Anda di halaman 1dari 13

1.

1. Kesamaan Garis Pantai


Lempeng Amerika dan Afrika yang awal
bersatu (sumber: Thompson & Turk, 1997)
Apabila kita melihat peta dunia, bentuk
pantai benua Afrika sama persis dengan
benua Amerika dan bentuk pantai bagian
selatan benua Australia juga sama persis
dengan sebagian pantai benua Antartika.
Apakah dulu kedua benua ini bersatu? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, terlebih
dahulu kita harus mengetahui dimana
sebenarnya batas benua tersebut. Batas benua
dominannya terbentuk dari batuan granit dan
untuk memetakan batas benua sebenarnya
bisa dilakukan dengan memetakan batas
batuan granit yang ada di kawasan pantai
kedua benua tersebut. Selain itu, untuk
menentukan dimana batas kerak benua
(granit) dan kerak samudra (basal) biasanya
diambil dari batas setengah kemiringan
lereng kerak benua di kawasan lepas pantai.
Setelah dilakukan pemetaan batas kerak benua antara benua Afrika dengan Amerika dan
disatukan. Hasilnya kedua kedua benua tersebut cocok dengan sempurna, hanya sekitar 90
kilometer terjadi overlap batas kedua benua dan yang lain pas dengan sempurna. Sejak saat itu,
mulai dipercaya bahwa kedua benua tersebut pada awalnya memang bersatu.
2. Kesamaan Karakteristik Geologi
Jika benua Afrika dan Amerika dulunya bersatu, maka di kedua harus memiliki
karakteristik geologi yang sama. Beberapa kesamaan karakteristik geologi sudah disampaikan
oleh Afred Wegener untuk menguatkan hipotesa tentang Continental Drift. Namun demikian,
mencari kesamaan karakteristik geologi dari batuan di kedua benua bukanlah perkara yang
mudah. Beberapa batuan di kedua benua tersebut terbentuk sebelum keduanya berpisah, ada
yang terbentuk ketika keduanya berpisah dan ada juga yang terbentuk setelah keduanya
terpisah. Jadi bagaimana mencari kesamaan karakteristik geologi di kedua benua tersebut?
Hal yang pertama yang harus dilakukan adalah mencari kesamaan jenis dan umur batuan di
kedua benua tersebut. Pada masa Afred Wegener, belum ada ilmu untuk menghitung umur
batuan namun sekarang ini sudah metode untuk menghitung umur batuan. Terdapat batuan
dengan umur yang sama sekitar 550 juta tahun di bagian timur laut Brazil dan barat Afrika.
Namun untuk batuan yang muda banyak yang tidak sama karena terbentuk setelah kedua benua
ini terpisah. Dijumpainya batuan dengan umur 550 juta di kedua benua tersebut menjadi
indikasi bahwa sekitar 550 juta tahun yang lalu, benua tersebut masih bersatu.
Selain kesamaan jenis dan umur batuan, kesamaan lain yang terdapat di kedua benua tersebut
adalah kesamaan rantai pergunungan dan lapisan es purba. Deretan pergununan Appalachian
yang dimulai dari sisi timur laut Amerika Serikat sampai dengan sisi timur Canada ternyata
memiliki kesamaan dengan deretan pergunungan Caledonides di Irlandia, Inggris dan
Scandinavia. Batuan termuda di dari deretan pergunungan Appalachian sama dengan deretan
pergunungan di Eropa dan Afrika dan ini menguatkan bukti bahwa kedua bedua tersebut
memang dulunya bersatu.
3. Kesamaan Fosil
Apabila benua Afrika dan Amerika dulunya bersatu maka pada waktu yang bersamaan
hidup binatang yang sama dan tumbuh tumbuhan yang sama. Untuk membuktikan ini, Afred
Wegener mempelajari rekaman fosil masa lalu. Afred Wegener menemukan fosil pohon paku
purba Glossopteris yang ditemukan di selatan Afrika, Selatan Amerika, Australia, India, dan
Antartika. Bibit paku Glossopteris besar dan berat sehingga tidak mungkin bibit tersebut
dibawah jauh oleh angin dan air ke masing-masing benua tersebut. Ditemukan fosil paku
purba Glossopteris menjadi indikasi bahwa dulunya benua Afrika, Amerika, Australia, India
dan Antartika bersatu dalam sebuah benua besar yang dinamakan Pangaea. Hal lain yang
menguatkan penemuan fosil ini adalah tumbuhan paku Glossopteris merupakan tumbuhan
yang tumbuh di iklim dingin dan waktu kesemua benua tersebut bersatu, iklimnya sama.

Kesamaan Fosil yang ditemukan di benua Amerika, Afrika, India, Antartika, dan Australia
memberikan bukti dulunya benua tersebut bersatu dalam benua Pangaea (Sumber: Thompson
& Turk, 1997)
Selain tumbuhan, fosil binatang reptil Mesosaurus juga ditemukan di selatan Brazil dan selatan
Afrika. Jenis batuan sedimen di kedua benua tempat fosil Mesosaurusditemukan juga sama.
Reptil Mesosaurus tidak dapat berenang, bagaimana mungkin fosilnya ditemukan di dua benua
yang terpisah jauh? Ini mengindikasikan bahwa tempat ditemukan fosil Mesosaurus dulunya
adalah daratan yang sama atau bergabung dan sekarang berpisah akibat pengaruh tektonik
lempeng.
4. Medan Magnet Purba (Paleomagnetism) di Zona Pemekaran Samudra
Afred Wegener meninggal pada tahun 1930, dan pada saat itu masih ada orang yang
meragukan konsep Continental Drift yang beliau usulkan. Setelah beliau meninggal, kawan-
kawan setianya terus memperjuangkan konsep tersebut. Pada tahun 1950-an, dimulailah suatu
penelitian tentang medan magnet purba yang dikenal dengan istilah Paleo-Magnetik. Paleo-
Magnetik merupakan ilmu yang mempelajari arah medan magnet bumi purba yang terekam
dalam batuan selama proses pendinginan batuan tersebut. Selengkapnya pernah saya singgung
dalam artikel Medan Magnet Sebagai Pelindung Bumi.

Arah polarisasi medan magnet bumi purba yang didapatkan di batuan di dasar samudra pada
zona pemekaran samudra (Sumber: Kious. J.W, dan Tilling. R.I., 1996)
Pada tahun 1960-an, para ilmuan mulai mengkaji Paleo-Magnetik yang terekam pada lempeng
samudra di samudra Atlantik. Dari penelitian tersebut ditemukan beberapa seri arah medan
magnet bumi purba yang sama. Kesamaan berada pada sisi yang berlawanan dari tengah-tengah
zona pemekaran samudra (seafloor spreading). Lebih lengkap seperti gambar di bawah ini.
Bukti paleomagnetism di kerak samudra Atlantik makin memperkuat konsep continental drift,
dari kajian tersebut ditemukan bahwa di tengah-tengah samudra Atlantik ada yang lempeng
bumi yang terus bergerak menjauh. Hal ini ditemukan pada pola simetris arah medan magnet
bumi purba yang terekam pada kerak samudra.
Setelah ditemukan beberapa bukti seperti yang sudah saya jelaskan di atas, pada tahun 1960-
an para ilmu sudah sangat yakin dengan konsep continental drift yang digagas oleh Afred
Wegener. Pada akhirnya konsep Afred Wegener dinamakan sebagai Teori Tektonik Lempeng.
Dinamakan Teori karena sudah ditemukan banyak sekali bukti ilmiah dan pengujian. Pada
awalnya masih dianggap Hipotesa atau dugaan awal.

2. Pertemuan Konvergen
Ukuran dari bumi tidak berubah signifikan selama 600 juta tahun terakhir, dan
sepertinya tidak berubah sejak terbentuknya sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu.
Tidak adanya perubahan ukuran ini menyiratkan adanya penghancuran kulit bumi
dengan rasio yang sama dengan terbentuknya kulit baru. Penghancuran (daur ulang)
dari kulit bumi ini terjadi di pertemuan lempeng dimana lempeng bergerak
mendekati satu sama lain, dan kadang-kadang sebuah pelat tenggelam atau
menujam di bawah lempeng lainnya. Lokasi dimana penujaman terjadi disebut zona
subduksi.
Tipe konvergensi—disebut juga tabrakan lambat—tergantung dari jenis litosfer yang
terlibat. Konvergensi dapat terjadi antar lempeng samudera dengan lempeng benua
yang sangat besar.
Konvergensi Samudera-benua
Seandainya secara magis kita bisa mengeringkan Samudera Pasifik, kita akan
melihat penampakan yang luar biasa—sejumlah palung tipis yang panjang,
membujur ribuan kilometer dengan kedalaman 8 hingga 10 km menujam masuk ke
dalam dasar samudera. Palung-palung adalah bagian terdalam dari dasar samudera
dan tercipta akibat subduksi (penujaman).

Lempeng Nazca didorong dan menujam ke bagian bawah lempeng benua dari
lempeng Amerika Selatan. Pada gilirannya, daerah tubrukan pada sisi lempeng
Amerika Selatan naik, menciptakan peguungan Andes, tulang punggung benua
tersebut. Gempa kuat dan merusak dan naiknya ketinggian pegunungan secara cepat
sangat sering terjadi disini. Walaupun lempeng Nazca secara keseluruhan menujam
dengan sangat lambat ke palung, bagian paling dalam dari lempeng yang menujam
bisa terpecah ke bagian yang lebih kecil dan diam terkunci untuk periode yang lama.
Apabila bagian yang terkunci tersebut kemudian terlepas akibat gerakan lempeng,
akan mengakibatkan gempa yang sangat besar. Gempa-gempa tersebut sering
diiringi dengan kenaikan dataran sebesar beberapa meter.

Convergensi lempeng Nazca dan Lempeng Amerika Selatan [65 k]


Pada Juli 1994, gempa dengan kekuatan 8.3 SR terjadi sekitar 320 km di arah timur
laut La Paz, Bolivia. Kedalaman gempa 636 km. Gempa yang terjadi di zona subduksi
lempeng Amerika Selatan dan Nazca, adalah gempa paling dalam yang pernah
direkam di Amerika Selatan. Akan tetapi meski gempa ini dapat dirasakan di
Toronto, Canada, kerusakan yang ditimbulkan sangat kecil diakibatkan oleh
kedalamannya.
Cincin Api [76 k]
Konvergensi Samudera-Benua juga memelihara vulkanik aktif bumi, seperti terlihat
di Pegunungan Andes. Aktivitas erupsi berkaitan nyata dengan subduksi.
Konvergensi Samudera-Samudera
Sama dengan kovergensi samudera-benua, ketika dua lempeng samudera bertemu,
salah satu pada umumnya akan menujak ke bagian lainnya dan akibatnya palung
terbentuk. Contohnya adalah Palung Mariana (yang sejajar dengan kepulauan
Mariana), yang terbentuk akibat konvergensi gerakan cepat lempeng Pasifik dengan
gerakan lambat lempeng Filipina. The Challenger Deep di selatan palung Mariana
terbenam ke dalam interior bumi (hampir 11.000 m). Bandingkan dengan Gunung
Everest, gunung tertinggi di bumi, yang tingginya dari permukaan laut sekitar 8.854
m.

Proses subduksi pada kovergensi lempeng samudera-samudera juga menghasilkan


formasi vulkanik. Selama jutaan tahun, erupsi lava dan bongkahan vulkanik terjebak
di dasar samudera hingga vulkanik bawah laut naik di atas permukaan laut untuk
membentuk kepulauan vulkanik. Volkano tersebut biasanya membentuk rantaian
yang disebut busur kepulauan (island arc). Seperti namanya, busur kepulauan
volkano, yang hampir sejajar dengan palung, biasa akan berbentuk kurva. Palung
adalah kunci untuk mengetahui terbentuknya busur kepulauan seperti kepulauan
Mariana dan Aleutian dan mengapa kepulauan tersebut banyak mengalami gempa
yang kuat. Magma yang membentuk busur kepulauan diproduksi oleh bagian
lempeng menujam yang leleh dan/atau bagian atas listosfer samudera. Lempeng
yang menujam merupakan sumber tegangan ketika dua lempeng saling berinteraksi,
dan pada akhirnya menimbulkan gempa sedang dan kuat.
Konvergensi Benua-benua.
Rangakaian pegunungan Himalaya secara dramatis dan spektakuler
memperlihatkan konsekuensi dari lempeng tektonik. Ketika dua lempeng benua
bertemu, tidak akan ada yang menujam disebabkan batuan benua yang relatif
ringan, dan seperti tabrakan dua gunung es, gerakan ke bawah akan tertahan.
Biasanya, kulit bumi cenderung menggelembung dan didorong ke atas atau ke
samping.
Tabrakan India dengan Asia sekitar 50 juta tahun yang lalu menyebabkan lempeng
Eurasia melipat di atas lempeng India. Setelah tabrakan, konvergensi dari dua
lempeng tersebut terus menekan lipatan hingga terbetuknya Pegunungan Himalaya
dan Dataran tinggi Tibet yang kita kenal saat ini. Kebanyakan pertumbuhannya
terjadi selama 10 juta tahun belakangan.
Himalaya, berpuncak hingga ketinggian 8.854 m dari permukaan laut adalah
pegunungan tertinggi di bumi, dan dataran Tibet dengan rata-rata tinggi 4.600 m,
lebih tinggi dibandingkan semua puncak di pegunungan Alpen (kecuali Puncak Mont
Blanc dan Monte Rosa).

Atas: Tabrakan antara lempeng India dan Eurasia mendorong Himalaya dan
dataran Tibet. Bawah: Potongan yang dibuat kartunis yang menunjukkan
pertemuan kedua lempeng sebelum dan sesudah tabrakan. Titik referens (busur
sangkar kecil) menunjukkan jumlah kenaikan titik imaginer di kulit bumi pada
saat proses pembentukan pegunungan.
3. Bowen Reaction Series
Seri Reaksi Bowen merupakan suatu skema yang menunjukan urutan kristalisasi dari mineral pembentuk
batuan beku yang terdiri dari dua bagian.

Mineral-mineral tersebut dapat digolongkan dalam dua golongan besar yaitu:

1. Golongan mineral berwarna gelap atau mafik mineral.


2. Golongan mineral berwarna terang atau felsik mineral.

Dalam proses pendinginan magma dimana magma itu tidak langsung semuanya membeku, tetapi
mengalami penurunan temperatur secara perlahan bahkan mungkin cepat. Penurunan tamperatur ini
disertai mulainya pembentukan dan pengendapan mineral-mineral tertentu yang sesuai dengan
temperaturnya Pembentukan mineral dalam magma karena penurunan temperatur telah disusun oleh
Bowen.

Sebelah kiri mewakili mineral-mineral mafik, yang pertama kali terbentuk dalam temperatur sangat tinggi
adalah Olivin. Akan tetapi jika magma tersebut jenuh oleh SiO2 maka Piroksenlah yang terbentuk pertama
kali. Olivin dan Piroksan merupakan pasangan ”Incongruent Melting”; dimana setelah pembentukkannya
Olivin akan bereaksi dengan larutan sisa membentuk Piroksen. Temperatur menurun terus dan
pembentukkan mineral berjalan sesuai dangan temperaturnya. Mineral yang terakhir tarbentuk adalah
Biotit, ia dibentuk dalam temperatur yang rendah.

Mineral disebelah kanan diwakili oleh mineral kelompok Plagioklas, karena mineral ini paling banyak
terdapat dan tersebar luas. Anorthite adalah mineral yang pertama kali terbentuk pada suhu yang tinggi dan
banyak terdapat pada batuan beku basa seperti Gabro atau Basalt. Andesin terbentuk peda suhu menengah
dan terdapat batuan beku Diorit atau Andesit. Sedangkan mineral yang terbentuk pada suhu rendah adalah
albit, mineral ini banyak tersebar pada batuan asam seperti granit atau rhyolite. Reaksi berubahnya
komposisiPlagioklas ini merupakan deret : “Solid Solution” yang merupakan reaksi kontinue, artinya
kristalisasi Plagioklas Ca-Plagioklas Na, jika reaksi setimbang akan berjalan menerus. Dalam hal ini
Anorthite adalah jenis Plagioklas yang kaya Ca, sering disebut Juga "Calcic Plagioklas", sedangkan Albit
adalah Plagioklas kaya Na ( "Sodic Plagioklas / Alkali Plagioklas" ).

Mineral sebelah kanan dan sebelah kiri bertemu pada mineral Potasium Feldspar ke mineral Muscovit dan
yang terakhir mineral Kwarsa, maka mineral Kwarsa merupakan mineral yang paling stabil diantara
seluruh mineral Felsik atau mineral Mafik, dan sebaliknya mineral yang terbentuk pertama kali adalah
mineral yang sangat tidak stabil dan mudah sekali terubah menjadi mineral lain.

4 Nicolas Steno, seorang ilmuwan/geolog Denmark menjelaskan sebuah teori prinsip


pengendapan yang dikenal dengan Steno's Law. Ia sangat tertarik meneliti tentang
batuan fosil. Pada tahun 1969, Steno mempublikasikan laporan tentang prinsip
sedimentasi dimana lapisan yang lebih tua akan berada di paling dasar dan lapisan
yang paling tua akan ada di paling atas. Sumber: wikimedia

Prinsip Dasar Sedimentasi


1. Original lateral continuity
Prinsip ini menyatakan bahwa sedimen akan terakumulasi secara menyebar,
mendatar pada suatu cekungan atau basin. Lapisan batuan akan meluas sampai
sampai terjadinya perubahan atau deformasi.
2. Original horizontality
Prinsip ini menyebutkan bahwa lapisan sedimen akan berada di suatu cekungan
seperti danau, atau laut dengan bantuan gravitasi akan membentuk lapisan
mendatar seperti kue lapis.
3. Superpotition
Jika tidak ada deformasi, maka natural nya lapisan sedimen paling tua akan berada
pada lapisan paling bawah atau dasar.
4. Cross Cutting
Ini menyatakan bahwa lapisan batuan yang dipotong oleh sesar atau intrusi batuan
beku, maka batuan yang dipotong harus lebih tua dibanding lapisan (intrusi) yang
memotong lapisan sebelumnya.

5. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Terjadinya


Pelapukan
Pelapukan batuan dapat terjadi karena berbagai macam faktor. Setidaknya ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya pelapukan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Waktu

Faktor yang sangat erat dan sangat identik dengan peristiwa pelapukan adalah waktu. Sering orang-
orang mengatakan bahwasannya pelapukan ini terjadi karena sebuah batuan sudah terlalu lama atau
terlalu tuan, hingga akhirnya batuan tersebut megalami pelapukan. Bahkan waktu merupakan faktor
pertama yang akan digunakan sebagai alasan mengapa pelapukan tersebut terjadi.

2. Jenis batuan dan struktur batuan tersebut

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi terjadinya pelapukan batuan adalah jenis batuan dan
strukturnya. Telah kita ketahui bersama bahwasannya batuan di dunia ini memiliki berbagai macam
jenis batuan yabg berbeda- beda antara satu dengan yang lainnya. Kemudian mengenai struktur
batuan, yaitu sifat fisik dan sifat kimia yang dimiliki oleh batuan itu sendiri. Sifat fisik batuan meliputi
warna batuan (baca: batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf). Sementara sifat kimia
batuan adalah unsur- unsur kimia yang terkandung di dalam batuan tersebut.

3. Topografi

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pelapukan adalah topografi. Keadaan topografi muka Bumi
juga mempengaruhi proses terjadinya pelapukan batuan. Batuan- batuan yang berada di lereng yang
curam cenderung akan mudah untuk mengalami pelapukan dibandingkan dengan batuan yang
berada di tempat yang landai.

Mengapa demikian? Hal ini karena pada lereng yang curam, batuan akan sangat mudah terkikis atau
terlapukkan karena akan langsung bersetuhan dengan cuaca di sekitar batuan tersebut berada.
Tetapi pada lereng yang landai atau rata, batuan akan terselimuti oleh berbagai macam endapan
yang pada akhirnya akan memperlambat proses pelapukan batuan tersebut.

4. Organisme

Faktor selanjutnya yang akan mempengaruhi proses pelapukan adalah adanya organisme.
Organisme marupakan hal yang cukup penting dalam proses pelapukan, seperti halnya dengan
proses penguraian tumbuh- tumbuhan secara alami.

5. Iklim dan cuaca


Faktor selanjutnya yang sangat kuat kaitannya dengan pelapukan adalah mengenai cuaca dan juga
iklim (baca: iklim di Indonesia). Unsur- unsur cuaca dan juga iklim yang akan mempengaruhi proses
pelapukan antara lain adalah suhu udara, curah hujan, sinar matahari, angin, dan lain sebagainya. Di
daerah yang memiliki iklim lembab dan juga panas, batuan akan cepat mengalami proses pelapukan.
Selain itu pergantian antara siang dan juga malam yang dingin akan semakin membuat pelapukan
mudah terjadi, apabila hal ini dibandingkan dengan daerah yang memiliki iklim dingin.

6. Keadaan vegetasi

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi adanya pelapukan adalah keadaan vegetasi. Vegetasi atau
tumbuh- tumbuhan juga merupakan hal yang sangat mempengaruhi proses pelapukan. Hal ini
disebabkan akar- akar tumbuhan tersebut dapat menembus celah- celah batuan. Apabila akar- akar
tersebut semakin membesar maka kekuatannya akan semakin besar pula dalam menerobos batuan.
Selain akar- akar, serasah dedaunan yang gugur juga akan membantu mempercepat batuan
melapuk. Hal ini disebabkan karena serasah batuan mengandung zat- zat asam arang dan juga
humus yang dapat merusak kekuatan pada batuan.

Itulah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya pelapukan pada batuan. Keberadaan
faktor- faktor tersebut akan sangat mempengaruhi terjadinya pelapukan pada batuan yang pada
akhirnya akan mengubahnya menjadi tanah (baca: tanah liat). Selain adanya faktor- faktor yang
mempengaruhi, tentu saja akan ditemukan pula beberapa agen yang terlibat dalam proses pelapukan
ini. Lalu apa saja agen- agen yang terlibat tersebut? Beberapa agen yang berperan dalam pelapukan
antara lain adalah air, es, garam, tanaman, binatang dan juga perubahan suhu.

6. STRUKTUR DAN TEKSTUR BATUAN METAMORF


A. Struktur Batuan Metamorf
Adalah kenampakan batuan yang berdasarkan ukuran, bentuk atau orientasi unit poligranular
batuan tersebut. (Jacson, 1997). Secara umum struktur batuan metamorf dapat dibadakan
menjadi struktur foliasi dan nonfoliasi (Jacson, 1997).

1. Struktur Foliasi
Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat terjadi karena adnya
penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan (gneissoty), orientasi butiran (schistosity),
permukaan belahan planar (cleavage) atau kombinasi dari ketiga hal tersebut (Jacson, 1970).
Struktur foliasi yang ditemukan adalah :

1a. Slaty Cleavage


Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir sangat halus (mikrokristalin) yang dicirikan
oleh adanya bidang-bidang belah planar yang sangat rapat, teratur dan sejajar. Batuannya disebut
slate (batusabak).

Gambar Struktur Slaty Cleavage dan Sketsa Pembentukan Struktur


1b. Phylitic
Srtuktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat rekristalisasi yang lebih
besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih dengan mineral granular. Batuannya disebut
phyllite (filit)
Gambar Struktur Phylitic
1c. Schistosic
Terbentuk adanya susunan parallel mineral-mineral pipih, prismatic atau lentikular (umumnya
mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai kasar. Batuannya disebut schist (sekis).

Gambar Struktur Schistosic dan Sketsa Pembentukan Struktur


1d. Gneissic/Gnissose
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran mineral yang mempunyai bentuk berbeda,
umumnya antara mineral-mineral granuler (feldspar dan kuarsa) dengan mineral-mineral tabular
atau prismatic (mioneral ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya tidak menerus
melainkan terputus-putus. Batuannya disebut gneiss.

Gambar Struktur Gneissic dan Sketsa Pembentukan Struktur


2. Struktur Non Foliasi
Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran-butiran
(granular). Struktur non foliasi yang umum dijumpai antara lain:

2.a Hornfelsic/granulose
Terbentuk oleh mozaic mineral-mineral equidimensional dan equigranular dan umumnya
berbentuk polygonal. Batuannya disebut hornfels (batutanduk)

Gambar Sruktur Granulose


2b. Kataklastik
Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk
kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat metamorfosa kataklastik. Batuannya
disebut cataclasite (kataklasit).

2c. Milonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada metamorfosa kataklastik. Cirri struktur ini
adalah mineralnya berbutir halus, menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan belum
terjadi rekristalisasi mineral-mineral primer. Batiannya disebut mylonite (milonit).

Struktur Milonitic
2d. Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi umumnya telah terjadi
rekristalisasi. Cirri lainnya adlah kenampakan kilap sutera pada batuan yang ,mempunyai struktur
ini. Batuannya disebut phyllonite (filonit).

B. Tekstur Batuan Metamorf


Merupakan kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran, bentuk dan orientasi butir mineral
dan individual penyusun batuan metamorf. Penamaan tekstur batuan metamorf umumnya
menggunakan awalan blasto atau akhiran blastic tang ditambahkan pada istilah dasarnya. (Jacson,
1997).

1. Tekstur Berdasarkan Ketahanan Terhadap Proses Metamorfosa


Berdasarkan ketahanan terhadap prose metamorfosa ini tekstur batuan metamorf dapat
dibedakan menjadi:
a. Relict/Palimset/Sisa
Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya atau
tekstur batuan asalnya nasih tampak pada batuan metamorf tersebut.

b. Kristaloblastik
Merupakan tekstur batuan metamorf yang terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu sendiri.
Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami rekristalisasi sehingga tekstur asalnya tidak tampak.
Penamaannya menggunakan akhiran blastik.

2. Tekstur Berdasarkan Ukuran Butir


Berdasarkan butirnya tekstur batuan metmorf dapat dibedakan menjadi:

1. Fanerit, bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata


2. Afanitit, bila ukuran butir kristal tidak dapat dilihat dengan mata.
3. Tekstur berdasarkan bentuk individu kristal
Bentuk individu kristal pada batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:

1. Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan bidang kristal itu sendiri.
2. Subhedral, bila kristal dibatasi oleh sebagian bidang permukaannya sendiri dan sebagian oleh
bidang permukaan kristal disekitarnya.
3. Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain disekitarnya.
Berdasarkan bentuk kristal tersebut maka tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:

1. Idioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk euhedral.


2. Xenoblastik/Hypidioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral.
d. Tekstur Berdasarkan Bentuk Mineral
Berdasarkan bentuk mineralnya tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:

1. Lepidoblastik, apabila mineralnya penyusunnya berbentuk tabular.


2. Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatic.
3. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya
bersifat sutured (tidak teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
4. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya
bersifat unsutured (lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
Selain tekstur yang diatas terdapat beberapa tekstur khusus lainnya diantaranya adlah sebagai
berikut:

 Perfiroblastik, apabila terdapat mineral yang ukurannya lebih besar tersebut sering
disebut porphyroblasts.
 Poikloblastik/Sieve texture, tekstur porfiroblastik dengan porphyroblasts tampak melingkupi
beberapa kristal yang lebih kecil.
 Mortar teksture, apabila fragmen mineral yang lebih besar terdapat padamassadasar material
yang barasal dari kristal yang sama yang terkena pemecahan (crhusing).
 Decussate texture yaitu tekstur kristaloblastik batuan polimeneralik yang tidak menunjukkan
keteraturan orientasi.
 Saccaroidal Texture yaitu tekstur yang kenampakannya seperti gula pasir.
 Batuan mineral yang hanya terdiri dari satu tekstur saja, sering disebut berstektur homeoblastik.

Anda mungkin juga menyukai