Anda di halaman 1dari 14

Resume Perpajakan Internasional Tax Avoidance

NAMA : Muhammad Ali Imron Ghozali

NPM : 1617104008

KELAS : 12 MAKSI B

MATA KULIAH : PERPAJAKAN

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat sendiri


ketentuan mengenai masalah perpajakannya, namun Indonesia juga tidak mungkin
lepas dari pergaulan internasional yang juga bersinggungan dengan masalah
pajak.
Transaksi antar kedua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau
seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara,
agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak
yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang
mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap
negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut.
Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana
setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional
yang sering disebut Konvensi Wina.
Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah
menandatangani Konvensi Wina, dan sebagai subjek hukum internasional,
Indonesia tidak bisa menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat
Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut.
Banyaknya masalah tax treaty yang terjadi dewasa ini membuat penulis tertarik
untuk membahas tentang Tax Treaty dan segala cara pencegahannya.

1
Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba
dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan membuat
keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang
menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus
direncanakan dengan baik.

Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan membuat


perencanaan pajak (tax planning). Secara sederhana tax planning adalah upaya-
upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalisir pajak terhutang. Tax
planning dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi
ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan
(unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance (penghindaran
pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax avoidance dilakukan dengan
cara-cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku, yaitu memanfaatkan
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan perpajakan. Sedangkan tax
evasion dilakukan dengan cara-cara yang bersifat illegal, yaitu melanggar
ketentuan perpajakan. Seringkali dalam praktik antara tax avoidance dan tax
avasion sulit untuk dibedakan. Walaupun secara legal tax avoidance dan tax
avasion dapat dibedakan, namun secara ekonomis baik perencanaan pajak melalui
tax avoidance maupun tax avasion sama-sama mengakibatkan berkurangnya
penerimaan pajak.

1. Pengertian Penghindaran Pajak

Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-


hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan
berkurangnya penerimaan kas negara. Perlawanan terhadap pajak terdiri dari
perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Dalam buku-buku perpajakan Indonesia,
penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal
(misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan
penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang
ilegal (misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan).

2
a. Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Penggelapan Pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian
dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar
(berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri
dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).
1. Pengertian Penggelapan Pajak
Pengertian Tax Evasion menurut Defiandry Taslim (2007), yaitu :
“Tax evasion (penggelapan pajak) yaitu usaha-usaha untuk memperkecil
jumlah pajak yang terutang atau menggeser beban pajak yang terutang
dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Tax evasion
merupakan pelanggaran dalam bidang perpajakan sehingga tidak boleh di
lakukan, karenapelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif
maupun sanksi pidana”.
Pengertian Tax Evasion menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu :
Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak
dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang
pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang
telah terutang menurut aturan perundang-undangan.
2. Indikator Penggelapan Pajak
Adapun yang menjadi indikator dari Penggelapan Pajak menurut M Zain
(2008:51), yaitu :
1. Tidak menyampaikan SPT.
2. Menyampaikan SPT dengan tidak benar.
3. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau
Pengukuhan
PKP.
4. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong.
5. Berusaha menyuap fiskus.

3
3. Penyebab Penggelapan Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:149) yang menyebabkan terjadinya tax
evasion yaitu :
1. Kondisi lingkungan
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari
manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung
satu sama
lain. Hampir tidak ditemukan manusia di dunia ini yang hidupnya hanya
bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan orang lain,
begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat lingkungan
sekitar yang seharusnya mematuhi aturan perpajakan. Mereka saling
mengamati terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi
lingkungannya baik (taat aturan), masing-masing individu akan
termotivasi untuk mematuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan sekitar
kerap melanggar peraturan. Masyarakat menjadi saling meniru untuk tidak
mematuhi peraturan karena dengan membayar pajak, mereka merasa rugi
telah membayarnya sementara yang lain tidak.
2. Pelayanan fiskus yang mengecewakan
Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan
dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. Hal
tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa dirinya telah
memberikan kontribusi pada negara dengan membayar pajak. Jika
pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya
merasa telah diapresiasi oleh fiskus. Mereka menganggap bahwa
kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar dengan pelayanan
yang ramah saja. Tapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan
penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk
membayar pajak kembali.
3. Tingginya tarif pajak

4
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal
pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat
tidak terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih
ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap
aturan perpajakan
karena harta yang berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan
pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha untuk
terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya. Wajib pajak ingin
mengamankan hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara karena
mereka tengah berusaha untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya.
Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh dengan kerja keras harus
hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi.
4. Sistem administrasi perpajakan yang buruk
Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam
proses pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang
bagus, pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu
banyak menemui hambatan yang berarti. Sistem yang baik akan
menciptakan manajemen pajak yang profesional, prosedur berlangsung
sistematis dan tidak semrawut. Ini membuat masyarakat menjadi terbantu
karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan transparan.
Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh dari harapan, mayarakat
menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanya-tanya
apakah pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik atau tidak.
Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu,
kemungkinan besar banyak wajib pajak yang benar-benar `lari` dari
kewajiban membayar pajak.

b. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)


Penghindaran Pajak (tax avoidance) merupakan tindakan legal, dapat
dibenarkan karena tidak melanggar undang-undang, dalam hal ini sama sekali
tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran pajak

5
adalah menekan atau meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.
Pengertian Penghindaran Pajak
Pengertian Tax Avoidance menurut Lyons Susan M dalam Erly Suandy (2008:7),
yaitu:
“Tax Avoidance is a term used to describe the legal arrangements of tax fair’s
affairs so as to reduce his tax liability. It’s often to pejorative overtones, for
example it is use to describe avoidance achieved by artificial arrengements of
personal or bussiness affair to take advantage of loopholes, ambiguities,
anomalies or other deficiencies of tax law. Legislation designed to counter
avoidance has become more commonplace and often involves highly complex
provision”.
1. Indikator Penghindaran Pajak
Adapun yang menjadi indikator dari Penghindaran Pajak menurut Arnold
dan McIntyre (1995) dilakukan dengan 3 cara, yaitu :
A. Menahan Diri

Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak


melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh :
·Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau
·Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar
terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.

Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan
menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan
merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang
yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap
sebagai tindakan terpuji.

6
B. Pindah Lokasi

Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif


pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di
Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu
dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang
transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang
menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang
akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh.
Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha
yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka
cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif
pajaknya lebih rendah. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak
asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.

C. Penghindaran Pajak Secara Yuridis

Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan


yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan
memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah
yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.
Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura).
Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama
dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi
uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam
bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan
sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole)


yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar

7
oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal
disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang
semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang
‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak
menyalahi ketentuan yang berlaku.

Permasalahannya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut


Roy Rohatgi (2002: 342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan
menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax
avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan
(unacceptable tax avoidance).

Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai kegiatan


legal dan dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Suatu
penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak
mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose). Oleh
karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan
oleh perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai
ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J.
McIntyre, 2002:81). Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar
jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan
suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya
dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’.
Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak
rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar
pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan
sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar
diperlukan dalam hal ini. Mengingat pajak adalah beban –yang akan
mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya
semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan
berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak

8
harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan
perusahaan di kemudian hari. Penghindaran pajak dengan cara illegal
adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi
aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
 Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10
milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5
milyar misalnya.
 Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya
fiktif;

 Transaksi export fiktif,

 Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan

Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol
namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak.
Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara
memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari
membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang
legal.
D. Skema Penghindaran Pajak

Beberapa skema penggelapan pajak yang umumnya dilakukan oleh


perusahaan adalah:

1. Transfer Pricing
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan (transfer)
barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak dalam transaksi bisnis maupun finansial (Gunadi:1994).
Dalam konteks perpajakan transfer pricing digunakan untuk merekayasa
pembebanan harga suatu transaksi antara perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa dalam rangka meminimalkan beban pajak
yang terutang secara keseluruhan atas grup perusahaan. Dari sisi negara,

9
praktik transfer pricing dapat mengakibatkan distorsi penerimaan negara
dari sektor pajak.
Menurut Griffin dan Pustay, perusahaan multinasional berusaha untuk
memaksimalkan laba bersih setelah pajak dengan cara “they may
manipulate transfer prices to shift reported profits from high-tax countries
to law-tax countries”. Skema transfer pricing yang umumnya dilakukan
oleh perusahaan adalah:
a. Menggelembungkan inter company cost.
b. Membebankan biaya royalti atas pemakaian merek dagang milik induk
perusahaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
c. Memperbesar biaya bahan baku dan atau memperkecil penghasilan dari
penjualan barang.
d. Memperkecil omzet penjualan melalui transaksi maklon.
.
2. Pemanfaatan Tax Haven Country
Negara tax haven merupakan suatu lokasi yang menawarkan kewajiban
pajak yang rendah atau daerah yang tidak akan dikenakan pajak di mana
para pengusaha melakukan usaha. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Azzara (1999), “a tax haven is a location which offer a low-tax or no-tax
environment for which businessman can operate.”
Namun demikian, beberapa ahli perpajakan ada yang berpendapat bahwa
negara tax haven tidak dapat didefinisikan dengan jelas karena sifatnya
sangat relatif, yaitu tergantung pada ketentuan masing-masing negara.
Suatu negara dapat saja disebut sebagai tax haven oleh negara lain apabila
negara tersebut memberikan suatu insentif dalam kegiatan perekonomian
di suatu daerah tertentu dalam wilayah negara tersebut. Jadi, apakah suatu
negara akan diklasifikasikan sebagai negara tax haven atau tidak oleh
negara lain tergantung dari definisi negara tax haven yang diberikan oleh
negara lain tersebut.

10
Karena tidak ada definisi yang jelas, maka untuk menentukan bahwa suatu
negara sebagai tax haven dapat berdasarkan beberapa keriteria sebagai
berikut (Zain:2005):
 Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak maka
tarifnya sangat rendah.
 Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan atau rahasia bisnis
dan tidak akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada siapapun atau
negara manapun, walaupun hal itu dimungkinkan pengungkapannya
berdasarkan perjanjian internasional.
 Tersedia fasilitas alat komunikasi modern yang memungkinkan
komunikasi ke seluruh dunia tanpa ada hambatan apapun.
 Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito
yang berasal dari negara asing, baik perorangan maupun badan.
 Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven
merupakan pusat keuangan yang baik dan terjamin.
Para peneliti di bidang international taxation pada umumnya membagi negara
tax haven dalam empat kelompok (Darussalam, Danny dan Indrayagus:2007),
yaitu:
 Classical tax haven, yaitu negara yang tidak mengenakan pajak
penghasilan sama sekali atau menerapkan tarif pajak penghasilan yang
rendah (no-tax haven).
 Tax havens, yaitu negara yang menerapkan pembebasan pajak atas sumber
penghasilan yang diterima dari luar negeri (no tax on foreign source of
income).
 Special tax regimes, yaitu suatu negara yang memberikan fasilitas pajak
khusus bagi daerah-daerah tertentu di wilayah negaranya.
 Treaty tax havens, yaitu negara yang mempunyai treaty network yang
sangat baik serta menerapkan tarif pajak yang rendah untuk withholding
tax atas passive income.

11
3. Thin Capitalization
Thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman yang
melampui batas kejawaran. Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini
adalah pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau
pihak-pihak lain yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak
peminjam (Rohatgi:2002).
Pada umumnya bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman yang
bukan penduduk di negara peminjam dapat dijadikan pengurang pada
penghasilan kena pajak si peminjam, sedangkan dividen tidak dapat
dijadikan sebagai pengurang. Menurut Gunadi (1994), pemberian
pinjaman dalam skema thin capitalization dapat dilakukan melalui
beberapa cara sebagai berikut:
 Direct loan. Pinjaman diperoleh secara langsung dari investor (pemegang
saham). Dari pinjaman tersebut investor mendapatkan bunga yang
besarnya pada umumnya ditentukan oleh investor tersebut.
 Back to back loan. Investor menyerahkan dananya kepada mediator
sebagai pihak ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak perusahaan
dengan memberinya imbalan.
 Paralel loan. Investor luar negeri mencari mitra perusahaan Indonesia
yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor. Sebagai
imbalan atas pemberian pinjaman kepada anak perusahaan (Indonesia) di
negara investor, selanjutnya investor meminta kepada perusahaan
Indonesia untuk juga memberikan pinjaman kepada anak perusahaan milik
investor di Indonesia.

4. Treaty Shopping
Tax treaty dapat dijadikan objek untuk melakukan aktivitas penghindaran
pajak, meskipun tujuan dari tax treaty pada hakekatnya adalah untuk
mencegah penghindaran pajak. Skema treaty shopping dilakukan oleh
penduduk suatu negara yang tidak memiliki tax treaty mendirikan anak
perusahaan di negara yang memiliki tax treaty dan melakukan kegiatan

12
investasinya melalui anak perusahaan tersebut, sehingga investor dapat
menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya
yang tercantum dalam tax treaty.
Skema treaty shopping dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas
dalam tax treaty (treaty benefit). Padahal treaty benefit hanya boleh
dinikmati oleh residen (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang
mengikat perajanjian. Untuk dapat memanfaatkan treaty benefit harus
memenuhi dua syarat (Mansury:1999):
 Syarat formal (administrative requirement), yaitu pembuktian bahwa yang
bersangkutan adalah residen (penduduk) dari negara yang mengikat
perjanjian berupa Certificate of Residence yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang di negara treaty partner.
 Syarat material (substantive requirement), yaitu Wajib Pajak di negara
treaty partner memang benar-benar residen di negara partner tersebut,
bukan residen negara ketiga.

5. Controlled Foreign Corporation (CFC)


Penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara menunda pengakuan
penghasilan modal yang bersumber dari luar negeri (khususnya di negara
tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri. Skema CFC dilakukan
dengan mendirikan entitas di luar negeri dimana Wajib Pajak dalam negeri
(WPDN) memiliki pengendalian. Upaya WPDN untuk meminimalkan
jumlah pajak yang dibayar atas investasi yang dilakukan di luar negeri
adalah dengan menahan laba yang seharusnya dibagikan kepada para
pemegang sahamnya. Dengan memanfaatkan adanya hubungan istimewa
dan kepemilikan mayoritas saham, badan usaha di luar negeri tersebut
dapat dikendalikan sehingga dividen tidak dibagikan/ditangguhkan. Upaya
di atas akan semakin menguntungkan bagi perusahaan jika badan usaha di
luar negeri didirikan di negara tax haven atau low tax jurisdiction.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Darussalam, Danny Septriadi dan Indrayagus Slamet, “Abuse of Transfer


Pricing Melalui Tax Haven Countries”, Majalah Inside Tax, Ed. 1,
November 2007.
2. http://linda-akutansi.blogspot.com/2011/12/tax-planning.html

3. http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=3

14

Anda mungkin juga menyukai