Dokumen - Tips Tertelan-Tulang
Dokumen - Tips Tertelan-Tulang
PENDAHULUAN
1
duodenum, usus halus terutama ileum dengan luka pada pembuluh mesenterika
yang mengakibatkan pendarahan masif. Pada kasus langka bahkan usus buntu dan
usus besar mungkin akan terpengaruh. Tulang ikan ini jika tidak ditangani dapat
bertransmigrasi dan menyebabkan kerusakan pada struktur intervensi (Vagholkar,
2010; Munter, 2011; Paulose, 2002)
Tujuan diskusi kali ini adalah membahas secara mendalam mengenai
kasus tulang tertelan, meliputi etiologi, penatalaksanaan, dan komplikasi.
Diharapkan melalui diskusi ini penulis dan peserta diskusi dapat
mengimplementasikan tindakan tatalaksana terbaik bila mendapatkan kasus
tertelan tulang nantinya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
torus tubarius, kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba
Eustachius. Batas antara cavum nasi dan nasofaring adalah choana. Kelainan
kongenital koana salah satunya adalah atresia koana.
Struktur Nasofaring :
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena kartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena muskulus levator veli palatini.
4. Plika salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plika salpingofaringea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari muskulus salphingofaringeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasofaring. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing
dan oropharing karena muskulus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei
b) Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina,
fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.
1. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut.
4
2. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
3. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya.
Tonsil Lingualis
Tonsil lingualis tidak mempunyai susunan kripta yang rumit
dibandingkan tonsila fausialis, juga tidak begitu besar. Tonsil lingualis
mempunyai kripta-kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau
bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina. Hal yang sama pada
adenoid, dan terdapat kripta yang kurang jelas atau pembentukan celah
dalam kumpulan limfoid lain dalam fosa Rosenmuller dan dinding faring
(Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Tonsil Palatina
Tonsil palatina mempunyai susunan limfoidnya membentuk kripta.
Sistim kripta yang kompleks dalam tonsil palatina mungkin bertanggung
jawab pada kenyataan bahwa tonsil palatina lebih sering terkena penyakit
daripada komponen cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih berlekuk-
lekuk pada kutub atas tonsila, menjadi mudah tersumbat oleh partikel
makanan, mukus sel epitel yang terlepas, leukosit, dan bakteri, dan tempat
utama pertumbuhan bakteri patogen. Selama peradangan akut, kripta dapat
terisi dengan koagulum yang menyebabkan gambaran folikular yang khas
pada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Hermani, 2007).
5
Tonsila Faringeal
Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang
dinding posterior nasofaring di atas batas palatum mole. Adenoid biasanya
mengalami hipertrofi selama masa anak-anak, mencapai ukuran tebesar
pada usia pra-sekolah dan usia sekolah awal. Diharapkan dapat terjadi
resolusi spontan, sehingga pada usia 18-20 tahun jaringan adenoid
biasanya tidak nyata pada pemeriksaan rhinoskopi posterior.3 Bila sering
terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi
adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan
sumbatan tuba eustachius (Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut
sehingga terjadi (a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi
insisivus ke depan, arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah
pasien tampak seperti orang bodoh, (b) gangguan ventilasi dan drainase
sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronis. Akibat sumbatan
tuba eustachius akan terjadi otitis media supuratif kronis. Akibat hipertrofi
adenoid akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental,
dan pertumbuhan fisik berkurang (Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang
dan lateral tonsila.
6
Gambar 2. Anatomi Tonsil
Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis
eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang
a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan
cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu
a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di
bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil
dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya
melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden
juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor
7
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina artery member
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).
Fisiologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas
sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit
B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG (Rusmarjono dan Hermani,
2007).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
8
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).
c) Laringofaring (Hipofaring)
Struktur yang terdapat di sini adalah valekula epiglotica, epiglotis, serta fossa
piriformis.
9
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi sedemikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada
saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung (Rusmarjono dan Hermani,
2007).
a. Fase Oral
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan
yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi
dan saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan
ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari
(Soepardi dkk, 2002).
10
(motorik)
Mandibula n. V.2 (maksilaris) n.V : m. Temporalis, m.
maseter, m. pterigoid
Bibir n. V.2 (maksilaris) n.VII : m.orbikularis
oris, m. zigomatikum,
m.levator labius oris,
m.depresor labius oris,
m. levator anguli oris, m.
depressor anguli oris
Mulut & pipi n.V.2 (maksilaris) n.VII: m. mentalis, m.
risorius, m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.XII : m. hioglosus, m.
mioglosus
Pada fase oral ini perpindahan bolus dari rongga mulut ke faring
segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletakkan
bolus di atas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah
terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah
menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus
menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring
sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas
akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan n.XII) (Soetirto,
2007).
Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf kranial n.V2
dan nV.3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI,
n.XII sebagai serabut efferen (motorik) (Soepardi dkk, 2002).
11
labius, m.mentalis
Mulut & pipi n.V.2 (mandibularis) n.VII: m.zigomatikus, levator
anguli oris, m.depressor anguli
oris, m.risorius. m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.IX,X,XI : m.palatoglosus
Uvula n.V.2 (mandibularis) n.IX,X,XI:m.uvulae,m.palatofaring
b. Fase Faringeal
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior
(arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini
terjadi6 :
1 m.Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X dan
n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula
tertarik ke atas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
2 m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m.ariepiglotika (n.IX, nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi
pita suara sehingga laring tertutup.
3 Laring dan tulang hyoid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m.Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I).
12
m.digastrikus
n.VII : m.stilohyoid
n.XII,nC1 :m.geniohyoid,
m.tirohyoid
n.XII :m.stiloglosus
Palatum n.V.2, n.V.3 n.IX, n.X, n.XI :m.levator
veli palatini
n.V :m.tensor veli palatini
Hyoid n.Laringeus superior cab n.V : m.milohyoid, m.
internus (n.X) Digastrikus
n.VII : m. Stilohioid
n.XII, n.C.1 :m.geniohioid,
m.tirohioid
Nasofaring n.X n.IX, n.X, n.XI :
n.salfingofaringeus
Faring n.X n.IX, n.X, n.XI : m.
Palatofaring, m.konstriktor
faring sup, m.konstriktor
ffaring med.
n.X,n.XI : m.konstriktor
faring inf.
Laring n.rekuren (n.X) n.IX :m.stilofaring
Esofagus n.X n.X : m.krikofaring
Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2,
n.V.3 dan n.X sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan
n.XII sebagai serabut efferen Bolus dengan viskositas yang tinggi akan
memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik
dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu
pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring
serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu faringeal transit
juga bertambah sesuai dengan umur (Sosialisman, 2007).
13
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik.
Mc.Connel dalam penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang
bekerja yaitu (Sosialisman, 2007) :
1 Oropharyngeal propulsion pomp (OOP) adalah tekanan yang
ditimbulkan tenaga lidah 2/3 depan yang mendorong bolus ke
orofaring yang disertai tenaga kontraksi dari m.konstriktor faring
2 Hypopharyngeal suction pomp (HSP) adalah merupakan tekanan
negatif akibat terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior
faring, sehingga bolus terisap ke arah sfingter esofagus bagian atas.
Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh m.konstriktor faring
inferior, m.krikofaring dan serabut otot longitudinal esofagus bagian
superior.
c. Fase Esofageal
14
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus
makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik. Fase ini
terdiri dari beberapa tahapan (Soetirto, 2007) :
Dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang
peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler
dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan
diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat
regangan dinding esofagus. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi
oleh serabut saraf pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal
dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya
secara teratur menuju ke distal esofagus. Cairan biasanya turun akibat gaya
berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik dan berlangsung
selama 8-20 detik. Esophageal transit time bertambah pada lansia akibat dari
berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang
gelombang peristaltik primer (Soetirto, 2007).
d. Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
15
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke
atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan (Masjoer, 2007).
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul
dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum (Masjoer, 2007).
16
2.3 Benda Asing di Hipofaring
Benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh
atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada dan sebagai
penyebab sumbatan pada THT. Benda asing dari luar tubuh disebut eksogen,
biasanya dapat masuk dari mulut atau hidung. Benda asing eksogen dapat berupa
zat padat atau cair. Zat padat dapat berupa organik atau anorganik. Zat padat
organik dapat berupa tulang ataupun kacang-kacangan. Sedangkan zat anorganik
dapat berupa paku, peniti, atau batu. Benda asing eksogen cair dapat bersifat
iritatif seperti zat kimia dan benda cair yang non iritatif yaitu cairan dengan pH
7,4. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah,
nanah, krusta, perkijuan, membran difteri, bronkolit, cairan amnion, mekonium
dapat masuk kedalam saluran nafas bayi pada saat proses persalinan (Mariana,
2007).
Berdasarkan pengelompokkannya terbagi menjadi benda asing di telinga,
benda asing di hidung, benda asing di saluran napas, dan benda asing di
esophagus. Hipofaring termasuk ke dalam kelompok benda asing di saluran napas.
17
bermain (pada anak-anak), memberikan kacang atau permen pada anak yang
gigi molarnya belum lengkap).
b. Patogenesis
Tujuh puluh lima persen dari benda asing di bronkus ditemukan pada anak
di bawah umur 2 tahun, dengan riwayat khas, yaitu pada saat benda atau makanan
ada di dalam mulut, anak tertawa atau menjerit, sehingga pada saat inspirasi,
laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam laring. Pada saat
benda asing itu terjepit di sfingter laring, pasien batuk berulang-ulang
(paroksismal), sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. Bila benda asing telah
masuk ke dalam trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi fase asimtomatik
selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fase pulmonal dengan gejala
yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus (Mariana, 2007).
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengambang oleh air, serta menyebabkan
iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema dan meradang, serta dapat
pula terjadi jaringan granulasi disekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan
bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis,
toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus (irregular) (Mariana, 2007).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan dan
lebih mudah didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik karena umumnya benda
asing anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal dan tipis,
seperti peniti, jarum dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih distal dengan
gejala batuk spasmodik. Benda asing yang lama berada di bronkus dapat
menyebabkan perubahan patologik jaringan, sehingga menimbulkan komplikasi
antara lain penyakit paru kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan
granulasi yang menutupi benda asing (Mariana, 2007).
18
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran nafas tergantung pada
lokasi benda asing, deraajat sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan
ukuran benda asing. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai
kematian sebelum diberi pertolongan, akibat sumbatan total. Seseorang yang
mengalaami aspirasi benda asing akan mengalami 3 stadium, yaitu (Mariana,
2007):
Stadium pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batuk-batuk hebat secara
tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa tercekik (choking), rasa
tersumbat di tenggorokan (gagging), bicara gagap dan obstruksi jalan nafas
yang terjadi dengan segera.
Stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatik.
Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah
dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya, sering
menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung mengabaikan
kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak jelas.
Stadium ketiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau
infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-
batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru.
Bila seorang pasien, terutama anak, diketahui mengalami rasa tercekik atau
manifestasi lainnya, rasa tersumbat di tenggorok, batuk-batuk sedang makan,
maka keadaan ini haruslah dianggap sebagai gejala aspirasi benda asing
(Mariana,2007).
Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara pita
suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung besar, bentuk
dan letak benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang
gawat biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat.
Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain
disfonia sampai afonia, apnue dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat
menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai
sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing
(pasien akan menunjuk lehernya sesuai letak benda asing tersangkut) dan dispnue
19
dengan derajat bervaariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing masih
tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi masih
meninggalkan reaksi laring oleh karena edema laring (Mariana, 2007).
Benda asing di trakea, disamping gejala batuk dengan tiba-tiba yang
berulang-ulang dengan rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorokan,
terdapat gejala patognomonik yaitu audible slap, palpatory thud dan asthmatoid
wheeze (nafas berbunyi pada saat ekspirasi). Benda asing trakea yang masih dapat
bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda
asing itu akan terlempar ke laring. Sentuhan benda asing itu pada pita suara dapat
terasa merupakan getaran di daerah tiroid, yang disebut oleh Jackson sebagai
palpatory thud, atau dapat di dengar dengan stetoskop di daerah tiroid, yang
disebut audible slap. Selain itu terdapat juga gejala suara serak, dispnue dan
sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala palpatory thud
serta audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur terlentang
dengan mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid wheeze)
dapat didengar pada saat pasien membuka mulut dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit asma bronkial. Benda asing yang tersangkut di karina, yaitu
percabangan antara bronkus kanan dan kiri, dapat menyebabkan atelektasis pada
satu paru dan emfisema paru sisi lain tergantung pada derajat sumbatan yang
diakibatkan oleh benda asing tersebut (Mariana, 2007).
Benda asing di bronkus, lebih banyak masuk ke dalam bronkus kanan,
karena bronkus kanan hampir merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan
bronkus kiri membuat sudut dengan trakea. Pasien dengan benda asing di bronkus
yang datang ke rumah sakit kebanyakan berada pada fase asimtomatik. Pada fase
ini keadaan umum pasien masih baik dan foto rontgen toraks belum
memperlihatkan kelainan. Pada fase pulnonum, benda asing berada di bronkus
dan dapat bergerak ke perifer. Pada fase ini udara yang masuk ke segmen paru
terganggu secara progresif, dan pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
disertai dengan mengi. Derajat sumbatan bronkus dan gejala yang ditimbulkannya
bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran dan sifat benda asing dan dapat timbul
emfisema, atelektasis, drowned lung serta abses paru. Benda asing organik
20
menyebabkan reaksi yang hebat pada saluran nafas dengan gejala
laringotrakeabronkitis, toksemia, batuk dan demam ireguler. Tanda fisik benda
asing di bronkus bervariasi, karena perubahan posisi benda asing dari satu sisi ke
sisi lain dalam paru (Mariana, 2007).
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di
tonsil, dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang menimbulkan rasa nyeri pada
waktu menelan (odinofagia), baik makanan maupun ludah, terutama bila benda
asing tajam seperti tulang ikan, tulang ayam. Untuk memeriksa dan mencari benda
itu di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorok yang
besar (no 8-10). Benda asing di sinus piriformis menunjukkan tanda Jakcson
(Jakcson’s Sign) yaitu terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda
asing tersangkut. Bila benda asing menyumbat introitus esophagus, maka tampak
ludah tergenang di kedua sinus piriformis (Mariana, 2007).
d. Pemeriksaan penunjang
Pada kasus benda asing di saluran nafas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik dan laboratorium utuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing
yang bersifat radioopak dapat dibuat Ro foto segera setelah kejadian, sedangkan
benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto setelah 24
jam kemudian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda atelektasis
atau emfisema (Mariana, 2007).
Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan
lunak leher dan pemeriksaan toraks posteroanterior dan lateral sangat penting
pada aspirasi benda asing. Pemeriksaan toraks lateral dilakukan dengan lengan di
belakang punggung, leher dalam fleksi dan kepala ekstensi untuk melihat
keseluruhan jalan nafas dari mulut sampai karina. Karena benda asing di bronkus
utama atau lobus, pemeriksaan paru sangat membantu diagnosis (Mariana, 2007).
Video Fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran nafas secara
keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi dan adanya
obstruksi parsial. Emfisema obstruktif merupakan bukti radiologik pada benda
21
asing di saluran nafas setelah 24 jam beda teraspirasi. Gambaran emfisema
tampak sebagai pergeseran mediastinum ke sisi paru yang sehat pada saat
ekspirasi (mediastinal shift) dan pelebaran interkostal (Mariana, 2007).
Bronkogram berguna untuk benda asing radiolusen yang berada di perifer pada
pandangan endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis akibat benda asing
yang lama berada di bronkus.
Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya
gangguan keseimbangan asam basa serta tanda infeksi traktus trakeobronkial.
e. Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat
perlu diketahui dengan sebaik-baiknya gejala di tiap lokasi tersangkutnya benda
asing tersebut. Secara prinsip benda asing di saluaran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman, dengan
trauma yang minimum. Kebanyakan pasien dengan aspirasi benda asing yang
datang ke ahli THT telah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara
endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik dari segi alat maupun
personal yang telah terlatih (Mariana, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
22
3.1 Apa yang paling sering menjadi penyebab tertelan tulang?
Tertelan tulang paling sering disebabkan oleh tulang ikan (Handerson).
Memiliki beberapa penyebab terjadinya (McGill, 2000).
Pada anak:
Anomali kongenital (stenosis, fistula trakeoesofagus, pelebaran
pembuluh darah.
Tidak sengaja, karena belum mengerti. Pada saat makan ikan, anak-
anak kebanyakan belum dapat memisahkan tulang ikannya.
Pada dewasa:
Kehilangan kesadaran (pemabuk, gangguan mental, dan psikosis)
Mengunyah makanan yang terlalu terburu-buru sehingga tersedak.
Tertelan tulang ikan yang tidak disengaja pada saat makan ikan.
Faktor predisposisi :
Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial,
tempat tinggal.
Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan
tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi.
Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik.
Proses menelan yang belum sempurna pada anak.
Faktor dental, medical dan surgical, misalnya tindakan bedah,
ekstraksi gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak usia kurang
dari 4 tahun.
Faktor kejiwaan, antara lain; emosi, gangguan psikis
Faktor kecerobohan, antara lain; persiapan makanan yang kurang
baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil bermain2
23
Gambar 6. Anatomi Valekula dan Hipofaring
24
barium enema atau CT scan dapat membantu untuk mengkonfirmasi atau
melokalisasi benda asing.
Dalam kasus yang melibatkan dugaan benda asing orofaringeal, yang
biasanya hadir dengan sensasi benda asing, evaluasi dan pengobatan dipersulit
dengan fakta bahwa pemeriksaan fisik biasanya tidak membantu, hanya sebagian
kecil (26% dalam sebuah studi) pasien memiliki patologi di semua seperti yang
terlihat pada endoskopi, dan pencitraan tidak banyak membantu (radiografi polos
atau barium menelan) atau mahal (CT scan). Oleh karena luasnya ruang lingkup
presentasi benda asing di GI, diperlukan pendekatan yang bertahap.
25
lebih dahulu ujung yang tumpul, namun banyak otoritas
merekomendasikan pengeluaran endoskopi untuk hal ini juga.
26
maupun menelan, atau jika sensasi ketulangan tidak teratasi sepenuhnya selama 2
hari (Paulose; Higo dkk, 2003; Wai Pak M dkk, 2001).
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL. Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 7. Effendi H.
Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.pp.333-4
Anatomi dan fisiologi Tenggorokan. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 31 Maret 2014
29
Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho ,Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-
UI,jakarta 2007.
Tenggorokan: Anatomi dan Fisiologi Menelan. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|
id&u=http://webschoolsolutions.com/patts/systems/ear.htm diakses pada1
April 2014
Vagholkar, KR. Fish bone injuries of the upper aerodigestive tract. Available at
http://www.bhj.org/journal diakses pada1 April 2014
Wai Pak M, Chung Lee W, Kwok Fung H, van Hasselt CA. A prospective study of
foreign-body ingestion in 311 children. IntJ Pediatric Otorhinolaryngoly.
2001 Apr 6;58(1):37-45.
10
30