Anda di halaman 1dari 14

Flora dan Fauna Khas Provinsi Sulawesi Selatan adalah Pohon

Siwalan atau Pohon Lontar (Borassus flabellifer) sebagai Flora Khas Sulawesi Selatan
dan Julang atau Rangkong Sulawesi) (Aceros cassidix) sebagai Fauna Khas Sulawesi
Selatan.

Pohon Siwalan (Lontar) Flora Identitas Sulawesi Selatan


Pohon Siwalan atau disebut juga Pohon Lontar (Borassus flabellifer) adalah sejenis palma
(pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus
flabellifer) menjadi flora identitas provinsi Sulawesi Selatan. Pohon ini banyak dimanfaatkan
daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung
sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak ataupun diolah menjadi gula siwalan (sejenis
gula merah). Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang
kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter
batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk
tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm.
Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Buah Lontar (Siwalan) bergerombol dalam tandan
dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan
kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang
berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras. Pohon Siwalan atau
Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan
Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), dun tal (Saksak), jun tal (Sumbawa), tala
(Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tua (Timor).
Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm. Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus
flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia
Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur,
Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon Siwalan
atau Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup hingga 100
tahun lebih.

Pemanfaatan Pohon Siwalan


Daun Lontar/ Siwalan (Borassus flabellifer) digunakan sebagai media penulisan
naskah lontar dan bahan kerajinan seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk
pakaian dan Sasando, alat musik tradisional di Timor. Tangkai dan pelepah pohon Siwalan
(Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari
pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau
membuat songkok, semacam tutup kepala setempat. Kayu dari batang lontar bagian luar
bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai
bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Dari karangan
bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar
(legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak
menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol. Buahnya,
terutama yang muda, banyak dikonsumsi. Biji Lontar yang lunak ini kerap diperdagangkan di
tepi jalan sebagai “buah siwalan” (nungu, bahasa Tamil). Biji siwalan ini dipotong kotak-
kotak kecil untuk bahan campuran minuman es dawet siwalan yang biasa didapati dijual
didaerah pesisir Jawa Timur, Paciran, Tuban. Daging buah yang tua, yang kekuningan dan
berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya
diambil pula untuk dijadikan campuran penganan atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi
selai.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Angiospermae
Kelas:Monocotyledoneae
Ordo: Arecales
Famili: Arecaceae
Genus:Borassus
Spesies: Borassus flabellifer

GIIIPPPPPPPPPPPP
Flora dan Fauna Identitas Sulawesi Selatan
Add Comment
Selasa, 20 Oktober 2015
Print Friendly and PDF
Flora dan Fauna Khas Provinsi Sulawesi Selatan adalah Pohon Siwalan atau Pohon Lontar
(Borassus flabellifer) sebagai Flora Khas Sulawesi Selatan dan Julang atau Rangkong
Sulawesi) (Aceros cassidix) sebagai Fauna Khas Sulawesi Selatan.
Pohon Siwalan (Lontar) Flora Identitas Sulawesi Selatan

Pohon Siwalan atau disebut juga Pohon Lontar (Borassus flabellifer) adalah sejenis palma
(pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus
flabellifer) menjadi flora identitas provinsi Sulawesi Selatan. Pohon ini banyak dimanfaatkan
daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung
sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak ataupun diolah menjadi gula siwalan (sejenis
gula merah). Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang
kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter
batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk
tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm.
Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Buah Lontar (Siwalan) bergerombol dalam tandan
dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan
kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang
berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras. Pohon Siwalan atau
Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan
Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), dun tal (Saksak), jun tal (Sumbawa), tala
(Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tua (Timor).
Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm. Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus
flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia
Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur,
Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon Siwalan
atau Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup hingga 100
tahun lebih.

Pemanfaatan Pohon Siwalan

Daun Lontar/ Siwalan (Borassus flabellifer) digunakan sebagai media penulisan naskah lontar
dan bahan kerajinan seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan
Sasando, alat musik tradisional di Timor. Tangkai dan pelepah pohon Siwalan (Lontar atau
Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar
cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok,
semacam tutup kepala setempat. Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat,
keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau
untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Dari karangan bunganya (terutama tongkol
bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum
langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi
tuak, semacam minuman beralkohol. Buahnya, terutama yang muda, banyak dikonsumsi. Biji
Lontar yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah siwalan” (nungu,
bahasa Tamil). Biji siwalan ini dipotong kotak-kotak kecil untuk bahan campuran minuman
es dawet siwalan yang biasa didapati dijual didaerah pesisir Jawa Timur, Paciran, Tuban.
Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak
terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan
atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi selai.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae; Divisi: Angiospermae; Kelas:Monocotyledoneae; Ordo: Arecales; Famili:
Arecaceae (sinonim: Palmae); Genus:Borassus. Spesies: Borassus flabellifer

Julang (Rangkong Sulawesi) Fauna Identitas Sulawesi Selatan

Julang atau Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam
Famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi Selatan. Di daerah sana, burung ini
dikenal dengan nama Burung Taong. Burung ini memiliki warna mencolok mata, dengan
warna tubuh hitam, paruh kuning emas, dan warna merah mencolok di atas paruhnya, ekor
berwarna putih, warna biru di sekitar mata, kaki kehitaman dan warna leher biru. Berukuran
sangat besar (104 cm), berekor putih dan paruh bertanduk. Jantan: tanduk merah tua; kepala,
leher dan dada bungalan merah-karat. Betina: kepala dan leher hitam, tanduk kuning lebih
kecil. Panjang tubuh dapat mencapai 100 cm pada jantan, dan 88 cm pada betina. Julang
Sulawesi memiliki tanduk (casque) yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan
kuning pada betina. Paruh berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan.
Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Terkadang ditemukan di hutan
sekunder yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas.
Terkadang pula mengunjungi hutan bakau. Julang Sulawesi Selatan biasa terbang di atas dan
sekeliling tajuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah, namun terkadang
berkelompok sampai lima puluh individu atau lebih. Ketika terbang sayapnya berbunyi
berisik seperti mesin uap. Julang sulawesi adalah spesies endemik di Pulau Sulawesi dan
beberapa pulau satelit. Burung yng umum dijumpai, menghuni hutan primer dan hutan rawa.
Kadang di hutan sekunder yang tinggi dan petak-petak hutan yang tersisa dalam lahan
budidaya yang luas, juga mengunjungi hutan mangrove. Dari permukaan laut sampai
ketinggian 1100 m kadang sampai 1800 m. Makanannya antara lain buuah-buahan, serangga,
juga telur dan anakan burung. Biasanya mencari makanan di tajuk atas pohon. Musim berbiak
pada Juni-September. Bersarang pada lubang/ceruk pohon yang besar. Selama mengerami
telur, betina tidak keluar dari sarang, makanan disediakan oleh jantan. Biasanya hanya
membesarkan satu ekor anakan.
Klasifikasi Ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Aves; Ordo:
Bucerotiformes; Famili: Bucerotidae

Sulawesi memiliki luas 187.882 km² dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah
biogeografi “Wallacea“. Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-
pulau lain yang berada di antara garis Wallacea di sebelah barat dan garis Lydekker di
sebelah timur. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karenya
diduga di masa lampau pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall dalam
Shekelle dan Leksono, 2004).

Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan terjadinya evolusi pada
berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi
(Shekelle dan Leksono, 2004). Selain itu, Sulawesi merupakan pulau yang memiliki
keanekaragaman hayati yang beragam, kekayaan ini meliputi keanekaragaman flora dan
fauna endemik yang tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Adapun tingkat endemisitas
yang tinggi terjadi pada kelompok Mamalia. Dari 127 jenis hewan menyusui yang terdapat di
Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik (Whitten et al. 2002 dalam Shekelle dan
Leksono, 2004).

Salah satu spesies endemik yang terdapat di Pulau Sulawesi yaitu tarsius yang setiap
spesiesnya tersebar secara endemik di pulau Sulawesi dari Kepulauan Sangihe di sebelah
utara, hingga Pulau Selayar. Genus ini berasal dari famili Tarsiidae, satu-satunya famili yang
bertahan dari ordo Tarsiiformes. Tarsius dikenal dengan sebutan binatang hantu, yang hidup
nokturnal atau aktif di malam hari, dengan bentuk wajah seperti monyet kecil bermata merah,
besar dan bulat yang digunakan untuk melihat pada malam hari (Dephut 1978).

Tarsius tergolong dalam satwa yang dilindungi berdasarkan berdasarkan Peraturan


Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Satwa
ini termasuk Appendiks II dalamConvention on International Trade in Endangered Species
(CITES 2003) dan termasuk vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh International
Union for Conservation of Nature (IUCN 2011).

Keunikan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN. Babul) terletak di Kabupaten


Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan adalah sebagian besar kawasannya merupakan
ekosistem hutan bukit kapur (limestone forest) yang memiliki potensi sumberdaya alam
hayati dan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi dan endemik. Di daerah ini juga
merupakan salah satu lokasi penemuan tarsius. Berdasarkan kecocokan morfologi dan
sebaran diketahui spesies tarsius yang berada di daerah ini adalahTarsius fuscus Fischer
1804 (Groves dan Shekelle 2010).

A. Taksonomi

Tarsius adalah suatu genus monotipe dari famili Tarsiidae, primata endemik yang tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Filipina (Dephut 1978). Genus ini memiliki beberapa
spesies diantaranya yaituTarsius bancanus yang ditemukan di Sumatera dan
Kalimantan, Tarsius syrichta yang ditemukan di Filipina (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Di
Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T.
dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari
jenis berbeda tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle 2010).

Namun dalam perkembangannya, Groves dan Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus
tarsius dan mengklasifikasinya menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito
sehingga hanya spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian
dari genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera,
yaitu Tarsius bancanus menjadi bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti
menjadi Chephalopacus bancanus. Begitu juga dengan Tarsius syrichta yang berada di
Filipina menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi Carlito syrichta.
Selain itu, Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran Tarsius tarsier. Pada
awalnya T. tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga Semenanjung Barat Daya Pulau
Sulawesi, namun setelah revisi tersebut jenis ini hanya tersebar di Kepulauan Selayar.
Sedangkan tarsius yang berada di Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut
sebagai Tarsius fuscus. Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah
kromosom tiap jenis. Berikut adalah peta distribusi genus dan spesies Tarsiidae menurut
Groves dan Shekelle (2010).
Gambar 1. Peta Distribusi Genus dan Spesies Tarsiidae (Groves dan Shekelle 2010).

Klasifikasi Tarsius fuscus menurut Groves dan Shekelle 2010 adalah sebagai berikut:

Ordo : Primata
Subordo : Haplorrhini
Infraordo : Tarsiiformes
Famili : Tarsiidae (Gray 1852)
Genus : Tarsius (Storr 1780)
Species : Tarsius fuscus, Fischer 1804
B. Morfologi

Tarsius memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna rambut bervariasi,
tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabu-abuan. Tarsius yang berasal dari
Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya rambut warna
putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Panjang tubuh 85 - 160
mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan dewasa sekitar 75 - 165
g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan bahkan panjang
tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat (Supriatna dan
Wahyono 2000).
Niemitz dan Verlag (1984) menyatakan bahwa tarsius memiliki keistimewaan pada mata
karena penglihatan pada malam hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan organ
terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180°.

Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang
memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat
yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan
kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena sebagian besar gerakan tarsius adalah
melompat secara vertikal (Wharton 1974). Berikut perbedaan ukuran badan, warna rambut,
serta panjang dan bentuk ekor tarsius di Sulawesi.

Gambar 2. Perbedaan morfologi jenis-jenis tarsius yang terdapat di Sulawesi (Shekelle et al.
2008).

Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua jenis tarsius yang memiliki nama yang hampir
sama yaitu Selayar tarsier dan tarsier. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua jenis tarsius
tersebut adalah rambut pada ekor tarsier lebih lebat daripada Selayar tarsier. Setelah revisi
yang dilakukan Groves dan Shekelle (2010), Tarsius tarsier berganti nama menjadi Tarsius
fuscus sedangkan Selayar tarsier menggunakan nama Tarsius tarsier. Perbedaan morfologi
lainnya dari kedua spesies ini adalah kaki belakang T. fuscuslebih pendek dibandingkan T.
tarsier, warna bulu T. fuscus juga lebih coklat kemerahan dan hanya sedikit bagian yang
berwarna abu-abu, panjang ekor T. tarsier adalah 221% dari panjang seluruh tubuh dan
kepala. Menurut Musser dan Dagosto (1988), panjang ekor T. fuscus adalah 143 - 166% dari
panjang seluruh tubuh dan kepala.

Tarsius (Tarsius fuscus) di TN. Babul di kabupaten Maros memiliki sebutan tersendiri oleh
masyarakat setempat (nama lokal berbeda-beda). Tarsius disebut juga Balao Cengke di
Pattunuang, Congali di Mallenreng, dan Pa’cui di Balang Lohe. Menurut Shagir KJ, et al.
(2011), tarsius jantan dewasa yang tertangkap di kawasan hutan Pattunuang memiliki ciri-ciri
antara lain panjang kepala dan badan 120 mm, panjang ekor 270 mm, dan hampir seluruh
tubuhnya ditumbuhi rambut tebal dan halus berwarna coklat dan abu-abu, seperti pada
Gambar 3.

Gambar 3. Tarsius (Tarsius fuscus) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung: jantan anak di
kawasan hutan Mallenreng (Kiri, foto:Iqbal Abadi Rasjid), jantan remaja di kawasan hutan
Pattunuang (Tengah, foto:Iqbal Abadi Rasjid), dan jantan dewasa di kawasan hutan Pattunuang
(Kanan, foto: Kamajaya Shagir) (Shagir KJ, et al. (2011)).

C. Habitat dan Penyebaran

Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan
primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal
perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan
di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat (Sinaga et al. 2009).
Sedangkan menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius adalah berbagai tipe hutan
yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau dan ladang penduduk. Selain itu, tarsius
juga dapat hidup di hutan primer yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan
perkebunan karet (Niemitz dan Verlag 1984). Sebaran habitat tarsius di TN. Babul di
Kabupaten Maros sangat luas, hutan karst, hutan riparian, hutan dataran rendah, hutan
pegunungan bawah bahkan sampai perkebunan, persawahan dan pemukiman (Shagir KJ et al.
2011).

Pohon tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon
tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Pohon tidur atau sarang tarsius
lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica,
Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus (Sinaga et al. 2009). Menurut Widyastuti (1993),
kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon
yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis
berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap. Sinaga et al. (2009) menambahkan
bahwa ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius adalah antara 0- 20 m di atas permukaan
tanah serta lebih tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.
Menurut Shagir KJ et al. (2011), tarsius di TN. Babul di Kabupaten Maros ditemukan pada
kisaran ketinggian 45 - 626 m dpl dengan kondisi topografi kemiringan lahan datar, berbukit
hingga curam. Kemungkinan Tarsius juga dapat hidup lebih dari ketinggian 626 m dpl atau di
atas kawasan hutan Mallenreng, yaitu Tondong Karambu yang merupakan gugusan
pegunungan Bulusaraung. Sementara, tarsius di TN. Babul di Kabupaten Pangkep ditemukan
di antara ketinggian 2 - 1.200 mdpl (Chaeril et al. 2011).

Karakteristik sarang tarsius yang teramati di TN. Babul di Kabupaten Maros adalah di
lubang/celah pada tebing karst dan singkapan batu, di dalam rumpun bambu duri (Bambusa
multiflex Raeusch.), dan rimbunan tanaman merambat. Ketinggian sarang pada tebing karst
berkisar antara 2 - 20 meter (Shagir KJ et al. 2011). Mansyur FI (2012) menambahkan bahwa
tarsius di desa Tompobulu, Kabupaten Pangkep bersarang di celah tumbuhan Ficus sp. dan di
kelilingi liana, sarang yang berada di celah batu karst yang diselimuti liana, sarang yang
berada di pohon Nira (Arenga Pinnata), dan sarang yang berupa terowongan bawah tanah di
bawah rumpun-rumpun bambu.

D. Populasi

Menurut Shekelle et al. (2008) sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi tarsius di
Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies di
antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangirensis, T. pumillus, T.
pelengensis dan T. dianae. Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk
keperluan konservasi. Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan bahwa setiap sarang
tarsius terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk
keluarga.

Dari 12 lokasi pengamatan di TN. Babul di kabupaten Maros diperoleh kepadatan populasi
berkisar antara 0,13 - 66,80 individu/km² dengan kisaran jumlah Individu 2 - 8 per kelompok.
Jalur pengamatan tarsius sepanjang sungai Pattunuang (3.000 m) memiliki kepadatan
populasi tertinggi sebesar 66,80 individu/km² dengan jumlah individu masing-masing
kelompok berkisar antara 2 - 6 individu (Shagir KJ et al. 2011).

Sementara, dari hasil pengamatan tarsius pada 15 lokasi pengamatan di TN. Babul di
Kabupaten Pangkep diperoleh jumlah total 67 kelompok dengan perkiraan jumlah Individu 2
- 4 per kelompok dan jumlah total individu 190 ekor (Chaeril et al. 2011). Berdasarkan hasil
inventarisasi dengan metodeConcentration count di TN. Babul di desa Tompobulu,
kabupaten Pangkep populasi terbanyak ditemukan berada di hutan sekunder, yaitu sebanyak
31 ekor, 9 ekor di kebun masyarakat dan 4 ekor yang berada pekarangan rumah penduduk.
Kepadatan tarsius di lokasi ini adalah 151 individu/ km² di dalam lokasi hutan sekunder,
sedangkan kepadatan di sekitar perumahan masyarakat lebih rendah, yaitu 36 individu/km² di
dalam kebun masyarakat dan 23 individu/ km² di pekarangan rumah penduduk. Jika
digolongkan berdasarkan struktur umur, individu tarsius yang paling banyak ditemukan di
setiap lokasi adalah tarsius pada kelas umur dewasa (Mansyur FI, 2012).

Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu
dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini
akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan
kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial Tarsius spectrum pada
umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamus) dan hanya sekitar 20% saja
yang bersifat multi male-multi female (beberapa jantan atau betina dalam suatu kelompok)
(Supriatna dan Wahyono 2000).

E. Perilaku

Tarsius mengeluarkan suara yang khas untuk berkomunikasi antar spesies (Niemitz dan
Verlag 1984). Gursky (1999) menambahkan tarsius memiliki komunikasi vocal sebagai
siulan kepada kelompok yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan,
komunikasi calling concerts dan family choruses.

Terdapat tujuh nada panggil yang dikeluarkan tarsius, baik sebagai alarm call untuk
memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, teritorial call, fear call,
threat call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan, nada-
nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan. Beberapa nada
panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada di luar jangkauan atau
tangkapan manusia. Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam kondisi normal suara
tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok.

Menurut Qiptiyah M (2009), perjumpaan tarsius di TN. Babul secara tidak langsung
berdasarkan suara (vokalisasi) adalah pada jam-jam tertentu seperti pada saat keluar sarang
sore hari sekitar jam 18.00 WITA, dan pagi hari sekitar jam 05.00 - 06.30 WITA menjelang
masuk sarang. Tarsius mengeluarkan suara sebagai penanda teritori, dan hal yang sama
dilakukan ketika kembali ke sarang pagi hari. Sesekali suara tarsius dapat terdengar ketika
mereka sedang mencari makan (foraging), memberitahukan keberadaan dari pasangan
masing-masing. Selama pengamatan tarsius lebih mudah dideteksi pada saat pagi hari,
dibandingkan pada saat sore hari.

F. Status Konservasi

Sejak tahun 1931, tarsius sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar
No. 266 tahun 1931, diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan
Pemerintah No.7 Tahun 1999 serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-
II/1991 yang dikeluarkan tanggal 10 Juni 1991. Tarsius juga termasuk dalam daftar hewan
yang dilarang untuk diperdagangkan dalam daftar Appendix II CITES. Meskipun
demikian International Union for Conservation of Nature (IUCN) masih memasukkan
beberapa species tarsius dalam kategori data deficient (kurang data). Hal ini berarti masih
diperlukan data penelitian untuk melengkapi data tersebut sehingga dapat ditingkatkan
statusnya (Yustian 2006).

Kategori terbaru IUCN Red List of Threatened Species 2008 telah memasukkan tarsius dalam
kategoriCritically Endangered (kritis) untuk spesies tarsius yang baru diidentifikasi, yaitu T.
tumpara di Pulau Siau. Hal ini disebabkan karena spesies ini berada di suatu pulau yang
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi
tarsius. Selain itu, pulau tersebut juga memiliki gunung berapi aktif yaitu Gunung
Karengetang yang mengancam keberadaan spesies di alam. Dua spesies lain yang
dikategorikan endangered dan terancam di alam dalam waktu dekat adalah T. pelengensis,
dan T. sangirensis. Adapun spesies yang dikategorikan vulnerable (rentan punah) adalah T.
tarsier dan T. dentatus, sedangkan dua spesies yang masih dalam kategori kurang data
adalah T. pumillus dan T. lariang.
Status T. fuscus sampai saat ini masih tergolong dalam vulnerable dalam Red List yang
dikeluarkan oleh IUCN 2011. Akan tetapi status ini dapat berubah apabila penelitian
mengenai tarsius terus dilakukan dan populasi jenis ini dapat diperkirakan maka tidak
menutup kemungkinan statusnya akan meningkat menjadi Endangered (Gursky 2008).

DAFTAR PUSTAKAChaeril, Suci AH, Nurhidayat M, Langodai RW, Sulkarnaen. 2011. Identifikasi dan
Pemetaan Sebaran Tarsius di SPTN Wilayah I Balocci Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Bantimurung : Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

DEPHUT] Departemen Kehutanan. Direktorat PPA. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka;
Mamalia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.

Groves C, Shekelle M. 2010. The genera and species of tarsiidae. International Journal of Primatology
31 (6): 1071- 1082.

Gursky S. 2000. Effect of seasonality on the behavior of an insectivorous primate, Tarsius spectrum.
International Journal of Primatology 21 (3): 477-495.

Gursky S. 1999. The Tarsiidae: Taxonomy, Behavior and Conservation Status. Di dalam: Dolhinow P,
Fuentes. Non Human Primates. United States of America: The John Hopkins University Press.

IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Red List of Threatened Species.
http://www.iucnredlist.org/. [15 September 2012].

Kinnaird MF. 1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Volume 1. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Wallaceae.

Mansyur FI. 2012. Karakteristik Habitat dan Populasi Tarsius (Tarsius fuscus Fischer 1804) di Resort
Balocci Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.

Niemitz C, Verlag FG. 1984. Biology of Tersier. New York: Pustet Reagensburg.

Qiptiyah M, Setiawan H, Rakhman MA, Mursidin, Ansari F. 2009. Teknologi konservasi biodiversitas
fauna langka : Teknologi konservasi insitu tarsius (Tarsius sp.) di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Makassar : Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Shagir KJ, Rasjid IA, Wibowo P, Fajrin S dan Paisal. 2011. Identifikasi dan Pemetaan Sebaran Tarsius
Pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Kabupaten Maros. Bantimurung : Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Shekelle Myron dan Leksono, S. M. 2004. Rencana Konservasi di Pulau Sulawesi dengan
Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota 9(1): 1-10.
Shekelle M, Groves C, Merker S, Supriatna J. 2008. Tarsius tumpara: A New Tarsier Species from Siau
Island, North Sulawesi. Primate Conservation (23): 55-64.

Sinaga W, Wirdateti, Iskandar E dan Pamungkas J. 2009. Pengamatan habitat pakan dan sarang
Tarsius (Tarsius sp.) wilayah sebaran di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Jurnal Primatologi Indonesia
6 (2): 41-47.

Supriatna J., Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Wharton CH. 1974. Seeking mindanau’s strength creatures national geography. Journal Mammal.
51(3): 225-230.

Widyastuti Y. 1993. Flora Fauna Maskot Nasional dan Propinsi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Wirdateti, Dahrudin H. 2006. Pengamatan pakan dan habitat Tarsius spectrum di Cagar Alam
Tangkoko- Batu Angus, Sulawesi Utara. Biodiversitas 2 (9): 152-155.

Yustian I. 2006. Population density and the conservation status of Belitungs tarsier Tarsius bancanus
saltator on Belitung Island, Indonesia. Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan.

Anda mungkin juga menyukai