Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembenihan ikan laut merupakan mata rantai pertama dari usaha pengembangan
budidaya ikan laut. Keberhasilan produksi benih ikan laut baik dari segi kuantitas maupun
kualitas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan penyediaan pakan dan manajemen pakan
untuk larva ikan laut secara tepat dan effisien.
Kualitas pakan yang baik merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya perikanan
karena dapat mempengaruhi secara langsung terhadap ketahanan dan perkembangan larva
ikan (Morizane, 1991). Persyaratan suatu organisme yang dapat digunakan sebagai jasad
pakan harus memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu tidak membahayakan kehidupan larva
(tidak berperan sebagai patogen maupun parasit), tidak mencemari lingkungan, dapat
dimakan oleh larva, memenuhi kandungan nutrisi larva yang dipelihara, serta mudah dicerna
dan diserap (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Peranan pakan alami dalam kegiatan budidaya perikanan, khususnya pada tahap
pemeliharaan larva adalah sebagai pakan awal bagi larva ikan. Selain kandungan nutrisinya
yang tinggi, penggunaan pakan alami sebagai pakan larva juga disebabkan ukurannya yang
relatif kecil, sehingga sesuai dengan bukaan mulut larva. Bukaan mulut larva ikan-ikan laut
berbeda satu sama lainnya. Hal ini menyebabkan perlunya pemilihan jenis pakan alami yang
tepat sebagai pakan larva. Salah satu pakan alami yang dapat digunakan sebagai pakan awal
larva adalah Rotifera. Lubzens (1985) menyatakan bahwa Rotifera tipe cocok untuk larva
yang ukuran mulutnya relative kecil (baru mulai makan).
Brachionus plicatilis merupakan organisme dari golongan zooplankton yang
mempunyai peran penting sebagai pakan hidup bagi berbagai jenis ikan yang
dibudidayakan. Menurut Sulkin dan Epifanio (1975) dalam Christiansen dan Yang (1976)
Brachionus plicalitis mampu memberikan kelangsungan hidup yang lebih tinggi pada larva
kepiting sampai fase zoea III dan secara nyata mempercepat proses molting ke fase zoea II.
Selanjutnya Ghufran (2007) mengemukakan bahwa Brachionus plicatilis merupakan pakan
yang baik untuk larva ikan.
Brachionus plicatilis atau rotifer digunakan secara luas sebagai pakan larva ikan
laut. Bahkan selama hampir empat periode terakhir Brachionus plicatilis digunakan sebagai
pakan awal dalam pemeliharaan larva ikan laut seperti pada kakap putih (Lates calcalifer),
belanak (Mugil cephalus) dan lain sebagainya (FAO, 1998 dalam Lubzens dan Zmora, 2003).
Keunggulan Brachionus plicalitis sebagai pakan adalah ukurannya kecil (150-220
µm) dan berenang lambat sehingga mudah dimangsa oleh larva (Rusdi, 1997), waktu kultur
yang relatif singkat dan mempunyai laju reproduksi yang tinggi (Giliberto and Mazzola
1981), berukuran kecil, berenang lambat sehingga mudah dimangsa oleh larva, mudah
dicerna, mudah dikembangbiakkan, mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi serta
dapat diperkaya dengan asam lemak dan antibiotik (Lubzenset al., 1989).
Sehubungan dengan banyaknya kebutuhan rotifer dan berbagai fungsi tersebut diatas,
maka teknik kultur rotifer perlu diproduksi dengan cara yang tepat dengan
mempertimbangkan kuantitas dan kualitas rotifer tersebut. Oleh karena itu pada praktek
ketrampilan lapangan (PKL) ini akan memberikan informasi dan gambaran dalam
keseluruhan kultur massal rotifer. Diharapkan dengan praktek ketrampilan lapangan (PKL)
ini dapat mengoptimalkan informasi mengenai gambaran teknik kultur rotifer dengan skala
massal.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam praktek
ketrampilan lapangan ini adalah bagaimana mahasiswa mampu mempelajari dan memberikan
gambaran teknis kultur rotifer pada skala massal di Balai Perikanan dan Budidaya Laut
(BPBL) Waiheru, Ambon.

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dari praktek ketrampilan lapangan (PKL) ini untuk mempelajari dan
memberikan gambaran teknik kultur rotifer pada skala massal di Balai Perikanan Budidaya
Laut (BPBL) Waiheru, Ambon serta dapat menunjang nilai mata kuliah praktek ketrampilan
lapangan (PKL).
Kemudian Manfaat dari praktek ketrampilan lapangan (PKL) ini adalah sebagai
berikut diharapkan agar dapat memberikan dan mengoptimalkan informasi dan gambaran
mengenai keseluruhan teknik kultur rotifer pada skala massal dan terampil dalam
mempraktikan keseluruhan teknik kultur rotifer pada skala massal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Rotifer

Rotifera berasal dari kata rota = roda dan fera = membawa. Kata “rotifer” berasal dari
bahasa latin artinya “roda-pembawa”, karena korona di sekitar mulut yang bergerak
menyerupai roda (meskipun organ tidak benar-benar memutar). pertama kali ditemukan oleh
John Harris tahun 1696 yang waktu itu dikenal dengan nama ‘bdelloid rotifer’ yaitu hewan
mirip cacing.Dari 1.700 spesies, kebanyakan hidup di air tawar,hanya 50 spesies di
laut,beberapa di hamparan lumut yang basah. Rotifera termasuk metazoan yang paling kecil
berukuran antara 40-2.500 mikron,rata-rata 200 mikron. Umumnya hidup bebas, soliter,
koloni, atau sessile. Beberapa jenis merupakan endoparasit pada insang crustacea, telur siput,
cacing tanah, dan dalam ganggang jenis Vaucheria dan Volvox. Biasanya transparan,
beberapa berwarna cerah seperti seperti merah atau coklat disebabkan warna saluran
pencernaan.
Dan bentuk lain yang dijelaskan oleh Anton van Leeuwenhoek pada tahun 1703.
Kebanyakan rotifera sekitar 0,1-0,5 mm panjang (walaupun ukuran mereka dapat berkisar
dari 50 pM menjadi lebih dari 2 mm), dan umum di air tawar lingkungan di seluruh dunia
dengan beberapa laut spesies, misalnya, orang-orang dari genus Synchaeta. Beberapa rotifera
berenang bebas dan benar-benar planktonik, bergerak lain dengan inchworming sepanjang
substrat, dan beberapa sessile, hidup di dalam tabung atau holdfasts gelatin yang melekat
pada substrat.
Rotifera adalah filum ukuran sedang,berbentuk bilateral simetris, hewan unsegmented
yang hidup terutama di air. Nama filum pertama kali digunakan oleh Cuvier pada tahun 1798,
mengacu pada akhir anterior bahwa dalam banyak spesies menyerupai roda berputar karena
mengalahkan berurutan silia nya. Rotifera telah ditemukan di setiap benua, menempati
beragam habitat, termasuk laut, payau dan air tawar, serta air yang melapisi lumut terestrial
dan partikel di tanah basah. Dalam danau rotifera sering mencapai kepadatan penduduk tinggi
(> 1000 individu per liter); dengan demikian, sebagai konsumen dari bakteri, alga dan
protista mereka secara ekologis penting dalam mentransfer energi ke tingkat trofik yang lebih
tinggi.
Rotifera adalah makanan yang baik untuk ikan muda, mereka tumbuh dalam jumlah
massal dalam budidaya komersial. Mereka juga berfungsi sebagai model untuk penelitian
tentang penuaan, dan sebagai biondikator untuk Ekotoksikologi. Rotifera berguna sebagai
Ekotoksikologi karena mereka sering memainkan peran kunci pada dinamika air tawar dan
ekosistem laut pesisir.

2.2 Klasifikasi Rotifer

Ciri khas yang merupakan dasar pemberian nama Rotatoria atau Rotifera adalah
terdapatnya suatu bangunan yang disebut korona. Korona ini bentuknya bulat dan berbulu-
bulu getar, yang memberikan gambaran seperti sebuah roda (Mujiman, 1998; Djarijah, 1995).
Brachionus plicatilis termasuk ke dalam filum Rotifera yang merupakan filum invertebrata.
Ada tiga kelas rotifer, yaitu kelompok yang menyerupai cacing dan bereproduksi secara
aseksual, dan Monogononta: kelas yang di dalamnya terdapat B. plicatilis, B. calyciflorus,
dan B. rubens. Brachionus plicatilis merupakan salah satu Rotifera yang diklasifikasikan
berdasarkan tingkat hirarkinya Edmonson (1963) sebagai berikut:

Kingdom : Rotifera

Kelas : Monogononta

Ordo : Ploima

Famili : Brachionidae

Sub Famili : Brachioninae

Genus : Brachionus

Spesies : B. plicatilis

Brachionus termasuk salah satu genus yang sangat populer diantara sekian banyak
jenis Rotifera. Genus ini terdiri dari 34 spesies (Dahril, 1996). Menurut Mudjiman (2002)
bahwa selain Brachionus plicatilis dikenal juga beberapa spesies dari genus Brachionus,
antara lain: Brachionus pala, Brachionus punctatus, Brachionus abgularis, dan Brachionus
moliis.

2.3 Morfologi dan Anatomi Rotifer

B. plicatilis merupakan salah satu pakan alami yang sering diberikan dalam
usaha pembenihan dan cocok bagi larva ikan, mengandung 40-60% protein dan 13-16&
lemak (Lubzens et al., 1989 dalam Aprilia, 2008). B. plicatilis memiliki ukuran tubuh yang
kecil (80-120 μm), bersifat nonselektif filter feeder, gerakan yang lambat, mudah diklutur,
mudah dicerna dan mudah ditingkatkan kandungan gizinya terutama asam lemaknya
(Watanabe, 1988 dalam Aprilia, 2008).

Tubuh B. plicatilis terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala (head), badan (trunk),
dan kaki atau ekor (foot). Bagian kepala dilengkapi dengan silia yang kelihatan seperti spiral
dan disebut korona yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Lavens
dan Sorgelos, 1996).
Bentuk tubuh rotifer terdiri dari kepala (yang berisi korona), batang (yang berisi
organ), dan kaki. Rotifera biasanya berenang bebas dan organisme planktonik benar- benar,
tapi jari-jari kaki atau ekstensi kaki dapat mengeluarkan bahan lengket membentuk
pegangan erat untuk membantu mereka mematuhi permukaan. Kepala berisi organ sensorik
dalam bentuk otak dua-berlobus dan spot mata kecil dekat korona.
Rotifera adalah pengumpan filter yang akan memakan materi mati, alga, dan
organisme hidup mikroskopis lainnya. Oleh karena itu, mereka adalah komponen yang
sangat penting dari jaring makanan air. Rotifera memperoleh makanan yang diarahkan mulut
oleh arus yang diciptakan dari gerakan korona. Partikel makanan masuk mulut dan
perjalanan ke mastax (faring dengan struktur rahang seperti). Makanan lewat pencernaan dan
kelenjar ludah ke dalam perut dan kemudian ke usus. Pencernaan dan limbah ekskretoris
dikumpulkan dalam kandung kemih kloaka sebelum dibebaskan keluar anus.
Pada tiap sisi lateral terdapat sebuah protonephridium dengan 2-8 flame bulb. Kedua
protonephridia tersebut bersatu pada kantung kemih (bladder), yang bermuara pada
bagian ventral kloaka. Isi bladder dikosongkan melalui anus dengan jalan kontraksi, dengan
kecepatan satu sampai empat kali per menit. Protonephridia adalah sebagai osmoregulator,
yaitu membuang kelebihan air di dalam tubuh. Dalam beberapa menit dikeluarkan sejumlah
cairan yang setara dengan berat tubuh rotifera tersebut.
Susunan saraf pada rotifer adalah rotifera mempunyai otak yang terdiri atas massa
ganglion dorsal, dan terletak di atas mastax. Dari otak keluar sejumlah pasangan saraf yang
menuju ke berbagai alat indera, antara lain ke mata dan ke antena. Beberapa jenis rotifera,
terutama yang sessile tidak mempunyai mata. Mata berupa ocellus sederhana, dan
berjumlah tiga hingga lima buah.
2.4 Habitat rotifer

B. plicatilis ditemukan di seluruh dunia. Populasi yang berasal dari wilayah


geografis berbeda memiliki karakteristik morfologi, fisiologi, dan perilaku yang benar-
benar berbeda. B. plicatilis tersebar di Amerika, Eurazia, Australia, dan juga Indonesia.
B. plicatilis termasuk hewan yang hidupnya kosmopolitan, dapat ditemukan hampir di semua
jenis perairan (Suminto, 2005). Rotifera merupakan hewan mikroskopis yang hidup
diair. Rotifera dapat ditemukan di air tawar, air payau, air laut maupun didalam tubuh
krustase atau larva serangga air. Umumnya hidup bebas, soliter, koloni, atau sessile.
2.5 Siklus Hidup Rotifer

Siklus hidup rotifera mengandung kedua fase aseksual dan seksual. Produk
reproduksi seksual adalah embrio aktif encysted disebut kista. Pada rotifer
dioecious,reproduksi selalu seksual. Individu jantan selalu lebih kecil dari pada betina,
biasanya mengalami degenerasi yaitu tidak mempunyai alat pencernaan, hanya memiliki alat
reproduksi saja. Partenogenesis merupakan peristiwa yang umum terjadi. Perkawinan pada
rotifera biasanya dengan jalan “hipodermic impregnation”, dimana sperma masuk melalui
dinding tubuh. Tiap nukleus pada ovari menjadi sebuah telur. Kebanyakan spesies
mempunyai ovari dengan sepuluh sampai dua puluh nuklei, maka telur yang dihasilkan
selama hidupnya tidak lebih dari jumlah tersebut.
Rotifera jantan siap melakukan perkawinan satu jam setelah menetas; kemudian akan
mati. Bila tidak menemukan rotifera betina maka rotifera jantan akan mati pada umur 2-
7 hari, tergantung pada jenisnya. Pada bdelloidea, dimana tidak pernah ada jantannya,
reproduksi selalu dengan cara partenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur yang selalu
menetas menjadi betina.
Pada kelas monogononta, yang dalam keadaan tertentu ada jantannya, terdapat
tiga macam telur. Tipe pertama adalah telur amictic, hasil dari partenogenesis, bercangkang
tipis, diploid, tidak dapat dibuahi dengan menetas menjadi betina amictic. Tipe kedua ialah
mictic, bercangkang tipis, tetapi haploid, bila tidak dibuahi secara partenogenetik aka
menetas menjadi jantan yang haploid. Bila telur mictic dibuahi oleh sperma dari janan yang
haploid tersebut akan menjadi telur dorman , bercangkang tebal dan keras, resisten terhadap
kekeringan dan lingkungan buruk, dan memerlukan istrahat beberapa bulan sebelum dapat
menetas. Dalam lingkungan yang baik, telur dorman menetas menjadi betina amictic dan
diploid.

Gambar 3. Partenogenesis dan reproduksi Brachionus plicatilis (Hoff and Snell, 1987 dalam
Lavens dan Sorgelos, 1996 ).
B. plicatilis mempunyai kelamin terpisah, dapat bereproduksi secara aseksual dengan
parthenogenesis yaitu menghasilkan telur tanpa terjadi pembuahan dan individu baru
yang dihasilkan bersifat diploid. Selain secara aseksual, B. plicatilis juga bereproduksi secara
seksual. Pada mulanya betina miktik mengkasilkan 1-6 telur kecil (50-70 x 80-100
mikron). Betina miktik adalah betina yang dapat dibuahi. Telur yang dihasilkan oleh betina
miktik akan menetas menjadi jantan. Jantan tersebut akan membuahi betina miktik dan
menghasilkan 1-2 telur istirahat. Telur tersebut mengalami masa istirahat sebelum menetas
menjadi betina amiktik. Betina amiktik adalah betina yang tidak dapat dibuahi. Dari betina
amiktik tersebut maka reproduksi secara aseksual akan terjadi lagi (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).
B.plicatilis memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama. Usia B.plicatilis betina pada

suhu 250C adalah antara 6-8 hari sedangkan yang jantan hanya sekitar 2 hari. Meskipun
berumur pendek, namun B.plicatilis betina memiliki kapasitas reproduksi yang luar biasa. B.
plicatilis betina pertama kali bereproduksi pada usia 18 jam dan selanjutnya terus
bereproduksi sepanjang hidup mereka. Fekunditas total untuk seekor betina secara
aseksual dan dalam kondisi pakan yang cukup serta kualitas air yang bagus adalah 20-25
individu baru (Suminto, 2005).

2.6 Pengaruh Lingkungan

Redjeki (1999) menyatakan pertumbuhan B. plicatilis sangat dipengaruhi oleh


kualitas air, pH, oksigen terlarut, karbondioksida dan salinitas. Kualitas air merupakan salah
satu faktor penting yang dapat menyebabkan perubahan tingkah laku organisme perairan dan
dapat memperlihatkan nafsu makan berkurang atau tidak, pertumbuhan lambat atau cepat,
adanya gangguan hama dan penyakit yang akhirnya dapat mempengaruhi kelangsungan
hidup B. plicatilis.

a. Salinitas
B. plicatilis bersifat euryhalin. Betina dengan telurnya dapat bertahan hidup pada
salinitas 98 ppt, sedangkan salinitas optimalnya adalah 10-35 ppt (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995)

b. Suhu Air
Kisaran suhu antara 220-300C merupakan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan dan
reproduksi (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
c. pH
Keasaman air mempengaruhi kehidupan B. plicatilis. B. plicatilis masih dapat bertahan
hidup pada pH 5-10. Sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi berkisar
antara 7,5-8,0 (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
d. Oksigen Terlarut

Jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh B. plicatilis pada suhu air 100C adalah 7,07mg/L /hari,

pada suhu air 250C 10,04 mg/L/hari (Fukusho, 1989 dalam Redjeki, 1999). BBL Lampung
(2002) dalam Amali (2005) menyatakan oksigen terlarut untuk pertumbuhan B. plicatilis
adalah 4,5-6,5 mg/l.
e. Intensitas Cahaya
Suminto (2005) menyatakan cahaya sebesar 250-310 nm adalah yang terbaik untuk
menetaskan kista B. plicatilis. Fulks dan Main (1991) dalam Redjeki (1999) menyatakan
intensitas cahaya yang diperlukan untuk kultur B. plicatilis dalam ruangan tidak melebihi
2.000 lux.

2.7 Keunggulan Rotif

Rotifera memegang peranan penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan
tawar di satu pihak memakan serpihan-serpihan organik dan ganggang bersel satu, di
lain pihak rotifera merupakan makanan bagi hewan yang lebih besar seperti cacing dan
crustacea.
Brachionus plicatilis merupakan jenis plankton hewani yanng hidup di perairan
litoral dan termasuk pakan larva ikan laut yang penting. Dalam percobaan pembenihan ikan
laut, rotifera diberikan sebagai pakan larva selama kurang lebih satu bulan. Brachionus
merupakan rotifera yang dibudidayakan sebagai makanan alami untuk larva ikan dan
udang. Karena berukuran kecil sekitar 300 mikron, dan berkembang biak dengan
cepat, hingga cocok untuk makanan burayak ikan mas yang baru habis kuning telurnya. Di
daerah tropis, Brachionus mulai bertelur pada umur 28 jam, dan setelah 24 jam telur
menetas. Selama hidupnya yang sebelas hari, seekor Brachionus menghasilkan 20 buir
telur. Pada habitat yang tercemar bahan lorganik dan berlumut, biasanya banyak dijumpai
Bdelloidea seperti Philodina dan Rotaria.
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek keterampilan lapangan ini akan dilaksanakan selama 1 bulan di mulai dari
tanggal 9 mei – 9 juni 2018 dan bertempat di Divisi Rotifer, Balai Perikanan Budidaya Laut
(BPBL), Waiheru, Ambon.

3.2 Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat yang digunakan

NAMA ALAT SPESIFIKASI KEGUNAAN

Tabel 2. Bahan yang digunakan

NAMA BAHAN SPESIFIKASI KEGUNAAN

3.3 Metode Pengambilan Data

Dalam mengumpulkan bahan-bahan tersebut penulis menggunakan beberapa metode


1. Metode Observasi
Metode observasi ini dilakukan dengan cara mangamati atau menyatat objek hasil
pengamatan yang dilakukan di lapangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Metode Interview
Penulis melakukan tanya jawab dengan orang-orang yang berkecimpung dibidang terkait.
3. Metode Praktikum
Metode praktikum ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dengan cara
mempraktekkan langsung pekerjaan yang didapatkan selama kegiatan PKL.
4. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data berupa tulisan,
artikel maupun wacana. Sebagai contoh data artikel yang didapat dari internet dan literature
yang berkenaan dengan materi pembuatan laporan yang bertujuan untuk melengkapi
informasi di laporan.

3.4 Prosedur Praktikum

Anda mungkin juga menyukai