Anda di halaman 1dari 3

Filosofi Hidup Sunan Gunung Jati dalam

Pandangan Hidup Orang Cirebon


DECEMBER 22, 20140 0
Masyarakat Cirebon memiliki tokoh panutan
yang merupakan salah satu dari Wali Songo.
Beliau adalah Sunan Gunung Jati.
Kepemimpinan dan ketauladan Sunan Gunung
Jati masih menjadi panutan masyarakat Cirebon
dalam bertindak dan berperilaku.

Banyak yang menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Syarif


Hidayatullah yang lahir sekitar tahun 1450. Beliau
merupakan salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa
bernama Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa
Barat.

Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin


Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar
dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh
Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana
Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan
putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam
Husain.

Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah


Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik
dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang
bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu
Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi,
seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi
bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya
yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek

Salah satu ajaran Sunan Gunung Jati yang menjadi landasan


dan pandangan hidup masyarakat Cirebon saat ini
adalah “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir
Miskin”.Pertama, Ingsun titip Tajug. Beliau berpesan agar
wong Cirebon selalu memelihara Tajug. Tajug adalah masjid
tempat umat Islam melakukan ibadah ritual (Mahdhoh)
seperti sholat lima waktu: Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan
Subuh.

Di manapun dan dalam keadaan apapun wong Cirebon,


jangan pernah meremehkan, apalagi melupakan tajug. Tajug
harus dimakmurkan dengan kegiatan ibadah ritual seperti
sholat dan dzikir dan ibadah sosial. Kedua, ingsun titip fakir
miskin.

Fakir miskin adalah simbol kesinergian hubungan antara


sesama manusia (hablum minannas). Sunan Gunung Jati
memberikan ajaran tentang untuk tidak lupa dengan
keadaan di sekitar. Salah satunya menciptakan
kesejahteraan bersama kepada orang fakir.

Selain itu, pandangan masyarakat Cirebon yang lain yang


menjadi landasan dan bertindak dan berperilaku adalah Ma
Lima. Ma Lima adalah falsafah Jawa yang berisi ajaran
tentang lima larangan yang harus dihindari dalam hidup.
Lima larangan dalam Ma Lima tersebut adalah:

Madat yaitu menghisap candu, termasuk melakukan bisnis


dan kegiatan usaha narkoba.
Madon yaitu melacur atau bermain perempuan, termasuk
selingkuh dan main laki-laki bagi perempuan merupakan
zinah.

Mabuk yaitu mabuk minuman keras, termasuk terlalu


mabuk akan dunia.

Main yaitu berjudi

Maling yaitu perbuatan mencuri, termasuk korupsi yang


merupakan mencuri uang rakyat.

Lima perilaku di atas adalah perilaku jahat. Apabila lima


larangan tersebut dilakukan maka akan membawa hidup
menjadi sial dan mengakibatkan kerugian diri dan
masyarakat atau orang lain.
KEYWORDS

Anda mungkin juga menyukai