
mengatakan bahwa menusia memiliki suatu keinginan yang bebas.
1. PENDIRI PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK
John B. Watson (1878-1958) adalah perintis psikologi behavioristik yang utama dan
B. F. Skinner (1904-1990) adalah promotor terkenalnya.
2. POTRET GURU BEHAVIORISTIK
Guru harus menerapkan pengajaran individual dimana para siswa melakukan proses
dalam rangka mereka sendiri melalui modul-modul yang telah ia himpun.
C. KONSTRUKTIVISTIK
Berbeda dengan behaviorisme, konstruktivisme memfokuskan pada proses-proses
pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti
telah berusaha untuk mengidentifikasi bagaimana para siswa mengkonstruksi/ membentuk
pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka pelajari.
POTRET GURU KONSTRUKTIVISTIK
Guru merencanakan aktivitas-aktivitas siswanya untuk membantu mengembangkan
konsep-konsep tentang bagaimana kata-kata disusun dan menggunakan pengetahuan
itu dalam memecahkan kata-kata yang tidak diketahui ,ereka.
BAB III
PEMBAHASAN
Kelebihan Kekurangan
Lengkap dan detail Beberapa bagian atau
Kata-kata atau topik pada buku tersebut, ada yang
penggunaan kalimatnya mudah hanya sekilas dibahas
dimengerti sehingga mudah pula Dalam buku ini
untuk memahami isinya banyak membahas tentang kelahiran
Penulisan materinya bayi hingga kanak-kanak sedangkan
beraturan atau beruntut dari bayi masa remaja hanya sedikit, kemudian
hingga lanjut usia usia dewasa hingga lanjut memuat
Setiap materi banyak materi pula,
diberikan contoh sehingga lebih Pengulangan
mudah untuk memahaminya informasi seringkali terjadi pada bab-
Setiap bab dibuat bab berikutnya
pokok-pokok penting atau
intisarinya
Banyak kata-kata atau
kalimat yang mampu medorong atau
memotivasi pembaca
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dilihat dari kekurangan dan kelebihan buku tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
kelebihan buku lebih banyak dari kekurangannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
buku FILSAFAT PENDIDIKAN tersebut memang bagus dan cocok untuk para
mahasiswa yang ingin mempelajari atau yang sedang mempelajari perkembangan
individu dari dia mulailahir hingga lanjut usia.
4.2 Saran
Mungkin akan lebih baik lagi jika menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk
dipahami, dan melengkapi materi yang ada beserta contoh pada kehidupan sehari-hari agar
pembaca dapat memahaminya dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka
Cipta
Barnadip, Imam. 1975. Sistem-sistem Filsafat Pendidikan. Yogyakarta :
Yayasan Penerbitan FIP IKIP