Anda di halaman 1dari 14

Resume Buku Ekonomi Islam Madzhab Hamfara Dwi Condro Triono, Ph.

Ditulis Oleh Unknown Pada 17:22 3 Komentar

BAB 5
MEMBANGUN ILMU EKONOMI ISLAM
DARI SISTEM EKONOMI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Membangun ilmu ekonomi islam itu harus dari sistem ekonomi Islam yang murni, bukan
dari proses islamisasi ilmu ekonomi konvensional. Dengan demikian yang harus kita pikirkan
adalah bagaimana menciptakan tata perekonomian yang benar-benar sesuai dengan tuntutan
Islam tanpa memandang kerangka tatanan ekonomi kapitalisme.

B. ILMU EKONOMI ISLAM YANG LAHIR DARI SISTEM EKONOMI ISLAM


Ilmu ekonomi Islam itu hanya bisa dilahirkan dari sistem ekonomi Islam yang berasal
dari proses penarikan pemahaman (istinbathul ahkam) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sistem
ekonomi adalah segala hal yang berkaitan dengan pandangan, keyakinan, kepercayaan ataupun
ideologi tertentu terhadap alokasi berbagai sumber daya ekonomi yang ada di bumi ini, baik itu
menyangkut kepemilikan, penguasaan, maupun pemanfaatannya. Dengan demikian sistem
ekonomi Islam adalah segenap pandangan atau keyakinan yang bersumber dari Islam, yaitu Al-
Qur’an dan As-Sunnah terhadap alokasi berbagai sumber daya ekonomi yang ada di bumi ini.
Jika sistem ekonomi Islam tersebut diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat maka
akan menghasilkan sebuah tata perekonomian Islam. Tatanan tersebut tentunya berbeda dengan
tatanan yang dibentuk oleh sistem ekonomi yang lain.

C. TERBENTUKNYA ILMU EKONOMI ISLAM


Terbentuknya ilmu ekonomi Islam dari sistem ekonomi Islam adalah proses teoritisasi
berbagai doktrin ekonomi yang berasal dari sistem ekonomi Islam yang utuh. Produk teoritisasi
tersebut selanjutnya disusun kembali dalam susunan yang lebih sistematis dengan menggunakan
bahasa yang biasa digunakan dalam ekonomi konvensional.
Sebagai gambaran proses teoritisasi, di sini akan dicontohkan pembahasan tentang bahan
bakar minyak (BBM). Sebagaimana diketahui bahwa BBM dalam kehidupan ekonomi sering
menimbulkan problem yang tak pernah berhenti, karena BBM dikonsumsi oleh mayoritas
masyarakat. Timbul pertanyaan, bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam terhadap BBM?
1. Pandangan Sistem Ekonomi Islam
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi tidaklah bebas
untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana pandangan sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam
sistem Ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi
dapat dikategorikan dalam 3 kelompok:
a. Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang
memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau
mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.
b. Kepemilikan umum, yaitu ijin asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan suatu benda.
Kepemilikan umum ini masih dibagi tiga, yaitu:
1) Barang kebutuhan umum. Barang ini jika tidak ada dalam suatu komunitas, maka akan
menyebabkan kesulitan hidup dan menyebabkan terjadinya persengketaan dalam mencarinya.
Contohnya adalah sumber-sumber air, padang gembalaan, kayu-kayu bakar, energi, minyak,
listrik, dsb.
2) Bahan tambang tak terbatas. Contohnya adalah emas, perak, tembaga, timah, nikel, besi, minyak
bumi, dsb. Barang tersebut diatur oleh Islam agar menjadi milik umum. Pengelolaannya
diserahkan pada negara dan hasilnya harus didistribusikan kepada rakyat.
3) Sumber daya alam yang sifat pembetukannya menghalangi untuk dimiliki individu. Contohnya
adalah benda-benda yang mencakup kemanfaatan umum, seperti jalan, sungai, laut, tanah-tanah
umum, teluk, selat, dsb. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah masjid, sekolah milik negara,
rumah sakit negara, lapangan, tempat penampungan, dsb.
c. Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik
individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.
Dari pembagian kepemilikan umum di atas, dapat diketahui bahwa BBM adalah
kepemilikan umum yang termasuk kategori barang kebutuhan umum, yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk kepentingan hidupnya. Jika barang ini tidak ada maka
akan menyebabkan terjadinya persengketaan dalam mencarinya.
Dalil tentang barang yang menjadi kebutuhan umum ini adalah sabda Rasulullah Saw:
‫ فى الماء والكالء والنار‬: ‫الناس شركاء فى الثالث‬
Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput dan api
(BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).
2. Pengelolaan BBM dalam Sistem Ekonomi Islam
Yang menjadi pertanyaan adalah, jika BBM termasuk kepemilikan umum, siapa yang
harus mengelolanya? Jawaban menurut perspektif sistem ekonomi Islam adalah negara. Tugas
negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh
sumber daya energi itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya. Negara larang
untuk mengambil keuntungan dari harga yang diambil dengan menjual komoditas tersebut.
Demikian juga apabila negara memberi ruang atau kesempatan bagi pihak swasta untuk
mengelola komoditas tersebut maka dapat dikategorikan sebagai pengabaian amanah rakyat.
3. Teoritisasi Sistem Ekonomi Islam
Dengan menggunakan ilmu alat yang berasal dari teori ekonomi mikro konvensional,
dapat dipahami bahwa setiap komoditas yang banyak dibutuhkan manusia dapat dikategorikan
sebagai komoditas yang bersifat inelastis. Maknanya adalah seberapapun harga yang berlaku
terhadap komoditas ini, maka masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relatif
sama.
Pendekatan ilmiah dengan menggunakan bantuan ilmu ekonomi konvensional hanyalah
sebagai alat bantu pemahaman, bukan sebagai faktor penentu tindakan atau pengambilan
kebijakan ekonomi, karena dalam sistem ekonomi Islam, pengambilan kebijakan ekonomi
sandarannya tetaplah pada adanya perintah dan larangan dari Allah Swt, bukan karena melihat
adanya kemanfaatan dan kemudharatan yang secara ilmiah mampu ditunjukkan. Kemanfaatan
dan kemudharatan boleh dijadikan sandaran tindakan apabila status hukum dari tindakan tersebut
adalah mubah, bukan wajib, haram atau sunnah dan makruh.
BAB 12
PROBLEMA DASAR
SISTEM EKONOMI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Problema dasar ekonomi dalam ilmu ekonomi konvensional adalah kelangkaan,
sedangkan menurut pandangan sistem ekonomi Islam adalah problem distribusi.
B. KELANGKAAN BUKANLAH PROBLEMA DASAR EKONOMI ISLAM
Di dalam kedua sistem ekonomi konvensional tesebut, sumber-sumber konsepnya
semuanya berasal dari akal manusia, terutama akal dari para pakar ekonomi yang menjadi
peletak dasar dari bangunan sistem ekonomi tersebut.
Sistem ekonomi Islam diturunkan tidak untuk menyelesaikan problem kelangkaan
tersebut. Problem produksi solusinya cukup diserahkan pada akal manusia. Firman Allah dalam
Al-Qur’an:
‫هو الذي خلق لكم ما فى األرض جميعا‬
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29).
Ayat di atas menggunakan bentuk kalimat yang masih bersifat umum. Artinya, dalam
ayat di atas belum ada bentuk rincian dari Allah tentang bagaimana tata cara pemanfaatan isi
bumi ini. Dalam kaidah syara’ disebutkan:
‫دليل العام يبقى فى عمومه ما لم يرد دليل التخصيص‬
“Dalil yang umum akan tetap berada pada keumumannya, selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya”.
Jika Allah tidak memberi ayat tambahan yang memberikan rincian tentang tata cara
pemanfaatan isi bumi ini, termasuk cara-cara untuk memproduksinya, maka dalil di atas akan
tetap berlaku pada keumumannya. Berarti hukumnya adalah mubah bagi manusia dalam
memanfaatkan isi bumi ini. Maknanya adalah semuanya diserahkan pada akal manusia. Allah
Swt Maha Tahu, bahwa akal manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan itu, karena
Allah-lah pencipta akal manusia itu.
C. PROBLEMA DASAR EKONOMI ISLAM
Menurut pandangan Islam, problem ekonomi yang mendasar bukanlah kelangkaan atau
keterbatasan sumber daya alam seperti yang diyakini oleh ahli ekonomi konvensional. Oleh
karena itu persoalan apa, bagaimana dan untuk siapa produksi barang dan jasa tidak dianggap
lagi sebagai masalah mendasar dalam pandangan Islam. Jadi dapat dikatakan kelangkaan
merupakan problem sampingan atau sekunder.
Masalah produksi sesungguhnya adalah masalah yang mudah untuk diselesaikan
manusia, karena dengan adanya kemajuan teknologi problem produksi hampir tidak ada. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa barang dan jasa saat ini sudah mampu diproduksi secara
melimpah ruah oleh manusia. Menurut pandangan sistem ekonomi Islam, problem yang
mendasar adalah bagaimana barang dan jasa yang sudah bisa diproduksi secara melimpah ruah
tersebut harus beredar di tengah-tengah manusia? Dengan kata lain, problem ekonomi yang
mendasar adalah problem yang menyangkut distribusi.
Selain problem distribusi tersebut, ada juga problem yang paling fundamental dalam
bidang ekonomi yaitu problem dalam proses transaksi, karena aktivitas ekonomi yang paling
besar justru didominasi oleh transaksi barang dan jasa di tengah-tengah manusia. Transaksi itu
dapat berupa jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam meminjam, hutang piutang,
memberi dan meminta, dsb.
D. MAMPUKAH AKAL MANUSIA MENYELESAIKANNYA?
Menurut ekonomi kapitalisme, problem produksi, konsumsi, distribusi akan mampu
diselesaikan oleh mekanisme pasar bebas. Tetapi menurut pandangan Islam, apakah problem
distribusi dapat diselesaikan dengan akal manusia? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
perlu kiranya dimulai dengan ilustrasi sebagai berikut.
Kita tentu sepakat bahwa membagi warisan harus dilakukan secara adil. Namun,
bagaimana membagi warisan yang adil itu? Jika kita tanyakan kepada seluruh ahli waris tentang
bagaimana membagi warisan yang adil, maka mereka mungkin tidak akan satu suara. Ada yang
usul dibagi secara merata sesuai jumlah ahli warisnya. Sebagian lain usul pembagian dibedakan
dengan besar kecilnya umur ahli waris. Ada yang usul dilihat dari kedekatan hubungan dengan
pewarisnya, atau disesuaikan dengan jenis kelaminnya. Semuanya itu ada argumennya masing-
masing yang memperkuat usulan ahli waris.
Kesimpulannya adalah, jika adil itu diserahkan pada akal manusia maka hasilnya adalah
relatif. Tidak ada adil yang bersifat pasti bagi manusia. Jika adil diserahkan manusia, justru
menimbulkan perpecahan, percekcokan yang tidak akan pernah selesai.
Dari titik inilah dapat ditarik kesimpulan besar bahwa untuk menyelesaikan problem
distribusi, ternyata tidak dapat diserahkan pada akal manusia.
E. KEADILAN SISTEM EKONOMI
Menurut sistem ekonomi kapitalisme, yang dimaksud dengan adil adalah keadilan yang
proporsional. Sistem ekonomi kapitalisme memandang bahwa alokasi sumber daya alam yang
ada di seluruh bumi ini dikatakan adil apabila diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Di dalam
mekanisme pasar bebas, pihak-pihak yang mempunyai kecakapan, kepandaian, kemampuan yang
lebih, kemudian dia berupaya keras untuk mendapatkan sesuatu yang telah disediakan alam ini,
kemudian dia memperolah bagian yang lebih banyak, maka hal itu dapat dianggap adil.
Termasuk juga, apabila ada pihak yang malas, bodoh, lemah, tidak mampu bekerja,
kemudian dia memperoleh bagian yang lebih sedikit, maka hal itu juga akan tetap dianggap adil.
Menurut sistem ekonomi sosialisme, dikatakan adil apabila tidak ada satu individu atau
pihak swasta manapun yang memiliki hak untuk menguasai sumber daya alam tertentu.
Semuanya harus dikuasai oleh negara, kemudian negaralah yang akan membaginya secara adil
kepada seluruh rakyatnya. Jika kita setuju, maka kita tidak perlu protes jika semua pihak akan
mendapatkan bagian yang sama, sama rata, sama rasa. Tidak peduli apakah dia adalah orang
yang lebih cerdas, lebih pandai, bahkan mampu bekerja keras akan mendapatkan bagian yang
sama seperti pihak yang lebih bodoh, lebih malas dalam bekerja.
F. PANDANGAN AL-QUR’AN
Untuk menyelesaikan problem distribusi, manusia benar-benar membutuhkan kekuatan
yang berasal dari luar akal manusia. Dari sinilah kita dapat memahami peran yang mendasar dari
kehadiran sistem ekonomi Islam, sebuah sistem ekonomi yang bukan berasal dari akal manusia.
Penegasan dari pernyataan di atas dapat dilihat dalam QS Al Baqarah: 213, yang isinya
adalah sebagai berikut:
‫كان الناس أمة واحدة فبعث هللا النبيين مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتب بالحق ليحكم بين الناس‬
‫فيما اختلفوا فيه وما اختلف فيه‬
“Manusia itu (dahulunya) adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang (senantiasa)
mereka perselisihkan” (QS Al Baqarah: 213).
Dari ayat di atas kita mendapatkan sebuah pemahaman bahwa walaupun dahulunya
manusia itu umat yang satu, tidak ada jaminan bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya
akan rukun dan damai secara terus menerus. Pasti akan timbul perselisihan, karena pendapat di
setiap kepala manusia senantiasa berbeda-beda, selalu relatif.
Menurut Allah dalam ayat di atas, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang
senantiasa muncul, Allah akan mengutus para nabi. Apakah akan cukup dengan nabi saja?
Ternyata tidak. Allah juga menurunkan Al-Kitab.
Dari uraian di atas, kesimpulannya adalah jika problem distribusi adalah problem
ekonomi yang paling mendasar dari manusia, maka solusinya adalah harus ada pengaturan yang
adil terhadap distribusi barang dan jasa di tengah-tengah manusia. Pengaturan itu tidak berasal
dari akal manusia, melainkan harus berasal dari luar manusia, yaitu dari Allah melalui
diturunkannya sistem ekonomi Islam.
Bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam hanya akan
menyelesaikan problem distribusi barang dan jasa secara adil, bukan problem banyak sedikitnya
barang dan jasa? Untuk dapat memahaminya, kita dapat mengambil contoh-contoh dari beberapa
ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah ekonomi.
Contoh pertama dari QS Al Baqarah: 275
‫وأحل هللا البيع وحرم الربوا‬
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat di atas adalah ayat yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi antar manusia. Ketika
Allah menyatakan bahwa jual beli adalah halal dan riba adalah haram, maka obyek yang dituju
oleh ayat tersebut adalah aktivitas/perbuatan manusia dengan manusia lain yang berhubungan
dengan perpindahan (distribusi) barang dan uang, bukan berhubungan dengan banyak sedikitnya
(kuantitas) barang yang diperjualbelikan atau uang yang diutang-piutangkan.
Ayat berikutnya yang dapat kita jadikan rujukan pemahaman adalah QS Al Insan: 2-4
‫إنا خلقنا اإلنسن من نطفة أمشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا ٭ إنا هدينه السبيل إما شاكرا وإما كفورا٭ إنا‬
‫أعتدنا للكفرين سلسال وأغلال وسعيرا٭‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar
dan melihat”. (QS Al Insan: 2).
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula
yang kafir”. (QS Al Insan: 3).
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang
menyala-nyala”. (QS Al Insan: 4).
Dalam ayat yang pertama di atas, Allah memberitahukan bahwa tujuan utama Allah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur adalah dalam rangka untuk diuji. Tak
lain adalah diuji dengan perintah dan larangan.
Allah telah menurunkan petunjuk jalan yang lurus agar manusia bisa tahu bahwa dirinya
itu tidak menyimpang dari perintah dan larangan Allah. Selanjutnya Allah juga memberi predikat
bagi yang mau mengikuti petunjuk, akan disebut sebagai manusia yang bersyukur, sedangkan
yang tidak mau mengikuti petunjuk akan disebut sebagai manusia yang kufur.
Dengan demikian, mengikuti petunjuk Allah itu merupakan kewajiban. Sistem ekonomi
Islam termasuk bagian dari petunjuk jalan yang lurus tersebut.
BAB 13
SOLUSI TERHADAP PROBLEMA DASAR EKONOMI
A. PENDAHULUAN
Solusi dari problem distribusi kekayaan menurut pandangan sistem ekonomi Islam yaitu
dengan pengaturan interaksi manusia dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasanya, bukan
menggunakan mekanisme pasar bebas.
B. KEDUDUKAN PROBLEM DISTRIBUSI DALAM AL-QUR’AN
Fokus utama yang dituju oleh Al Quran adalah perbuatan manusia. Seluruh perbuatan
manusia kehidupan ini secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 dimensi:
1. Perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya
2. Perbuatan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri
3. Perbuatan manusia dalam interaksinya dengan manusia lain
Dalam dimensi ketiga ini secara garis besar dapat dipilah-pilah lagi menjadi beberapa
kelompok problema:
a. Problema pemerintahan
b. Problema ekonomi
c. Problema sosial
Berdasarkan skema 3 dimensi di atas, ternyata problema distribusi masuk kelompok
dimensi yang ketiga, yaitu problem yang muncul akibat interaksi manusia dengan manusia yang
lain, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya terhadap barang dan jasa.
C. SOLUSI PROBLEM DISTRIBUSI
Problem distribusi ini disebabkan oleh adanya problem interaksi. Maka untuk
memecahkan problem distribusi harus dipecahkan dulu problem interaksinya.
D. PROBLEM INTERAKSI DALAM BIDANG EKONOMI
Fokus utama adalah mencari problem interaksinya, kemudian menunjukkan bahwa
solusinya adalah dengan aturan, yaitu boleh atau tidak boleh, halal atau haram.
Problem interaksi antar manusia yang telah diketemukan oleh pakar ekonomi
konvensional adalah kebolehan untuk memperjualbelikan mata uang rupiah dengan mata uang
asing secara bebas.
Oleh karena itu yang menjadi pokok pembahasan dari problem ini adalah memberikan
aturan terhadap interaksi antara manusia yang terkait dengan kebutuhan untuk memperoleh mata
uang asing dan sebaliknya. Aturan tersebut intinya hanya dua, boleh dan tidak boleh atau halal
dan haram.
E. ATURAN ISLAM DAN HUKUM SYARI’AT ISLAM
Aturan yang digunakan dalam masyarakat dalam konteks sosiologi akan mempunyai dua
kemungkinan:
1. Aturan tersebut akan menjadi etika atau norma
2. Aturan tersebut akan menjadi hukum
Perbedaan antara etika dan hukum hanya satu, yaitu ada sangsi atau tidak.
Seluruh cakupan hukum syariat Islam wajib diterapkan secara menyeluruh sebagai hukum,
bukan hanya sebagai etika atau norma. Insya Allah, Islam sebagai rahmat bagi alam semesta
akan benar-benar terwujud dalam kehidupan yang nyata. Amin.
BAB 14
METODOLOGI UNTUK MEMPEROLEH SOLUSI
A. PENDAHULUAN
Al-Quran dan As-Sunnah tidak diturunkan dalam bentuk “jadi” dan siap untuknlangsung
diaplikasikan. Faktanya, Al-Quran dan As-Sunnah itu diturunkan dalam bentuk yang masih
berwujud sebagai “bahan-bahan mentah”, yang perlu untuk diolah lagi dengan menggunakan
cara atau metode tertentu agar dapat menjadi suatu wujud yang siap untuk disajikan.
Metodologi untuk mendapatkan solusi yang akan dibahas dalam bab ini ada dua, yaitu:
metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif adalah metode untuk menarik hukum
syariat dari seruan (khitab) yang berasal dari nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah secara
langsung, untuk kemudian dijadikan sebagai solusi terhadap problem yang terjadi di lapangan.
Sedangkan metode induktif adalah metode yang berangkat dari fakta problem yang sudah terjadi
di lapangan untuk dicarikan status hukum syariatnya, yang sesuai dengan nash-nash Al-Quran
dan As-Sunnah, sehingga dapat dijadikan sebagai solusi terhadap problem yang terjadi di
lapangan tersebut.
B. METODE DEDUKTIF
Definisi tentang hukum syariat Islam adalah
‫الحكم الشرعي هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد‬
“Hukum syariat adalah seruan dari Pembuat Hukum yang mengikat perbuatan hamba”.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa syarat pertama nash-nash Al-Quran dan As-
Sunnah itu dapat menjadi hukum syariat adalah harus mengandung khitab atau seruan/tuntutan.
Khitab yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya dapat dibagi menjadi 2, yaitu: perintah dan
larangan. Tidak semua perintah Allah dan Rasul-Nya itu bersifat jazm atau tegas/pasti, ada juga
yang bersifat ghairu jazm atau tidak tegas/tidak pasti.
Cara untuk mengetahui mana khitab Allah dan Rasul-Nya yang bersifat jazm atau ghairu
jazm adalah dengan mencari qorinahnya atau indikasi-indikasi/penjelasan-penjelasan yang dapat
menunjukkan sifat khitab tersebut.
Untuk dapat menarik hukum syariat dengan menggunakan metode deduktif diperlukan
ilmu-ilmu tambahan, khususnya untuk memahami khitab Allah dan Rasul-Nya. Ilmu-ilmu
tersebut di antaranya:
1. Bahasa Arab dengan berbagai turunannya
2. Ulumul Quran
3. Ulumul Hadits
4. Tafsir
5. Ushul Fiqh
C. METODE INDUKTIF
Untuk menarik hukum syariat dengan metode induktif ada 3 langkah yang harus
dilakukan, yaitu:
1. Memahami fakta (fahmul waqi’)
2. Memahami nash (fahmun nushus)
3. Penarikan hukum (istinbathul ahkam)
BAB 15
SISTEM EKONOMI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Ada 3 pilar ekonomi Islam yang akan ditunjukkan dalam sub-bab ini, yaitu: kepemilikan,
pemanfaatan kepemilikan dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia.
B. PANDANGAN DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Aqidah islamiyah memiliki pandangan bahwa manusia, alam dan kehidupan ini adalah
ciptaan Allah. Kehidupan di dunia hanyalah dipandang sebagai sarana untuk menuju kehidupan
yang lebih hakiki dan kekal di akhirat. Bila manusia menginginkan kebahagiaan yang abadi di
akhirat, maka ia harus menjalani kehidupannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Demikian halnya dengan pengaturan ekonomi.
C. PILAR-PILAR SISTEM EKONOMI ISLAM
Pilar-pilar ekonomi Islam secara garis besar ada 3, yaitu:
1. Kepemilikan (al-milkiyah)
2. Pemanfaatan kepemilikan (at-tasharruf fil-milkiyah)
3. Distribusi harta kekayaan di tengah manusia (tauzi’u tsarwah baynan-nas)
BAB 16
KEPEMILIKAN (AL-MILKIYAH)
A. PENDAHULUAN
Kepemilikan harta menurut pandangan ekonomi Islam dibagi 3, yaitu: kepemilikan
individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara
B. KEPEMILIKAN INDIVIDU (MILKIYAH FARDIYAH)
1. Sebab-sebab kepemilikan individu
adalah sebab yang menjadikan seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak
menjadi hak miliknya, yaitu:
a. Bekerja
Bentuk-bentuk kerja tertentu yang dapat dijadikan sebab kepemilikan, yaitu:
1) Menghidupkan tanah mati
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh satu
seorangpun. Menghidupkan tanah yang mati adalah mengolahnya dan menanaminya, baik
dengan tanaman maupun mendirikan bangunan di atasnya.
2) Menggali kandungan bumi
Ketentuan Islam dalam membolehkan menggali kandungan bumi adalah yang masih
dalam kategori jumlah yang terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang biasa dibutuhkan oleh
umum.
3) Berburu
Untuk buruan dapat dibagi menjadi dua, yaitu di darat dan di laut.
4) Samsarah (makelar)
Simsar (makelar) adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk
keperluan menjual maupun membeli sesuatu.
5) Mudharabah
Mudharabah adalah perseroan antara dua orang atau lebih dalam suatu perdagangan
(usaha), satu pihak sebagai pemodal dan pihak lain sebagai pekerja. Dengan kata lain,
mudharabah adalah meleburnya tenaga dan harta.
6) Musaqah
Musaqah adalah pembayaran dari hasil panen pohon milik seseorang kepada orang lain
yang telah menyirami (merawat) pepohonannya.
7) Ijarah
Ijarah adalah pemilikan jasa dari seseorang ajir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh
musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Dengan kata lain, ijarah adalah transaksi jasa tertentu
yang disertai dengan kompensasi (upah).
b. Waris
Penetapan waris didasarkan pada nash Al-Quran yang qat’i, bersifat tauqifi dan tidak
disertai dengan illat.
c. Kebutuhan harta untuk menyambung hidup
Apabila negara melalaikan kewajibannya, dan tidak ada yang mengoreksinya, maka
Islam memberikan ketentuan dengan dibolehkannya seseorang mengambil apa saja sebatas untuk
menyambung hidupnya, di manapun dia temukan, baik milik pribadi maupun milik negara.
d. Pemberian harta negara kepada rakyat
1) Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga
Di antaranya adalah: hadiah, hibah, wasiat, mahar, diyat, luqatah (barang temuan)
maupun santunan dari negara.
C. KEPEMILIKAN UMUM (MILKIYAH ‘AMAH)
Kepemilikan umum menurut pandangan sistem ekonomi Islam dapat dibagi menjadi 3,
yaitu:
1. Barang kebutuhan umum
Adalah segala barang atau harta yang masuk kategori fasilitas umum, yang jika tidak ada
dalam suatu negeri atau dalam suatu komunitas tertentu, maka akan menimbulkan sengketa
dalam mencarinya. Dengan kata lain, adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan
manusia secara umum, seperti sumber-sumber air, padang gembalaan, kayu-kayu bakar, energi
listrik, dsb.
2. Barang tambang yang besar
Tambang-tambang yang besar seperti emas, perak, tembaga, timah, nikel, besi, minyak
bumi, dsb diatur oleh sistem ekonomi Islam agar menjadi milik umum. Pengelolaannya
diserahkan kepada negara dan hasilnya harus didistribusikan kepada rakyat.
3. Sumber daya alam, yang sifat pembetukannya menghalangi untuk dimiliki individu
Barang yang ketiga ini status kepemilikan umumnya ditinjau dari segi faktanya, bahwa
barang-barang ini adalah barang yang tidak mungkin dimiliki oleh individu. Contohnya adalah
jalan atau jembatan, laut, tanah-tanah umum, teluk, selat, masjid, sekolah milik negara, rumas
sakit milik negara, lapangan, tempat penampungan, dsb.
D. KEPEMILIKAN NEGARA (MILKIYAH DAULAH)
Harta milik negara adalah harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan
milik pribadi, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.
Di antara harta milik negara adalah:
1. Jizyah
Adalah hak yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir karena
ada ketundukan kepada pemerintah Islam. Harta ini akan dibagikan untuk kemaslahatan seluruh
rakyat dan wajib diambil setelah melewati satu tahun.
2. Ghanimah
Adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin dari kaum kuffar dengan
jalan perang (jihad).
3. Fai’
Adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin dari kaum kuffar tanpa
melalui peperangan (musuh melarikan diri).
4. Kharaj
Adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum
kuffar, baik dengan cara perang maupun damai.
5. Usyur
Adalah tanah jazirah Arab dan negeri-negeri yang penduduknya memeluk Islam tanpa
peperangan.
6. Khumus (seperlima) dari rikaz
Rikaz adalah harta yang diperoleh dari aktivitas menggali kandungan bumi.
Khumus adalah bagian harta yang wajib dikeluarkan sebagai zakat sebesar seperlima dari
harta yang ditemukan dari penggalian kandungan bumi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai