Appendicitis
Disusun Oleh:
dr. Siti Anindita
dr. Jailani
Pendamping :
dr. Satyaningtyas HT
I. Identitas Pasien
Nama : Ny FN
Umur : 24 Tahun
Tanggal lahir :
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Alamat : Kramat Jati
II. Anamnesa
Dilakukan autoanamnesis pada pasien tanggal 4 November 2022
2
Riwayat diet kurang makan sayur dan buah (2x/minggu), riwayat minum air
putih 2L/hari, riwayat minum alkohol (-), aktivitas fisik ringan dengan
pekerjaan sehari-hari di sebagai pekerja kantoran.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengeluhkan hal yang serupa dengan pasien
PEMERIKSAAN SISTEM
Kepala
● Bentuk : Normocephali
● Telinga : Normotia, liang telinga lapang kanan dan kiri, serumen (-/-)
3
● Hidung : Cavum nasi lapang, septum deviasi (-), sekret (-/-)
Thoraks :
● Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding thorax simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
● Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavicular sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Auskultasi : Bising Usus (+), 15 kali/menit
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA (-)
4
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada regio RLQ (right lower
quadrant), rebound tenderness (+) hepatosplenomegali (-)
Anus dan Rektum : Tidak diperiksa
Genitalia : Tidak diperiksa
Anggota gerak
Atas : Akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, normotonus
1. Darah Lengkap
Hematokrit 37 % 37 – 43
Basofil 1% 0–1
Eosinofil 2% 1–3
Batang 5% 2–6
Segmen 88.5% 50 – 70
Limfosit 6.1 % 18 – 42
5
Monosit 2% 2–8
V. Diagnosis Kerja
Abdominal pain dd Acute Appendicitis
VII. Penatalaksanaan
Rawat Inap
Pro Appendectomy Open Laparotomy
Diet : Puasa Pro Appendectomy
IVFD : Ringer Laktat 20 tpm (makro)
MM : Ranitidin inj 2x1amp
Ketorolac 3x30mg
Cefotaxim 1x2gr
IX. PROGNOSIS
⦿ Ad Vitam : Bonam
6
⦿ Ad Fungsionam : Bonam
⦿ Ad Sanationam : Bonam
7
Follow-up: 4 November 2022
8
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Appendicitis
2.1.1. Definisi
Appendisitis akut adalah infeksi bacterial pada appendiks vermiformis.
Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera
untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk Jika telah terjadi perforasi, maka
komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi
pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi. Apendisitis akut dapat terjadi
pada semua umur. Pada anak sering terjadi sekitar umur 6-10 tahun. Diagnosis
apendisitis akut bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
2.1.2. Epidemiologi
Apendisitis akut adalah keadaan darurat bedah yang umum. Secara keseluruhan,
1-8% dari pasien yang mengalami nyeri perut diakibatkan oleh radang usus buntu
akut. Terlepas dari ketersediaan pencitraan diagnostik lanjut, diagnosis radang usus
10
buntu akut tetap menjadi tantangan karena sebagian besar pasien tersebut datang
terlambat dengan komplikasi misalnya perforasi yang menyebabkan pembentukan
abses, peritonitis, dan sepsis. Penundaan dalam diagnosis apendisitis akut telah
dikaitkan dengan presentasi yang tidak spesifik, tumpang tindih gejala penyakit
lainnya. Tingkat kesalahan diagnosis berkisar antara 28 hingga 57%. insidensi dari
apendisitis akut mencapai 100.000 pasien per tahun dengan persebaran umur dari 13
tahun sampai 40 tahun.
2.1.4. Patofisiologi
11
Patogenesis apendisitis akut bersifat multi faktorial meskipun masih belum jelas.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa obstruksi lumen adalah yang biasanya terjadi.
Pada anak-anak prasekolah obstruksi ini biasanya disebabkan oleh hiperplasia limfoid
dan juga bisa karena fecolith. Pada apendiks terdapat jaringan limfoid di submukosa
yang meningkat dalam ukuran dan jumlah seiring bertambahnya usia, mencapai
jumlah dan ukuran maksimum selama remaja dengan kemungkinan berkembang
menjadi apendisitis akut. Hiperplasia limfoid juga berhubungan dengan inflamasi dan
infeksi seperti gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak, dan
mononukleosis infeksiosa. Faecoliths terbentuk karena pelapisan lebih banyak garam
kalsium dan kotoran tinja pada kotoran yang diperiksa di dalam lumen apendiks
vermiform. Obstruksi lumen dengan sekresi terus menerus dan stagnasi cairan dan
lendir dari sel-sel epitel mengakibatkan peningkatan tekanan intra-lumen dan distensi
appendiks. Bakteri usus di dalam apendiks bertambah banyak, dan dinding edematosa
mempercepat invasi bakteri. Juga, kompromi yang dihasilkan dari suplai darah,
penurunan aliran balik vena, dan akhirnya trombosis arteri dan vena appendicular
memperburuk proses inflamasi, yang mengakibatkan iskemia, nekrosis, gangren, dan
perforasi.
Perforasi apendiks menyebabkan peritonitis difus, atau abses appendikular lokal.
Peritonitis difus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda, karena
omentum yang kurang berkembang, sedangkan anak-anak usia lanjut relatif
dilindungi oleh omentum yang berkembang dengan baik. Pelaku aerobik yang paling
sering menyebabkan apendisitis akut adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
peptostreptococcus, dan spesies pseudomonas, dan Bacteroides fragilis.
2.1.6. Diagnosis
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendektomi negative/ false negative, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Hal ini disebabkan keterlambatan diagnosis dan penanganan
pembedahan, pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan
perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai
skor Alvarado yang tinggi.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis
apendisitis akut. perlunya penyelidikan laboratorium dan radiologis tertentu pada
semua kelompok umur untuk membuat diagnosis yang akurat ,:
13
I. LABORATORIUM
14
WBC lebih lanjut meningkatkan akurasi diagnosis klinis, sementara jumlah WBC
yang normal tidak dapat mengecualikan diagnosis.
Protein C-reaktif (CRP) adalah mediator inflamasi spesifik. Ia memiliki
sensitivitas 43% hingga 92% dan spesifisitas 33% hingga 95% untuk mendiagnosis
apendisitis akut pada anak-anak yang mengalami nyeri perut. Namun, ini lebih
sensitif daripada jumlah WBC dalam mendiagnosis perforasi usus buntu dan
pembentukan abses,. Sensitivitas leukositosis dan peningkatan jumlah neutrofil dapat
mendekati 98% dengan peningkatan CRP untuk mendiagnosis apendisitis akut.
Analisa urin:
Analisis urin disarankan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kemih. Namun 7-25% pasien anak dengan radang usus buntu akut memiliki lebih dari
5 sel darah merah atau sel darah merah per lapang pandang dalam sampel urin.Dalam
sebuah artikel yang baru diterbitkan, melaporkan nilai diagnostik apendisitis akut
dengan analisis urin. Dia menyimpulkan bahwa badan keton positif dan nitrat
mungkin merupakan penanda penting yang membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut perforasi.
Keputusan untuk memberikan saran jumlah WBC, jumlah neutrofil, dan CRP,
atau analisis urin biasanya didasarkan pada kesan klinis, durasi gejala, dan preferensi
dokter gawat darurat atau konsultan ahli bedah.
15
sebagian besar direkomendasikan dalam kasus-kasus acute abdomen seperti obstruksi
usus, peritonitis, ginjal atau batu empedu diduga.
Ultrasonografi (USG):
Temuan USG yang menunjukkan apendisitis akut adalah: distensi dan
obstruksi lumen apendiks, apendiks bengkak (diameter> 6 mm), suatu appendicolith,
target sign dengan lima lapisan konsentris, echogenicity tinggi di sekitar appendix,,
cairan bebas pericecal dan periveical, dan loop usus yang menebal. Sensitivitas dan
spesifisitasnya berkisar dari 80 hingga 92% dan 86 hingga 98%. American College of
Radiology merekomendasikan bahwa seorang anak dengan presentasi klinis atipikal
atau samar-samar dari appendicitis akut, dan temuan non-visualisasi atau non-
diagnostik pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) harus diamati dengan pemeriksaan
fisik serial dan pencitraan berulang, yang dapat menghasilkan tanda yang jelas.
16
mesenterika, penyakit radang usus, dan kista ovarium. Saat ini, tidak ada data
signifikan yang tersedia pada sensitivitas dan spesifisitas CT scan untuk mendeteksi
apendisitis akut pada anak kecil. Tetapi, dalam sebuah penelitian multi-pusat dari
55.227 anak ditemukan penggunaan CT scan pra-operasi pada anak-anak kurang dari
5 tahun, secara signifikan mengurangi tingkat operasi usus buntu negatif (NAR)
ketika dibandingkan dengan mereka yang tidak memanfaatkan fasilitas ini. Namun,
sangat penting untuk memahami bahwa radiasi pengion yang dipancarkan dari CT
scan telah terbukti terkait dengan risiko kanker seumur hidup yang lebih tinggi pada
anak-anak. MRI belum secara rutin digunakan dalam diagnosis apendisitis akut.
III. SCORING
17
Dalam sistem penilaian ini, pasien dengan skor kurang dari 5 dapat diselidiki
untuk penyebab nyeri non-appendicular, mereka dengan skor 5-6 harus dirawat untuk
observasi dan penyelidikan lebih lanjut, sedangkan pasien dengan skor 7 atau lebih
adalah yang paling kemungkinan positif untuk radang usus buntu akut dan perlu
operasi. Skor Alvarado 7 atau lebih tinggi memiliki sensitivitas 88% hingga 90% dan
spesifisitas 72% hingga 81% untuk apendisitis akut.
2.1.7. Penatalaksanaan
• Non-Surgical Treatment : Antibiotic dan Analgesic
• Surgical Treatment : Appendiktomi
Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)
− Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
− Diet rendah serat
− Antibiotika spektrum luas
− Metronidazol
− Monitor : Infiltrat, tanda peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam, LED dan periksa
Angka Leukosit 🡪 apabila baik 🡪 mobilisasi 🡪 pulang
Appendiktomi
− Cito 🡪 Akut, abses & perforasi
− Elektif 🡪 Kronik
18
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.Appendiktomi dapat berupa open appendectomy
maupun laparoscopy appendectomy.
− Appendisitis Akut disebut : Appendictomi Chaud
− Appendisitis Kronis disebut : Appendictomi Froid
Indikasi :
a) Appendisitis Akut
b) Appendisitis kronis
c) Peri appendicular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
d) Appendiks terbawa pada laparatomi operasi kandung empedu
e) Appendisitis perforata
Macam Incisi pada appendectomi
1. Mc Burney incision/Gridiron incision : irisan perpendicular terhadap titik Mc
Burney yang terletak pada 1/3 lateral dan 2/3 medial dari garis imajinasi dari
Umbilicus ke SIAS.
2. Lanz : irisan lipatan kulit. Secara kosmetik lebih baik. Letaknya sekitar 2 cm
dibawah umbilicus dan linea midclavicula
3. Rutherford Morisons : incisi otot. Otot dipotong keatas dan kesamping,
memotong M. obliqus internus dan M transversus abdominis.
4. Lower Mid-Line : ketika dicurigai peritonitis, ataupun posisi appendiks pelvis
5. Incisi Paramedian kanan : caecum lebih sukar dipegang, kontaminasi lebih besar,
terutama dilakukan pada wanita, sekaligus explorasi adnexa, genetalia interna,
meragukan
6. Incisi Transversal
7. Fowler-weir incision
OPEN APPENDECTOMY
20
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada tatalaksana, rawat inap dianjurkan sesuai dengan teori. Pasien yang
menunjukan tanda dan gejala appendisitis perlu tatalaksana operasi CITO maupun
elektif tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Pada kasus ini pasien menderita
appendisitis tanpa komplikasi maka operasi dilakukan elektif yaitu keesokan harinya.
Pemilihan terapi medikamentosa sebelum terapi sudah tepat, dimana diberikan
terapi cairan dengan RL 1500cc 20 tpm, dan medikamentosa Ketolorac 3x30mg IV,
Cefotaxim 1x2gr IV, Ranitidine 2x50 mg IV. Pasien dilakukan Open Laparatomy
Appedectomy sebagai tindakan definitive akut appendicitis.
REFERENSI
21
1. Charles, F Brunicardi., David L Dunn., Anderson, Dana., Billiar, Timothy.,
Hunter, John., Pallock, Raphael. Schwartz’s Manual of Surgery 8 th edition.
Philadelphia: McGraw-Hill: 2006.
2. Longo LD, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo JL (eds.).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition. Philadelphia: McGraw-
Hill: 2012.
3. Mostbeck, G., Adam, E. J., Nielsen, M. B., Claudon, M., Clevert, D., Nicolau, C.,
Nyhsen, C., & Owens, C. M. (2016). How to diagnose acute appendicitis:
ultrasound first. Insights into imaging, 7(2), 255–263.
https://doi.org/10.1007/s13244-016-0469-6
4. Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo, E.,
Bonariol, L., Calia di Pinto, F., & Bassi, N. (2013). Acute appendicitis: what is
the gold standard of treatment?. World journal of gastroenterology, 19(47),
8799–8807. https://doi.org/10.3748/wjg.v19.i47.8799
5. Rushing, A., Bugaev, N., Jones, C., Como, JJ., Fox, N., Cripps, M., Robinson.,
B., Velopulos, C., Haut, ER., & Narayan, M. (2019). Management of acute
appendicitis in adults: A practice management guideline from the Eastern
Association for the Surgery of Trauma. J Trauma Acute Care Surg Volume 87,
Number 1 . DOI: 10.1097/TA.0000000000002270
6. See T., Watson C., Arends M., Ng C. (2008) Atypical appendicitis: the impact of
CT and its management. J Med Imaging Radiat Oncol 52: 140–147.
22