Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Populasi pekerja di Indonesia terus meningkat. Menurut data Biro Pusat Statistik,

jumlah tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2000 berjumlah lebih dari 95 juta orang dengan

50 % diantaranya bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Petani merupakan

kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada kecenderungan semakin menurun, angkatan

kerja yang bekerja pada sektor pertanian, masih berjumlah sekitar 40% dari angkatan

kerja.Banyak wilayah Kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk

perkebunan sebagai sumber Penghasilan Utama Daerah (PAD) (Prijanto, 2009; Yuantari,

2009).

Untuk meningkatkan hasil pertanian yang optimal, dalam paket intensifikasi pertanian

diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunaan agrokimia (bahan kimia sintetik,

termasuk pestisida). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak negatif

dari penggunaan pestisida, dampak negatif tersebut di antaranya kasus keracunan pada

manusia, ternak, polusi lingkungan dan resistensi hama. Data yang dikumpulkan WHO

menunjukkan 500.000-1.000.000 orang pertahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan

pestisida dan sekitar 500-1000 orang per tahun di antaranya mengalami dampak yang sangat

fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan pada hepar (Prijanto, 2009).

Tingkat pencemaran pestisida di kabupaten Magelang sudah mengkhawatirkan,

dilihat dari banyaknya petani di sentra hortikultura yang tercemar pestisida dalam

kandungan darahnya. Berdasarkan pemeriksaan sampel kholinesterase atau uji petik darah

tahun 2006, dari 550 sampel darah petani yang selama ini menggarap ladang sayuran 99,8%

di antaranya telah tercemar zat kimia pembasmi hama. Dari 99,8% petani yang telah

1
keracunan pestisida tersebut, 18,2% termasuk dalam kategori keracunan berat, 72,73%

kategori sedang, 8,9% kategori ringan, dan hanya 0,1% kategori normal (Prijanto, 2009;

Yuantari, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Prihadi (2007) di Desa Sumber Rejo Kecamatan

Ngablak Kabupaten Magelang dari 68 responden 88,24% para petani menggunakan dosis

pestisida tidak sesuai aturan. Petani yang dalam penyemprotan pestisida tidak

memperhatikan arah angin sebanyak 72% dan juga praktek penanganan pestisida masih

buruk pada 75%. Kejadian keracunan pestisida dapat diketahui dari hasil pemeriksaan

kholinesterase darah petani 76,47% mereka tergolong keracunan pestisida (Yuantari, 2009).

Dari data-data ini jelas bahwa tingkat keracunan pestisida pada petani di Ngablak sudah

mencapai taraf yang mengkhawatirkan namun demikian efeknya terhadap kesehatan belum

pernah diteliti.

Beberapa efek kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun,

anoreksia, anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada

dan lekas marah. Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia

mempengaruhi fungsi saraf dengan jalan menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu

bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Dengan

demikian salah satu efek dari keracunan pestisida adalah terjadinya gangguan pada system

saraf, termasuk system saraf perifer (neuropati) (Sutarni et al., 2003; Prijanto, 2009).

Berdasarkan keadaan tersebut diatas, ingin diketahui efek pajanan pestisida pada

munculnya gangguan saraf tepi (neuropati perifer) di Kecamatan Ngablak, Kabupaten

Magelang, Jawa Tengah melalui pengukuran kadar kholinesterase darah dan hubungannya

dengan gambaran amplitudo dan kecepatan hantar saraf tepi subyek.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah yang menjadi
2
latar belakang penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Penggunaan pestisida di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang yang berlebihan,

seringkali tidak memperhatikan aspek kesehatan.

2.Angka keracunan pestisida pada petani dan keluarganya di Kecamatan Ngablak,

Kabupaten Magelang sangat tinggi.

3.Keracunan pestisida dapat menimbulkan berbagai efek pada kesehatan, salah satu di

antaranya efek pada sistem saraf.

4.Perlu diketahui sejauh manakah efek pestisida terhadap munculnya gangguan saraf tepi

serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga diharapkan pencegahan efek

kesehatan akibat pajanan pestisida dapat lebih optimal.

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah penurunan kadar kholinesterase darah berhubungan dengan gambaran

amplitudo, latensi distal dan kecepatan hantar saraf tepi pada subyek terpajan pestisida

organofosfat?

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui korelasi antara penurunan kadar kholinesterase darah dengan gambaran

amplitudo, latensi distal dan kecepatan hantar saraf tepi pada subyek terpajan pestisida

organofosfat

E. Manfaat Penelitian

Bagi perkembangan kemajuan ilmu neurologi, penelitian ini bermanfaat untuk

meningkatkan pengetahuan peneliti dan klinisi terutama mengenai neuropati toksik. Bagi

klinisi, penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi acuan tindakan dan tata laksana pasien

3
neuropati toksik, terutama dalam aspek terapi dan edukasi. Bagi peneliti, penelitian ini

bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian lanjutan mengenai hubungan kadar kholinesterase

dan gambaran NCS pada petani terpajan pestisida, serta mendukung rekomendasi

penggunaan alat pelindung diri yang standar bagi petani yang menggunakan pestisida

sehingga mencegah keracunan pestisida.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pencarian sumber didapatkan beberapa penelitian tentang hubungan

kadar kholinesterase dengan neuropati perifer dengan menggunakan pendekatan

neurofisiologi dan alat ukur lain. Diantara penelitian tersebut tertera pada tabel 1. Pada

penelitian ini akan meneliti tentang korelasi kadar Kholinesterase dengan gambaran NCS

pada petani terpajan pestisida di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

4
Tabel 1. Keaslian Penelitian

Alat
No Peneliti Judul Metode Hasil
ukur
Polineuropati sensori-
motor disebabkan
Poisoning by oleh insektisida
Moretto& organophosphorus Kadar
organofosfat dapat
Lotti, 1998 insecticides and BuChE,
1. Case Series terjadi setelah
sensory neuropathy AChE,
keracunan berat,
NCS
dengan komponen
sensoris lebih ringan
daripada motoris.
2. Sutarni et Neuropati Akibat The Aktivitas Pasca penyemprotan
al., 2003 Pajanan Fenitrothion untreated ChE, fenitrothion terjadi
pada Penyemprot control Status penurunan signifikan
Vektor Malaria. group tiamin, kadar ChE. Terdapat
Kajian tentang design with status korelasi positif kadar
Derajat Neuropati pre test and asetilasi ChE dengan hasil
Pasca Penyemprotan post test NCS rekam ENMG.
Hubungan Status sensorik Semakin rendah kadar
Asetilasi, Status dan ChE, makin berat
Tiamin, serta Kadar motorik derajat neuropati
ChE dengan Derajat (Kecepatan hantar
Neuropati saraf tepi motorik dan
sensorik makin
menurun)

3. Jalaliet al., Electrophysiological Cross NCS Didapatkan


2010 Changes in Patients sectional polineuropati sensori
with Acute motor perifer, dengan
Organophosphorous defisit sensoris distal
Pesticide Poisoning predominan.
Disfungsi saraf
sensoris pada
ekstremitas bawah
lebih umum dari pada
saraf motorik.
4 Penelitian Hubungan Kadar Studi cross Kadar Meneliti korelasi
ini Kholinesterase Darah sectional ChE, pajanan pestisida
dengan Gambaran NCS dengan munculnya
Nerve Conduction neuropati perifer
Study pada Petani pada petani di
Terpajan Pestisida di Ngablak, Magelang,
Kecamatan Ngablak Jawa Tengah, melalui
Kabupaten Magelang pengukuran kadar
Jawa Tengah ChE dan pemeriksaan
ENMG

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang merupakan sebuah Kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Ibu

kota Kabupaten ini adalah Kota Mungkid. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten

Temanggung dan Kabupaten Semarang di utara, Kabupaten Semarang dan Kabupaten

Boyolali di timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo di selatan,

Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung di barat, serta Kota Magelang yang

berada di tengah-tengahnya (Pemkab Magelang, 2012).

Secara Geografis Kabupaten Magelang terletak di antara 110˚ 01’ 51” dan 110˚ 26’

58” Bujur Timur, 7˚ 19’ 13” dan 7˚ 42’ 16” Lintang Selatan, dengan luas wilayah 1.085,73

km2 (108.573 Ha). Wilayah Kabupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi

yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu

Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Kondisi

ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah tangkapan air

sehingga menjadikan tanah yang subur karena berlimpahnya sumber air dan sisa abu

vulkanis. Kabupaten Magelang mempunyai iklim yang bersifat tropis dengan dua musim

yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan temperatur udara 20˚ C - 27˚ C (Pemkab

Magelang, 2012).

Secara Administrasi Kabupaten Magelang terdiri dari 21 Kecamatan dan 372

desa/kelurahan. Hasil dari Sensus tahun 2000 jumlah penduduk Kabupaten Magelang adalah

1.100.265 jiwa, sedangkan hasil Sensus 2010 penduduk Kabupaten Magelang mencapai

1.181.723 Jiwa. Dari Kurun Waktu 10 Tahun penduduk Kabupaten Magelang meningkat

dengan pertumbuhan 0,72% per tahun. Kecamatan Mertoyudan mempunyai jumlah


6
penduduk terbanyak, yaitu 104,934 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 2.310

jiwa/Km2. Di sisi lain kecamatan Kajoran memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 51.477

jiwa dengan kepadatan 617 jiwa/km2 (Pemkab Magelang, 2012) .

B.Pestisida

B.1. Definisi

Menurut Permenkes RI, No.258/Menkes/Per/III/1992 pestisida adalah semua zat

kimia/bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau

mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau

hasil pertanian, memberantas gulma, mengatur/merangsang pertumbuhan tanaman tidak

termasuk pupuk, mematikan dan mencegah hama-hama liar pada hewan- hewan piaraan

dan ternak, mencegah/memberantas hama-hama air, memberantas/ mencegah binatang-

binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat angkutan, memberantas

dan mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada

manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan

air. Dari hal tersebut dapat diringkas bahwa pestisida pada pertanian adalah semua zat atau

campuran zat yang digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering

tanaman (Prijanto, 2009; Yuantari, 2009).

B.2.PenggolonganPestisida

Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis

bentuk kimianya

1. Organofosfat

Insektisida organofosfat adalah ester asam fosfat atau asam tiofosfat yang sifatnya

menghambat asetilkolinesterase (AChE) sehingga terja di akumulasi acetilkolin (Ach) yang

berkorelasi dengan tingkat penghambat kholinesterase dalam darah. Pestisida yang dalam

golongan organofosfat antara lain: Azinophosmethyl, Chloryfos, Demeton Methyl,


7
Dichlorovos ,Dimethoat, Disulfoton, Ethion, Palathion, Malathion, Parathion, Diazinon,

Chlorpyrifos (Prijanto, 2009; Yuantari, 2009).

Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan

kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal

menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat,

mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik

dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala

keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh (Prijanto, 2009; Yuantari, 2009).

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat

bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh

stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang timbul antara lain: mula-mula sakit

kepala, gangguan penglihatan, muntah-muntah dan merasa lemah, segera diikuti sesak nafas,

banyak kelenjar cairan hidung, banyak keringat dan air mata, lemah dan akhirnya kelumpuhan

otot-otot rangka, bingung, sukar bicara, kejang-kejang dan koma. Kematian disebabkan

kelumpuhan otot-otot pernafasan. Kematian dapat terjadi dalam waktu lima menit sampai

beberapa hari karena itu pengobatan harus secepat mungkin dilakukan (Prijanto, 2009;

Yuantari, 2009).

2. Karbamat

Merupakan ester asam N-metilkarbamat, yang sifat kerjanya menghambat

asetikholinesterase (AChE) tetapi pengaruhnya jauh lebih reversibel daripada efek senyawa

organofosfat. Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia

dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Pestisida

golongan karbamat ini menyebabkan karbamilasi dari enzim asetil kholinesterase jaringan

dan menimbulkan akumulasi asetilkholin pada sambungan kholinergik neuroefektor dan pada

sambungan acetal muscle myoneural dan dalam autonomic ganglion, racun ini juga

8
mengganggu sistem saraf pusat. Gejala keracunan karbamat relatif sama dengan gejala

keracunan organofosfat (Prijanto, 2009; Yuantari, 2009).

3. Organoklorin

Organoklorin atau disebut Chlorinated hydrocarbon terdiri dari beberapa kelompok

yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya.Secara kimia tergolong insektisida yang

toksisitasnya relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Yang paling

populer dan pertama kali disinthesis adalah Dichloro-diphenyl-trichloroethan atau disebut

DDT. Pada tahun 1973 diketahui bahwa DDT ini ternyata sangat membahayakan bagi

kehidupan maupun lingkungan, karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat

terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan. DDT sangat stabil baik di air,di tanah,

dalam jaringan tanaman dan hewan (Prijanto, 2009; Yuantari, 2009).

B.3. Penanganan Pestisida

Penanganan pengelolaan pestisida adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk

mencegah dan menanggulangi keracunan dan pencemaran pestisida terhadap manusia dan

lingkungannya. Perlengkapan pelindung pestisida terdiri dari (Prijanto, 2009) : pelindung

kepala (topi), pelindung mata (goggle), pelindung pernapasan (repirator), pelindung badan

(bajuoverall/apron), pelindung tangan (glove), dan pelindung kaki (boot).

B.4.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam

tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah (Prijanto,

2009; Yuantari, 2009):

 Faktor di dalam tubuh (internal) antara lain:

1) Umur petani

Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang

lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh.


9
2) Jenis kelamin

Petani jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar kholinesterase yang

lebih tinggi dibandingkan petani laki- laki namun demikian tidak dianjurkan wanita

menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar kholinesterase cenderung turun

sehingga kemampuan untuk menghidrolisa acethylcholin berkurang.

3) Status gizi

Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko

keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organofosfat dan karbamat

oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap kadar enzim yang bahan dasarnya

adalah protein.

4) Kadar hemoglobin

Petani yang anemi memiliki risiko lebih besar bila bekerja dengan pestisida

organofosfat dan karbamat. Petani yang kadar hemoglobin rendah akan memiliki kadar

kholinesterase yang rendah, karena sifat organofosfat yang mengikat enzim

kholinesterase yang pada akhirnya kholinesterase tidak lagi mampu menghidrolisa

acethylcholin.

5) Keadaan kesehatan

Penyakit yang dapat menurunkan aktivitas kholinesterase adalah jenis penyakit

gangguan pada fungsi hepar, Asbes dan Metastatic carcinoma pada liver. Dikarenakan

menurunnya kemampuan dari hepar didalam mendetoksifikasi bahan toksik

organofosfat.

6) Tingkat Pendidikan dan pemahaman mengenai penanganan pestisida. Pendidikan

formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan pengetahuan bagi

individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan

tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat

10
pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan

tinggi akan lebih baik.

 Faktor diluar tubuh(eksternal)

1) Dosis, semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin mempermudah

terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis pestisida berpengaruh

langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini ditentukan dengan lama

pemajanan. Untuk dosis penyempotan di lapangan khususnya golongan organofosfat,

dosis yang dianjurkan 0,5–1,5kg/ha.

2) Suhu lingkungan

Suhu lingkungan diduga berpengaruh melalui mekanisme penguapan melalui keringat

petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35○C.

3) Arah kecepatan angin

Penyemprotan yang baik harus searah dengan arah angin supaya kabut semprot tidak

tertiup ke arah penyemprot dan sebaiknya penyemprotan dilakukan pada kecepatan

angin dibawah 750 m per menit.

4) Daya racun dan konsentrasi pestisida

Daya racun dan konsentrasi pestisida yang semakin kuat akan memberikan efek

samping yang semakin besar pula.

5) Lama terpajan pestisida. Semakin lama bekerja menjadi petanian semakin sering kontak

dengan pestisida sehingga risiko keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan

aktifitas kolinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung

mulai seseorang terpajan hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.

Kolinesterase dalam plasma memerlukan waktu 3 minggu untuk kembali normal,

sedangkan dalam sel darah merah membutuhkan waktu 2 minggu (Prabowo, 2001).

11
6) Waktu penyemprotan, perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida, hal

ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat

lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu penyemprotan semakin siang

akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui kulit.

7) Frekuensi Penyemprotan, semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin

tinggi pula risiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan

ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dapat kontak dengan pestisida

maksimal 5 jam perhari.

8) Kebiasaan memakai alat pelindung diri

Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang (lebih tertutup) akan

mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim.

9) Jenis pestisida

Pestisida yang mempunyai sifat anti kholinesterase mengakibatkan pengikatan

kholinesterase sehingga meningkatkan risiko keracunan.

B.5.Efek keracunan pestisida pada sistem saraf

Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit dan tertelan

dengan jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit. Mekanisme kerja organofosfat,

baik pada organism target maupun nontarget adalah inhibisi asetilkolinesterase (AchE), suatu

enzim yang berfungsi memecah neurotransmiter asetilkholin (Ach). AchE ditemukan pada

sel darah merah serta reseptor nikotinik dan muskrainik pada saraf, otot, dan gray matter

otak. Asetilkolinesterase plasma ditemukan pada white matter sistem saraf pusat, pankreas

dan jantung. Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik (Sutarni,

2007) :

1. Sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik

2. Sinaps post ganglion parasimpatik

12
3. Neuromuscular junction pada otot rangka

Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmitter untuk

memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek

asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim AchE. Ada dua bentuk

AchE yaitu true kholinesterase atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan

neuromuscular junction. Pseudokholinesterase atau serum cholinesterase berada terutama

pada serum,plasma dan hati (Sutarni, 2007).

Organofosfat memfosforilasi gugus hidroksilserine pada tempat kerja asetilkolin.

Organofosfat ini mengikat secara irreversibel, menonaktifkan esterase itu sehingga

mengakibatkan akumulasi asetilkolin pada akhir saraf. Sebagai hasil hambatan dari enzim

tersebut Ach akan tertimbun pada sinaps yang terletak diantara saraf dan otot.Akumulas

iasetilkolin di neuromuskular junction menyebabkan depolarisasi persisten pada otot rangka,

mengakibatkan kelemahan dan fasikulasi. Pada sistem saraf pusat transmisi saraf terganggu.

Keracunan akut dari organofosfat pada manusia akan berakibat kelemahan otot, paralisis,

disorientasi serta kematian akibat paralisis otot pernafasan. Namun demikian efek

neurotoksisitas organofosfat tidak selalu muncul mendadak. Neurotoksisitas lambat (delayed

neurotoxicity) dihasilkan oleh sejumlah ester organofosfor yang diklasifikasikan sebagai

aksonopatik. Efek ini bisa ditimbulkan oleh dosis tunggal yang besar ataupun dosis

akumulasi. Neurotoksisitas yang terjadi lambat ini disebut organophosphorus user-induced

delayed neuropahy (OPIDN). OPIDN merupakan neuropati distal derajat berat yang terjadi

secara terlambat.OPIDN tidak terjadi secara mendadak, tetapi butuh waktu antara 7-10

minggu untuk timbulnya degenerasi aksonal. Pada OPIDN gejala muncul sedikitnya sepuluh

hari setelah eksposur akut. Efek dosis kumulatif terjadi beberapa minggu setelah pajanan.

Pemeriksaan patologi menunjukkan aksonopati sentral hingga perifer.Utamanya serabut

korda spinalis dan akson distal ekstremitas bawah yang lebih terpengaruh dibanding

13
ekstremitas atas. Aksonopati primer disertai dengan demielinisasi sekunder. Serabut sensoris

dan motoris ikut terlibat (Sutarni, 2007).

B.6. Pengukuran Pajanan Pestisida

Saat ini pengukuran kadar ChE dalam darah merupakan metode konvensional yang

umum digunakan untuk menilai derajat pajanan okupasional pestisida lingkungan terkait

(lingkungan produksi dan penggunaan pestisida) di berbagai negara.

Golongan kholinesterase meliputi asetilkolinesterase (AChE) yang menghidrolisis

neurotransmitter asetilkolin dan pseudokolinesterase atau butirilkolinesterase (BChE) yang

menggunakan butirilkolin sebagai substrat. AChE ditemukan pada neuromuscular junction

dan sinaps kolinergik pada sistem saraf pusat. Pada lokasi ini, AChE menghidrolisis

asetilkolin menjadi kolin dan asetat setelah aktivasi reseptor asetilkolin pada membrane pos-

sinaptik. Aktivitas AChE berguna untuk mengakhiri transmisi sinaptik, mencegah impuls

kontinyu pada akhiran saraf.AChE sangat esensial untuk fungsi normal sistem saraf pusat dan

perifer. AChE juga ditemukan pada membrane eritrosit, dengan membentuk antigen golongan

darah Yt yang dikenal juga dengan Catwright. Selain kegunaan penentuan golongan darah,

fungsi fisiologis pada membran eritrosit belum diketahui hingga saat ini. BChE ditemukan

pada plasma dan fungsi fisiologisnya dalam darah belum diketahui (Costa et al., 2005).

Pengukuran kolinesterase darah juga berguna sebagai biomarker primer pada kasus

keracunan dan pajanan organofosfat serta karbamat. AChE dan BChE menjadi prinsip pokok

pengukuran ChE dalam darah. Inhibisi potensial AChE dan BChE bervariasi pada jenis

senyawa organofosfat yang berbeda. Beberapa senyawa organofosfat menginhibisi BChE

lebih kuat daripada AChE. Inhibisi BChE berkorelasi dengan intensitas dan durasi pajanan

pestisida organofosfat dan karbamat. Tetapi inhibisi BChE tidak menggambarkan efek

biologis organofosfat dalam sistem saraf. Sedangkan inhibisi AChE lebih sensitif daripada

BChE dalam kasus pajanan kronis organofosfat. Inhibisi AChE oleh organofosfat

14
menunjukkan recovery rate yang lebih rendah dibandingkan BChE dan menghasilkan efek

inhibisi kumulatif pada aktivitas AChE. Tidak seperti BChE, inhibisi AChE eritrosit

menggambarkan efek biologis organofosfat pada sistem saraf. Oleh karena itu, pengukuran

AChE eritrosit umumnya lebih dipilih dibanding pengukuran ChE plasma karena data pada

eritrosit lebih mewakili inhibisi AChE neural (Kamel & Hoppin, 2004). Rasio kekuatan

inhibisi asetilkolin dan NTE mewakili panduan krusial dalam penentuan etiologi neuropati

perifer akibat pestisida (Lotti & Moretto, 2005).

Metode yang paling sering digunakan untuk pengukuran aktivitas AChE darah

adalah metode Ellman. Metode ini berdasar pada determinasi fotometrik produk kromogenik

yang dihasilkan dari reaksi tiokolin (hasil hidrolisis asetilkolin oleh AChE) dengan 5, 5-

dithiobis-2-nitrobenzoicacid (DTNB, reagen Ellman). Metode ini mudah dilakukan,

menggunakan peralatan yang relatif murah dan hasilnya kuantitatif serta akurat. Beberapa

waktu terakhir, pengukuran inhibisi AChE melalui saliva telah diteliti sebagai biomarker efek

pestisida organofosfat (Henn et al., 2006).

C. Neuropati Perifer

C.1. Definisi

Neuropati saraf tepi adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan fungsi dan

struktur sistem saraf tepi mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf utama, cabang

terminal, peri-karyon termasuk sel cornu anterior dan ganglion akar saraf bagian belakang,

akar saraf serta bagian presinaps neuromuscular junction.Gangguan ini bisa dalam bentuk

kombinasi ataupun salah satu diantara tanda-tanda kehilangan rangsang sensorik,

kelumpuhan otot sampai atrofi, lemahnya reflex tendon, dan gangguan vasomotor (Dyck &

Thomas, 1999).

15
Neuropati atau neuropati simetris adalah suatu kondisi yang biasanya bermanifestasi

meluas serta simetris bilateral pada saraf tepid an dapat mengenai sistem motorik, sensorik,

sensori motor atau otonom dengan distribusi di bagian distal, proksimal atau menyeluruh.

Penyebab neuropati cukup banyak, antara lain keracunan jangka panjang akibat

kontak dengan pestisida. Manifestasi klinis yang dijumpai berupa kelemahan tangan dan

kaki bagian distal yang lebih berat dibanding bagian proksimal. Disamping itu ada juga rasa

baal atau kebas pada anggota gerak tersebut. Neuropati menurunkan produktivitas kerja

karena adanya penurunan kekuatan pada anggota gerak, dan rasa kebas atau baal yang

sangat mengganggu.

Menurut Hughes (2002) prevalensi neuropati mencapai 2400 orang dari 100.000

orang (2.4%). Dengan bertambahnya umur prevaleni ini dapat mencapai 8 %.

Berdasarkan gambaran fisiologisnya, neuropati diklasifikasikan sebagai berikut: (1)

degenerasi aksonal, proses kerusakan terjadi di akson dan selubung myelin; (2) degenerasi

Wallerian, kerusakan akson dan selubung myelin terjadi di bagian distal trauma; (3)

neuronopati, merupakan kerusakan pada sel bodi, frekuensinya sangat jarang, dan (4)

demyelinisasi segmental, kerusakan hanya terjadi pada selubung myelin saja (Berger &

Pulley, 2000)

C.2. Gejala-Gejala klinis

Menurut Bradley (1991), gejala klinis neuropati dapat berupa:

1. Gangguan sensoris

Degenerasi akson bagian distal yang biasa terjadi berlangsung secara perlahan-lahan

menuju sel bodi. Biasanya simetris dan terlihat di bagian distal lengan serta tungkai. Gejala

awal yang timbul adalah gangguan sensibilitas, dengan keluhan rasa kebas serta baal.

Hilangnya serabut myelin yang cukup luas, berakibat menurunnya fungsi sensorik yang

cukup berat. Hal ini dapat berupa: gangguan posisi, sensasi rasa, dan gangguan fungsi taktil.

16
Sensasi spontan berupa rasa tertusuk dan baal dapat meningkat menjadi nyeri yang makin

berat akibat kerusakan serabut saraf yang makin meluas (Vailancourt & Langevin, 1999).

Pada small fiber neuropathy, nyeri dapat mendominasi gambaran klinis, dan

pemeriksaan sensorik cenderung mengungkapkan defisit didominasi rasa sakit dan sensasi

termal. Ketika deafferentasi proprioseptif signifikan terjadi, pasien mengalami gangguan

rasa posisi sendi yang dapat bermanifestasi sebagai ataksia atau tremor dari anggota badan

yang terkena dan ketidakseimbangan berjalan (Shield, 2010).

2. Gangguan Motorik

Polineuropati aksonal cenderung menghasilkan kelemahan bersama dengan atrofi

otot, tapi atrofi jauh lebih mencolok di polineuropati demielinasi segmental karena dalam

gangguan ini akson tetap dalam kontinuitas dengan otot, mencegah atrofi denervasi. Gejala

yang paling umum adalah kelemahan dorsofleksi kaki. Hal ini dapat mengakibatkan drop

foot parsial atau komplit, dan predisposisi pasien untuk tersandung dan jatuh ketika jari-jari

kaki terkena permukaan yang tidak rata (Shield, 2010).

Penderita mengeluh ada hambatan pada pergerakan, atau cepat capai. Merasa

ototnya hilang dan tidak ada getaran atau fasikulasi. Beberapa kerusakan otot yang terjadi

dapat atrofi denervasi, hal ini disebabkan karena serabut akson motorik tidak mengalami

gangguan. Tonus otot menjadi flaksid, kram juga kadang merupakan suatu kesulitan.

3. Refleks Tendon

Pada fase awal, hilangnya reflex tendon diakibatkan oleh kerusakan penampang otot

yang cukup besar yang diurus akson. Hilangnya serabut aferen otot menimbulkan arefleksi.

Denervasi ini dapat menimbulkan ataksia Friedrich. Neuropati motorik yang terjadi pada

serabut lebih kecil, kiranya dapat dijelaskan dari terlibatnya serabut otot intrafusal.

4. Gangguan Otonom

17
Neuropati jenis otonom biasanya terjadi simetris dan dimulai dari tungkai bawah.

Hipotensi ortostatik merupakan gejala awal neuropati otonom pada kasus amiloidosis.

Fungsi vasomotorik yang menurun juga terlihat pada kasus-kasus neuropati karena

alcohol. Anhidrosis merupakan akibat lesi post ganglionik dari serabut saraf sudomotor

simpatis dan sering bersamaan dengan gangguan piloereksi. Hipoglikemia pada kasus

neuropati diabetika otonom berhubungan dengan kegagalan pelepasan katekolamin. Pada

gangguan fungsi genitourinary paling banyak terjadi pada kasus diabetes serta neuropati

amiloid. Adanya diare nocturnal mungkin merupakan gejala yang sangat mengganggu pada

kasus neuropati otonom diabetika. Jarang pada kasus neuropati karena nutrisi melibatkan

sistem otonom

Menurut Hughes (2002), neuropati dibedakan menjadi: (1) neuropati perifer simetris

akut bila onset penyakitnya bermula kurang dari 2 minggu; (2) neuropati perifer simetris

kronik, bila onset penyakitnya mulai atau lebih dari 2 minggu; dan (3) mononeuropati

multiple.

Gambaran klasik neuropati adalah kelemahan motorik bagian distal lebih dominan

dibanding bagian proksimal, refleks tendon menurun atau negatif, gangguan sensoris berupa

hipoestesi glove and stocking. Adapun gambaran patologis neuropati perifer adalah sebagai

berikut: distal aksonopati biasanya muncul lebih dahulu. Setelah itu baru terjadi

myelinopati.

C.3. Penegakan Diagnosis Neuropati Perifer

Pada stadium awal neuropati masih bersifat reversible. Pada stadium lanjut bersifat

ireversibel. Bila deteksi dini bisa diketahui, maka kemungkinan yang diderita dapat

dieliminasi. Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik neurologik.

Kemungkinan penyebab lain neuropati cukup banyak, antara lain: nutrisi, diabetes mellitus,

infeksi, dan lain-lain, yang menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis

18
etiologinya. Gold standard diagnosis neuropati memerlukan biopsy pada saraf yang terkena.

Hal tersebut bagi sebagian pasien merupakan tindakan invasif yang tidak terasa

nyaman.Pemeriksaan lain untuk deteksi awal yang cukup obyektif yaitu

elektroneuromyografi (ENMG) (Rowland, 2000).

Pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan keahlian

khusus, peralatan khusus yang mahal dan hanya dimiliki oleh pusat pelayanan kesehatan

rujukan, serta harus dilakukan oleh tenaga medis profesional (Yang et al., 2014).

Pada saat ini telah banyak ditemukan berbagai sistem skoring untuk skrining

neuropati yang lebih praktis dan mudah digunakan dalam klinis sehari-hari diantaranya yaitu

MNSI (Michigan Neuropathy Screening Instrumen), DNE (Diabetic Neuropathy

Examination), DNS (Diabetic Neuropathy Symptoms score), NDS (Neuropathy Disability

Score), Clinical Neurological Examination (CNE), dan masih banyak lainnya (Yang et al.,

2014).

1. Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI)

MNSI adalah salah satu sistem skoring yang sering digunakan sebagai alat diagnostik

neuropati perifer yang simpel, murah, dan tidak invasif. MNSI terdiri dari dua bentuk

yaitu kuesioner dan pemeriksaan fisik. Kuesioner terdiri dari 15 pertanyaan yang berisi

tentang keluhan keluhan neuropati yang dialami pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan

meliputi inspeksi, penilaian sensasi getar, reflek ankle, dan pemeriksaan Semmes-Weistein

monofilament. Interpretasi dari hasil kuesioner dan pemeriksaan MNSI yaitu jika jawaban

positif pada kuesioner > 4 dan skor> 2 pada pemeriksaan, dikatakan terdapat neuropati

(Yang et al., 2014).

2. Diabetic Neuropathy Symptom (DNS)

DNS adalah sebuah kuesioner untuk menilai adanya gejala neuropati. Kuesioner DNS

terdiri dari 4 pertanyaan untuk menilai ada tidaknya gejala seperti nyeri, mati rasa,

19
kesemutan, dan ataksia. Skor maksimum dari DNS adalah 4. Jika pasien mendapat skor ≥

1, dapat dikatakan terdapat kelainan neurologi (Yang et al., 2014).

3. Diabetic Neuropathy Examination (DNE)

DNE adalah sebuah pemeriksaan yang diadaptasi dari Neuropathy Disability Score

(NDS), terdiri dari 8 pemeriksaan. Pada pemeriksaan ini hanya kaki kanan yang

diperiksa, kemudian dilakukan skoring berdasarkan DNE. Nilai maksimum dari

pemeriksaan DNE yaitu 16. Jika didapatkan skor lebih dari 3, dapat dikatakan abnormal

(Yang et al., 2014).

4. Neuropathy Deficit Score (NDS)

NDS adalah sebuah sistem skoring untuk menilai ada tidaknya gangguan neuropati

dengan melakukan pemeriksaan seperti refleks ankel, tes vibrasi, tes sensasi suhu dan

nyeri pada ibu jari kedua kaki. Skor maksimum dari NDS adalah 10. Jika didapatkan skor

≥ 6, dapat dikatakan terdapat gangguan nerupati (Yang et al., 2014).

5. Clinical Neurological Examination (CNE)

CNE adalah sistem skoring yang digunakan untuk menilai gangguan sensorik dan reflek

pada tungkai bawah. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan

neurologis, meliputi pemeriksaan tes sensorik, kekuatan otot, dan reflek ankel. Skor

maksimum dari CNE adalah 33. Jika didapatkan skor 0 maka dapat dikatakan tidak ada

neuropati, skor 1–9 dikatakan derajat ringan, skor 10 – 18 dikatakan derajat sedang, dan

19 – 33 dikatakan neuropati derajat berat (Yang et al., 2014).

C.4. Organophosphate Induced Delayed Neuropathy (OPIDN)

OPIDN adalah kelainan neurodegeneratif langka, ditandai dengan kehilangan fungsi,

ataksia, dan kelemahan pada bagian distal ekstremitas akibat kerusakan akson dan myelin

pada saraf perifer serta traktus asenden dan desenden pada medulla spinalis. Kondisi ini

muncul 2-3 minggu atau lebih setelah pajanan pestisida. Gejala neurologis awal dapat berupa

20
nyeri seperti kram dan menusuk pada betis, kesemutan pada kaki diikuti rasa kebas dan

kesemutan pada bagian distal. Gejala tersebut diikuti dengan kelemahan progresif, dengan

depresi reflex patella dan Achilles. Nyeri dan kelemahan pada otot menyebar dengan cepat

sehingga pasien sulit berjalan dan kehilangan keseimbangan. Gejala juga dapat muncul pada

lengan, dengan gangguan sensoris ringan atau tanpa gejala. Tonus otot pada ekstremitas

berangsur meningkat dan spastisitas dapat muncul pada ekstremitas bawah pada kasus berat.

Pemeriksaan fisik menunjukkanpolineuropati distal simetris dengan polineuropati motorik

lebih dominan, disertai atrofi dan kelemahan flaksid pada otot distal terutama pada tungkai

(Jokanovic et al., 2011).

Target molekular OPIDN diperkirakan suatu enzim dalam sistem saraf yang disebut

neuropathy target esterase (NTE). NTE merupakan protein integral membran pada neuron

vertebrata dan aktivitasnya bergantung pada kandungan lemak. NTE ditemukan dalam

retikulum endoplasma neuron, tetapi tidak ada pada glia. NTE diperkirakan terlibat dalam

regulasi masuknya kalsium ke dalam sel, bertanggung jawab untuk pemeliharaan fungsi

normal kanal kalsium. Patogenesis OPIDN melibatkan inhibisi NTE melalui fosforilasi.

Fosforilasi NTE merupakan kejadian yang sangat cepat, mungkin terjadi dalam beberapa

menit-jam setelah pajanan pestisida. Jumlah NTE yang diinhibisi harus mencapai kadar

tertentu untuk dapat menimbulkan OPIDN. Inhibisi NTE saja tidak cukup untuk

menimbulkan neuropati dalam OPIDN, tetapi diperlukan aging dari NTE yang diinhibisi.

Residu fosforil negatif pada NTE tersebut menginduksi perubahan NTE menjadi toksik,

berakibat pada masuknya kalsium ke dalam sel, sehingga meningkatkan aktivitas calpain

aksonal. Calpain merupakan suatu enzim protease sistein netral yang dependen terhadap

kalsium. Aktivasi calpain memicu kaskade patologis dalam neuron yaitu destruksi

sitoskeleton, inhibisi autofagi dan aktivasi jalur apoptosis, yang pada akhirnya menimbulkan

OPIDN (Jokanovic et al., 2011; Song & Xie, 2012).

21
Gambar 1. Patogenesis OPIDN (Song & Xie, 2012)

D. Nerve Conduction Study (NCS)

Nerve conduction study (NCS) adalah suatu alat elektrodiagnostik yang digunakan

untuk menilai adanya dan beratnya keterlibatan saraf perifer. Pemeriksaan ini bersifat

sensitif, spesifik, obyektif, non-invasif dan mudah distandarisasi. Pemeriksaan dilakukan

pada ekstremitas atas dan bawah untuk menilai fungsi saraf motorik dan sensorik. Hasil dari

NCS menunjukan amplitudo, distal latency of compound muscle action and sensory

potential, kecepatan konduksi dari serabut konduksi tercepat, dan latensi F-wave minimal

(Boultonet al., 2004).

Faktor utama yang mempengaruhi kecepatan hantar saraf adalah: 1) integritas dan

derajat kepadatan myelin pada serabut saraf; 2) diameter penampang lintang akson yang

diperiksa; 3) jarak internodal dari segmen saraf yang diperiksa; 4) micro-environment pada

nodus, termasuk distribusi kanal ion (Boultonet al., 2004).


22
NCS tidak selalu berkorelasi dengan gejala dan tanda neuropati. Ada beberapa alasan

untuk hal tersebut.Pertama, beberapa abnormalitas elektrodiagnostik merefleksikan

perubahan metabolik yang tidak berkaitan dengan gejala; dan kedua, beberapa tanda dan

gejala tidak secara jelas berhubungan dengan perubahan elektrodiagnostik (ADA, 2014).

Pedoman diagnosis terbaru menunjukkan bahwa kombinasi gejala, tanda dan

penilaian elektrofisiologis memberikan diagnosis neuropati yang akurat. NCS merupakan

gold standard dan indikator neuropati yang konsisten (Dyck, 2005).

Standar protokol pemeriksaan NCS meliputi saraf sensorik suralis, ulnaris dan

medianus serta saraf motorik peroneal, tibialis, medianus dan ulnaris dengan F-wave

(Thrainsdottir, 2009).

Potensial aksi serabut saraf disebarkan melalui peranan selubung myelin. Semakin

besar diameter serabut saraf, semakin tebal selubung myelin dan semakin cepat pula

penghantaran potensialnya. Myelin dibentuk oleh sel schwan yang tersusun secara

konsentrik, diantaranya terdapat nodus ranvier. Potensial aksi dihantarkan dengan cara

melompat (saltatory) dari satu nodus ke nodus yang lain. Secara makroskopis diketahui

bahwa pompa ion Na+-K+ banyak terdapat di nodus ranvier, sehingga depolarisasi

diperkirakan lebih banyak terjadi disana. Serabut saraf yang memiliki selubung myelin tebal

akan menghantarkan potensial lebih cepat oleh karena serabut saraf yang lebih tebal akan

memiliki jarak internodal yang lebih panjang, sehingga mengurangi jumlah nodus yang

terpolarisasi (Preston & Saphiro,1998).

NCS dapat menentukan abnormalitas distribusi (fokal, multifokal atau difus) dan

patofisiologi predominan demielinisasi atau degenerasi aksonal. Kerusakan aksonal

menyebabkan pengurangan sensory nerve action potensial dan compound motor action

potensial. Demielinisasi menyebabkan pengurangan kecepatan konduksi saraf dan

peningkatan dispersi (Thrainsdottir, 2009).

23
Serabut saraf A (Aα, Aβ, dan Aδ) mempunyai selubung myelin yang paling tebal,

sehingga merupakan penghantar impuls terbaik. Serabut saraf A inilah yang selalu diperiksa

pada pemeriksaan NCS. Sedangkan serabut saraf C adalah serabut yang terkecil dan tidak

memiliki selubung myelin, serabut ini mempunyai fungsi penghantar sensasi nyeri dan suhu.

Tabel 2. Klasifikasi Serabut Saraf pada Saraf Perifer

Fiber class Fiber type/size Functional class Fiber dysfunction


Myelinated Large Aα motor Motor Weakness, atrophy,cramps,
nerve fibers fibers neurons 12-20µm fasciculations
Aβ fibers Sensory Abnormal proprioception,
5-15 µm vibration and touch
sensation
Small Aδ fibers Sensory Deep and lancinating pain,
fibers 3-8 µm abnormal cold and pressure
sensation
Unmyelinated Small C fibers Sensory Burning pain and abnormal
nerve fibers fibers 0.2-1.5µm heat sensation
C fibers Autonomic Abnormal sweating, bowel,
0.2-1.5µm bladder and sexual function,
abnormal blood pressure
control

(Kiernan, 1998)

24
E. Kerangka Teori

Pajanan Pestisida
AChE ↓
Inhibisi NTE Inhibisi ChE
PseudoChE ↓
Sistem Saraf Perifer

↑Ca2+ Intrasel Aktivasi Calpain

Destruksi Sitoskeleton Inhibisi Autofagi Apoptosis

Kerusakan seluler/degenerasi saraf

Kerusakan akson Kerusakan mielin


Aksonopati Demielinisasi

Penipisan Pemendekan Demielinisasi


selubung mielin panjang internodal segmental

↓ Amplitudo ↓ Amplitudo ↑ Latensi distal, ↑ Latensi distal,


sensorik motorik KHS sensorik KHS motorik

Lama bekerja ,Kepatuhan alat


pelindung diri, Umur, Neuropati Perifer
Pendidikan, Gizi, Diabetes
Melitus

Gambar 2. Kerangka Teori

25
F. Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka Konsep

G. Hipotesis

Dari pokok-pokok kerangka konsep tersebut diatas, dapatlah ditarik hipotesis: kadar

kholinesterase (ChE) berkorelasi dengan gambaran nerve conduction study (NCS) pada

petani dengan pajanan pestisida organofosfat.

Pada pemeriksaan NCS motorik petani terpajan pestisida organofosfat :

 Semakin rendah kadar ChE semakin lambat KHS

 Semakin rendah kadar ChE semakin rendah amplitudo

 Semakin rendah kadar ChE semakin panjang latensi distal

Pada pemeriksaan NCS sensorik petani terpajan pestisida organofosfat:

 Semakin rendah kadar ChE semakin panjang latensi distal

 Semakin rendah kadar ChE semakin rendah amplitudo

26
BAB III

METODE PENELITIAN

A.Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) untuk

mengidentifikasi korelasi kadarkholinesterase dengan gambaran Nerve Conduction Study (NCS)

pada petani terpajan pestisida organofosfat di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa

Tengah.Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode stratified random sampling

B. Populasi dan Subyek Penelitian

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : (1) petani yang menggunakan pestisida

dalam praktek pertaniannya di kecamatan Ngablak, dan terpajan pestisida maksimal 2

minggu terakhir (2) bersedia menjalani pemeriksaan elektroneuromyografi (ENMG) di

RSUP Dr Sardjito, (3) bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed

consent setelah mendapatkan penjelasan dari tim penelitian.Kriteria eksklusi dalam penelitian

ini adalah: (1) memiliki riwayat diabetes mellitus, (3) Amputasi lengan / kaki, (4) Ulkus pada

kaki yang menyebabkan tidak mungkin dilakukannya pemeriksaan ENMG, (5) Peminum

Alkohol kronis.

C. Besar Sampel

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus studi potong lintang menurut Sastroasmoro

(2011) dan Dahlan (2010) sebagai berikut :

(Zα + Zβ)2
n= 2
0,5ln[(1+r)/(1-r)] +3

Keterangan :

27
n = besar sampel

Zα = nilai pada distribusi normal standar untuk α (1,64 untuk α sebesar 5%)

Zβ = nilai pada distribusi normal standar untuk β (0.84untuk β sebesar 20%)

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna, sebesar 0,4

Tingkat kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini dengan α sebesar 5% da β

sebesar 20%. Berdasarkan rumus besar sampel diatas maka diperoleh besar sampel minimal

38 subjek.

D.Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini meliputi:

1. Variabel bebas adalah kadar kholinesterase (AChE) darah.

2. Variabel perancu adalah faktor sosiodemografis, tingkat pengetahuan terkait penggunaan

pestisida, status gizi dan pola penggunaan pestisida (penggunaan alat pelindung, lama

penggunaan, frekuensi penggunaan), jenis pestisida yang digunakan.

3. Variabel dependen adalah kejadian neuropati, tingkat keparahan neuropati, yang terkait

dengan pajanan pestisida.Tingkat keparahan neuropati dinilai berdasarkan pemeriksaan

ENMG.

E.Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Tingkat keracunan pestisida : ditentukan berdasarkan pemeriksaan kadar kandungan

asetilkolinesterase darah (ChE eritrosit).Metode pemeriksaan yang digunakan yaitu

metode Ellman dengan reagen DTNB. Nilai normal berkisar 9572-15031 U/L. Variabel

ini berskala numerik.

2. Neuropati :ditentukan sesuai kriteria klinis WHO, yaitu (1) kelemahan dan kerusakan

otot anggota gerak, (2) pengurangan atau hilangnya reflex tendon, (3) gejala dan tanda

gangguan sensorik atau defisit yang spesifik dalam tipenya dan atau distribusinya, (4)

abnormalitas otonomik. Variabel ini berskala nominal.

28
3. Tingkat keparahan neuropati : tingkat keparahan neuropati dibagi menjadi neuropati

sensorik dan motorik. Tingkat keparahan neuropati sensorik dinilai berdasarkan analisis

gelombang Sensory Nerve Action Potensial (SNAP) sedangkan neuropati motorik dinilai

berdasarkan analisis gelombang Compound Motor Action Potentials (CMAP) pada

pemeriksaan ENMG. Masing – masing gelombang dinilai amplitudo (milivolt), latensi

distal (milidetik), serta kecepatan hantar saraf (meter/detik). Variabel ini berskala

numerik.

4. Umur: adalah usia berdasarkan anamnesis/kartu identitas, dinyatakan dalam tahun,

ditentukan dengan skala numerik interval.

5. Tingkat Pengetahuan: sesuatu yang dipahami oleh responden yang berhubungan dengan

pestisida dan penggunaan pestisida. Diukur dengan menggunakan kuesioner. Dinyatakan

baik bila skor > 75 % dan buruk bila skor < 75 % (Prijanto,2009). Skala nominal.

6. Status gizi: keadaan gizi responden yang ditentukan secara antropometri berdasarkan

tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) dengan berpedoman pada tabel TB dan BB

standar dalam Body Mass Index (BMI). Skala nominal.

7. Alat pelindung diri: adalah semua perlengkapan yang harus dikenakan saat melakukan

penyemprotan. Alat pelindung tersebut ada 7 macam, yaitu : 1) baju lengan panjang, 2)

celana panjang, 3) kaca mata pelindung, 4) topi, 5) masker, 6) sarung tangan, serta 7)

sepatu boot. Ukuran kepatuhan menggunakan alat pelindung dikuantifikasi masing-

masing bernilai 5 untuk setiap alat. Bila penyemprot menggunakan 1 alat pelindung

berarti konversi nilainya 5. Penggunaan dua alat pelindung konversi nilainya 10, dan

seterusnya. Variabel ini berskala numerik.

8. Lama kontak dengan pestisida: waktu yang dihitung mulai pertama kali penyemprot

menggunakan pestisida hingga waktu dilakukan pemeriksaan. Variabel ini berskala

numerik.

29
9. Frekuensi penyemprotan: kumulasi jumlah penyemprotan selama satu siklus periode

penyemprotan. Variabel ini berskala numerik.

F.Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan formulir pernyataan kesediaan menjadi responden

(informed consent) dan kuisioner wawancara terstruktur mengenai data demografis, kondisi

klinis neuropati dan faktor risiko neuropati akibat pajanan pestisida. Alat ukur yang

digunakan adalah DNS, DNE dan elektrodiagnostik (NCS).

1) Diabetic Neuropathy Symptom (DNS)

Pengukuran untuk clinical symptom neuropati skor ini menggunakan tabel kuesioner

yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pakar bahasa.

2) Diabetic Neuropathy Examination (DNE)

Pengukuran untuk clinical sign neuropati skor ini menggunakan tabel kuesioner yang

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pakar bahasa.

3) Nerve Conduction Study

Pemeriksaan elektrodiagnostik dilakukan dengan menggunakan alat ENMG merk

NIHON-KOHDEN produksi tahun 2012. Pemeriksaan NCS meliputi 2 komponen

yaitu: (1) konduksi motorik berupa latensi distal, amplitudo proksimal, amplitudo

distal dan kecepatan hantar saraf N. Medianus dan N. Tibialis bilateral; dan (2)

konduksi sensorik meliputi latensi distal dan amplitudo distal N. Medianus dan N.

Suralis bilateral

H. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

untuk pencarian sampel. Sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan

dilakukan pemeriksaan DNS, DNE serta dikirim untuk pemeriksaan ENMG di Poliklinik

30
Elektromedik Terpadu RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pemeriksaan kadar kholinesterase

dilakukan di Laboratorium yang ditunjuk.

I. Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode stratified random sampling.

Pengisian data kuesioner dilakukan melalui kunjungan rumah maupun melalui wawancara

kepada pasien yang datang di Puskesmas di Kecamatan Ngablak yang memenuhi kriteria dan

bersedia menandatangani informed consent. Penilaian pajanan pestisida ditentukan dengan

menggunakan kuisioner.Pemeriksaan fisik medis dilakukan satu kali dengan fokus utama

menilai berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh, pemeriksaan neurologis. Pada

pemeriksaan neurologis dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fungsi sensorik, kekuatan

motorik, refleks fisiologis, dan refleks patologis, scoring Diabetic Neuropathy Symptom

(DNS) dan Diabetic Neuropathy Examination (DNE). Pemeriksaan Elektroneuromiografi

(ENMG) dilakukan di poliklinik Elektromedik RSUP DR Sardjito dimana masing – masing

subjek diberikan jadwal untuk pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan ENMG merupakan

pemeriksaan fungsional saraf tepi dengan cara memberikan stimulasi elektrik singkat

(beberapa detik) pada saraf yang akan dinilai melalui permukaan kulit kemudian merekam

gelombang potensial aksi yang terbentuk. Pemeriksaan akan memberikan sedikit rasa tidak

nyaman selama stimulasi elektrik, namun tidak membahayakan. Pada pemeriksaan ENMG

akan dinilai gambaran fungsional sensoris dan motoris pada keempat ekstrimitas. Pada

ekstrimitas atas akan dinilai CMAP, SNAP dan F-Wave pada saraf medianus dan ulnaris,

sedangkan pada ekstrimitas bawah akan dinilai CMAP pada saraf tibialis dan peroneus,

SNAP pada saraf suralis, dan H-refleks pada otot soleus. Bahan kimia pestisida yang

digunakan petani diperiksa guna mendapatkan inventarisasi.

Pemeriksaan kadar kholinesterase dilakukan dengan menggunakan sampel darah vena

sebanyak 3 cc yang diambil dari pembuluh vena lengan saat pemeriksaan ditempat penelitian

31
kemudian disimpan dalam kotak pendingin portable. Darah kemudian dibawa ke

laboratorium yang ditunjuk untuk menilai kadar kholinesterase sehingga dapat ditentukan

tingkat keracunan pestisida dalam darah subjek penelitian.

I. Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan pemeriksaan/validasi data, pengkodean, rekapitulasi

dan tabulasi. Data yang ada dimasukkan dalam komputer dengan menggunakan program

SPSSuntuk selanjutnya dilakukan analisis statistik menggunakan metode yang sesuai.

J. Jadwal Penelitian

Kegiatan penelitian ini direncanakan selesai dalam tujuh bulan, dimulai dari bulan

Februari 2017 sampai dengan Agustus 2017. Penelitian ini akan dilaksanakan dengan

perincian waktu seperti yang tertera pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan 2017
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt
1 Penyusunan proposal X X
2 Seminar Proposal X
3 Pengajuan ethical cleareance X X
4 Pengambilan data X X
5 Analisis data X
6 Penyusunan laporan X X
7 Penyajian hasil X

K. Kelaikan Etika

Penelitian ini meminta rekomendasi dari Komite Etik Penelitian Biomedik pada

manusia, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setiap pasien dan/atau kerabat

penanggungjawab subjek penelitian diberikan penjelasan tentang tujuan, cara kerja, manfaat,

32
dan risiko penelitian. Apabila calon subjek penelitian atau dan/atau kerabat penanggungjawab

telah memahami dan setuju untuk ikut dalam penelitian maka diminta menandatangani

persetujuan penelitian secara tertulis.

33
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2014. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care,

37 : S14-S15

Berger, AR & Pulley, M. 2000. Current Concepts in The Diagnosis and Treatment of

Peripheral Neuropathy, Jacksonville Medical Publication, Florida

Boulton, W.K., Cattran, D.C., Williams, M.E., Adler, S.G., Appel, G.B., Cartwright, et al.,

2004. Randomized trial of an inhibitor of formation of advanced glycation end

products in diabetic nephropathy. Am J Nephrol, 24 (1) : 32-40.

Bradley, WG., Daroff, RB., Fenichel, GM., Marsden, CD. 1991. Neurology in Clinical

Practice. Butterworth-Heinemann. Boston.

Costa LG, Cole TB, Vitalone A, andFurlong CE. 2005. Measurementof paraoxonase

(PON1) status as a potential biomarkerof susceptibility to organophosphate

toxicity. Clinica ChimicaActa, vol. 352, no. 1-2, pp. 37–47.

Dahlan, M.S., 2010. Besar Sampel Untuk Desain Khusus. Besar Sampel dan Pengambilan

Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Ed. 2 Jakarta: Salemba Medika.

Dyck, PJ. And Thomas, PK. 1999. Diabetic Neuropathy, 2nd Ed, WB Saunders Company

Philadelphia.

Dyck, P.J., O’Brien, P.C., Litchy, W.J., Harper, C.M., Klein, C.J., 2005. Monotonicity of

nerve tests in diabetes: subclinical nerve dysfunction precedes diagnosis of

polyneuropathy. Diabetes Care, 28 : 2192-2200.

Henn, B.C., McMaster, S., and Padilla, S. 2006. Measuring kholinesterase activity in

human saliva.Journal of Toxicology andEnvironmental Health A, vol. 69, no. 19,

pp. 1805–1818

Hughes RAC. 2002. Regular Review Peripheral Neuropathy. BMJ, 324:486-9

Jalali, N, Mood, MB, Jalali, I., Shakeri, MT. 2010. Electrophysiological Changes in

34
Patients with Acute Organophosphorous Pesticide Poisoning. Basic & Clinical

Pharmacology & Toxicology, 108, 251–255

Jokanovic M., Kosanovic M., Brkic D., Vukomanovic P. 2011. Organophosphate induced

delayed polyneuropathy in a man: An overview. Clinical Neurology and

Neurosurgery 113 (2011) 7–10

Kamel F. and Hoppin JA. 2004. Association of pesticide exposurewith neurologic

dysfunction and disease.Environmenta Health Perspectives, vol. 112, no. 9, pp.

950–958.

Kiernan, J.A., 1998. Peripheral nervous system. In Barr´s The human nervous

system.Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, : 42-63.

Moretto A, Lotti, M. 1998. Poisoning by organophosphorus insecticides and sensory

neuropathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998;64:463–468

Lotti M., Moretto A. 2005. Organophosphate induced delayed polyneuropathy. Toxicol

Rev 2005; 24 (1): 37-49

Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang (Pemkab Magelang). 2012. Buku Putih

Kabupaten Magelang 2012. Pemerintah Daerah Kabupaen Magelang. Kabupaten

Magelang.

Prabowo K. 2002. Hubungan antara Karakteristik Individu dan Pekerjaan dengan

AktivitasKholinesterase Darah pada Petani Pengguna Pestisida di Kabupaten

Bandung Tahun 2001. Tesis. FKM UI, Depok, Indonesia.

Preston, D.C., Shapiro, B.E., 1998. Electromyografi and neuromuscular disorder. Clinical

electrophysiologic correlation. Boston: Butterworth-Heinemann.

Prihadi. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan efek kronis keracunan pestisida

organofosfat pada petani sayuran di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

Universitas Diponegoro. Semarang

35
Prijanto TB. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada

Keluarga Petani Holtikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

Universitas Diponegoro. Semarang.

Rowland, LP. 2000. Diseases of The Motor Unit, Dalam ER Kandel, JH Schwartz, TM

Jessel (Eds): Principles of Neural Sciences, 6th Ed, Chap 35: 485-490, Appleton

and Lange Publishing Co, Conecticut.

Sastroasmoro, Sudigdo .2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi

Ke-4. Jakarta : Sagung Seto.

Shield, RW. 2010. Peripheral Neuropathy. Cleveland Clinic Center for Continuing

Education.

Song F. and Xie K. 2012. Calcium-dependent neutral cystein protease and

organophosphate-induced delayed neuropathy. Chemico-Biological Interactions

200 (2012) 114–118

Sutarni S. 2007. Sari Neurotoksikologi. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta

Sutarni S, Wibowo S, Lamsudin R, Soeripto. 2003. Neuropati Akibat Pajanan

Fenitrothion Pada Penyemprot Vektor Malaria. Disertasi. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

Thrainsdottir, S., 2009. Peripheral polyneuropathy in type 2 diabetes mellitus and impaired

glucose tolerance: correlations between morphology, neurophysiology, and clinical

findings. Sweden: Department of Clinical Sciences, Malmö, Neurology, Lund

University.

Vaillancourt PD & Langevin HM. 1999. Painful Peripheral Neuropathies, The Medical

Clinics of North America, 83:3, 627-642.

Yang Z.,Chen R., Zhang Y., Huang Y., Hong T., Sun F., Ji L., Zhan S. 2014. Scoring

Systems to Screen for Diabetic Peripheral Neuropathy. Cochrane Database of

36
Systematic Reviews. Issue 3

Yuantari MG. 2009. Studi Ekonomi Lingkungan Penggunaan Pestisida dan Dampaknya

Pada Kesehatan Petani di Area Pertanian Holtikultura Desa Sumber Rejo

Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Universitas Diponegoro.

Semarang.

37
LAMPIRAN 1
LEMBAR INFORMASI UNTUK RESPONDEN

Saya dr. Arjanto Ramadian W, dari bagian Neurologi Fakultas Kedokteran UGM akan
melakukan penelitian tentang hubungan kadar kholinesterase darah dengan gambaran rekam
saraf tepi pada petani terpajan pestisida di kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa
Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti semakin berat derajat keracunan
pestisida berhubungan dengan semakin beratnya gangguan saraf tepi pada petani terpajan
pestisida.
Tim peneliti mengajak anda untuk ikut serta dalam penelitian ini. Penelitian ini
membutuhkan sekitar 38 orang subyek usia dewasa.
A. Kesediaan untuk ikut penelitian dengan sukarela
Anda bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa ada paksaan. Bila
anda sudah memutuskan untuk ikut, anda juga bebas untuk mengundurkan diri/berubah
pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau sanksi.
B. Prosedur penelitian
Apabila anda bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, anda diminta
menandatangani lembar persetujuan.
Prosedur selanjutnya adalah:
1. Anda akan diwawancarai oleh dokter untuk menanyakan nama, usia, riwayat
penyakit, riwayat penggunaan obat, kebiasaan merokok, minum minuman keras
beralkohol
2. Anda akan diwawancarai atau diminta oleh dokter untuk mengisi kuesioner tentang
pengetahuan dan perilaku penggunaan pestisida, serta adanya gejala gangguan
saraf tepi dan tingkat keparahannya dalam kehidupan sehari-hari anda
3. Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari ada tidaknya gangguan
saraf tepi, serta melakukan pengambilan sampel darah sebanyak 3 cc dari
pembuluh darah vena lengan untuk pemeriksaan laboratorium ada tidaknya
keracunan pestisida
4. Anda akan diminta untuk hadir di poliklinik Elektromedik Terpadu RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta pada waktu yang telah dijadwalkan untuk dilakukan
pemeriksaan rekam saraf tepi. Pemeriksaan akan memberikan sedikit rasa tidak
nyaman selama stimulasi elektrik, namun tidak membahayakan
C. Kewajiban subyek penelitian
38
Sebagai subyek penelitian, anda berkewajiban mengikuti aturan atau petunjuk
penelitian seperti yang telah tertulis sebelumnya. Bila ada pertanyaan silakan bertanya
pada peneliti.
D. Risiko, efek samping dan penanganannya
Tidak ada efek samping yang bisa ditimbulkan dari pemeriksaan darah, skrining
gangguan saraf tepi atau perekaman saraf tepi.
E. Manfaat
Keuntungan langsung yang akan didapatkan adalah anda akan mendapatkan
informasi apakah anda mengalami gangguan saraf tepi akibat efek samping pajanan
pestisida dan seberapa berat tingkat keparahannya sehingga informasi tersebut dapat
digunakan untuk penanganan dan pencegahan selanjutnya.
F. Kerahasiaan
Semua informasi yang berkaitan dengan identitas pasien penelitian akan
dirahasiakan dan hanya diketahui oleh peneliti dan staf penelitian. Hasil penelitian akan
dipublikasikan tanpa identitas pasien
G. Pembiayaan
Semua biaya pemeriksaan yang terkait penelitian akan ditanggung peneliti
H. Informasi tambahan
Anda diberikan kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas
sehubungan dengan penelitian ini. Bila membutuhkan penjelasan lebih lanjut, anda dapat
menghubungi dr. Arjanto Ramadian W (HP.081225577945) dari Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Anda juga dapat menanyakan tentang penelitian ini kepada Komite Etik Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan FK UGM (Telepon 9017225 dari lingkungan UGM atau
0274-7134955 dari luar lingkungan UGM), atau email ke mhrec_fmugm@ugm.ac.id

39
LAMPIRAN 2

SURAT PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

No. HP :

Menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan mengenai segala sesuatu


tentang penelitian “Hubungan Kadar Kholinesterase Darah dengan Gambaran Nerve
Conduction Study pada Petani Terpajan Pestisida di Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang Jawa Tengah”. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, saya dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan data
yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan untuk
kepentingan ilmiah.

…………,……………………..

Nama dan Tanda tangan Pasien Nama dan Tanda tangan Pemeriksa

( ) ( )

Nama dan Tanda tangan Saksi

( )
40
LAMPIRAN 3

Kuesioner Hubungan Kadar Kholinesterase Darah dengan Gambaran NCS


Petani Terpajan Pestisida di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa
Tengah

Nomor Responden:

Nama :

Alamat :

A. Identifikasi Responden
1. Nama :………………………..
2. Umur :…………………… …. Tahun
3. Jenis Kelamin :
4. Pekerjaan :....................................
5. Status Gizi : a. Tinggi Badan :…………..Cm
b. Berat Badan :…………..Kg
6. Hasil Pemeriksaan Kholinesterase :……………%
7. Pendidikan : a. Tidak pernah sekolah d. Tamat SLTP
b. Tidak tamat SD e. Tamat SLTA
c. Tamat SD f. Akademi/PT
8. Aktivitas Keluarga Petani ke sawah :…………(Ya/Tidak)
9. Riwayat sakit gula darah (Diabetes melitus):............(Ya/Tidak)
10. Riwayat konsumsi alkohol :..........(Ya/Tidak). Bila Ya, seberapa sering anda minum...............
B. Anamnesis
1. Mulai kapankah saudara menyemprot dengan pestisida?
a. Beberapa bulan lalu
b. 1-5 tahun yang lalu
c. Tidak tahu
d. Lebih dari 5 tahun
e. Lebih dari 10 tahun
2. Kapankan saudara terakhir menyemprot pestisida?
a. 0-7 hari

41
b. 7-14 hari
c. Lebih dari 14 hari
3. Pengetahuan tentang Pestisida:
Keterangan apa saja yang terdapat pada label Pestisida?
a. Aturan pakai atau dosis
b. Petunjuk pertolongan bila terjadi keracunan
c. Gejala-gejala keracunan
d. Zat penawar racun (antidote)
e. Nomor ijin produksi
f. Tanggal kadaluwarsa
4. Pakaian apa saja yang seharusnya digunakan pada saat melakukan penyemprotan?
a. Pelindung kepala (helm/topi/caping)
b. Pelindung pernafasan (masker)
c. Pelindung badan (apron/overall)
d. Pelindung tangan (glove)
e. Pelindung kaki (sepatu boot)
f. Pelindung mata (google)
5. Apakah saudara menggunakan alat pelindung saat melakukan penyemprotan?
a. Ya
b. Tidak
6. Apakah saudara tahu bagaimana cara pestisida masuk ke dalam tubuh?
a. Tahu, melalui: 1. Mulut
2. Pernafasan
3. Kulit
b. Tidak tahu
7. Mungkinkah orang yang tidak pernah melakukan penyemprotan dapat mengalami keracunan?
a. Mungkin, karena…………………………….
b. Tidak mungkin
8. Dalam satu minggu saudara melakukan berapa kali penyemprotan?
a. Satu sampai dua kali
b. Lebih dari dua kali
9. Dalam pengamatan saudara dosis yang digunakan adalah:
a. Tepat
b. Lebih
c. Kurang

42
10. Waktu yang digunakan dalam setiap kali penyemprotan:
a. Kurang dari 5 jam
b. Lebih dari 5 jam
11. Kebiasaan membuang bekas tempat pestisida atau sisanya:
a. Ditanam/dikubur/dibakar
b. Di sungai/di halaman/ di tempat sampah
12. Kebiasaan saat menyemprot:
a. Sambil merokok, makan atau minum
b. Tidak
13. Makanan tiap hari:
a. Nasi e. Sayur
b. Tempe, tahu f. Daging
c. Telur g. Ikan asin
d. Susu h. Makanan berlemak
14. Gejala keracunan mendadak yang mungkin atau pernah diderita:
a. Nyeri kepala k. Keringat berlebihan
b. Vertigo l. Air liur berlebihan
c. Kejang-kejang m. Pingsan sebentar
d. Sesak nafas mendadak n. Mudah capai
e. Mata berair o. Sukar tidur
f. Perut mulas p. Kurang konsentrasi
g. Tidak ada keluhan q. Mual-mual
h. Malas r. Kulit kering
i. Nyeri tulang s. Lain-lain
j. Tremor kaki
15. Perasaan di kulit lengan berupa:
a. Mati rasa
b. Terlalu peka
c. Rasa tebal-tebal
d. Tak ada keluhan
e. lain-lain
16. Lokasinya di:
a. Seluruh lengan
b. Bagian pangkal lengan
c. Telapak tangan (distal)

43
17. Kelainan di tungkai berupa:
a. Mati rasa
b. Terlalu peka
c. Rasa tebal-tebal
d. Tak ada keluhan
e. lain-lain
18. Lokasinya di:
a. Seluruh tungkai
b. Bagian pangkal tungkai
c. Telapak kaki (distal)
19. Penurunan kekuatan lengan:
a. Ada
b. Tidak
20. Kalau ada di bagian mana?
a. Pangkal (proksimal)
b. Ujung kaki (distal)
c. Tengah
d. Lain-lain
21. Penurunan kekuatan tungkai
a. Ada
b. Tidak
22. Gejala-gejala keracunan kronis lain yang diderita
a. Jalan bergoyang d. Lumpuh layu
b. Nyeri tekan otot e. Lumpuh kaku
c. Otot bergerak-gerak sendiri f. Keluhan lain, sebutkan……..
23. Ada riwayat panas satu minggu sebelumnya?
a. Ada
b. tidak
24. Rasa lemah setiap siang hari walau tanpa aktivitas fisik?
a. Ada
b. Tidak

Pemeriksa:……………………….

44
C. KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT –ALAT PELINDUNG
1. Penggunaan kacamata
Apakah selama anda menyemprot selalu memakai kacamata sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak gelap
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada sinar
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
2. Penggunaan sarung tangan
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan sarung tangan sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
3. Penggunaan celana panjang
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan celana panjang sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten

45
# Mahal
# Lain-lain,………………..
4. Penggunaan baju lengan panjang
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan baju lengan panjang sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
5. Penggunaan masker
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan masker sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
6. Penggunan apron
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan apron sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu

46
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
7. Penggunaan sepatu boot
Apakah selama anda menyemprot selalu menggunakan sepatu boot sampai selesai?
a. Memakai terus mulai menyemprot sampai selesai
b. Memakai hanya bila ada pengamatan dari pihak berwenang
c. Memakai kalau keadaan cuaca tidak panas
d. Memakai hanya sebentar, kalau capai dilepas, tidak dipakai lagi
e. Memakai kalau ada minat
f. Tidak memakai
Alasannya: #Tidak senang/mengganggu
# Tidak telaten
# Mahal
# Lain-lain,………………..
D. Pengetahuan Tentang Pestisida
Responden menjawab sebanyak-banyaknya jawaban yang dianggap benar
dengan memberi tanda (√ ) !
1. Apa yang saudara ketahui pestisida?
a. Zat untuk membunuh hama
b. Zat untuk mengendalikan berbagai hama
c. Zat untuk mencegah berbagai hama
d. Zat untuk memberantas berbagai hama
e. Zat untuk memberantas/mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga
2. Sebutkan macam bentuk formulasi pestisida menurut saudara ?
a. Bentuk kering
b. Bentuk umpan
c. Bentuk butiran
d. Bentuk cair
3. Menurut saudara pestisida masuk ke dalam tubuh melalui apa saja ?
a. Mulut
b. Kulit
c. Hidung
d. Mata
e. Luka

47
4. Sebutkan gejala dan tanda-tanda keracunan pestisida yang saudara ketahui ?
a. Pusing
b. Muntah-muntah
c. Kejang-kejang
d. Ludah berlebihan
e. Diare/mencret
f. Mual-mual
g. Keringat banyak
h. Penglihatan kabur
5. Menurut saudara bagaimana tindakan/cara pertolongan jika terjadi keracunan?
a. Bila kena mata langsung dicuci dengan air bersih
b. Bila terhisap langsung ke udara segar / luar rangan
c. Meminum susu cair yang banyak
d. Dibawa ke sarana kesehatan / Puskesmas
e. Mencuci kulit yang terkena
f. Pakaian yang terkena racun segera dilepaskan.
6. Bagaimana cara membuang bekas kemasan / kaleng pestisida ?
a. Kaleng/plastik dilubangi dahulu dan ditanam dalam tanah jauh dari sumber air
b. Kertas bekas dibakar jauh dari permukiman
7. Bagaimana cara penyimpanan pestisida ?
a. Pestisida disimpan masih dalam kemasan aslinya
b. Diletakkan dalam ruangan khusus yang ada ventilasinya
c. Terhindar langsung dari sinar matahari
d. Tidak disatukan dengan gudang makanan
e. Ruangan penyimpanan harus terkunci
f. Terpisah dengan dapur.
8. Bagaimana cara saudara membersihkan alat-alat yang digunakan sesudahpenyemprotan
a. Dicuci dengan sabun
b. Dicuci dengan air mengalir
c. Tidak mencemari air bersih
d. Tidak mencemari sungai
Setiap jawaban mempunyai skor 1.
Skor Kategori Tingkat Pengetahuan
≥ 30 Baik
< 30 Kurang

48
LAMPIRAN 4

SKRINING NEUROPATI PERIFER

KUESIONER DIABETIC NEUROPATHY SYMPTOM

No ITEM TIDAK YA
1 Jalan tidak stabil
2 Kesemutan atau tebal
3 Seperti ditusuk jarum
4 Nyeri terbakar/nyeri tekan

Bila skor > 1= neuropati

KUESIONER DIABETIC NEUROPATHY EXAMINATION

1. Kekuatan otot quadriceps femur (ekstensi sendi lutut)


2. Kekuatan otot tibialis anterior (dorsofleksi kaki)
3. Refleks tendo achiles
4. Sensitifitas jari telunjuk (sensibilitas terhadap tusukan jarum)
5. Sensitifitas ibu jari kaki (sensibilitas terhadap tusukan jarum)
6. Sensitifitas ibu jari kaki (sensibilitas terhadap sentuhan raba)
7. Sensitifitas ibu jari kaki (persepsi getar dengan garpu tala)
8. Sensitifitas ibu jari kaki (sensibilitas terhadap posisi sendi)

Keterangan:
Skor: 0= Normal
1= Kekuatan otot 3-4, Refleks menurun, Sensibilitas menurun
2= Kekuatan 0-2, Refleks (-), Sensibilitas (-)
Diagnosis neuropati bila skor >3

49

Anda mungkin juga menyukai