Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan jaman sekarang semakin memperlihatkan betapa sayangnya manusia
kepada hewan yang mereka miliki. Memelihara hewan merupakan bukti konkrit bahwa
manusia dan hewan dapat hidup saling berdampingan, sebagai sesama makhluk ciptaan
Tuhan yang bersama-sama bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian alam. Secara sadar
atau tidak sadar hal ini menumbuhkan minat masyarakat untuk memiliki dan memelihara
hewan, dan kini semakin meningkat karena banyak hal yang bisa kita pelajari dari hewan
hewan peliharaan tersebut. Tentunya ada banyak hal yang harus di perhatikan dalam
memlihara hewan kesayangan kita, seperti memberikan makan, tempat tinggal yang nyaman,
kebebasan berekspresi dan kebebasan lainnya. Harus dikeahui bahwa kesehatan seekor
hewan harus juga diperhatikan apabila ada sesuatu yang menimpanya contohnya terkena
penyakit atau terjadi sebuah kecelakaan. Sebuah trauma mekanik atau lebih sering dikenal
kecelakaan bisa menyebabkan susunan kerangka tubuh berupa tulang bisa patah (fraktur),
bisa juga kelainan tulang tersebut merupakan bawaan atau dapatan contohnya Hip Dysplasia
dan Osteochondrosis Disease.
Dalam menentukan suatu terapi yang tepat bagi hewan kita akibat suatu penyakit atau
kecelakaan salah satu metode yang digunakan adalah metode rontgen. Radiasi sinar-X
merupakan suatu gelombang elektromagnetik dengan gelombang pendek. Gelombang
elektromagnetik banyak jenisnya antara lain sinar lampu, ultra violet, infra merah,
gelombang radio, dan TV. Sinar-X mempunyai daya tembus yang cukup tinggi terhadap
bahan yang dilaluinya. Dengan demikian sinar-X dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnosis
dan terapi di bidang kedokteran nuklir. Perangkat sinar-X untuk diagnosis disebut dengan
photo Rontgen sedangkan yang untuk terapi disebut Linec (Linier Accelerator).
Dengan perkembangan teknologi dewasa ini maka photo Rontgen dapat di tingkatkan
fungsinya lebih luas yaitu melalui alat baru yang disebut dengan CT Scan (Computed
Tomography Scan). Adanya peralatan peralatan yang menggunakan sinar-X maka akan
membantu dalam mendiagnosis dan pengobatan (terapi) suatu penyakit, sehingga dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Studi Kasus:
Seekor anjing Labrador jantan berusia 2,5 tahun dengan berat 30 kg dengan riwayat gaya
berjalan abnormal, kesulitan melompat, pincang pada kaki belakangnya, susah untuk menaiki
tangga.
Introduction :
Canine Hip Dysplasia (CHD) adalah perkembangan abnormal dari sendi coxo-femoral,
yang ditandai dengan subluxation atau complete luxation femoral pada hewan muda dan semakin
parah pada hewan tua (Fossum, 2007; Slatter, 2003). Perkembangan abnormal ini dipengaruhi
oleh faktor genetik, nutrisi, dan lingkungan (Kealy et al, 1992;. Leighton, 1997). Diagnosis
berdasarkan sejarah, gejala klinis, palpasi dari sendi panggul dan dilakukan pemeriksaan
radiografi. pengobatan hipdisplasia bisa secara terapi konservatif ataupun dengan bedah. Tujuan
dari terapi konservatif adalah untuk menghilangkan rasa sakit, menstabilkan sendi pinggul,
meningkatkan fungsi sendi mekanik, dan memperlambat perkembangan penyakit. Analgesik,
agen chondro-protective, penurunan berat badan, pembatasan gerak digunakan untuk
meminimalkan gejala klinis nyeri.
Hip dysplasia adalah penyakit skeletal yang umum terjadi pada anjing. Umumnya terjadi
pada anjing ras besar seperti Great Dane, Jerman Shepherd, Labrador retriever, Golden retriever,
dan lain-lain (Leighton, 1997;. Swenson et al, 1997). Dalam case report ini menggambarkan
kasus klinis Hip dysplasia pada anjing Labrador dan manajemen terapeutik.
Hip Dysplasia
Hip dysplasia adalah gangguan atau penyakit yang melemahkan dan terus berkembang
yang dikarakteristikan dengan ossifikasi perlahan pada caput femur, kelemahan sendi panggul,
dan keganjilan pada posisi acetabulum dan caput femur yang mengakibatkan terjadinya
sukluksasi. Subluksasi tersebut akan mengakibatkan rasa sakit pada sendi dan seiring berjalannya
waktu akan terjadi osteoarthritis pada panggul yang mengalami dysplasia (Todhunter et al.,
2002). Menurut Boden (2005), beberapa kasus hip dysplasia merupakan penyakit herediter,
seperti:
1. Subluksasi yaitu kondisi dimana posisi caput femoris tidak terfiksir dengan benar di
dalam acetabulum. Deformitas caput femoris terjadi secara bertahap. Gejalanya yaitu
enggan bangkit dari posisi duduk dan kepincangan. Gejala tersebut dapat diamati
pada ras Alsatian dan Golden Retriever pada usia empat sampai lima bulan.
2. Osteochondritis dissecans sering terjadi pada terrier yang memiliki kaki pendek,
poodle dan Pekingese. Kondisi ini mirip dengan penyakit Perthe. Sering lelah dan
kepincangan dapat teramati, terutama pada salah satu anggota gerak.
3. Tergesernya epifisis juga dapat menyebabkan rasa sakit dan kepincangan pada anjing
usia empat sampai enam bulan, tetapi agak susah dibedakan dari osteochondritis
dissecans dan sering terjadi pada anjing berkaki pendek.
4. Dislokasi kongenital merupakan kondisi dimana acetabulum terlalu dangkal untuk
menjaga posisi caput femoris. Kondisi ini sering terjadi pada Labrador hitam.
Hip dysplasia umumnya disebabkan oleh faktor keturunan, akan tetapi juga dapat
dipengaruhi faktor lingkungan, misalnya: ras, kecepatan pertumbuhan, pola makanan atau
nutrisi, cara dan lamanya latihan, adanya kelainan (deformitas) dari tulang belakang (lumbo
sacral), penyakit sumsum tulang belakang, trauma dan adanya kelainan persendian dari kaki.
Dari seluruh kasus hip dysplasia, sebanyak 50% terjadi pada anjing ras besar. Tidak seperti
dalam kasus hip dysplasia pada manusia, hip dysplasia pada anjing tidak terdeteksi pada saat
anjing baru dilahirkan, kelainan ini dapat diamati selama tahun pertama pertumbuhan. Hip
dysplasia dapat menyerang baik anjing jantan maupun betina dengan frekuensi yang sama,
berbeda dengan kasus pada manusia yang sebagian besar dialami pada wanita (Fries dan
Remedios, 1995).
Apabila anjing mengalami hip dysplasia, maka pergerakan dari persendian coxofemoralis
mulai terbatas, sehingga otot kaki belakang secara perlahan mengalami atropi. Lama kelamaan
kaki belakang akan mengalami perubahan bentuk. Akibatnya anjing enggan untuk berjalan,
melompat atau naik tangga. Selanjutnya kaki belakang anjing akan melengkung. Timbul rasa
sakit bila kaki belakang dimanipulasi terutama posisi ekstension (diluruskan). Gejala klinis hip
27 dysplasia yang akut sering timbul pada umur kurang dari 12 bulan, sedangkan gejala-gejala
yang kronis sering ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Tiley dan Smith, 2011).
Berdasarkan tingkat keparahannya hip dysplasia terbagi menjadi tiga tipe, yaitu ringan,
sedang dan parah. Pada hip dysplasia ringan, tepi depan acetabulum nampak datar dan tampak
adanya subluksasio partial caput femoris (40-50% masih ada di dalam acetabulum). Pada tipe
sedang, acetabulum datar dan terjadi subluksatio caput femoris (20-40% masih di dalam
acetabulum) serta adanya pertumbuhan tulang baru di sekitar persendian. Pada tipe parah,
sebagian besar atau seluruh caput femoris keluar dari acetabulum (<25% caput femoralis terletak
di dalam acetabulum) dan terdapat banyak pertumbuhan tulang baru di sekitar persendian
coxofemoralis (Muhlbauer dan Kneller, 2013).
Gejala
Gejala tergantung dari tingkat kelonggaran sendi, peradangan sendi, dan lama waktu
penyakit tersebut. Gejala-gejala yang biasanya muncul yaitu : aktivitas menurun, pincang atau
lumpuh kaki belakang (satu atau dua kaki), kelihatan tidak nyaman saat mencoba untuk
berbaring atau berdiri, ragu-ragu atau enggan untuk berlari, melompat atau menaiki tangga, cara
berjalan seperti lompatan kelinci, kedua kaki belakangnya berdekatan secara tidak normal, nyeri
pada sendi panggul, sendi melonggar atau mengendur, beberapa anjing bisa mengeluarkan bunyi
klik yang bisa didengar saat mereka berjalan atau naik untuk bangun, dan massa otot berkurang
di kaki belakang (dalam kasus kronis).

DAFTAR PUSTAKA

Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Ed. A&C Black. London.

Fries, C.L. & Remedios, A.M., 1995, 'The pathogenesis and diagnosis of canine hip dysplasia: a
review', Canadian Vet J 36(8), 494-502.

S. Bliss, R. Todhunter, R. Quaas, G. Casella, R. Wu, G. Lust, A. Williams, S. Hamilton, N.


Dykes, A. Yeager, R. Gilbert, N. Burton-Wurster, and G. Acland, Quantitative genetics of traits
associated with hip dysplasia in a canine pedigree constructed by mating dysplastic Labrador
Retrievers with unaffected Greyhounds, Am. J. Vet. Res. 63(7) (2002), pp. 1029–1035.

Anda mungkin juga menyukai