Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan Jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi
yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga,
kelompok, organisasi, atau komunitas (Stuart, 2007).
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan
yang optimal. Definisi sehat menurut kesehatan dunia World Health Organization
(WHO) adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang
tidak hanya bebas dari penyakitatau kecacatan.
Hasil riset WHO diperkirakan pada setiap saat, 450 juta orang diseluruh
dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf, maupun perilaku dan jumlahnya
terus meningkat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa satu dari lima orang dewasa
pemah mengalami gangguan jiwa dari jenis biasa sampai yang serius (Rizki,
2012) Data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan dunia (WHO) pada tahun
2006 menyebutkan bahwa diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sebaiknya, Departemen
Kesehatan menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,5 Juta
jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia (Ahmad, 2009).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk
yang berbeda (Yosep, 2011).
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa
berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang
mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika

1
2

individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan


yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).
Kegagalan dalam memberi koping yang sesuai dengan tekanan yang
dialami dalam jangka panjang mengakibatkan individu mengalami berbagai
macam gangguan mental. Gangguan mental tersebut sangat bervariatif, tergantung
dari berat ringannya sumber tekanan, perberdaan antar individu, dan latar
belakang individu yang bersangkutan (Siswanto, 2007)

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah konsep dasar kehilangan dan Berduka?
2. Bagaimanakah proses dari kehilangan dan berduka?
3. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan kehilangan
dan berduka?
4. Apa saja strategi pelaksanaan dalam mengatasi gangguan kehilangan dan
berduka?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Jiwa dan diharapkan
bagi mahasiswa agar mampu memahami tentang gangguan atas kehilangan dan
dapat membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan kehilangan dan duka cita.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui tentang konsep dasar kehilangan dan berduka.
2. Mengetahui proses dari kehilangan dan berduka.
3. Mengetahui pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi dan
evaluasi dari asuhan keperawatan kehilangan dan berduka.
4. Mengetahui strategi pelaksanaan gangguan kehilangan dan berduka.

1.4 Manfaat
Hasil penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan kehilangan dan berduka.
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Kehilangan (Loss)


4

2.1.1 Pengertian Kehilangan


Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap
individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk
yang berbeda (Yosep, 2011).
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau
objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang
dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang
milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan.
Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah
pengalaman traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik
krisis situasional ataupun krisis perkembangan (Mubarak & Chayatin, 2007).

2.1.2 Proses Kehilangan


1. Stressor internal atau eksternal-gangguan dan kehilangan-individu memberi
makna positif-melakukan kompensasi dengan kegiatan positif-perbaikan
(beradaftasi dan merasa nyaman).
2. Stressor internal atau eksternal-gangguan dan kehilangan-individu memberi
makna-merasa tidak berdaya-marah dan berlaku agresif-diekspresikan ke
dalam diri-muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau eksternal-gangguan dan kehilangan-individu memberi
makna-merasa tidak berdaya-marah dan berlaku agresif-diekspresikan ke luar
diri individu-kompensasi dengan perilaku konstruktif-perbaikan (beradaptasi
dan merasa nyaman).
4. Stressor internal atau eksternal-gangguan dan kehilangan-individu memberi
makna-merasa tidak berdaya-marah dan berlaku agresif-diekspresikan ke luar
diri individu-kompensasi dengan perilaku destruktif-merasa bersalah-
4
ketidakberdayaan.
5

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan


adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan
(husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif), seperti pada skema
berikut.

Stressor Disruption Personal Compensatory Resolution


internal & & Loss Meaning Activity
eksternal

Helplessness Guit

Anger &
Agression

Expressed Expressed Destructive


inward outward

Painfull Constructive Resolution


Symptom action

(Process of Disruption and Loss, Drake at Barbara Kozier, 1979)

2.1.3 Tipe Kehilangan


Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat dikelompokkan
dalam 5 kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang telah
dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup.
a. Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang
anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa
mungkin berupa perhiasan atau suatu aksesoris pakaian. Kedalaman berduka
yang dirasakan seseorang tehadap benda yang hilang tergantung pada nilai
yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan
dari benda tersebut.
b. Kehilangan Lingkungan yang Telah Dikenal
6

Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah


dikenal mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya, termasuk pindah ke
kota baru, mendapat pekerjaan baru, atau perawatan di rumah sakit.
Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dan dapat
terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seorang lansia pindah ke
rumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya kehilangan rumah akibat
bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.
c. Kehilangan Orang Terdekat
Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung,
guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang telah
terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah
menunjukkan bahwa banyak hewan peliharaan sebagai orang terdekat.
Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di
tempat kerja, dan kematian.
d. Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis,
atau psikologis. Kehilangan bagian tubuh dapat mencakup anggota gerak,
mata, rambut, gigi, atau payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup
kehilangan kontrol kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan, atau fungsi
sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa
humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek
diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan
atau situasi. Kehilangan seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan individu.
Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga
dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.

e. Kehilangan Hidup
Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir,
dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya
kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi
7

mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Setiap orang berespon secara berbeda-
beda terhadap kematian. orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit
kronis lama dapat mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian
menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah
kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita cintai di surga.
Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera.
Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu lebih bergantung.

Maslow (1954 dalam Videback, 2008) tindakan manusia dimotivasi oleh


hierarki kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis (makanan, udara,
air, dan tidur), kemudian kebutuhan keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal
dan bekerja), kemudian kebutuhan keamanan dan memiliki. Apabila kebutuhan
tersebut terpenuhi, individu dimotivasi oleh kebutuhan harga diri yang
menimbulkan rasa percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah
aktualisasi diri, suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan.
Apabila kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau diabaikan karena suatu
alasan, individu mengalami suatu kehilangan.
Beberapa contoh kehilangan yang relevan dengan kebutuhan spesifik
manusia yang diindentifikasi dalam hierarki Maslow antara lain:
1. Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan
fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau
kondisi somatik lain yang menandakan kehilangan fisiologis.
2. Kehilangan keselamatan: kehilangan lingkungan yang aman, seperti
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal
proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma.
Terungkapnya rahasia dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai
suatu kehilangan keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa
percaya antara klien dan pemberi perawatan.
3. Kehilangan keamanan dan rasa memiliki: kehilangan terjadi ketika hubungan
berubah akibat kelahiran, perkawinan, perceraian, sakit, dan kematian. Ketika
makna suatu hubungan berubah, peran dalam keluarga atau kelompok dapat
8

hilang. Kehilangan seseorang yang dicintai mempengaruhi kebutuhan untuk


mencintai dan dicintai.
4. Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai
kehilangan setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam
pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang
atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri
berubah. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga
diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu, dapat terjadi bersamaan
dengan kematian seseorang yang dicintai.
5. Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat
terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal menghambat
upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah
akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti
berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan
yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana
menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan
berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran ketika
mengejar tujuan menjadi artis atau komposer.

2.1.4 Faktor Presdisposisi yang Mempengaruhi Reaksi Kehilangan


Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik,
kesehatan fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005).
a. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi biasanya sulit mengembangkan sikap optimistik dalam
menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.

b. Kesehatan fisik
9

Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik.
c. Kesehatan jiwa/mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi,
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh
masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.
d. Pengalaman kehilangan di masa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak
akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di
masa dewasa.

2.1.5 Dampak Kehilangan


Uliyah dan Hidayat (2011) mengatakan bahwa kehilangan pada seseorang
dapat memiliki berbagai dampak, di antaranya pada masa anak-anak, kehilangan
dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang-kadang akan timbul
regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian. Pada masa
remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat terjadi disintegrasi dalam keluarga,
dan pada masa dewasa tua, kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat
menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang
yang ditinggalkan.

2.2 Berduka
2.2.1 Pengertian Berduka
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa
berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang
mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika
individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan
yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari
(NANDA, 2011).
10

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa berduka


merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang
dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun
intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang normal yang
dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan.

2.2.2 Faktor Penyebab Berduka


Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan dan dapat
menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang
paling sering ditemui adalah sebagai berikut:
a. Patofisiologis
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat
sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori,
muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.
b. Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka waktu
yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi).
c. Situasional (Personal, Lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder akibat
nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan
gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan
rumah, dan perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas
sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, dan penyakit.
d. Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti teman-teman,
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan
impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh
bagaimana cara individu merespon terhadap terjadinya peristiwa kehilangan.
Miller (1999 dalam Carpenito, 2006) menyatakan bahwa dalam menghadapi
kehilangan individu dipengaruhi oleh dukungan sosial (Support System),
keyakinan religius yang kuat, kesehatan mental yang baik, dan banyaknya
sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.
11

2.2.3 Tanda dan Gejala Berduka


Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala
yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010)
menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi,
meliputi:
a. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan,
menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.
b. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya,
mulut kering, kelemahan.
c. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidak
sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.
d. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, penarikan
sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.

Tanda dan gejala berduka juga dikemukan oleh Videbeck (2008), yang
mencakup ke dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual,
perilaku, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul
Respon Berduka Tanda dan Gejala
Respon Kognitif Gangguan asumsi dan keyakinan:
 Mempertanyakan dan berupaya
menemukan makna kehilangan;
 Berupaya mempertahankan
keberadaan orang yang meninggal
atau sesuatu yang hilang;
 Percaya pada kehidupan akhirat dan
seolah-olah orang yang meninggal
adalah pembimbing.

Respon Emosion  Marah, sedih, cemas;


12

 Kebencian;
 Merasa bersalah dan kesepian;
 Perasaan mati rasa;
 Emosi tidak stabil;
 Keinginan kuat untuk mengembalikan
ikatan dengan individu atau benda
yang hilang;
 Depresi, apatis, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan.

Respon Spiritual
Kecewa dan marah pada Tuhan:
 Penderitaan karena ditinggalkan atau
merasa ditinggalkan atau kehilangan,
tidak memiliki harapan, kehilangan
makna.

Respon Perilaku
 Menangis terisak atau tidak
terkontrol;
 Gelisah;
 Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;
 Mencari atau menghindar tempat dan
aktivitas yang dilakukan bersama
orang yang telah meninggal;
 Kemungkinan menyalahgunakan obat
atau alkohol;
 Kemungkinan melakukan upaya
bunuh diri atau pembunuhan.

Respon Fisiologis  Sakit kepala, insomnia;


 Gangguan nafsu makan;
13

 Tidak bertenaga;
 Gangguan pencernaan;
 Perubahan sistem imun dan endokrin.

Sumber: Videbeck, 2008

2.2.4 Akibat Berduka


Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
dikatakan maladaptif pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut. Apabila
proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan
menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang berkelanjutan dan
berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka yang maladaptif tersebut
akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat munculnya emosi negatif
dalam diri individu. Dampak yang muncul diantaranya perasaan
ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

2.2.5 Respon Berduka


Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan.
Teori yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) mengenai
tahapan berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut
lima tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Fase Penyangkalan (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis
terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang
terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu
tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung beberapa menit
hingga beberapa tahun.
14

b. Fase Marah (Anger)


Pada fase ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau
perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering terjadi, antara lain muka
merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepal, dan
seterusnya.
c. Fase Tawar Menawar (Bargaining)
Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan
dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-
terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya
untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
d. Fase Depresi (Depression)
Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan keputusasaan, rasa
tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang
ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan
libido, dan lain-lain.
e. Fase Penerimaan (Acceptance)
Pada fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran yang
selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau hilang. Individu
telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang
kedepan. Gambaran tentang objek yang hilang akan mulai dilepaskan secara
bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu
dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia
dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan
secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan
mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan
kehilangan selanjutnya.
15

Bowlby (1980 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan proses berduka


akibat suatu kehilangan yang terdiri dari 4 fase yaitu, fase pertama mati rasa dan
penyangkalan terhadap kehilangan, fase kedua kerinduan emosional akibat
kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada, fase
ketiga kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari dan fase keempat reorganisasi dan
reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya.
John Harvey (1998 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan fase berduka
yaitu, fase pertama syok, menangis dengan keras, dan menyangkal, fase kedua
intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif dan fase
ketiga menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.
Rodebaugh (1999 dalam Videbeck, 2008) memandang proses berduka
sebagai suatu proses melalui empat tahap yaitu pertama terguncang (Reeling)
klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal, kedua merasa (feeling)
klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan yang
mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu
makan, kelelahan, ketidaknyamanan fisik yang umum, ketiga menghadapi
(dealing) klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual,
keempat pemulihan (healing), klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa
kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.
16

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Faktor Predisposisi
Faktor pedisposisi yang mempengaruhi tentang respon kehilangan adalah:
1. Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis
dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi
perasaan kehilangan.
2. Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai perasaan tidak berdaya pesimis, selalu
dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam
menghadapi suatu kehilangan.
4. Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak-
kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi
perasaan kehilangan pada masa dewasa. (Stuart-Sundeen, 1991)
5. Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap
stress yang dihadapi.

16
17

3.1.2 Faktor Presipitasi


Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress
nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara
lain meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan
peran dalam keluarga, kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi
seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan
kewarganegaraan dan sebagainya.
1. Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis
atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada
tanda-tanda usaha bunuh diri atau ingin membunuh orang lain juga sering
berganti tempat mencari informasi yang tidak menyokong diagnosanya.
2. Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara
lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi, dan Proyeksi
yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan. Regresi dan Disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang
dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering dipakai
secara berlebihan dan tidak tepat.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Potensial proses berduka yang tidak terselesaikan sehubungan dengan kematian
ibu.
2. Fiksasi berduka pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri.
3. Potensial respon berduka yang berkepanjangan sehubungan dengan proses
berduka sebelumnya yang tidak tuntas.

3.3 Perencanaan
1. Tujuan jangka panjang: agar individu berperan aktif melalui proses berduka
secara tuntas
2. Tujuan jangka pendek: pasien mampu:
a. Mengungkapkan perasaan duka
18

b. Menjelaskan makna kehilangan orang atau objek


c. Membagi rasa dengan orang yang berarti
d. Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai
e. Membina hubungan baru yang bermakna dengan objek atau orang yang
baru

3.4 Prinsip Tindakan Keperawatan pada Pasien dengan Respon Kehilangan


1. Bina dan jalin hubungan saling percaya
2. Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang
menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya
3. Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses berduka
4. Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka
5. Beri dukungan terhadap respon kehilangan pasien
6. Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7. Ajarkan teknik logotherapy dan psyhoreligious therapy
8. Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut:
a. Fase Pengingkaran
1) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
2) Menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan mendorong pasien untuk
berbagi rasa
3) Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang
sakit, pengobatan dan kematian
b. Fase Marah
Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara
verbal tanpa melawan dengan kemarahan.
c. Fase Tawar Menawar
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d. Fase Depresi
1) Mengidentifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
2) Membantu pasien megurangi rasa bersalah.
19

e. Fase Penerimaan
Membantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa diselesaikan.
20

BAB 4
STRATEGI PELAKSANAAN KLIEN DENGAN
BERDUKA DAN KEHILANGAN

4.1 Contoh kasus


Kasus :
Ibu M, usia 50 tahun mempunyai seorang suami yang sudah meninggal 1 tahun
yang lalu. Saat ini ia tinggal bersama 2 orang anaknya. Anaknya yang pertama
sudah bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga sedangkan anaknya yang
kedua masih berusia 15 tahun. 1 bulan yang lalu anak sulungnya mengalami
kecelakaan yang mengakibatkan kematian. Saat bertemu perawat ibu M
mengatakan bahwa anaknya tersebut masih hidup, klien sering diam dan
melamun dan mengatakan anaknya belum meninggal dan juga klien enggan
untuk berbicara dengan orang lain dan terkesan menarik diri dari
lingkungannya. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukan tekanan darah
klien 150/100 mm Hg, nadi 110 x/menit, pernapasan 25 x/menit

Pertemuan ke-1
1. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Klien tampak sering diam dan melamun dan mengatakan bahwa anaknya
belum meninggal. Klien enggan untuk berbicara dengan orang lain dan
tampak menarik diri dari lingkungannya. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital menunjukan tekanan darah klien 150/100 mmHg, nadi 110 x/menit,
pernapasan 25 x/menit.
2. Diagnosa Keperawatan
Ansietas berhubungan denga ketidakefektifan koping individu terhadap
respon kehilangan anggota keluarga yang berulang.
3. Tujuan khusus
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan
klien dapat merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat
b) Klien mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya
c) Klien merasa lebih tenang

4. Tindakan keperawatan
20
21

a) Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara mengucapkan


salam terapeutik, memperkenalkan diri perawat sambil berjabat tangan
dengan klien
b) Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Dengarkan setiap perkataan klien. Beri respon, tetapi tidak bersifat
menghakimi
c) Ajarkan klien teknik relaksasi

2. Strategi Pelaksanaan
a) Fase orientasi
 Salam terapeutik
“Assalamualaikum, selamat pagi bu, perkenalkan saya Pipit Mentari,
ibu bisa panggil saya suster Pipit. Nama Ibu siapa? Ibu senangnya
dipanggil apa? Kalau begitu Ibu saya panggil Ibu M ya? Baiklah Ibu M,
saya perawat hari ini yang bertugas merawat Ibu dari pukul 08.00
sampai 14.00”
 Evaluasi validasi
“Bagaimana keadaan ibu M hari ini? Apa yang ibu rasakan?”
 Kontrak kerja
“Baikalah bu, bagaimana kalau kita berbincang-bincang sebentar? Kita
berbincang-bincang untuk mendiskusikan masalah yang ibu alami.
Kira-kira 15 menit saja Bu, bagaimana? Dimana sebaiknya kita
berbincang-bincang, Bu? Bagaimana kalau di taman? Baiklah kita akan
berbincang-bincang selama 15 menit ke depan di taman saja ya bu”
b) Fase Kerja
 “Ibu, coba ibu ceritakan kepada saya apa yang ibu rasakan saat ini “ “
iya bu, saya mengerti apa yang ibu rasakan, sabar ya bu”
 “coba sekarang ibu berpikir kembali jika ibu pulang ke rumah ibu tidak
akan bertemu dengan anak ibu karena ia memang sudah meninggal dan
itu sudah menjadi kehendak Tuhan”
 “ibu, hidup dan matinya seseorang itu sudah diatur oleh yang maha
kuasa “
 “ tidak ada satupun yang mau orang yangdisayanginya dipanggil yang
Maha Kuasa dan tidak ada yang bisa mngetehauinya kapan hal tersebut
terjadi”
 “Ibu tidak perlu cemas, ibu masih punya keluarga yang bersedia
mendukung dan membantu ibu dan saya juga yakin ibu pasti memiliki
22

keahlian yang bisa ibu manfaatkan untuk menunjang kehidupan ibu “


“apakah ibu bisa memahaminya?”
 “Bagaimana kalo sekarang saya mencoba membantu ibu untuk
mengatasi rasa cemas yang ibu alami? Caranya dengan melakukan
teknik relaksasi, ibu bisa melakukan tarik napas dalam, tahan sebentar,
dan hembuskan perlahan-lahan melalui mulut”
 “Coba ibu sekarang lakukan sendiri” “ iya bu, bagus sekali, benar
seperti itu”
c) Fase terminasi
 Evaluasi ( subjektif)
“Bagaimana perasaan ibu sekarang? Apakah ibu sudah menyadari apa
yang sebenarnya terjadi pada ibu?”
 Evaluasi (objektif)
“Coba ibu sebutkan kembali, apa yang harus ibu lakukan jika ibu
sedang dalam perasaan cemas”
 Rencana tindak lanjut
“Iya bu betul sekali, ibu melakukan teknik relaksasi menarik napas
dalam jika ibu sedang dalam kondisi cemas”
 Kontrak yang akan datang
“Ya bu karena sudah 15 menit kita berdiskusi, saya akhiri diskusi kali
ini ya bu, besok pagi setelah makan pagi jam 9, saya akan kembali ke
ruangan ibu untuk mendiskusikan tentang hobi ibu” “dimana ibu bisa
melakukan diskusi dengan saya, bu? baiklah kita akan berdiskusi di
taman saja ya? apakah 20 menit cukup bu? baiklah kalau begitu, besok
kita akan berdiskusi selama 20 menit di taman ya bu “ sekarang saya
pamit dulu ya bu, selamat pagi”

Pertemuan ke-2
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Klien sudah tampak lebih bersemangat dari sebelumnya, klien sudah tidak
terlihat diam dan melamun tetapi klien masih terlihat enggan untuk
berbicara dengan orang lain dan tampak menarik diri”
2. Diagnosa keperawatan:
Isolasi sosial berhubungan dengan koping individu tidak efektif terhadap
respon kehilangan pasangan
3. Tujuan khusus
Klien tidak lagi menarik diri dan bisa berinteraksi dengan orang disekitar
4. Tindakan keperawatan
23

 Libatkan klien dalam setiap aktivitas kelompok, terutama aktivitas yang


ia sukai
 Berikan klien pujian setiap kali klien melakukan kegiatan dengan benar

B. Strategi pelaksanaan
1. Fase orientasi
 Salam terapeutik: “Selamat pagi bu M.” “ masih kenal dengan saya bu ? “ “
iya saya perawat pipt”
 Evaluasi validasi: “Bagaimana perasaan Ibu pagi ini? Apakah sudah lebih
baik dari kemarin?”
 Kontrak: “Baiklah bu, sesuai janji kita kemarin, hari ini kita akan
berbincang sebentar sambil berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit,
apakah ibu siap?. Seperti janji kita kemarin,kita akan melakukannya selama
20 menit ya , bu.

2. Fase kerja
“Baik bu M, saya senang sekali melihat ibu hari ini sudah mulai semangat,
begitupun yang saya liat pada anak ibu, anak ibu sangat bahagia melihat ibu
mulai semangat. Hari ini kita akan berbincang tentang hal yang ibu sukai, oh
iya bu kalau boleh saya tahu hobi ibu apa saja ? Boleh tahu tidak bu kapan saja
ibu meluangkan waktu untuk menjahit?.Cukup sering ya bu “ “bolehkah saya
melihat hasil jahitan ibu ?”. Wah kerudung hasil jahitan ibu bagus sekali
mungkin ibu bisa memulai usaha menjahit, contohnya ibu bisa buat kerudung
seperti ini kemudian dijual kepada orang sekitar sehingga bisa menghasilkan
uang, jadi ibu tidak perlu cemas untuk membiayai uang sekolah anak ibu dan
kehidupan ibu juga.”
“ dirumah sakit ini juga ada pasien yang suka menjahit bu. Bagaimana kalau
sekarang saya ajak ibu untuk bertemu dengan beliau , agar ibu bisa bertukar
pikiran seputar hobi itu “
“ ibu S, perkenalkan ini ibu M” “ beliau mahir sekali menjahit , bu dan hasil
jahitannya pun bagus “ “ coba ibu M tunjukan hasil jahitan ibu kepada ibu S ”
“ coba bu M tunjukan kepada kami cara menjahit kerudung yang baik dan
menghasilnya kerudung yang cantik seperti yang ibu punya” “ wah ibu hebat
sekali ya , ibu sangat mahir dan rapi sekali dalam menjahit”
24

“ nah, sekarang silahkan ibu-ibu saling berbagi dan berdiskusi seputar cara-
cara dan teknik menjahit yang baik dan benar” “ wah ibu sudah mulai tampak
akrab ya dengan ibu S “ “ nah , bu disaat ibu sedang merasakan kesepian ibu
bisa berdiskusi atau melakukan kegiatan bersama dengan ibu S agar ibu tidak
bersedih jika mengingat akan anak ibu”
3. Fase terminasi
 Evaluasi
(subjektif) : “Bagaimana perasaan ibu sekarang , apakah jauh lebih baik dari
kemarin?”
(objektif): “Kalau begitu, coba ibu sebutkan manfaat apa saja yang ibu
dapatkan jika ibu melakukan hobi ibu” “ iya bu betul, Bagus
sekali, sepertinya Ibu sudah paham.”
 Tindak lanjut: “Baiklah Bu M, jika ibu merasakan kesepian ibu bisa
melakukan hobi ibu yaitu menjahit atau ibu bisa berkumpul dengan ibu-ibu
lain yang memiliki hobi sama dengan ibu”
 Kontrak: “Saya rasa pembicaraan kita sudah cukup. Seperti hari ini, besok
jam 9 pagi saya akan datang kembali ke ruangan ibu untuk mengajak ibu
menjual hasil jahitan ibu ke perawat dirumah sakit ini” “ saya pamit dulu ya
bu, selamat pagi”
25

BAB 5
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
26

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


Jakarta : EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan pada Gangguan
Jiwa. Yogyakarta : Momedia.
Perry and Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Stuart and Sudden. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada
Perawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai