Anda di halaman 1dari 7

Pharyngitis, Diagnosis and Empiric antibiotic

treatment Considerations
Murtaza Mustafa1, P.Patawari2, RK.Muniandy3,
MM.Sien4, S.Mustafa5, A.Fariz6
Abstrak : Faringitis adalah kelainan umum pada anak-anak daripada orang dewasa. Faringitis
sering terjadi di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat faringitis didiagnosis pada 11
juta pasien di gawat darurat dan pengaturan rawat jalan setiap tahunnya. Virus sering
menyebabkan faringitis virus, dengan virus adenovirus, rhinovirus, enterovirus, influenza A dan
B parainfluenza. Streptococcus pyogenes group A (GAS) atau kelompok A beta hemolytic
streptococcus (GABS) adalah agen bakteri faringitis akut. Fusobacterium necrophorum dan
Mycoplasma pneumonia juga telah dilaporkan. Faktor virulensi menyebabkan faringitis,
penyakit invasif, demam rematik akut, dan glomerulonefritis akut. Tanda bakteri meliputi
eritema faring, pembesaran tonsillar, dan eksudat keputihan keabu-abuan yang menutupi faring
posterior dan pilar tonsil. Gejala seperti konjungtivitis, coryza, ulkus mulut, batuk dan diare
menunjukkan penyebab virus. Skor Centor yang dimodifikasi dapat digunakan untuk diagnosis.
Penisilin 10 hari tetap merupakan pengobatan pilihan, macrolide untuk pasien alergi penisilin,
amoxicillin memiliki keuntungan dosis yang kurang sering. Penggunaan antibiotik spektrum luas
dianggap berkontribusi terhadap resistensi antibiotik. Peran tonsilektomi atau adenoidektomi
pada kejadian faringitis GBHS kurang dipahami.

I. Introduksi

Faringitis adalah inflamasi dari faring/tenggorokan. Pada kebanyakan kasus faringitis akut
menimbulkan nyeri yang berlebih dan merupakan penyebab sakit tenggorokan tersering. Jika
inflamasi bersamaan dengan tonsillitis dapat juga disebut faringotonsilitis. Subkasifikasi lain
adalah nasofaringitis (common cold). Faringitis adalah penyakit yang paling sering pada anak
dan dewasa. Pada penelitian prospektif terbaru 16% orang dewasa & 41% anak dilaporkan
menderita sakit tenggorokan. Pertahun di US, sekitar 6,2-9,7 juta anak dan sekitar 5 juta orang
dewasa melakukan kunjungan ke dokter, klinik, atau UGD dengan faringitis. Hing, dkk
melaporkan faringitis didiagnosis pada 11 juta pasien di UGD di US. Kebanyakan kasus
faringitis pada anak usia 5-18 tahun, mirip dengan kasus pada streptokokus grup A, dan
GAS/GABHS. Prevalensi faringitis karena streptokokus grup A yang dilaporkan dipengaruhi
baik oleh usia pasien maupun pemeriksaannya, dengan tingkat yang lebih tinggi ditemukan pada
orang yang lebih muda. Berdasarkan data yg diperoleh menunjukkan faringitis streptokokus grup
A yang terbukti secara serologi terjadi pada 0,14% kasus anak pertahun di Negara maju dan
diperkirakan 5-10x pada negara berkembang. Di daerah beriklim sedang, kebanyakan kasus
faringitis terjadi di musim dingin dan di awal musim semi yang sesuai dengan puncak dari
aktifitas virus pernafasan. Ini juga terjadi pada GAS faringitis yang hampir setengah kasus anak
terjadi pada musim musim ini. Kebanyakan kasus akut terjadi karena infeksi virus (40-80%), dan
sisanya terjadi karena infeksi bakteri, infeksi jamur, dan iritan sperti polusi atau bahan – bahan
kimia. Pada pasien demam dengan gejala pernafasan dokter dapat dengan akurat membedakan
infeksi virus dan bakteri hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terapi empiric unuk
faringitis bakterial adalah penisilin, eritromisin untuk pasien yang alergi penisilin, dan
klindamisin, amoksilin-klavulanat untuk kasus yang berulang/ kambuh pengobatan antibiotik
selama 10 hari. Tulisan ini me-review diagnosis, dan terapi antibiotik empirik dari faringitis.

II. Agen penyebab infeksi

Virus adalah penyebab tersering faringitis, dan terhitung 25-45% dari seluruh kasus dengan
gejala mirip dengan ISPA. Adenovirus diidentifikasi sbg penyebab tersering faringitis dan
dilaporkan terjadi pada 12-23% kasus. Virus lain yang dapat menyebabkan faringitis adalah
rinovirus, enterovirus, influenza A dan B, parainfluenza, RSV, koronavirus, human meta
pneumovirus, dan human boca virus. Beberapa human herpes virus seperti EBV, HSV, dan
CMV juga dilaporkan dapat menyebabkan faringitis.

Streptokokus piogenik, streptokokus grup A, atau GABHS adalah etiologi bakteri yang
menjadi perhatian terbesar pada kasus faringitis akut karena hubungan antara streptokokus grup
A dengan demam rematik. Streptokokus grup A bertanggung jawab sekitar 10-30% kasus pada
orang dewasa dan 15-30% kasus pada anak. Fusobacterium necrophorum, bakteri gram negative
penghasil spora berperan pada 10% kasus. Corynobacterium diphtheria juga merupakan
penyebab faringtis dan menjadi perhatian khusunya pada orang – orang yang sering bepergian ke
daerah dimana vkasin difteri tidak dilakukan/ gagal terlaksana. Faringitis karena gonore harus
dipertimbangakn oada dewasa dan remaja yang aktif secara seksual. Berdasarkan kultur
tenggorokan di klinik PMS ditemukan 1-6% positif N. Gonorrhoeae. Mycoplasma pneumonia
ditemukan 3-14% pada kasus faringitis. Beberapa kasus faringitis juga dapat disebabkan oleh
infeksi jamur seperti kandida yang menyebabkan oral trush.

III. Patofisiologi

Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perkembangan tanda dan gejala faringitis
belum sepenuhnya diketahui. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bradikinin yang
disebabkan oleh infeksi rhinovirus simtomatik dan percoabaan bradikinin pada sukarelawan
sehat menunjukkan hasil sakit tenggorokan yang signifikan saat bradikinin dicobakan ke
orofaring atau mukosa nasal. Mediator inflamasi lainnya, termasuk prostaglandin, dilaporkan
memainkan peran dengan bradikin melalui aktifitas mereka pada ujung saraf sensorik di faring.
Beberapa uji coba terkontrol secara acak menunjukkan efek menguntungkan dari obat - obat
anti-inflamasi nonsteroid atau kortikosteroid pada nyeri tenggorokan, dan dicurigai bawha
mediator inflamasi memainkan peran dalam patofisiologi sakit tenggorokan. Di antara bakteri
penyebab faringitis, patogenesis GAS telah dipelajari secara ekstensif. Beberapa faktor virulensi
telah diidentifikasi yang pada akhirnya menyebabkan manifestasi faringitis akut. Peran sistem
kekebalan tubuh dan kemungkinan perubahan genetik molekular pada GAS masih sulit
dipahami. Protein yang terlibat dalam kekebalan imun, perlengketam ke sel epitel, penyebaran
melalui jaringan host, dan banyak eksotoksin telah dijelaskan. Ekspresi dari faktor virulensi ini
dapat menyebabkan faringitis simtomatik dan komplikasi seperti penyakit invasif, demam
rematik akut, dan glomerulonefritis akut. Mekanisme faringitis GAS menyebabkan demam
reumatik akut masih belum diketahui. Namun, dicurigai terjadi secara autoimun melalui
molecular mimikri.

IV. Manifestasi Klinis

Etiologi faringitis pada pasien tidak dapat dilihat secara akurat berdasarkan hanya dari
karakteristik klinis saja, patogen tertentu dapat menimbulkan gejala yang dapat lebih mudah
dikenali. Patogen patogen faringitis yang jarang terisolasi meliputi :

Streptococcus Grup A. Faringitis yang disebabkan oleh GAS terjadi secara mendadak pada
anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua. Nyeri tenggorokan yang berhubungan dengan GAS
dapat menyebabkan sulit menelan. Demam, sakit kepala, dan gejala gastrointestinal (mual,
muntah, sakit perut) juga berhubungan dengan nyeri tenggorok karena streptokokus namun tidak
selalu ada. Pemeriksaan fisik umumnya menunjukkan adanya eritema faring, pembesaran tonsil,
dan eksudat keputihan abu-abu yang menutupi faring posterior dan pilar tonsil. Kadang terdapat
petekie pada palatum dengan eritema dan edema pada uvula. Limfadenopati servikal anterior,
sering terjadi pada Sudut rahang, khas faringitis GAS dan nodusnya mungkin cukup besar dan
lunak. Pasien mungkin mengalami ruam scarlatiniform khas yang biasanya dimulai dari badan,
menyebar ke ekstremitas, dan biasa menghindari telapak tangan dan telapak kaki. Ruam biasanya
digambarkan sebagai ruam yang konfluens. Demam Scarlet disebabkan oleh satu atau lebih
eksotoksin piogenik yang dihasilkan oleh strain GAS. Tanda dan gejala yang paling
menunjukkan faringitis GAS adalah tonsilitis atau eksudat faring, limfadenopati servikal
anterior, demam atau riwayat demam dan tidak adanya batuk.

Non- Streptococcus Grup A dan haemolyticum. Streptokokus group C dan G umumnya


ditemukan sebagai flora normal pada faring manusia. Namun, mereka juga dikenal sebagai
penyebab potensial faringitis. Streptococcus dysagalactiae subspe quisimilis (kelompok C)
adalah non-GAS yang paling umum diisolasi yang berhubungan dengan sakit tenggorokan,
walaupun baru-baru ini S equi subsp, zoopidemicus telah diketahui sebagai patogen penting.
Gejala klinis yang membedakan faringitis karena haemolyticum adalah ruam yang mungkin
terjadi pada setengah individu yang terinfeksi. Ruam scarlatiniform.macular, atau macupapular
paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Ruam dimulai pada ekstremitas bagian
distal, biasanya melibatkan permukaan ekstensor namun menghindari bagian telapak tangan dan
telapak kaki, diikuti penyebaran secara sentripetal. Haemolyticum dapat menyebabkan infeksi
yang lebih parah misalnya pneumonia.

Corynebacterium diphtheriae. Difteri jarang terjadi di negara maju karena vaksinasi tersedia
dalam jumlah yang besar. Mayoritas infeksi pernafasan atas yang disebabkan oleh c.diphtheriae
adalah tonsilofaringeal. Sakit tenggorokan merupakan sallah satu gejala difteri yang paling
umum dan biasanya disertai demam ringan dan malaise. Pembentukan selaput pada permukaan
tonsil atau faring adalah ciri khas difteri namun hanya ditemukan pada sepertiga pasien. Demam
ringan dan pembentukan membran membedakan difteri dari faringitis yang disebabkan oleh
Streptokokus hemolitik kelompok alfa beta dan virus. Meembran yang terbentuk pada penderita
difteri berwarna putih pada awal perjalanan penyakit, lalu kemudian menjadi abu-abu gelap dan
bertekstur, dengan upaya mencegah membran yang dapat menyebabkan perdarahan. Formasi
membran terbentuk akibat produksi toksin lokal dan penyebaran membran mengindikasikan
toksisitas yang sistemik. Penyebaran ekstensif dari membran dapat mengarah ke limfadenopati
tonsilar, cervical anterior, dan submandibular serta pembengkakan leher yang biasa disebut bull
neck. Progresifitas lebih lanjut dapat menyebabkan gagal nafas dan kematian.

Neisseria gonorrhea. Infeksi faringeal yang disebabkan oleh N.gonorrhea cenderung


asimptomatik. Nyeri tenggorokan terdapat ppada pasien dengan keterlibatan tonsilar. Beberapa
kasus orofaringeal gonorrhea lebih dari 10% diklasifikasikan sebagai tonsilitis. Demam dan
limfadenopati cervikal sering ditemukan. Diantara pasien dengan tonsilitis, eksudat berwarna
putih kekuningan terdapat pada 20% pasien. Temuan klinik faringitis akibat N.gonorrhea
nonspesifik dan gejala ringan, sehingga riwayat infeksi menular seksual harus ditanyakan pada
pasien remaja dan dewasa dengan faringitis untuk menegakkan diagnosis. Riwayat dan orientasj
seksual pasien penting untuk dilengkapi dan didapatkan secara teliti. Riwayat didapatkan dengan
persetujuan pasien dan dengan pemahaman kepada pasien dan jangan mengarah kepada tuduhan.

Mycoplasma pneumonia. M. Pneumonia dan C. Pneumonia telah diidentifikasi sebagai


faringitis pada semua usia dengan prevalensi tertinggi umunya pada M. Pneumonia. Beberapa
kasus faringitis pada anak yang diakibatkan oleh M.pneumonia atau C.pneumonia ditemukan
disfagia 25% - 36%, hipertrofi tonsil 76%-83%, adenopati cervical hampir 50%, dan eksudat
pada 25%-39%. Walaupun temuan ini tidak spesifik pada faringitis akibat infeksi bakteri atipikal
dibandingkan dengan kebanyakan kasus faringitis viral, anak dengan infeksi akibat
M.pneumoniae atau C.pneumonia secara signifikan lebih sering memiliki riwayat faringitis
rekuren. Anak dengan faringitis akibat infeksi bakteri atipikal diobati dengan azithromicin
memiliki resiko rendah terkena infeksi saluran napas, termasuk infeksi saluran napas bawah
dibandingkan dengan anak yang hanya diberikan terapi simptomatik.

HIV-AIDS dan faringitis. Gejala yang seeing ditemukan adalah demam, faringitis, rash, dan
limfadebopati. Mudah dimengerti bagaimana infeksi HIV 1 primer dapat di salah diagnosis
dengan mononukleosis infejsiosa, sifilis sekunder, hepatitis A atau B akut, toxoplasmosis atau
sindrome virus lainnya. Penelitian terbaru menghitung prevalensi infeksi HIV 1 primer pada 1.3
ppasien per 1000 kasus. Sebanyak setengah dari semua infeksi HIV 1 primer diderita oleh
dewasa muda, tenaga medis yang menagani remaja dan dewasa penting untuk menguasai
karakteristik dari infeksi HIV 1 primer.
Epstein Barr virus (EBV). Mononukleus infeksiosa merupakan kelainan multisistem yang
diakibatkan oleh infeksi primer dengan EBV dan di definisikan menggunakan triad yaitu demam,
faringitis, dan adenopati. Dari 150 dewasa muda dengan infeksi EBV akut yang telah
terkonfirmasi secara serologi, tiga per empat pasien dilaporkan memiliki nyeri tenggorokan dan
fatigue, dengan half noting fever, adenopati cervikal yang disertai nyeri, dan nyeri kepala.
Faringitis yang bersamaan dengan mononukleosis infeksiosa memiliki onset subakut dan dapat
disertai pembesaran tonsil ringan sampai sedang beserta eksudat dan petekhie palatal. Gejala
secara bertahap memvaik setelah 1 bulan perjalanan penyakit dan dalam 6 bulan dapat sembuh
total. Edema periorbital atau lipatan mata merupakan gejala infeksi EBV primer yang unik pada
anak-anak.

Agen virus. Virus yang menyebabkan radang tenggorokan atau faringitis kebanyakan adalah
adenovirus terdapat dalam 25% kasus pada anak-anak dan 3% pada orang dewasa di instalasi
rawat jalan. Infeksi primer virus herpes simpleks (HSV) umumnya menyebabkan
gingivostomatitis pada anak kecil, dan menyebabkan faringitis pada remaja dan dewasa muda.
Dengan gejala demam ringan, eritema faring, eksudat, dan limfadenopati servikal.

V. Diagnosa

Faringitis adalah salah satu gejala paling umum yang mungkin dihadapi oleh seorang
dokter; Diagnosis etiologi yang dapat diobati sangat penting. Pencegahan demam rematik
memerlukan pengobatan dengan antibiotik dan pemberantasan GAS dari faring. Temuan klinis
yang tepat membantu membedakan GAS dari faringitis yang disebabkan oleh virus. Seperti yang
diketahui, eksudat tonsillar atau faringeal, limfadenopati servikal, dan demam umumnya terkait
dengan GAS. Gejala seperti konjungtivitis, coryza, ulkus mulut, batuk, dan diare menunjukkan
penyebab virus.
Beberapa kriteria klinis telah dikembangkan untuk membantu diagnosis faringitis GAS.
Kriteria klinis untuk diagnosis faringitis GAS terbatas karena tanda dan gejala banyak penyebab
tumpang tindih dengan tanda dan gejala faringitis akut karena virus. oleh GAS. Skor Centor yang
telah dimodifikasi dapat digunakan untuk mendiagnosis. Misalnya skor 1 : (risiko 5% sampai
10%), skor 2, (risiko 11% sampai 17%), skor 3 (risiko, 28% sampai 35%), skor ≥4, risiko 51%
sampai 53%). Berdasarkan 5 kriteria klinis, satu poin diberikan untuk masing-masing kriteria,
misalnya Tidak adanya batuk, pembengkakan KGB servikal, suhu> 380°C , usia kurang dari 15
tahun (satu poin dikurangi jika usia> 44 tahun). Kriteria McIsaac ditambahkan ke kriteria Centor
: bila usia kurang dari 15 tahun tambahkan satu poin, dan bila usia lebih dari 45 tahun : kurangi
satu poin.
Panduan dari Infectious Disease Society of America (IDSA), komite Infectious
Diseases of American Academy of Pediatrics, dan American Heart Association
merekomendasikan untuk mendiagnosis infeksi GAS dengan menggunakan rapid anitigen test
(RADT), kultur tenggorokan, atau keduanya. Sebaliknya, pedoman yang dikeluarkan oleh
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American College of Physicians-
American Society of Internal Medicine menyarankan pengobatan empiris berdasarkan skor
faringitis saja dengan atau tanpa pemeriksaan mikrobiologis. Media dan teknik khusus
diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab faringitis lainnya. Jika difteri dicurigai,
laboratorium harus diberitahu, PCR baru-baru ini telah digunakan untuk identifikasi
C.diphtheriae. Deteksi molekuler Fusobacterium telah digunakan dalam beberapa penelitian.
Infeksi EBVdidiagnosis berdasarkan hasil serologi, baik dari hasil tes antibodi hetrophile
(monospot atau monoslide) atau deteksi antibodi imunoglobulin M terhadap antigen kapsid virus
EBV dalam specimen serum yang di ambil saat akut. Serologi spesifik untuk EBV diperlukan
untuk membuat diagnosis pada anak-anak, terutama yang berusia kurang dari 4 tahun.

VI. Pengobatan

Pemberian antibiotik untuk pasien dengan sakit tenggorokan adalah hal yang umum
dan sering dilakukan untuk mencegah komplikasi radang tenggorokan. Tujuan terapi faringitis
GAS adalah mengurangi gejala, mengurangi risiko penularan, dan mengurangi kekambuhan.
Penisilin telah menjadi terapi pilihan untuk faringitis GAS. Meskipun penggunaan jangka
panjang belum dilaporkan adanya resistensi penisilin. Penggunaan penisilin selama 10 hari
merupakan pilihan utama dan telah direkomendasikan oleh Infectious Disease Society of
America dan American Academy of Pediatrics untuk pengobatan faringitis yang disebabkan oleh
GAS. Pasien dengan alergi penisilin diberikan golongan macrolide (eritromisin) atau
sefalosporin generasi pertama. Saat ini, penggunaan sefalosprins spektrum luas seperti sefiksim
dan ceftibuten belum banyak diberikan, meskipun telah didukung oleh FDA U.S untuk
pengobatan faringitis GAS. Sedang dieliti penggunaan amoksisilin dalam pengobatan faringitis
GAS. Penggunaan turunan penisilin seperti amoksisilin memiliki keuntungan yaitu penggunaan
dosis yang lebih rendah dan rasa yang lebih nyaman untuk anak-anak.
Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan faringitis GAS dengan amoxicillin sekali
sehari selama sepuluh hari dapat mencapai hasil klinis dan bakteriologis yang serupa
dibandingkan dengan dosis penisilin tradisional. Terapi menggunakan antibiotik tidak boleh
digunakan untuk pencegahan faringitis GAS kecuali dalam keadaan khusus. Profilaksis
antibiotik yang terus-menerus untuk pencegahan faringitis GAS diberikan kepada mereka yang
memiliki episode demam rematik sebelumnya. Profilaksis dengan antibiotik juga dapat
digunakan jika terjadi wabah demam reumatik akut, glomerulonefritis post streptococcal, atau
kontak dengan orang dengan infeksi invasif seperti necrotizing fasciitis atau sindrom syok toksik
streptokokus. Pengobatan pilihan untuk infeksi Fusobacterium termasuk penisilin yang
dikombinasikan dengan inhibitor β-lacatamase (misalnya amoksisilin / sulbaktam) bersama
dengan metronidazol. Resistensi terhadap penisilin telah dilaporkan, namun tidak tersebar luas.
Penisilin dan eritromisin adalah dua agen yang direkomendasikan untuk pengobatan C.
diphtheriae, walaupun makrolid baru seperti azitromisin biasa digunakan dalam praktik klinis.
Dalam sebuah survei baru-baru ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam penggunaan
antibiotik spektrum luas untuk pengobatan faringitis.

VI. Faringitis dan Komplikasi

Komplikasi faringitis, termasuk abses peritonsilar, abses ruang faring, limfadenitis,


sinusitis, otitis media, mastoiditis dan infeksi invasif, misalnya necrotizing fasciitis dan toxic
shock syndrome. Pada orang dewasa yang lebih tua, tanda dan gejala dari abses ruang
peritonsillar atau parapharyngeal mungkin tidak terlihat, dan penyakit ini tampaknya lebih umum
terjadi pada orang-orang dengan kondisi imunokompromais. Komplikasi faringitis yang
disebabkan oleh GAS berpotensi menimbulkan demam rematik dan glomerulonefritis akut.
Penyakit jantung rematik dan komplikasinya. mempengaruhi hampir 2 juta individu setiap tahun,
terutama di negara-negara berkembang. Demam rematik telah jarang terjadi di Amerika Serikat
kecuali terjadi wabah GAS Rheumatogenik secara sporadik. Sindroma Lemeierre adalah
komplikasi faringitis yang jarang terjadi pada remaja dan dewasa muda yang ditandai dengan
tromblebitis septik pada vena jugular interna dan terdapat lesi metastatik (emboli septik) di
tempat yang jauh setelah sakit tenggorokan akut yang umumnya disebabkan oleh
Fusobacteriumnecrophorum.

VII. Kesimpulan

Faringitis adalah penyakit umum pada orang dewasa dan anak-anak. Komplikasi faringitis
termasuk demam rematik dan glomerulonefritis akut. Skor Centor yang dimodifikasi bermanfaat
untuk mendiagnosis faringitis dan pengobatan faringitis. Penisilin dan eritromisin adalah
antibiotik pilihan, antibiotik spektrum luas untuk kasus kambuh atau kasus rekuren.

Anda mungkin juga menyukai