Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Appendicitis

Disusun Oleh:
dr. Siti Anindita
dr. Jailani

Pendamping :
dr. Satyaningtyas HT

Program Internsip Dokter Indonesia


RS DIK PUSDIKKES KODIKLAT TNI AD
DKI Jakarta
2022
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny FN
Umur : 24 Tahun
Tanggal lahir :
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Alamat : Kramat Jati

II. Anamnesa
Dilakukan autoanamnesis pada pasien tanggal 4 November 2022

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah


Keluhan tambahan : Demam, mual, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
1HSMRS sore hari pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah
dirasakan menjalar ke pusar. Nyeri dirasakan pegal dan panas, hilang timbul.
Demam (+), mual (+), muntah (-), kembung (-), nafsu makan menurun (+).
HMRS pagi hari, nyeri dirasakan seluruh lapang perut dengan nyeri
paling berat pada perut kanan bawah VAS 8, Nyeri dirasakan hilang timbul,
membaik dengan berbaring di kasur, dan memberat bila pasien berjalan.
Demam (-), mual (+), muntah (+) 1x pada pagi hari HMRS, kembung (-),
nafsu makan menurun (+).
Keluhan BAB susah (+) dimana BAB terakhir 2 hari yang lalu, flatus (-),
riwayat konstipasi dan diare sebelumnya disangkal. Keluhan BAK disangkal,
nyeri saat BAK (-), BAK tidak mengejan, riwayat ada batu saat BAK (-),
riwayat ada darah di urin (-), urin masih banyak, warna kuning jernih.

2
Riwayat diet kurang makan sayur dan buah (2x/minggu), riwayat minum air
putih 2L/hari, riwayat minum alkohol (-), aktivitas fisik ringan dengan
pekerjaan sehari-hari di sebagai pekerja kantoran.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengeluhkan hal yang serupa dengan pasien

III. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 3 November 2022


PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 130/85 mmHg
Frekuensi Nadi : 70 x/menit (reguler,kuat angkat,isi cukup)
Frekuensi Pernafasan : 20 x/menit (reguler)
Suhu : 36.4 °C (suhu aksila)
Saturasi O2 : 97% room air
Data Antropoemetri
Berat Badan : 61 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI (asia pacific) : 23.8 kg/m2

PEMERIKSAAN SISTEM
Kepala
● Bentuk : Normocephali

● Rambut : Warna hitam, tumbuh merata, tidak mudah dicabut

● Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

● Telinga : Normotia, liang telinga lapang kanan dan kiri, serumen (-/-)

3
● Hidung : Cavum nasi lapang, septum deviasi (-), sekret (-/-)

● Mulut : Sianosis sirkum oral (-)

o Bibir : Sianosis (-), angular chelitis (-)

o Gigi : Karies Dentis (-)

o Lidah : Terletak di tengah, geographic tounge (-)

o Tonsil : T1– T1, hiperemis (-/-)

o Faring : Arcus faring simetris, Hiperemis (-)

Leher : Tida ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks :

● Dinding thoraks : Diameter laterolateral >


anteroposterior

● Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding thorax simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
● Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavicular sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Auskultasi : Bising Usus (+), 15 kali/menit
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA (-)

4
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada regio RLQ (right lower
quadrant), rebound tenderness (+) hepatosplenomegali (-)
Anus dan Rektum : Tidak diperiksa
Genitalia : Tidak diperiksa
Anggota gerak
Atas : Akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, normotonus

Bawah : Akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, normotonus

Tulang belakang : Lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-)


Kulit : Warna sawo matang, ikterik (-)
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (11-9-2022)

1. Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Haemoglobin 11.7 g/dL 12.0-16.0

Leukosit 10.99 ribu/uL 5,0 – 10,0

Eritrosit 5.13 Juta/mL 4,0 – 6.10

Hematokrit 37 % 37 – 43

Trombosit 425 ribu/uL 150 – 450

Basofil 1% 0–1

Eosinofil 2% 1–3

Batang 5% 2–6

Segmen 88.5% 50 – 70

Limfosit 6.1 % 18 – 42

5
Monosit 2% 2–8

Ureum 28.0 mg/dL 10-50

Creatinine 0.9 mg/dL 0,9-1,3

Bleeding time 3’00” 1-3

Clotting time 6’30” 3-9

Natrium 136 135-145

Kalium 3.5 3.5-5.5

Klorida 100 98-108

HBsAg Non Reactive Non Reactive

GDS 97 mg/dL 80-120

Pregnancy Test Negative

V. Diagnosis Kerja
Abdominal pain dd Acute Appendicitis

VI. Diagnosis Banding


Gastroenteritis akut, ISK, Batu Saluran Kemih

VII. Penatalaksanaan
Rawat Inap
Pro Appendectomy Open Laparotomy
Diet : Puasa Pro Appendectomy
IVFD : Ringer Laktat 20 tpm (makro)
MM : Ranitidin inj 2x1amp
Ketorolac 3x30mg
Cefotaxim 1x2gr
IX. PROGNOSIS

⦿ Ad Vitam : Bonam

6
⦿ Ad Fungsionam : Bonam
⦿ Ad Sanationam : Bonam

7
Follow-up: 4 November 2022

Subjective Objective Assessment Planning


Nyeri perut (+), Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Post op Diet: Lunak
Demam (-), Kesadaran: Composmentis
BAB cair (-), Vital sign:
Apendicitis IVFD: Ringer Laktat
mual (-), Tekanan darah: 120/87 mmHg perforasi 1500ccm 20 tpm
muntah (-) Frekuensi nadi: 88 x/menit
Frekuensi nafas: 24 x/menit MM:
Suhu: 37.8oC (aksilla) Ranitidine 2x50mg IV
Kepala: Normocephali
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Cefotaxime 1x2gr IV
Hidung: Sekret (-/-)
Faring: Hiperemis (-) Ketorolax 3x30mg IV
Leher: KGB tidak teraba membesar
Thorax:
Paracetamol 3x500mg Po
I: Pergerakan dinding dada simetris
P: Vokal fremitus simetris
P: Sonor/sonor
A: BND vesikuler, ronki -/-, wheezing -
Abdomen:
I: Perut tampak datar
A: BU (+) 10x/ menit
P: Timpani, NK (+)
P: Supel, NT RLQ (+)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)

Follow-up: 5 November 2022

Subjective Objective Assessment Planning


Nyeri perut Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Post op Diet: Lunak
(+), Kesadaran: Composmentis
Demam (-), Vital sign:
Apendicitis IVFD: Ringer Laktat
BAB cair (-), Tekanan darah: 110/70mmhg perforasi 1500ccm 20 tpm
mual (-), Frekuensi nadi: 93 x/menit
muntah (-) Frekuensi nafas: 20 x/menit MM:
Suhu: 36,5oC (aksilla) Ranitidine 2x50mg IV
Kepala: Normocephali
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Cefotaxime 1x2gr IV
Hidung: Sekret (-/-)
Faring: Hiperemis (-) Ketorolax 3x30mg IV
Leher: KGB tidak teraba membesar
Thorax:
I: Pergerakan dinding dada simetris
P: Vokal fremitus simetris
P: Sonor/sonor
A: BND vesikuler, ronki -/-, wheezing
-
Abdomen:
I: Perut tampak datar
A: BU (+) 6x/ menit
P: Timpani, NK (-)
P: Supel, NT RLQ (+)

8
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)

Follow-up 6 November 2022


Subjective Objective Assessment Planning
Nyeri perut Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Post op
(+), Kesadaran: Composmentis
Demam (-), Vital sign:
Apendicitis
Diet: Lunak
BAB cair (-), Tekanan darah: 120/70 mmhg perforasi
mual (-), Frekuensi nadi: 80 x/menit IVFD: Ringer Laktat
muntah (-) Frekuensi nafas: 241x/menit 1500ccm 20 tpm
Suhu: 36,7oC (aksilla)
Kepala: Normocephali MM:
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Ranitidine 2x50mg IV
Hidung: Sekret (-/-)
Faring: Hiperemis (-) Cefotaxime 1x2gr IV
Leher: KGB tidak teraba membesar
Thorax:
I: Pergerakan dinding dada simetris Ketorolax 3x30mg IV
P: Vokal fremitus simetris
P: Sonor/sonor
A: BND vesikuler, ronki -/-, wheezing
-
Abdomen:
I: Perut tampak datar
A: BU (+) 4x/ menit
P: Timpani, NK (-)
P: Supel, NT RUQ (+)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Appendicitis
2.1.1. Definisi
Appendisitis akut adalah infeksi bacterial pada appendiks vermiformis.
Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera
untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk Jika telah terjadi perforasi, maka
komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan komplikasi
pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi. Apendisitis akut dapat terjadi
pada semua umur. Pada anak sering terjadi sekitar umur 6-10 tahun. Diagnosis
apendisitis akut bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.
2.1.2. Epidemiologi
Apendisitis akut adalah keadaan darurat bedah yang umum. Secara keseluruhan,
1-8% dari pasien yang mengalami nyeri perut diakibatkan oleh radang usus buntu
akut. Terlepas dari ketersediaan pencitraan diagnostik lanjut, diagnosis radang usus
10
buntu akut tetap menjadi tantangan karena sebagian besar pasien tersebut datang
terlambat dengan komplikasi misalnya perforasi yang menyebabkan pembentukan
abses, peritonitis, dan sepsis. Penundaan dalam diagnosis apendisitis akut telah
dikaitkan dengan presentasi yang tidak spesifik, tumpang tindih gejala penyakit
lainnya. Tingkat kesalahan diagnosis berkisar antara 28 hingga 57%. insidensi dari
apendisitis akut mencapai 100.000 pasien per tahun dengan persebaran umur dari 13
tahun sampai 40 tahun.

2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab pasti belum diketahui sampai saat ini. Namun ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya appendicitis, yaitu : Adanya isi lumen, sumbatan yang
terus menerus, sekresi mukus yang terus menerus, sifat tak lentur dari mukosa
appendik. Adapun penyebab appendicitis diantaranya adalah :
i. Obstruksi :
● Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
● Fecolith (35%) 🡪 masa feces yang membatu
● Corpus alienum (4%) 🡪 biji2an
● Striktur lumen (1%) 🡪 kinking , karena mesoappendiks pendek, adesi
lumen
ii. Infeksi : Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia,
tonsilitis dsb. Antara lain jenis kuman : Bacteroides fragilis, E. Coli,
Streptococcus, dll
Akibat sumbatan / obstruksi mengakibatkan sekresi mukus terganggu , sehingga
tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada :
● Limfe :
Oedem 🡪 kuman masuk 🡪 ulcerasi mukosa 🡪 Appendisitis akut
● Vena :
Trombus 🡪 Iskhemi 🡪kuman masuk 🡪 pus 🡪 Appendisitis Supuratif
● Arteri :
Nekrosis 🡪 kuman masuk 🡪 ganggren 🡪 Appendisitis ganggrenosa 🡪Perforasi 🡪
peritonitis umum

2.1.4. Patofisiologi

11
Patogenesis apendisitis akut bersifat multi faktorial meskipun masih belum jelas.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa obstruksi lumen adalah yang biasanya terjadi.
Pada anak-anak prasekolah obstruksi ini biasanya disebabkan oleh hiperplasia limfoid
dan juga bisa karena fecolith. Pada apendiks terdapat jaringan limfoid di submukosa
yang meningkat dalam ukuran dan jumlah seiring bertambahnya usia, mencapai
jumlah dan ukuran maksimum selama remaja dengan kemungkinan berkembang
menjadi apendisitis akut. Hiperplasia limfoid juga berhubungan dengan inflamasi dan
infeksi seperti gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak, dan
mononukleosis infeksiosa. Faecoliths terbentuk karena pelapisan lebih banyak garam
kalsium dan kotoran tinja pada kotoran yang diperiksa di dalam lumen apendiks
vermiform. Obstruksi lumen dengan sekresi terus menerus dan stagnasi cairan dan
lendir dari sel-sel epitel mengakibatkan peningkatan tekanan intra-lumen dan distensi
appendiks. Bakteri usus di dalam apendiks bertambah banyak, dan dinding edematosa
mempercepat invasi bakteri. Juga, kompromi yang dihasilkan dari suplai darah,
penurunan aliran balik vena, dan akhirnya trombosis arteri dan vena appendicular
memperburuk proses inflamasi, yang mengakibatkan iskemia, nekrosis, gangren, dan
perforasi.
Perforasi apendiks menyebabkan peritonitis difus, atau abses appendikular lokal.
Peritonitis difus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda, karena
omentum yang kurang berkembang, sedangkan anak-anak usia lanjut relatif
dilindungi oleh omentum yang berkembang dengan baik. Pelaku aerobik yang paling
sering menyebabkan apendisitis akut adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
peptostreptococcus, dan spesies pseudomonas, dan Bacteroides fragilis.

2.1.5. Manifestasi Klinis


Temuan Klinis & Lab:
● Anorexia
● Periumbilical pain (early) à T10
● Migrating pain to RLQ or McBurney point à akibat peradangan peritoneum
lokal; biasanya dalam 24 setelah onset gejala
● Nyeri saat berjalan atau berubah posisi di kasur
● Demam (37,2-38ºC), biasanya dalam 24-48 jam setelah onset gejala
● Nyeri tekan RLQ
● Leukositosis (10.000-18.000 cells/uL)
12
Tanda peritonitis (perforated appendicitis):
● Muscle guarding pada palpasi abdomen
● Rovsing sign (+)
● Obturator sign (+)
● Iliopsoas sign (+)
● Rebound tenderness
● Fever (> 38,3ºC)
● Leukositosis (> 20.000 cells/uL)

2.1.6. Diagnosis
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendektomi negative/ false negative, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa
dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Hal ini disebabkan keterlambatan diagnosis dan penanganan
pembedahan, pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan
perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai
skor Alvarado yang tinggi.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis
apendisitis akut. perlunya penyelidikan laboratorium dan radiologis tertentu pada
semua kelompok umur untuk membuat diagnosis yang akurat ,:

13
I. LABORATORIUM

Hitung darah lengkap (CBC) dan CRP:


Di seluruh dunia, CBC adalah penyelidikan laboratorium yang paling umum
disarankan pada anak-anak dengan dugaan apendisitis akut. Meskipun jumlah sel
darah putih (WBC) meningkat pada apendisitis akut, tetap saja tidak spesifik dan
tidak sensitif. Jumlah WBC juga meningkat dalam proses penyakit lain seperti
gastroenteritis, limfadenitis mesenterika, penyakit radang panggul dan infeksi tertentu
lainnya. Selain itu, jumlah WBC tidak dapat membedakan antara apendisitis akut
yang rumit dan tidak rumit. Jumlah neutrofil yang meningkat bersama dengan jumlah
WBC total lebih lanjut membantu dalam diagnosis apendisitis akut. Sensitivitas dan
spesifisitas jumlah leukosit untuk mendiagnosis apendisitis akut bervariasi dari 60
hingga 87%, hingga 53-100% dalam berbagai penelitian internasional yang
diterbitkan. Dalam situasi kerentanan tinggi pada apendisitis akut, peningkatan jumlah

14
WBC lebih lanjut meningkatkan akurasi diagnosis klinis, sementara jumlah WBC
yang normal tidak dapat mengecualikan diagnosis.
Protein C-reaktif (CRP) adalah mediator inflamasi spesifik. Ia memiliki
sensitivitas 43% hingga 92% dan spesifisitas 33% hingga 95% untuk mendiagnosis
apendisitis akut pada anak-anak yang mengalami nyeri perut. Namun, ini lebih
sensitif daripada jumlah WBC dalam mendiagnosis perforasi usus buntu dan
pembentukan abses,. Sensitivitas leukositosis dan peningkatan jumlah neutrofil dapat
mendekati 98% dengan peningkatan CRP untuk mendiagnosis apendisitis akut.
Analisa urin:
Analisis urin disarankan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kemih. Namun 7-25% pasien anak dengan radang usus buntu akut memiliki lebih dari
5 sel darah merah atau sel darah merah per lapang pandang dalam sampel urin.Dalam
sebuah artikel yang baru diterbitkan, melaporkan nilai diagnostik apendisitis akut
dengan analisis urin. Dia menyimpulkan bahwa badan keton positif dan nitrat
mungkin merupakan penanda penting yang membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut perforasi.
Keputusan untuk memberikan saran jumlah WBC, jumlah neutrofil, dan CRP,
atau analisis urin biasanya didasarkan pada kesan klinis, durasi gejala, dan preferensi
dokter gawat darurat atau konsultan ahli bedah.

II. IMAGING EVALUATION:


Abdomen x-ray polos:
Radiografi abdomen polos secara rutin dilakukan jika dikeluhkan nyeri perut
akut. Temuan radiografi, menunjukkan apendisitis akut adalah skoliosis sisi kanan,
massa jaringan lunak, ileus lokal, obstruksi usus, cairan peritoneum bebas, dan
faecolith. Yang paling spesifik di antara temuan-temuan ini untuk diagnosis radang
usus buntu akut adalah faecolith yang ditemukan pada 28 hingga 33% pasien dengan
radang usus buntu dan ada dalam kurang dari 1 hingga 2% kasus tanpa radang usus
buntu. Menariknya, perforasi ditemukan hadir dalam 45 hingga 100% kasus di mana
x-ray mengungkapkan appendicolith yang dikalsifikasi. Sebagian besar penelitian
terbaru memprediksi bahwa radiografi polos normal pada apendisitis akut
menyesatkan pada sebagian besar kasus. Oleh karena itu, foto polos abdomen

15
sebagian besar direkomendasikan dalam kasus-kasus acute abdomen seperti obstruksi
usus, peritonitis, ginjal atau batu empedu diduga.
Ultrasonografi (USG):
Temuan USG yang menunjukkan apendisitis akut adalah: distensi dan
obstruksi lumen apendiks, apendiks bengkak (diameter> 6 mm), suatu appendicolith,
target sign dengan lima lapisan konsentris, echogenicity tinggi di sekitar appendix,,
cairan bebas pericecal dan periveical, dan loop usus yang menebal. Sensitivitas dan
spesifisitasnya berkisar dari 80 hingga 92% dan 86 hingga 98%. American College of
Radiology merekomendasikan bahwa seorang anak dengan presentasi klinis atipikal
atau samar-samar dari appendicitis akut, dan temuan non-visualisasi atau non-
diagnostik pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) harus diamati dengan pemeriksaan
fisik serial dan pencitraan berulang, yang dapat menghasilkan tanda yang jelas.

Computed Tomography Scan (CT scan) dan MRI:


CT scan telah banyak digunakan ketika USG gagal mengidentifikasi appendix
yang meradang. Kriteria diagnostik pada CT scan, termasuk pembengkakan usus
buntu (diameter lebih dari 6 mm), goresan lemak, penebalan apikal sekum fokal,
limfadenopati, adanya usus buntu, abses, memotong kontras kolon pada lumen
apendiks proksimal dan pemisahan kontras dalam caecal lumen dari appendicolith
proksimal (bar caecal). Berbagai penelitian telah melaporkan sensitivitas CT scan
dalam diagnosis radang usus buntu antara 87 dan 100%, dan spesifisitas 83% hingga
100%. Ini berguna dalam mengurangi jumlah usus buntu negatif, dan membantu
untuk membuat diagnosis alternatif untuk sakit perut. Dalam sebuah penelitian
observasional terhadap 125 anak-anak dengan pencitraan CT scan untuk dugaan
apendisitis akut, 62 dari mereka ditemukan memiliki diagnosis lain seperti adenitis

16
mesenterika, penyakit radang usus, dan kista ovarium. Saat ini, tidak ada data
signifikan yang tersedia pada sensitivitas dan spesifisitas CT scan untuk mendeteksi
apendisitis akut pada anak kecil. Tetapi, dalam sebuah penelitian multi-pusat dari
55.227 anak ditemukan penggunaan CT scan pra-operasi pada anak-anak kurang dari
5 tahun, secara signifikan mengurangi tingkat operasi usus buntu negatif (NAR)
ketika dibandingkan dengan mereka yang tidak memanfaatkan fasilitas ini. Namun,
sangat penting untuk memahami bahwa radiasi pengion yang dipancarkan dari CT
scan telah terbukti terkait dengan risiko kanker seumur hidup yang lebih tinggi pada
anak-anak. MRI belum secara rutin digunakan dalam diagnosis apendisitis akut.

III. SCORING

17
Dalam sistem penilaian ini, pasien dengan skor kurang dari 5 dapat diselidiki
untuk penyebab nyeri non-appendicular, mereka dengan skor 5-6 harus dirawat untuk
observasi dan penyelidikan lebih lanjut, sedangkan pasien dengan skor 7 atau lebih
adalah yang paling kemungkinan positif untuk radang usus buntu akut dan perlu
operasi. Skor Alvarado 7 atau lebih tinggi memiliki sensitivitas 88% hingga 90% dan
spesifisitas 72% hingga 81% untuk apendisitis akut.

2.1.7. Penatalaksanaan
• Non-Surgical Treatment : Antibiotic dan Analgesic
• Surgical Treatment : Appendiktomi
Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)
− Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
− Diet rendah serat
− Antibiotika spektrum luas
− Metronidazol
− Monitor : Infiltrat, tanda peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam, LED dan periksa
Angka Leukosit 🡪 apabila baik 🡪 mobilisasi 🡪 pulang

Appendiktomi
− Cito 🡪 Akut, abses & perforasi
− Elektif 🡪 Kronik

18
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.Appendiktomi dapat berupa open appendectomy
maupun laparoscopy appendectomy.
− Appendisitis Akut disebut : Appendictomi Chaud
− Appendisitis Kronis disebut : Appendictomi Froid
Indikasi :
a) Appendisitis Akut
b) Appendisitis kronis
c) Peri appendicular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
d) Appendiks terbawa pada laparatomi operasi kandung empedu
e) Appendisitis perforata
Macam Incisi pada appendectomi
1. Mc Burney incision/Gridiron incision : irisan perpendicular terhadap titik Mc
Burney yang terletak pada 1/3 lateral dan 2/3 medial dari garis imajinasi dari
Umbilicus ke SIAS.
2. Lanz : irisan lipatan kulit. Secara kosmetik lebih baik. Letaknya sekitar 2 cm
dibawah umbilicus dan linea midclavicula
3. Rutherford Morisons : incisi otot. Otot dipotong keatas dan kesamping,
memotong M. obliqus internus dan M transversus abdominis.
4. Lower Mid-Line : ketika dicurigai peritonitis, ataupun posisi appendiks pelvis
5. Incisi Paramedian kanan : caecum lebih sukar dipegang, kontaminasi lebih besar,
terutama dilakukan pada wanita, sekaligus explorasi adnexa, genetalia interna,
meragukan
6. Incisi Transversal
7. Fowler-weir incision

OPEN APPENDECTOMY

Pasien dengan radang usus buntu akut


harus segera dirawat untuk observasi dan /
19
atau radang usus buntu yang muncul. Pasien dengan presentasi atipikal memerlukan
konsultasi bedah. Protokol yang menggunakan aplikasi sistem skoring yang tepat,
tambahan radiologis, dan observasi klinis tertutup rawat inap akan membantu untuk
mendiagnosis atau menyingkirkan appendisitis akut. Pengamatan rawat inap oleh
seorang ahli bedah dapat membantu dalam membedakan presentasi apendisitis akut
atipikal dari gangguan lain. Sekelompok pasien dengan risiko yang sangat rendah
berdasarkan sistem penilaian Alvorado dapat dikeluarkan dari ruang gawat darurat
dengan saran evaluasi ulang setelah 8 sampai 12 jam.
Protokol pemantauan aktif yang melibatkan pemeriksaan klinis yang sering
setiap 4 sampai 6 jam, dengan atau tanpa ultrasound berulang, untuk pasien tanpa
bukti tanda-tanda fisik yang jelas yang mengharuskan eksplorasi bedah (yaitu, adanya
nyeri tekan atau peritonitis) akan meningkatkan hasil diagnostik dan akan mengurangi
pemanfaatan CT scan dan risiko radiasi.
Dengan munculnya teknik invasif minimal, usus buntu laparoskopi menjadi
semakin populer di kalangan ahli bedah. Baru-baru ini, para peneliti telah mulai
menggunakan antibiotik saja untuk mengobati radang usus buntu tingkat rendah
sebagai alternatif untuk operasi ketika keluarga menolak atau lebih memilih untuk
menghindari operasi. Secara tradisional, massa usus buntu pada kelompok usia yang
sangat muda telah dikelola seperti pada populasi orang dewasa oleh manajemen
konservatif. Dalam kasus drainase per-kulit yang gagal, drainase bedah terbuka atau
laparoskopi adalah alternatif. Baik tingkat mortalitas dan morbiditas pada apendisitis
akut telah berkurang secara signifikan dengan diagnosis dini, antibiotik spektrum luas,
resusitasi cairan, anestesi yang lebih baik, unit perawatan intensif yang dilengkapi
dengan baik, dan peningkatan keterampilan bedah.

20
BAB III
ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


ditegakkan diagnosis kolelitiasis. Hal ini sesuai dengan teori mengenai manifestasi
klinis pada pasien berupa:
1) Nyeri perut kanan bawah
2) Nyeri menjalar ke pusar
3) Rebound tenderness
4) Mual, muntah, anorexia
Gejala pada pasien jika dicocokan dengan skoring Alvarado mencukupi penegakan
diagnosis appendisitis akut. Namun pasien tidak menunjukan gejala khas lainnya
seperti demam, nyeri tekan di seluruh perut, perut kram. Hal ini menunjukan bahwa
appendisitis yang diderita oleh pasien merupakan appendisitis akut tanpa komplikasi.

Pada tatalaksana, rawat inap dianjurkan sesuai dengan teori. Pasien yang
menunjukan tanda dan gejala appendisitis perlu tatalaksana operasi CITO maupun
elektif tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Pada kasus ini pasien menderita
appendisitis tanpa komplikasi maka operasi dilakukan elektif yaitu keesokan harinya.
Pemilihan terapi medikamentosa sebelum terapi sudah tepat, dimana diberikan
terapi cairan dengan RL 1500cc 20 tpm, dan medikamentosa Ketolorac 3x30mg IV,
Cefotaxim 1x2gr IV, Ranitidine 2x50 mg IV. Pasien dilakukan Open Laparatomy
Appedectomy sebagai tindakan definitive akut appendicitis.

REFERENSI
21
1. Charles, F Brunicardi., David L Dunn., Anderson, Dana., Billiar, Timothy.,
Hunter, John., Pallock, Raphael. Schwartz’s Manual of Surgery 8 th edition.
Philadelphia: McGraw-Hill: 2006.
2. Longo LD, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo JL (eds.).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition. Philadelphia: McGraw-
Hill: 2012.
3. Mostbeck, G., Adam, E. J., Nielsen, M. B., Claudon, M., Clevert, D., Nicolau, C.,
Nyhsen, C., & Owens, C. M. (2016). How to diagnose acute appendicitis:
ultrasound first. Insights into imaging, 7(2), 255–263.
https://doi.org/10.1007/s13244-016-0469-6
4. Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo, E.,
Bonariol, L., Calia di Pinto, F., & Bassi, N. (2013). Acute appendicitis: what is
the gold standard of treatment?. World journal of gastroenterology, 19(47),
8799–8807. https://doi.org/10.3748/wjg.v19.i47.8799
5. Rushing, A., Bugaev, N., Jones, C., Como, JJ., Fox, N., Cripps, M., Robinson.,
B., Velopulos, C., Haut, ER., & Narayan, M. (2019). Management of acute
appendicitis in adults: A practice management guideline from the Eastern
Association for the Surgery of Trauma. J Trauma Acute Care Surg Volume 87,
Number 1 . DOI: 10.1097/TA.0000000000002270
6. See T., Watson C., Arends M., Ng C. (2008) Atypical appendicitis: the impact of
CT and its management. J Med Imaging Radiat Oncol 52: 140–147.

22

Anda mungkin juga menyukai