Anda di halaman 1dari 37

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. D.M

Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gajah Putih
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Tanggal MRS : 25 Januari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 25-26 Januari 2018
No. RM : 002636

B. Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal 26 Januari 2018 di Ruang
Kelas II Penyakit Dalam Pria.

1. Keluhan Utama :
Muntah >10x selama ± 4 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan rujukan dari RSAL dengan
keluhan mual (+) muntah > 10x selama ± 4 hari SMRS berisi cairan
berwarna hijau kecoklat , nyeri ulu hati (+), perut terasa kemung (+) batuk
(+), Demam (-), sesak (-), makan/minum menurun, BAB (+) warna hitam
sejak 4 hari SMRS setelah itu pasien tidak lagi BAB, BAK (+)
Pasien juga pernah menjalani operasi perbesaran prostat ± 3 tahun yang
lalu dan operasi tumor caecum pada bulan juni 2017, Riwayat Endoscopy
(+) luka pada lambung.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Hipertensi (-)

1
- Riwayat DM (-)
- Riwayat sakit lambung (+) tahun 2017
- Riwayat tumor caecum (+) tahun 2017
- Riwayat perbesaran prostat (+) tahun 2017
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang pernah menderita penyakit seperti pasien.

5. Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Ekonomi


Pasien sehari-hari hanya tinggal di rumah dan tidak melakukan apa-apa,
merokok (-), minuman berakohol (-).

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 112 x/menit
- Respirasi : 25 x/menit
- Suhu : 37.0 0C
- SpO2 : 90% dengan O2 nasal canul 5 lpm

GCS : E4V5M6
Pemeriksaan Khusus

a. Kepala
- Bentuk : Normocephali
- Rambut : putih, lurus, tebal, tidak mudah dicabut
- Mata : konjungtiva anemis : (+/+)
sklera ikterik : (-/-)
eksoftalmus : (-/-)
refleks cahaya : (+/+)
mata cowong (+)
- Hidung : sekret (-), perdarahan (-)

2
- Telinga : sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut : oral candidiasis (-)

b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran

c. Thorax
1) Cor :
- Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
- Palpasi : Iktus cordis teraba interkostal V, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Bunyi Jantung I – II murni reguler, suara
jantung tambahan (-), mur-mur (-), gallop
(-).
2) Pulmo
- Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
- Palpasi : Vocal premitus kanan kiri normal
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)

d. Abdomen
- Inspeksi : Datar, caput medusa (-), bekas operasi (+) dibawa
pusat
- Auskultasi : bising usus (+), 2-3 kali/menit
- Perkusi : tympani +
- Palpasi : nyeri tekan abdomen +

H/L tidak teraba.

3
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, CRT<2”
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-
- Refleks Patologis : babinsky ( - )

f. Vegetatif
- Makan : menurun
- Minum : menurun
- BAK / BAB : (+)/ (-) ± 4 hari SMRS

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Pemeriksaan 25/1/2018 Nilai Normal


Hematologi
Hb (mg/dl) 10,3 14.0 – 17.4 gr/dL
Leukosit (/mm3) 11.58 5 – 10 x103/mm3
HCT (%) 30.1 42 – 52 %
Trombosit (/mm3) 378 150 – 400 x 103/mm3
MCV 65.3 84.0 – 96.0 fL
MCH 22.3 28.0 – 34.0 pg
MCHC 34.2 32.0 – 36.0 gr/dL
Faal Ginjal
Kreatinin Serum 3.07 0.95 mg/dL
Urea 51.7 7.0 – 18.0 mg/dL
Elektrolit
Kalium 4.24 3.5-5.3 mEq/L
Natrium 119.1 135-148 mEq/L
Clorida 92.7 98-106 mEq/L
Glukosa Darah

4
GDS 139 70-140 mg/dL
DDR Negatif

E. Resume
Pasien datang dibawa keluarga dengan rujukan dari RSAL dengan keluhan
mual (+) muntah (+) >10x selama ± 4 hari SMRS berisi cairan berwarna hijau
kecoklatan.
Pasien juga mengakui pernah BAB berwarna coklat kehitaman ± 4 hari
SMRS kemudian setelah itu pasien tidak lagi BAB, nyeri ulu hati (+), batuk
(+), Demam (-), sesak (-), makan/minum menurun, BAK (+) warna kuning
Pasien juga pernah menjalani operasi perbesaran prostat ± 3 tahun yang
lalu dan operasi tumor caecum pada bulan juni 2017, Riwayat Endoscopy (+)
luka pada lambung tahun 2017. Riwayat diabetes, jantung, alergi, Hipertansi
disangkal.
Pasien mengakui didalam keluarga tidak ada yang pernah menderita sakit
seperti yang diderita oleh pasien. Riwayat pekerjaan pesien tidak bekerja,
sehari-hari hanya tinggal di rumah saja.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah: 100/70 mmHg, nadi: 112 kali/menit,
pernapasan: 25 kali/menit, suhu badan: 37.0ºC, SpO2 : 90% dengan O2 nasal
canul 5 lpm.
Pada pemeriksaan Fisik ditemukan mata conjunctiva anemis (+), pada
mulut juga tidak ditemukan oral candidiasis (-), pemeriksaan leher tidak ada
pembesaran KGB. Pada pemeriksaan thorax: didapatkan vocal fremitus dekstra
= sinistra pada palpasi, dan pada auskultasi tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan abdomen tympani, BU (+), terdapat nyeri tekan pada bagian
epigastrium dan umbilicus, hepar/lien tidak teraba membesar. Pemeriksaan
extremitas tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan Hb: 10.3 mg/dL, Leukosit 11, 58
mm3, HCT 30.1%, Trombosit 378.000/mm3, MCV 65.3 fL, MCH 22.3 pg,
MCHC 34.2 g/dL. Pada pemeriksaan faal ginjal, didapatkan kreatinin serum

5
3,07 mg/dL, Urea 51,7 mg/dL. Pada pemeriksaan elektrolit, didapatkan kadar
Kalium 4.24 mEq/L, Natrium 119.1 mEq/L, Clorida 92.7 mEq/L dan pada
pemeriksaan gula darah, Glukosa darah sewaktu 139 gr/dL.

F. Daftar Masalah
- Muntah (+) >10x
- Nyeri ulu hati (+)
- BAB Warna coklat kehitaman (+)
- Peningkatan ureum kreatinin
- Anemia

G. Diagnosis Kerja
- Hematemesis, melena ec ulkus peptikum
- Syok hipovolemi
- Anemia

H. Planning
- NaCl 0.9% 3000cc/24 jam
- Inj Pantoprazol 2x1 vial
- Inj transamin 3x1 amp iv
- Inj vit K 3x1 amp
- Sucralfat 4x30cc
- Transfusi PRC sampai HB > 10

I. Follow Up Ruangan
Tanggal Catatan
26 januari 2018 S: Badan terasa lemas, sulit tidur malam hari, muntah cairan
berwarna hijau kecoklatan, nyeri ulu hati (+), belum BAB ± 5 hari

O: KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos Mentis

6
TD: 110/70mmHg, N:130x/m, R:24x/m, S:37,5 0 C SpO2 : 89% (O2
nasal 10 lpm)
K/L: CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P > KGB (-) mata cowong (+)
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus D = S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-), Wheezing (-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba ICS V
P : Batas jantung kanan ICS IV parasternal dextra
Batas jantung kiri ICS V midclavicula sinistra
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  I : datar
A : Bising Usus (+) 2-3 kali/menit
P : Supel, NT: (+) epigastrius dan umbilikus, H/L:
tidak teraba
P : Timpani
Ekstremitas  akral hangat, udem (-), CRT <2”
Vegetatif  Ma/Mi berkurang, BAB/BAK (-/+)

A. - Hematemesis, melena ec ulkus pemtium


- Syok Hipovolemia
- anemia

P.
- NaCl 0.9% 3000cc/24 jam
- Inj Pantoprazol 2x1 vial
- Inj transamin 3x1 amp iv
- Inj vit K 3x1 amp
- Sucralfat 4x30cc

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hematemesis dan Melana


Hematemesism atau muntah darah dan melena atau berak darah merupakan
Keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA).
Hematemesis melena adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di bagian
Gawat darurat rumah sakit. Sebahagian besar pasien datang dalam
keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat
yang memerlukan Tindakan yang cepat dan tepat Ada empat penyebab SCBA
yang paling sering ditemukan, yaitu ulkus peptikum, gastritis erosif,
varises esofagus, dan ruptur mukosa esofagogastrika. Semua keadaan ini
meliputi sampai 90 persen dari semua kasus perdarahan gastrointestinal atas
dengan ditemukannya suatu lesi yang pasti 9

2.2 Ulkus Peptikum


Definisi
Ulkus Peptikum adalah kecacatan yang terjadi pada mukosa, kadang-kadang
sampai lapisan muskularis mukosa dari traktus gastrointestinalis, berbatas
tegas, diameter ≥ 5mm, yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang
cukup mengandung HCL.1,3,4

Patogenesis
Ulkus diterangkan mempunyai hubungan dengan asam lambung. Ulkus
peptikum timbul ketika pengaruh asam dan pepsin pada lumen gastrointestinal
melebihi kemampuan mukosa melawan pengaruh tersebut. Infeksi Helicobacter
pylori, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan asam adalah tiga
faktor yang paling penting dalam ulkus peptikum. Asam diperlukan untuk
perkembangan ulkus yang disebabkan oleh H.pylori atau NSAIDs. Asam
sendiri tidak menimbulkan ulkus kecuali terjadi hipersekretori.1,2 Ulkus

8
peptikum terdapat dalam dua bentuk yaitu : ulkus ventrikuli dimana daya tahan
mukosa menurun dan ulkus duodeni dimana faktor asam lambung yang
meningkat.4 Tukak lambung terjadi karena kegagalan mekanisme proteksi
mukosa lambung, sedangkan tukak duodenum terjadi karena hipersekresi asam
lambung.5

Etiologi

1. Helicobacter pylori
H.pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam suasana asam
dalam lambung/duodenum (antrum, korpus, dan bulbus), berbentuk kurva/S-
shaped. Bakteri ini ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Pada lambung
terutama terkonsentrasi dalam antrum, berada pada lapisan mukus pada
permukaan epitel yang sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel.3
Tubuh akan memberikan respon untuk mengeliminasi H.pylori
dengan mobilisasi sel-sel PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara
intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi atau
sitokinin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor necrosis faktor,
yang bersama reaksi imun yang muncul justru mnyebabkan kerusakan sel-
sel epitel gastroduodenal yang lebih parah tetapi tidak dapat mengeliminasi
bakteri dan infeksi menjadi kronik.3
H.pylori mengeluarkan sitotoksin yang secara langsung dapat
merusak sel epitel mukosa gastroduodenal, seperti vacuolating cytotoxin
(Vac A gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel, cytotoxin
associated gen A (Cag A gen) merupakan petanda virulensi H.pylori dan
hampir selalu ditemukan pada tukak peptik. H.pylori juga melepaskan
bermacam-macam enzim, seperti urease, protease, lipase, dan fosfolipase.
Urease memecah urea dalam lambung menjadi amonia yang toksik terhadap
sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus
yang menyebabkan daya tahan mukosa menurun, merusak lapisan yang kaya
lipid pada apikal sel epitel. Asam lambung dapat berdifusi balik melalui
kerusakan sel-sel epitel ini sehingga menyebabkan nekrosis yang lebih luas.3

9
H.pylori yang terkonsentrasi dalam antrum menyebabkan kerusakan
sel D yang mengeluarkan somatostatin, yang berfungsi membatasi produksi
gastrin. Hal ini menyebabkan produksi gastrin meningkat, yang nantinya
merangsang sel-sel parietal menghasilkan asam lambung yang berlebihan.
Asam lambung masuk ke duodenum sehingga keasaman meningkat. Asam
lambung yang tinggi pada duodenum menyebabkan gastrik metaplasia yang
dapat menjadi tempat hidup H.pylori dan sekaligus dapat memproduksi asam
sehingga lebih menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang
tinggi akan menekan mukus dan bikarbonat sehingga menyebabkan daya
tahan mukosa lebih menurun.3

2. Obat antiinflamasi non steroid (OAINS)


Pemakaian obat antiinflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat
(ASA) secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya risiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat. Pemakaian OAINS/ASA tidak
hanya menyebabkan kerusakan pada gastroduodenal, tetapi juga pada usus
halus dan usus besar berupa inflamasi, ulserasi, dan perforasi.3
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa karena penggunaan
OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/iritasi langsung pada mukosa. Selain
itu, OAINS/ASA menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX)
sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin yang berperan
memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa,
proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi
immunosit mukosa, serta sekresi basal asam lambung.3,6
Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak peptik
pada penggunaan OAINS adalah umur tua (60 tahun); riwayat adanya tukak
peptik sebelumnya; dispepsia kronik; intoleransi terhadap penggunaan
OAINS sebelumnya; jenis, dosis, dan lamanya penggunaan OAINS
sebelumnya; penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid,
antikoagulan, dan penggunaan 2 jenis OAINS secara bersamaan; dan
penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pengguna OAINS.3

10
3. Beberapa faktor lingkungan
Merokok meningkatkan kerentanan terhadap infeksi H.pylori dengan
menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan keadaan yang sesuai
dengan H.pylori.

4. Faktor-faktor defensif
Gangguan pada satu atau beberapa faktor pertahanan mukosa, menyebabkan
daya tahan mukosa akan menurun sehingga mudah dirusak oleh faktor
agresif yang menyebabkan terjadinya tukak peptik. Ada tiga faktor
pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan mukosa gastroduodenal,
yaitu : 3

1. Faktor preepitel terdiri dari :


a. Mukus/bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh asam
lambung/pepsin.
b. Mucoid cap, yaitu suatu struktur yang terdiri dari mukus dan fibrin,
yang terbentuk sebagai respon terhadap rangsangan inflamasi.
c. Active surface phospholipid yang berperan untuk meningkatkan
hidrofobisitas membran sel dan meningkatkan viskositas mukus.
2. Faktor epitel
a. Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, dimana terjadi migrasi
sel-sel yang sehat ke daerah yang rusak untuk perbaikan.
b. Pertahanan seluler, yaitu kemampuan untuk memelihara electrical
gradient dan mencegah pengasaman sel.
c. Kemampuan transporter asam-basa untuk mengangkut bikarbonat
ke dalam lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk
mendorong asam keluar jaringan.
d. Faktor pertumbuhan, prostaglandin dan nitrit oksida.
3. Faktor subepitel
a. Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi,
oksigen, dan bikarbonat ke epitel sel.
b. Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravasasi
leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.

11
Diagnosis Klinik
Anamnesis
Secara umum pasien tukak peptik biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia
adalah suatu sindroma klinik/kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran
cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa panas
seperti terbakar yang biasanya timbul setelah makan atau minum yang asam,
seperti ditusuk-tusuk, seperti diperas, atau pedih, rasa penuh ulu hati, cepat
merasa kenyang, dan serangan tukak hilang-timbul secara periodik.1,3
Keluhan utama dalah nyeri di epigastrium, dimana sifatnya kronik bisa
bulanan/tahunan, periodik secara remisi dan eksaserbasi, ritmik-iramanya
hunger pain food relief pattern, kualitasnya steady and continue. Apabila
keadaan memberat, maka pola tersebut berubah dan nyeri dirasakan lebih berat
serta lebih lama.4
Pada tukak duodeni rasa sakit timbul saat pasien merasa lapar atau 90
menit-3 jam setelah makan, rasa sakit bisa membangunkan pasien tengah
malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum susu atau obat antasida
(Hunger pain food relief), rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah
perut. Hal ini menunjukkan adanya peranan asam lambung/pepsin dalam
patogenesis tukak duodenum. Rasa mual disertai mulut asam merupakan
keluhan pada penderita tukak di pilorus, atau duodenum. Rasa sakit tukak gaster
timbul setelah makan, dan rasa sakit tukak gaster dirasakan sebelah kiri garis
tengah perut. Muntah terutama timbul pada tukak yang masih aktif, sering
ditemukan pada penderita tukak lambung daripada tukak duodeni, terutama
yang letaknya di antrum atau pilorus.1,3
Riwayat minum alkohol, jamu-jamuan, atau obat-obatan yang
ulserogenik. Sepuluh persen dari tukak peptik, khususnya karena OAINS
menimbulkan komplikasi (perdarahan/perforasi) tanpa danya keluhan nyeri
sebelumnya sehingga anamnesis tentang penggunaan OAINS perlu ditanyakan
pada pasien. Tinja berwarna seperti teer (melena) harus diwaspadai sebagai
suatu perdarahan tukak.3,5

12
Pada dispepsia kronik, untuk membedakan dispepsia fungsional dan
dispepsia organik, yaitu pada tukak peptik dapat ditemukan gejala peringatan
(alarm symptom) antara lain berupa : umur > 45-50 tahun keluhan muncul
pertama kali, berat badan menurun >10%, anoreksia/rasa cepat kenyang,
riwayat tukak peptik sebelumnya, muntah yang persisten, dan anemia yang
tidak diketahui penyababnya.3
Sugesti seseorang menderita penyakit tukak perlu dipikirkan bila
ditemukan adanya riwayat pasien tukak dalam keluarga, rasa sakit klasik
dengan keluhan yang spesifik, faktor predisposisi seperti pemakaian OAINS,
perokok berat, dan alkohol, adanya penyakit kronis seperti PPOK atau sirosis
hati, dan adanya hasil positif H.pylori dari serologi/IgG anti H.pylori.3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik hanya sedikit membantu diagnosa, kecuali bila sudah terjadi
komplikasi. Pada non komplikata jarang menimbulkan kelainan fisik. Rasa
sakit/nyeri ulu hati di kiri atau sebelah kanan garis tengah perut, terjadinya
penurunan berat badan merupakan tanda fisik yang dapat dijumpai pada tukak
peptik tanpa komplikasi.3
Pada non komplikata adanya “epigastric tenderness” yang berlokasi
di epigastrium antara umbilikus dan prosesus sifoideus. Timbulnya “diffuse
superficial tenderness” kemungkinan merupakan refleks viserosomatik. Semua
serabut-serabut nyeri dari traktus gastrointestinalis melalui saraf simpatis
menuju ke spinal cord. Persarafan di lambung dan duodenum oleh nervus
splanknikus menuju ke segmen dari spinal cord. Pada beberapa penderita,
palpasi dalam disertai dengan penekanan menimbulkan rasa nyeri yang
bertambah hebat.3 Rasa nyeri bermula pada satu titik (pointing sign) akhirnya
difus bisa menjalar ke punggung. Ini kemungkinan diakibatkan oleh penyakit
yang bertambah berat atau mengalami komplikasi.1
Pada pasien dengan komplikasi obstruksi, pada pemeriksaan fisik ditemukan
penderita terlihat lemah, kurus, dan dehidrasi. Perut atas cembung dan kadang-
kadang terlihat peristaltik dari lambung.

13
Pertama-tama harus dinilai status hemodinamika pasien, adakah syok
atau tidak. Bila syok segera ditanggulangi tanpa melakukan formalitas
pemeriksaan fisik yang sempurna. Periksa apakah ada stigmata penyakit hati
kronik (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal). Pemeriksaan
colok dubur (rectal toucher) juga perlu dikerjakan.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk memperkuat diagnosis. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu :

1. Pemeriksaan radiologis (Barium meal)


Pemeriksaan radiologi dengan barium meal kontras ganda dapat digunakan
dalam menegakkan diagnosis tukak peptik, tetapi akhir-akhir ini lebih
dianjurkan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan rontgen yang disertai
dengan metoda kontras ganda dapat memperlihatkan kelainan pada mukosa
lambung. Pemeriksaan perlu dilakukan dalam berbagai posisi, misalnya
pada posisis telentang (supine) untuk melihat dinding posterior, posisi
tengkurap (prone) untuk melihat kelainan pada dinding anterior, oblique ke
kanan dan kiri.1,3
Jika terjadi komplikasi berupa perforasi maka pada foto polos abdomen
ditemukan daerah bebas udara antara hati dan diafragma. Pada obstruksi
terlihat gambaran lambung yang membesar, dengan sisa makanan. Daerah
pilorus terlihat menyempit, dan tidak ada/sedikit sekali bubur barium yang
masuk duodenum. Pada lambung bilokuler ditemukan penyempitan di
bagian korpus. Pada daerah penyempitan kadang-kadang terlihat dibagi dua,
yaitu bagian bawah dan atas stenosis.
Lokasi tukak penting dalam menentukan sifatnya apakah benigna atau
maligna atau kemungkinan mengalami perubahaan menjadi malignitas.
Pada umumnya tukak yang jinak berlokasi di dinding kurvatura minor, atau
di dinding posterior dan anterior. Tukak yang berlokasi di kurvatura mayor
sebagian besar bersifat ganas.1
2. Pemeriksaan Endoskopi

14
Saat ini untuk diagnosis tukak peptik lebih dianjurkan pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas. Di samping itu untuk memastikan
diagnosa keganasan tukak gaster harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi, sitologi brushing dengan biopsi melalui endoskopi.3 Pada
obstruksi ditemukan sisa makanan pada endoskopi.
Gambaran khas pada tukak jinak adalah pada umumnya bulat atau oval,
tepinya teratur dengan dasar licin, daerah di sekitarnya membengkak dan
hiperemi, dan sering dijumpai lipatan yang radier (radiating fold) di sekitar
tukak. Tukak yang masih aktif, tampak jelas batasnya berbentuk bulat atau
oval, dengan dasar licin berisi nanah, tepi teratur dengan daerah di
sekitarnya membengkak hiperemi. Gambaran tukak gaster untuk keganasan
adalah: Boorman I /polipoid, B-II/ulceratif, B-III/infiltratif, B-IV/linitis
plastika (scirrhus). Biopsi dan endoskopi perlu dilakukan ulang setelah 8-
12 minggu terapi eradikasi, karena tingginya kejadian keganasan pada tukak
gaster (70%).1,3
3. Infeksi Helycobacter pylori dapat didiagnosis dengan test antibodi (tes
serologi), biopsi lambung pada pemeriksaan endoskopi, tes antigen tinja,
dan tes napas urea yang non invasif, yang dapat mengidentifikasikan
produksi enzim bakteri dalam lambung.
4. Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, lekosit, eritrosit, trombosit, morfologi darah tepi,
dan golongan darah. Jika diperlukan periksa faal pembekuan.
5. Biokimia darah
Uji faal hati yaitu transaminase, bilirubin, elektroforesa protein, kolesterol,
dan fosfatase alkali. Uji faal ginjal yaitu urea nitrogen dan kreatinin.10

Komplikasi Ulkus Peptikum


Komplikasi tukak peptik yang sering terjadi adalah

1. Perdarahan
Perdarahan sering terjadi dan merupakan komplikasi yang terbanyak
pada penderita tukak peptik. Insiden meningkat pada usia lanjut (> 60

15
tahun) akibat adanya penyakit degeneratif dan meningkatnya pemakaian
OAINS. Perdarahan dapat terjadi secara kronis maupun akut. Perdarahan
kronis umumnya bersifat perdarahan tersembunyi (occult blood) di tinja,
tidak banyak memberi keluhan dan akan menimbulkan gejala anemi
(anemia hipokromik atau anemia defisiensi Fe). Sebaliknya jika
perdarahan akut, maka akan terjadi hematemesis dan melena, dan penderita
akan mengalami syok. Tukak lambung sering menimbulkan hematemesis,
sedangkan tukak duodeni lebih sering menimbulkan melena.1,3
2. Perforasi
Insiden perforasi meningkat pada usia lanjut karena proses
aterosklerosis dan meningkatnya penggunaan OAINS. Perforasi tukak
gaster biasanya ke lobus kiri hati, dan dapat menimbulkan fistula
gastrokolik. Penetrasi adalah suatu bentuk perforasi yang tidak
terbuka/tanpa pengeluaran isi lambung karena tertutup oleh
omentum/organ perut di sekitar
3. Obstruksi
Retensi lambung adalah komplikasi yang sering pada tukak peptik
dan mungkin disebabkan karena pilorospasme. Obstruksi pilorus
menyebabkan vomitus bertambah hebat, dan lama-kelamaan akan terjadi
dehidrasi dengan serum Na, K, dan Cl akan menurun, serta akan terjadi
hemokonsentrasi dan kadar urea dalam darah naik.1
Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik berupa cepat kenyang,
muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan,dan
berat badan turun. Serangan nyeri hebat mungkin timbul bersamaan
dengan periode peristaltik lambung. Lama kelamaan lambung semakin
membesar, rasa nyeri berkurang, rasa penuh di perut tetap ada yang disertai
dengan rasa mual, dan keluhan muntah berkurang. Badan lemah, dan
kadang timbul konstipasi. 1,3

16
Penatalaksanaan Ulkus Peptikum
Penatalaksanaan awal pada perdarahan saluran makanan bagian atas :

Resusitasi
Prioritas pertama adalah penilaian, pemantauan, dan menjaga kestabilan
status hemodinamika.7
a. Tanpa syok
- Perdarahan 500cc, dilakukan observasi tekanan darah-nadi-suhu-
kesadaran. Periksa hemoglobin/hematokrit secara berkala untuk
evaluasi kemungkinan transfusi.
- Perdarahan 500-1000cc, dilakukan evaluasi kemungkinan transfusi
sambil terpasang infus larutan kristaloid (Ringer Laktat).
- Perdarahan masif (>1000cc, Hb<8 gr%), lakukan infus larutan
kristaloid dipercepat sambil menunggu darah untuk segera transfusi.
b. Keadaan syok
- Letakkan penderita pada posisi telentang tanpa bantal, kepala miring
ke samping, diberikan O2 melalui kateter hidung 5 liter/menit dan
pasang kateter foley untuk pemantauan produksi urin.
- Infus larutan kristaloid (Ringer Laktat) 1000cc dalam 1 jam.
- Bila tetap syok, infus diteruskan dengan plasma ekspander sambil
menunggu darah untuk segera ditransfusi. Jumlah transfusi tergantung
pada respon hemodinamik yaitu CVP stabil normal, tanda vital baik,
diuresis cukup, Ht >30%.
2. Kuras lambung
Sesudah resusitasi berhasil baik, pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi isi
lambung dan kuras lambung.
3. Pada perdarahan saluran makanan bagian atas masif/diduga perdarahan
arteriil, perlu segera diketahui sumber perdarahannya melalui pemeriksaan
arteriografi mesentrika selektif. Tindakan pembedahan/laparotomi
eksplorative dipertimbangkan pada kasus perdarahan masif untuk
diagnostik dan terapi.7
4. Panendoskopi

17
Setelah hemodinamika stabil dan air kurasan berwarna merah muda jernih,
secara panendoskopi dapat dilihat sumber perdarahan yaitu perdarahan
varises esofagei atau perdarahan bukan berasal dari varises esofagei.7

Terapi Konservatif
a. Pengaturan diit
Pemberian makanan adalah segera sesudah hemodinamika stabil dan
perasaan mual sudah tidak ada lagi. Mula-mula diberikan diet cair kemudian
menjadi diet saring, diet lunak, dan akhirnya diet biasa.5 Dasar diet yang
dilakukan adalah makan sedikit berulang kali, dan makanan yang banyak
mengandung susu dalam porsi kecil. Makanan yang dikonsumsi harus
lembek dan mudah dicerna, tidak merangsang, dapat menetralisir asam HCl,
serta hindari makanan pedas, asam, dan beralkohol, kopi, teh, coklat,
makanan yang berserat tinggi, makanan yang mengandung lemak dan
bumbu-bumbu berlebihan. Perut tidak boleh kosong atau terlalu penuh.1,3,4
b. Merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak kronik, menghambat sekresi
bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodeni, menambah
refluks duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus, dan meningkatkan
kekambuhan tukak. Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam
lambung. Sampai saat ini, tidak ada bukti bahwa merokok merupakan
predisposisi untuk timbulnya tukak peptik. Merokok akan mengurangi
nafsu makan dan menghambat penyembuhan tukak peptik, dan dengan
menghentikan merokok akan menambah nafsu makan.1,3
c. Obat-obatan
OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secar parenteral (supositoria dan
injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan, dosis OAINS diturunkan
atau dikombinasi dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Saat ini sudah tersedia
COX 2 inhibitor yang selektif untuk penyakit OA dan RA yang kurang
menimbulkan keluhan perut. Pemakaian aspirin dosis kecil untuk penyakit
kardiovaskular belum menjamin tidak terjadi kerusakan mukosa lambung.3
d. Lain-lain

18
Alkohol belum terbukti mempunyai bukti yang merugikan. Air jeruk yang
asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada
mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam lambung dan
sebaiknya jangan dikonsumsi saat perut kosong.3

Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat dapat digunakan untuk mengobati tukak peptik,
diantaranya adalah : antasida, antikolinergik, prokinetik, obat golongan
sitoprotektif, H2 reseptor antagonis, dan omeprazol.
1. Antasida
Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan. antasida sering
digunakan untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Pada
masa lalu sebelum kita kenal adanya ARH2 yg dapat memblokir
pengeluaran asam, antasida adalah obat satu satunya untuk tukak peptik.
Preparat yang mengandung magnesium dapat menyebabkan BAB/tidak
berbentuk/loose, tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena
menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan
alumunium menyebabkan konstipasi dan neurotoksik tapi bila
kombinasi kedua komponen saling menghilangkan efek samping
sehingga tidak terjadi diare, ataupun konstipasi8
Dosis: 3x1 tablet, 4x30 cc (3 kali sehari dan sebelum tidur 3 jam
setelah makan). Efek samping berinteraksi dengan obat digitalis, INH,
barbiturat, salisilat dan kinidin. Antasida yang mengandung calcium
carbonat menimbulkan MAS/MilkAlkaline syndrome (hiperkalsemia,
hipefosfatemia, renal calcinosis) dan progresi kearah gagal ginjal8.

2. Obat penangkal kerusakan mukus (cyto protective)


a. Koloid bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth
SubSalisilat/BSS). Mekanisme kerja belumjelas, kemungkinan
membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar tukak dan
melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin, berikatan

19
dengan pepsin sendiri, _merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus.
Efek samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik.
Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2
serta adanya efek bakterisidal terhadap HP sehingga kemungkinan
relaps berkurang. 8
Dosis: 2x2 tablet sehari. Efek samping tinja berwarna kehitaman
sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan. 8

b. Sukralfat
Suatu komplek garam sukrosa dimana grup hidroksil diganti dengan
aluminium hidroksida dan sulfat. 8
Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan kutub
aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul
protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang
melindungi tukak dari pengaruh agresif asam dan pepsin. Efek lain
membantu sintesa prostaglandin, kerjasama dengan EGF,
menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya
pertahanan dan perbaikan mukosal. Efek samping konstipasi, tidak
dianjurkan pada gagal ginjal kronik. Dosis: 4x1 gram sehari. 8

c. Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa
serta pertahanan dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi
asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARHZ. Biasanya
digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien
yang menggunakan OAINS. PGEl/misoprostol yang telah diakui
oleh FDA. 8
Dosis 4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari. Efek
samping diare, mual, muntah dan menimbulkan kontraksi otot
uterus/ perdarahan sehingga tidak dianjurkan pada perempuan yang
bakal hamil dan yang menginginkan kehamilan. 8

20
d. Antagonis reseptor H2/ARH2 (Simetidin, ranitidine, famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin.
Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin pada sel parietal
sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan
asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel. Pengurangan sekresi
asam post prandial dan nokturnal, yaitu sekresi nokturnal lebih
dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan
tukak/sikardian. 8
Dosis terapeutik :
 Simetidin: dosis 2 x 400 mg atau 800 gr malam hari .
 Ranitidin: 300 mg malam hari.
 Nizatidine: 1 x 300 mg malam hari
 Famotidin: l x 40 mg malam hari
 Roksatidin: 2 x 75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam


dalam potensi yang hampir sama, tapi efek samping Simetidin lebih
besar dari Famotidin karena dosis terapeutik lebih besar.
Dosis pemeliharaan: Simetidin 400 mg dan ranitidin 150 mg,
Nizatidine 150 mg, roksatidin 75 mg malam hari. Efek samping
sangat kecil antara lain agranulositosis, pansitopenia, neutropenia,
anemia dan trombositopenia (0,01 s/d 0,2 %), ginekomastia, konfusi
mental khusus pada Usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dijumpai
terutama pemberian Simetidin. 8

e. Proton Pump Inhibitor/PPI


Proton pump inhibitor/PPI (Omeprazol, Lansoprazol,
Pantoprazol Rabeprazol, Esomesoprazol). Omeprazol dan
LanSOprazol obat terlama digunakan, keasaman labil dalam bentuk
enterik coated granules, dipecah dalam usus dengan pH 6.

21
Rabeprazole dan Pantoprazole enterik coated tablet, lipofilik
terperangkap kedalam sistem tubolovesikular dan kanalikuli.
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+~
ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal
kedalam lumen lambung. 8
Esomeprazol adalah sangat potensial karena punya isomir optikal S
dan R. Efek penekan sekresi asam PPI maksimal 2-6 jam dam
lamanya efek kerja 72-96 jam. PPI menggangu absorpsi dari obat
ampisilin, ketonazole, besi dan oksigen. 8
Dosis:
- Omeprazol 2x20 mg/standard dosis atau 1x40 mg/ double dosis
- Lansoprazol/Pantoprazol 2 x 40 mg/standard dosis atau 1x 60
mg/double dosis.

Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin


darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan
belum terbukti pada manusia. rabeprazol, esomesoprazol
pantoprazol sebaiknya jangan dikombinasi dengan penggunaan
walfarin, penitoin clan diazepam. 8
PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli,
menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi
aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan
efek eradikasi oleh triple drugs regimen 8

Tukak Peptik dengan kausa H.pylori


Untuk mencapai tujuan terapi, maka eradikasi H.pylori merupakan tujuan
utama. Walaupun terapi antibiotik cukup untuk terapi tukak peptik dengan
H. Pylori positif, namun kombinasi dengan obat Penghambat Proton
Pump dengan kombinasi 2 antibiotik (triple therapy) merupakan cara
terbaik, yang masing-masing diberikan 7-10 hari.3

22
a. PPI 2x1+Amoksisilin 2x1000 mg+Klaritromisi 2x500mg regimen
terbaik
b. PPI 2x1+Metronidazol 3x500mg+klaritromisin 2x500mg (bila alergi
penisilin)
c. PPI 2x1+Metronidazol 3x500mg+amoksisilin 2x1000mg
d. PPI 2x1+ Metronidazol 3x500mg+ tetrasiklin 4x500mg bila alergi
terhadap klaritromisin dan penisilin8

Tukak peptik dengan kausa H.pylori disertai penggunaan OAINS


Eradikasi H.pylori sebagai tindakan utama tetap dilakukan dan bila
mungkin OAINS dihentikan atau diganti OAINS spesifik COX-2
inhibitor yang mempunyai efek merugikan yang lebih kecil pada
gastroduodenal. Pengobatan yang dilakukan dengan menggunakan
antibiotik dan PPI untuk meningkatkan pH lambung di atas 4.3

Tukak peptik dengan kausa OAINS


Penggunaan OAINS terutama yang terutama bekerja menghambat kerja
COX-1 akan meningkatkan kelainan struktural gastroduodenal. Usaha
pencegahan dan meminimalkan efek samping OAINS yaitu:3
1. Penghentian pemakaian OAINS, walaupun biasanya tidak
memungkinkan pada penyakit artritis.
2. Penggunaan preparat OAINS yang terikat pada bahan lain, seperti
Nitrit Oxide.
3. Pemberian obat secara bersamaan dengan pemberian OAINS seperti
H2 reseptor antagonis, PPI, atau prostaglandin untuk meningkatkan
pH lambung di atas 4.

23
Terapi endoskopi
Terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin atau etoksisklerol atau obat
fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser
atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.10
Obat-obat koagulansia yang dapat diberikan seperti tranexamic acid. Obat ini
bekerja agar darah beku yang terbentuk tidak terlepas lagi.11

Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan pada : 3
e. Elektip (tukak refrakter/gagal pengobatan)
f. Darurat (komplikasi : perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)
g. Tukak gaster dengan sangkaan keganasan (corpus, fundus, 70%
keganasan)
Jika terjadi perdarahan aktif/stigmata peradarahan atau terjadi perdarahan
yang berulang maka dilakukan terapi endoskopi atau pembedahan.

2.3 Anemia
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit
sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan. Anemia dapat didefinisikan pula sebagai
berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah,
hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah12

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan : 12


Etiopatogenesis

A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik

24
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya

Tatalaksana Anemia
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi
dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.
Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian
peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian

25
secara parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara
pemberian preparat besi :
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan
1 mg/KgBB/hari
 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu
 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2
minggu
 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai
4 -6 mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan
besi yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat
mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar
akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2
– 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi
pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium. 12
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping
bhampir sama. 12
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu
secara intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping
yang ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis,

26
flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan
sinkop. Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat,
kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb
secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir). Kemampuan
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat
yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini
mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric
acid complex. 12

II. Anemia Penyakit Kronik 12


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit
kronik berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian
preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan
berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.

III. Anemia Sideroblastik


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia
sideroblastik adalah:
 Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik
dengan transfusi darah

27
 Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita
responsif terhadap peridoksin.
 Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab
sindroma mielodisplastik.

IV. Anemia megaloblastik 12


Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah
defisiensi asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian
asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau
parenteral dan vitamin C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi,
diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar
dapat diberikan 100 µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin
B12 tiap bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang
mengancam, menghadapi tindakan operatif  darah lengkap dosis
10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole
blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan
banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak
pada hari 7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.

V. Anemia hemolitik 12
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh
(LPT)/hari.
 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.

28
 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak
memungkinkan splenektomi. Obat imunosupresif diberikan
selama 6 bulan, kemudian tappering off, biasanya dikombinasi
dengan Prednison 40 mg/m2 . dosis prednison diturunkan bertahap
dalam waktu 3 bulan.
 Azatioprin : 80mg/m2/hari
 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila
serum Feritin mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke
12. Dosis inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di
idnding anterior abddomen, selama 5 hari/minggu. Diberkan
bersamaan dengan vitamin C oral 100 – 200 mg untuk
meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe berat
terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin,
deferoxamine diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV.

VI. Anemia aplastik12


Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
 Terapi kausal
 Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi,
isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak
buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator.
 Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
 Anabolik steroid  dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6 – 12 minggu.

29
 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage
Colony Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah
neutrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah.
 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum
3 bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika
dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena
memberikan efek samping yang serius.
 Terapi definitif yang terdiri atas : 12
 ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam
larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah
serum sickness, diberikkan Prednison 40mg/m2/hari selama 2
minggu, kemudian dilakukan tappering off.
 Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis
dilakukan setiap mingggu untuk mempertahankan kadar dalam
darah 400-800 mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan,
bila ada respon, diteruskan sampai respon maksimal, kemudian
dosis diturunkan dalam beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
 Transplantasi sumsum tulang  terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan
canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang
kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan
untuk kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A
untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease), memberikan
kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus, dengan
kesembuhan komplit.
 Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10

30
g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis
internal.
 Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka
diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.

SYOK
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dari metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini
muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan
yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark
miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang
tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok
neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).

Etiologi
Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi akibat dari volume
darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat
perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.

Gejala Klinis

31
Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan denganjelas atau berada dalam traktus gastrointestinal
atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka
biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan
kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal
tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai
dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia.
Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia

Tatalaksana
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah m
enempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjagajalur pernapasan dan di
berikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang m
emungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur
intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cep
at (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang s
eperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis
tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2 4
L dalam 20 3O menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan
pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan mengg
unakan kateter $wan=Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan
atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan ka
dar hemoglobin _<_10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah
transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menj
alani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan Packe
d red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotr
opik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk m
endapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu.

32
Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemi
k. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg d
alam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen pasie
n harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ
akhir jarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan or
gan dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal dan ingat gagal ginjal m
erupakan komplikasi yang penting pada syok ini.

33
BAB III
DISKUSI KASUS
ULKUS PEPTIKUM
LITERATUR LAPORAN KASUS
Etiologi
Pasien tidak ditemukan riwayat
Ulkus peeptikum disebabkan oleh satu
penggunaan OAINS, Perokok dan
dari yang berikut ini:
Alkohol maka kemungkinan
Helicobacter Pylory, OAINS, Riwayat
disebabkan oleh infeksi H. Pylory
perokok dan Alkohol
Gejala Klinis Perut terasa kembung, mual, muntah
Nyeri ulu hati, mual, muntah, sendawa, >10x, nyeri ulu hati dan rasa panas di
cepat kenyang/terasa kembung, rasa epigastrium setelah makan
panas di daerah epigastrium terutama
timbul setelah makan

Penatalaksanaan
1. Pemberian cairan / KgBB jika ada
Pasien mendapatkan :
perdarahan dan muntah
- NaCl 0.9% 3000cc/24 jam
2. Penangkal kerusakan mucus :
- Inj Pantoprazol 2x1 vial
- Koloid bismus
- Ondasetron 1 amp
- Sucralfat
- Inj transamin 3x1 amp iv
- Prostaglandin
- Inj vit K 3x1 amp
- H2 reseptor antangonis (
- Sucralfat 4x30cc
ranitidin, semitidin)
- Transfusi PRC sampai HB
- PPI ( OMZ, Pantoprazol,
> 10
lanzoprasol)

Eradikasi H.Pylory
- PPI 2x1+Amoksisilin 2x1000
mg+Klaritromisi 2x500mg
regimen terbaik

34
- PPI 2x1+Metronidazol
3x500mg+klaritromisin
2x500mg (bila alergi penisilin)
- PPI 2x1+Metronidazol
3x500mg+amoksisilin
2x1000mg
- PPI 2x1+ Metronidazol
3x500mg+ tetrasiklin 4x500mg
bila alergi terhadap klaritromisin
dan penisilin
Perdarahan
Berikan antifibronolitik, transfusi
darah

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadi S. Gastroenterologi.edisi ke-7. P.T. Alumni. Bandung. 2002.


2. Adi P. Pathogenesis and Diagnosis of Peptic Ulcer Disease. In : Update in
Gastroentero-Hepatology. Editors Wibawa IDN, Purwadi N, dan Somia IKA.
Sudema 2. Surabaya, Denpasar, Malang. 2006.
3. Tarigan P. Tukak Gaster. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editors Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S. Pusat Penerbitan,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2006.
4. Wibawa DN, Astera WM. Ulkus Peptikum. In : Pedoman Diagnosis dan Terapi
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah sakit umum Pusat.
Denpasar. 1994.
5. Ulkus Peptikum. In : Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam indonesia. Editors Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
IP, Nafrialdi, dan Mansjoer A. PB PAPDI. Jakarta. 2006.
6. Rani AA. The Role of Muco-protector in the management of Peptic Ulcer
Disease. In : Update in Gastroentero-Hepatology. Editors Wibawa IDN,
Purwadi N, dan Somia IKA. Sudema 2. Surabaya, Denpasar, Malang. 2006.
7. Abdurachman HSA, Hanafi B. Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas. In :
Gawat Darurat di Bidang Gastroenterologi. Editors Hadi S, Karnadihrdjo W,
dan Donhuijsen W. Tim Gastroenterologi Fakultas Kedokteran UNPAD/RS
Hasan Sadikin. Bandung. 1990.
8. Siti setia dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna publishing. Jakarta.
2014
9. Milani F. Hematemesis Melena dikarenakan Gastritis Erosif dengan Anemia
dan Riwayat Gout Atritis. FK UNLAMP. Lampung. 2015

10. Ulkus Peptikum. In : Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis


Penyakit Dalam indonesia. Editors Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya
IP, Nafrialdi, dan Mansjoer A. PB PAPDI. Jakarta. 2006

36
11. Simadibrata R. Hematemesis-Melena. In : Gastroenterologi Hepatologi. Editors
Sulaiman HA, Daldiyono, Akbar HN, dan Rani AA. CV Infomedika.
Jakarta.1990.
12. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta :
FKUI, 2009.

37

Anda mungkin juga menyukai