Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tulang tertelan merupakan salah satu bentuk tertelannya benda asing yang
relatif umum dalam praktek otolaringologi. Benda asing yang masuk melalui
mulut dapat tersangkut di orofaring, hipofaring, tonsil, valekula, sinus piriformis,
esofagus atau dapat juga tersedak masuk ke dalam laring, trakea dan bronkus.
Secara statistik, persentase aspirasi benda asing berdasarkan letaknya masing-
masing adalah; hipofaring 5%, laring atau trakea 12%, dan bronkus sebanyak 83
%1 (Mc Gill, 2000).
Tulang tertelan dapat menimbulkan rasa sakit dan disfagia. Upaya
membuang tulang ikan oleh jari mungkin malah akan menyebabkan kerusakan
lebih lanjut. Tulang tertelan dapat menyebabkan trauma yang tidak hanya terjadi
pada saluran aerodigestif atas tetapi juga pada setiap bagian lain dari saluran
pencernaan (Vagholkar, 2010).
Morbiditas yang berhubungan dengan lesi yang disebabkan oleh tulang
tertelan ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa tertelan benda asing
selalu diabaikan dalam kejadian subakut atau pengobatan yang tertunda. Tingkat
keparahan kerusakan yang disebabkan oleh tulang ikan mungkin disebabkan oleh
faktor predisposisi tertentu. Hal ini mencakup usia pasien, dan karakteristik
radiologis tulang ikan. Kelompok usia pasien, anak biasanya mengalami
komplikasi paru sementara pasien yang lebih tua dapat mengalami komplikasi
abses retrofaringeal (Munter, 2011).
Pengobatan yang tertunda biasanya didapat pada kelompok pasien usia
lebih muda. Radiolusensi tulang ikan telah terbukti berhubungan dengan tingginya
insiden komplikasi. Observasi hati-hati harus dilakukan, karena itu penting dalam
semua kasus cedera benda asing terlepas dari usia dan lokasi ketulangan.
Komplikasi dari ketulangan dapat berupa perforasi, abses retrofaringeal,
komplikasi paru atau pembentukan pseudoaneurisma. Perforasi dapat terjadi pada
setiap tingkat saluran pencernaan. Meliputi perforasi kerongkongan, lambung,

1
duodenum, usus halus terutama ileum dengan luka pada pembuluh mesenterika
yang mengakibatkan pendarahan masif. Pada kasus langka bahkan usus buntu dan
usus besar mungkin akan terpengaruh. Tulang ikan ini jika tidak ditangani dapat
bertransmigrasi dan menyebabkan kerusakan pada struktur intervensi (Vagholkar,
2010; Munter, 2011; Paulose, 2002)
Tujuan diskusi kali ini adalah membahas secara mendalam mengenai
kasus tulang tertelan, meliputi etiologi, penatalaksanaan, dan komplikasi.
Diharapkan melalui diskusi ini penulis dan peserta diskusi dapat
mengimplementasikan tindakan tatalaksana terbaik bila mendapatkan kasus
tertelan tulang nantinya.

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa yang paling sering menjadi penyebab tulang tertelan?
2. Bagaimana cara mengatasi bila tulang tertusuk di hipofaring atau valekula?
3. Apa yang akan terjadi bila tulang tidak diangkat?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di
bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan
esophagus (Rusmarjono dan Hermani, 2007).

Gambar 1. Anatomi Faring

Faring terdiri atas :


a) Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring,

3
torus tubarius, kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba
Eustachius. Batas antara cavum nasi dan nasofaring adalah choana. Kelainan
kongenital koana salah satunya adalah atresia koana.

Struktur Nasofaring :
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena kartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena muskulus levator veli palatini.
4. Plika salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plika salpingofaringea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari muskulus salphingofaringeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasofaring. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing
dan oropharing karena muskulus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei

b) Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina,
fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.
1. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut.

4
2. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
3. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya.

Tonsil disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel


skuamosa yang mengalami invaginasi yang membentuk kripta. Tampaknya
tidak dapat dibuktikan adanya penurunan kekebalan yang disebabkan oleh
pengangkatan tonsila (adenoid). Celah di atas tonsil merupakan sisa dari
endodermal muara arkus brankial kedua di mana fistula brankial atau sinus
internal bermuara. Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsil dan ruangan
sekitar jaringan dan dapat meluas ke atas pada dasar palatum mole sebagai
abses peritonsil (Rusmarjono dan Hermani, 2007).

Tonsil Lingualis
Tonsil lingualis tidak mempunyai susunan kripta yang rumit
dibandingkan tonsila fausialis, juga tidak begitu besar. Tonsil lingualis
mempunyai kripta-kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau
bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina. Hal yang sama pada
adenoid, dan terdapat kripta yang kurang jelas atau pembentukan celah
dalam kumpulan limfoid lain dalam fosa Rosenmuller dan dinding faring
(Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Tonsil Palatina
Tonsil palatina mempunyai susunan limfoidnya membentuk kripta.
Sistim kripta yang kompleks dalam tonsil palatina mungkin bertanggung
jawab pada kenyataan bahwa tonsil palatina lebih sering terkena penyakit
daripada komponen cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih berlekuk-
lekuk pada kutub atas tonsila, menjadi mudah tersumbat oleh partikel
makanan, mukus sel epitel yang terlepas, leukosit, dan bakteri, dan tempat
utama pertumbuhan bakteri patogen. Selama peradangan akut, kripta dapat
terisi dengan koagulum yang menyebabkan gambaran folikular yang khas
pada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Hermani, 2007).

5
Tonsila Faringeal
Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang
dinding posterior nasofaring di atas batas palatum mole. Adenoid biasanya
mengalami hipertrofi selama masa anak-anak, mencapai ukuran tebesar
pada usia pra-sekolah dan usia sekolah awal. Diharapkan dapat terjadi
resolusi spontan, sehingga pada usia 18-20 tahun jaringan adenoid
biasanya tidak nyata pada pemeriksaan rhinoskopi posterior.3 Bila sering
terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi
adenoid. Akibat dari hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan
sumbatan tuba eustachius (Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut
sehingga terjadi (a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi
insisivus ke depan, arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah
pasien tampak seperti orang bodoh, (b) gangguan ventilasi dan drainase
sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronis. Akibat sumbatan
tuba eustachius akan terjadi otitis media supuratif kronis. Akibat hipertrofi
adenoid akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental,
dan pertumbuhan fisik berkurang (Rusmarjono dan Hermani, 2007).
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletan 2,5 cm dibelakang
dan lateral tonsila.

6
Gambar 2. Anatomi Tonsil

Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang


merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial bentuknya bervariaso dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil, yang
tidak melekat erat pada otot faring (Rusmarjono dan Hermani, 2007).

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis
eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang
a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan
cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu
a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di
bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil
dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya
melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden
juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor

7
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim
cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina artery member
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).

Gambar 3. Pendarahan tonsil5

Fisiologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas
sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit
B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG (Rusmarjono dan Hermani,
2007).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan

8
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).

c) Laringofaring (Hipofaring)
Struktur yang terdapat di sini adalah valekula epiglotica, epiglotis, serta fossa
piriformis.

Gambar 4. Gambaran laringoskopi indirek

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas


anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan
laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pill (pill’s pocket), sebab pada beberapa
orang, kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ (Rusmarjono dan Hermani,
2007).
Di bawah valekula terdapat epiglotis. pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun untuk infantil (bentuk

9
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi sedemikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada
saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus (Rusmarjono dan
Hermani, 2007).
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung (Rusmarjono dan Hermani,
2007).

2.2 Fisiologi Menelan


Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut : (1)
pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik,
(2) usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan,
(3) kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus
makanan ke arah lambung, (4) mencegah masuknya bolus makanan dan minuman
ke dalam nasofaring dan laring, (5) mempercepat masuknya bolus makanan ke
dalam faring pada saat respirasi, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus.
Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal dan fase
esophageal (Soepardi dkk, 2002).

a. Fase Oral
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan
yang dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi
dan saliva untuk menggiling dan membentuk bolus dengan konsistensi dan
ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari
(Soepardi dkk, 2002).

Tabel 1. Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral


ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN

10
(motorik)
Mandibula n. V.2 (maksilaris) n.V : m. Temporalis, m.
maseter, m. pterigoid
Bibir n. V.2 (maksilaris) n.VII : m.orbikularis
oris, m. zigomatikum,
m.levator labius oris,
m.depresor labius oris,
m. levator anguli oris, m.
depressor anguli oris
Mulut & pipi n.V.2 (maksilaris) n.VII: m. mentalis, m.
risorius, m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.XII : m. hioglosus, m.
mioglosus

Pada fase oral ini perpindahan bolus dari rongga mulut ke faring
segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletakkan
bolus di atas lidah. Otot intrinsik lidah berkontraksi menyebabkan lidah
terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian anterior lidah
menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring. Bolus
menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring
sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas
akibat kontraksi m. palato faringeus (n. IX, n.X dan n.XII) (Soetirto,
2007).
Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf kranial n.V2
dan nV.3 sebagai serabut afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI,
n.XII sebagai serabut efferen (motorik) (Soepardi dkk, 2002).

Tabel 2. Peranan saraf kranial fase oral


ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)
Bibir n.V.2 (mandibularis), n.V: m.orbikularis oris,
n.V.3 (lingualis) m.levator labia oris, m. depressor

11
labius, m.mentalis
Mulut & pipi n.V.2 (mandibularis) n.VII: m.zigomatikus, levator
anguli oris, m.depressor anguli
oris, m.risorius. m.businator
Lidah n.V.3 (lingualis) n.IX,X,XI : m.palatoglosus
Uvula n.V.2 (mandibularis) n.IX,X,XI:m.uvulae,m.palatofaring

b. Fase Faringeal
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior
(arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini
terjadi6 :
1 m.Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X dan
n.XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula
tertarik ke atas dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
2 m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m.ariepiglotika (n.IX, nX)
m.krikoaritenoid lateralis (n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi
pita suara sehingga laring tertutup.
3 Laring dan tulang hyoid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena
kontraksi m.stilohioid, (n.VII), m.Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan
n.servikal I).

Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m.


Konstriktor faring inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m.konstriktor faring
inferior (n.X, n.XI) menyebabkan faring tertekan ke bawah yang diikuti oleh
relaksasi m. Krikofaring (n.X). Pergerakan laring ke atas dan ke depan,
relaksasi dari introitus esofagus dan dorongan otot-otot faring ke inferior
menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk ke dalam servikal
esofagus. Proses ini hanya berlangsung sekitar satu detik untuk menelan
cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat (Soetirto, 2007).

Tabel 3. Peranan saraf kranial pada fase faringeal


ORGAN AFFEREN EFFEREN
Lidah n.V.3 n.V :m.milohyoid,

12
m.digastrikus
n.VII : m.stilohyoid
n.XII,nC1 :m.geniohyoid,
m.tirohyoid
n.XII :m.stiloglosus
Palatum n.V.2, n.V.3 n.IX, n.X, n.XI :m.levator
veli palatini
n.V :m.tensor veli palatini
Hyoid n.Laringeus superior cab n.V : m.milohyoid, m.
internus (n.X) Digastrikus
n.VII : m. Stilohioid
n.XII, n.C.1 :m.geniohioid,
m.tirohioid
Nasofaring n.X n.IX, n.X, n.XI :
n.salfingofaringeus
Faring n.X n.IX, n.X, n.XI : m.
Palatofaring, m.konstriktor
faring sup, m.konstriktor
ffaring med.
n.X,n.XI : m.konstriktor
faring inf.
Laring n.rekuren (n.X) n.IX :m.stilofaring
Esofagus n.X n.X : m.krikofaring

Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2,
n.V.3 dan n.X sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan
n.XII sebagai serabut efferen Bolus dengan viskositas yang tinggi akan
memperlambat fase faringeal, meningkatkan waktu gelombang peristaltik
dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter esofagus bagian atas.
Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu
pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring
serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu faringeal transit
juga bertambah sesuai dengan umur (Sosialisman, 2007).

13
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik.
Mc.Connel dalam penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang
bekerja yaitu (Sosialisman, 2007) :
1 Oropharyngeal propulsion pomp (OOP) adalah tekanan yang
ditimbulkan tenaga lidah 2/3 depan yang mendorong bolus ke
orofaring yang disertai tenaga kontraksi dari m.konstriktor faring
2 Hypopharyngeal suction pomp (HSP) adalah merupakan tekanan
negatif akibat terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior
faring, sehingga bolus terisap ke arah sfingter esofagus bagian atas.
Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh m.konstriktor faring
inferior, m.krikofaring dan serabut otot longitudinal esofagus bagian
superior.

Gambar 5. Fisiologi menelan fase faringeal

Gambar 6. Fisiologi menelan fase faringeal

c. Fase Esofageal

14
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus
makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik. Fase ini
terdiri dari beberapa tahapan (Soetirto, 2007) :
Dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang
peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler
dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan
diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang merupakan respons akibat
regangan dinding esofagus. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi
oleh serabut saraf pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal
dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya
secara teratur menuju ke distal esofagus. Cairan biasanya turun akibat gaya
berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik dan berlangsung
selama 8-20 detik. Esophageal transit time bertambah pada lansia akibat dari
berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang
gelombang peristaltik primer (Soetirto, 2007).

Gambar 6. Fisiologi menelan fase esofagus

d. Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian

15
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke
atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan (Masjoer, 2007).
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul
dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum (Masjoer, 2007).

16
2.3 Benda Asing di Hipofaring

Benda asing di dalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh
atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada dan sebagai
penyebab sumbatan pada THT. Benda asing dari luar tubuh disebut eksogen,
biasanya dapat masuk dari mulut atau hidung. Benda asing eksogen dapat berupa
zat padat atau cair. Zat padat dapat berupa organik atau anorganik. Zat padat
organik dapat berupa tulang ataupun kacang-kacangan. Sedangkan zat anorganik
dapat berupa paku, peniti, atau batu. Benda asing eksogen cair dapat bersifat
iritatif seperti zat kimia dan benda cair yang non iritatif yaitu cairan dengan pH
7,4. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah,
nanah, krusta, perkijuan, membran difteri, bronkolit, cairan amnion, mekonium
dapat masuk kedalam saluran nafas bayi pada saat proses persalinan (Mariana,
2007).
Berdasarkan pengelompokkannya terbagi menjadi benda asing di telinga,
benda asing di hidung, benda asing di saluran napas, dan benda asing di
esophagus. Hipofaring termasuk ke dalam kelompok benda asing di saluran napas.

a. Etiologi dan faktor predisposisi


Faktor yang mempengaruhi terjadinya aspirasi benda asing ke dalam
saluran nafas antara lain :
1. Faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi social, tempat
tinggal)
2. Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain keadaan tidur,
kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi)
3. Faktor fisik, yaitu kelainan dan penyakit neurologik.
4. Proses menelan yang belum sempurna pada anak
5. Faktor dental, medikal, surgikal (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi,
belum tumbuhnya gigi molar pada anak yang berumur < 4 tahun
6. Faktor kejiwaan, antara lain emosi, gangguan psikis
7. Ukuran, bentuk serta sifat benda asing
8. Faktor kecerobohan (antara lain meletakkan benda asing di mulut, persiapan
makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, mkan sambil

17
bermain (pada anak-anak), memberikan kacang atau permen pada anak yang
gigi molarnya belum lengkap).

b. Patogenesis
Tujuh puluh lima persen dari benda asing di bronkus ditemukan pada anak
di bawah umur 2 tahun, dengan riwayat khas, yaitu pada saat benda atau makanan
ada di dalam mulut, anak tertawa atau menjerit, sehingga pada saat inspirasi,
laring terbuka dan makanan atau benda asing masuk ke dalam laring. Pada saat
benda asing itu terjepit di sfingter laring, pasien batuk berulang-ulang
(paroksismal), sumbatan di trakea, mengi dan sianosis. Bila benda asing telah
masuk ke dalam trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi fase asimtomatik
selama 24 jam atau lebih, kemudian diikuti oleh fase pulmonal dengan gejala
yang tergantung pada derajat sumbatan bronkus (Mariana, 2007).
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengambang oleh air, serta menyebabkan
iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema dan meradang, serta dapat
pula terjadi jaringan granulasi disekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan
bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis,
toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus (irregular) (Mariana, 2007).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan dan
lebih mudah didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik karena umumnya benda
asing anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal dan tipis,
seperti peniti, jarum dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih distal dengan
gejala batuk spasmodik. Benda asing yang lama berada di bronkus dapat
menyebabkan perubahan patologik jaringan, sehingga menimbulkan komplikasi
antara lain penyakit paru kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan
granulasi yang menutupi benda asing (Mariana, 2007).

c. Gejala dan tanda

18
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran nafas tergantung pada
lokasi benda asing, deraajat sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan
ukuran benda asing. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai
kematian sebelum diberi pertolongan, akibat sumbatan total. Seseorang yang
mengalaami aspirasi benda asing akan mengalami 3 stadium, yaitu (Mariana,
2007):
 Stadium pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batuk-batuk hebat secara
tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa tercekik (choking), rasa
tersumbat di tenggorokan (gagging), bicara gagap dan obstruksi jalan nafas
yang terjadi dengan segera.
 Stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatik.
Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah
dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya, sering
menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung mengabaikan
kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak jelas.
 Stadium ketiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau
infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-
batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru.

Bila seorang pasien, terutama anak, diketahui mengalami rasa tercekik atau
manifestasi lainnya, rasa tersumbat di tenggorok, batuk-batuk sedang makan,
maka keadaan ini haruslah dianggap sebagai gejala aspirasi benda asing
(Mariana,2007).
Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara pita
suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung besar, bentuk
dan letak benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang
gawat biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat.
Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain
disfonia sampai afonia, apnue dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat
menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai
sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing
(pasien akan menunjuk lehernya sesuai letak benda asing tersangkut) dan dispnue

19
dengan derajat bervaariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing masih
tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi masih
meninggalkan reaksi laring oleh karena edema laring (Mariana, 2007).
Benda asing di trakea, disamping gejala batuk dengan tiba-tiba yang
berulang-ulang dengan rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorokan,
terdapat gejala patognomonik yaitu audible slap, palpatory thud dan asthmatoid
wheeze (nafas berbunyi pada saat ekspirasi). Benda asing trakea yang masih dapat
bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda
asing itu akan terlempar ke laring. Sentuhan benda asing itu pada pita suara dapat
terasa merupakan getaran di daerah tiroid, yang disebut oleh Jackson sebagai
palpatory thud, atau dapat di dengar dengan stetoskop di daerah tiroid, yang
disebut audible slap. Selain itu terdapat juga gejala suara serak, dispnue dan
sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala palpatory thud
serta audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur terlentang
dengan mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid wheeze)
dapat didengar pada saat pasien membuka mulut dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit asma bronkial. Benda asing yang tersangkut di karina, yaitu
percabangan antara bronkus kanan dan kiri, dapat menyebabkan atelektasis pada
satu paru dan emfisema paru sisi lain tergantung pada derajat sumbatan yang
diakibatkan oleh benda asing tersebut (Mariana, 2007).
Benda asing di bronkus, lebih banyak masuk ke dalam bronkus kanan,
karena bronkus kanan hampir merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan
bronkus kiri membuat sudut dengan trakea. Pasien dengan benda asing di bronkus
yang datang ke rumah sakit kebanyakan berada pada fase asimtomatik. Pada fase
ini keadaan umum pasien masih baik dan foto rontgen toraks belum
memperlihatkan kelainan. Pada fase pulnonum, benda asing berada di bronkus
dan dapat bergerak ke perifer. Pada fase ini udara yang masuk ke segmen paru
terganggu secara progresif, dan pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
disertai dengan mengi. Derajat sumbatan bronkus dan gejala yang ditimbulkannya
bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran dan sifat benda asing dan dapat timbul
emfisema, atelektasis, drowned lung serta abses paru. Benda asing organik

20
menyebabkan reaksi yang hebat pada saluran nafas dengan gejala
laringotrakeabronkitis, toksemia, batuk dan demam ireguler. Tanda fisik benda
asing di bronkus bervariasi, karena perubahan posisi benda asing dari satu sisi ke
sisi lain dalam paru (Mariana, 2007).
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di
tonsil, dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang menimbulkan rasa nyeri pada
waktu menelan (odinofagia), baik makanan maupun ludah, terutama bila benda
asing tajam seperti tulang ikan, tulang ayam. Untuk memeriksa dan mencari benda
itu di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorok yang
besar (no 8-10). Benda asing di sinus piriformis menunjukkan tanda Jakcson
(Jakcson’s Sign) yaitu terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda
asing tersangkut. Bila benda asing menyumbat introitus esophagus, maka tampak
ludah tergenang di kedua sinus piriformis (Mariana, 2007).

d. Pemeriksaan penunjang
Pada kasus benda asing di saluran nafas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik dan laboratorium utuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing
yang bersifat radioopak dapat dibuat Ro foto segera setelah kejadian, sedangkan
benda asing radiolusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto setelah 24
jam kemudian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda atelektasis
atau emfisema (Mariana, 2007).
Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan
lunak leher dan pemeriksaan toraks posteroanterior dan lateral sangat penting
pada aspirasi benda asing. Pemeriksaan toraks lateral dilakukan dengan lengan di
belakang punggung, leher dalam fleksi dan kepala ekstensi untuk melihat
keseluruhan jalan nafas dari mulut sampai karina. Karena benda asing di bronkus
utama atau lobus, pemeriksaan paru sangat membantu diagnosis (Mariana, 2007).
Video Fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran nafas secara
keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi dan adanya
obstruksi parsial. Emfisema obstruktif merupakan bukti radiologik pada benda

21
asing di saluran nafas setelah 24 jam beda teraspirasi. Gambaran emfisema
tampak sebagai pergeseran mediastinum ke sisi paru yang sehat pada saat
ekspirasi (mediastinal shift) dan pelebaran interkostal (Mariana, 2007).
Bronkogram berguna untuk benda asing radiolusen yang berada di perifer pada
pandangan endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis akibat benda asing
yang lama berada di bronkus.
Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya
gangguan keseimbangan asam basa serta tanda infeksi traktus trakeobronkial.

e. Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat
perlu diketahui dengan sebaik-baiknya gejala di tiap lokasi tersangkutnya benda
asing tersebut. Secara prinsip benda asing di saluaran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman, dengan
trauma yang minimum. Kebanyakan pasien dengan aspirasi benda asing yang
datang ke ahli THT telah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara
endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik dari segi alat maupun
personal yang telah terlatih (Mariana, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN

22
3.1 Apa yang paling sering menjadi penyebab tertelan tulang?
Tertelan tulang paling sering disebabkan oleh tulang ikan (Handerson).
Memiliki beberapa penyebab terjadinya (McGill, 2000).
Pada anak:
 Anomali kongenital (stenosis, fistula trakeoesofagus, pelebaran
pembuluh darah.
 Tidak sengaja, karena belum mengerti. Pada saat makan ikan, anak-
anak kebanyakan belum dapat memisahkan tulang ikannya.
Pada dewasa:
 Kehilangan kesadaran (pemabuk, gangguan mental, dan psikosis)
 Mengunyah makanan yang terlalu terburu-buru sehingga tersedak.
 Tertelan tulang ikan yang tidak disengaja pada saat makan ikan.
Faktor predisposisi :
 Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial,
tempat tinggal.
 Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan
tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi.
 Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik.
 Proses menelan yang belum sempurna pada anak.
 Faktor dental, medical dan surgical, misalnya tindakan bedah,
ekstraksi gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak usia kurang
dari 4 tahun.
 Faktor kejiwaan, antara lain; emosi, gangguan psikis
 Faktor kecerobohan, antara lain; persiapan makanan yang kurang
baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil bermain2

3.2 Bagaimana cara mengatasi bila tulang tertusuk di hipofaring atau


valekula?

23
Gambar 6. Anatomi Valekula dan Hipofaring

Hipofaring adalah area faring yang terletak di belakang dan dibawah


orofaring, di luar jarak pandang dari luar, sehingga tidak dapat dilihat pada
pemeriksaan rutin. Untuk memeriksa dan mencari benda asing (tulang ikan, tulang
ayam dll) di dasar lidah, valekula, dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorok
yang besar (no 8-10). Pada pasien dengan riwayat menelan benda asing
nonradiopak (tulang), CT scan dan rujuk untuk endoskopi diperlukan jika benda
asing terlokalisir di orofaring atau kerongkongan.
Pasien harus berada dalam posisi yang nyaman. Pasien dengan gangguan
jalan napas mungkin perlu manajemen jalan nafas akut. Pasien yang tidak dapat
mentoleransi sekresi sering paling nyaman dalam posisi duduk. Kateter suction
harus disediakan untuk membantu dalam menangani sekresi.
Pengobatan pasien dengan benda asing yang diduga radiopak biasanya
langsung karena dapat dengan mudah dilokalisasi pada radiografi polos. Untuk
benda asing nonradiopak, radiografi biasa tidak membantu. Pemeriksaan seperti

24
barium enema atau CT scan dapat membantu untuk mengkonfirmasi atau
melokalisasi benda asing.
Dalam kasus yang melibatkan dugaan benda asing orofaringeal, yang
biasanya hadir dengan sensasi benda asing, evaluasi dan pengobatan dipersulit
dengan fakta bahwa pemeriksaan fisik biasanya tidak membantu, hanya sebagian
kecil (26% dalam sebuah studi) pasien memiliki patologi di semua seperti yang
terlihat pada endoskopi, dan pencitraan tidak banyak membantu (radiografi polos
atau barium menelan) atau mahal (CT scan). Oleh karena luasnya ruang lingkup
presentasi benda asing di GI, diperlukan pendekatan yang bertahap.

 Pasien dalam kondisi tidak stabil


- Pasien dengan gangguan jalan napas, air liur, ketidakmampuan untuk
mentolerir cairan, atau bukti sepsis, perforasi, atau perdarahan aktif
dianggap dalam kondisi tidak stabil.
- Pengobatan meliputi manajemen jalan nafas, diikuti oleh endoskopi segera.
- Pasien dengan air liur berlebih mungkin lebih nyaman memegang kateter
penghisap dan menggunakannya jika diperlukan.
 Pasien dalam kondisi yang stabil
- Pada pasien yang mengeluh sensasi benda asing di orofaringeal, lakukan
pemeriksaan orofaringeal langsung dan tidak langsung atau
nasopharyngoscopy fiberoptic,
- Radiografi melokalisir objek radiopak.
 Jika benda asing tajam, panjang (> 5 cm di kerongkongan, > 6 cm di
dalam perut atau usus halus), atau jumlahnya banyak, rujuk untuk
endoskopi. Objek yang tajam seperti pin, pisau cukur, tusuk gigi, dan
tulang ayam, harus dikeluarkan dengan endoskopi segera karena
hingga 35% dari benda-benda tajam melubangi dinding usus jika tidak
dikeluarkan.
 Jika benda asing lebih kecil dan tajam seperti pin lurus, transit di
saluran pencernaan tanpa kesulitan, gerakan peristaltik membawa

25
lebih dahulu ujung yang tumpul, namun banyak otoritas
merekomendasikan pengeluaran endoskopi untuk hal ini juga.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk ekstraksi tulang di valekula:


Alat dan bahan yang dibutuhkan :
1. Kasa
2. Tongue spatula
3. Headlamp
4. Kaca laring
5. Ekstraktor (aligator)
6. Telengoskope
7. Suction
Jika gejalanya ringan, periksa kemampuan menelan pasien, pertama
dengan menggunakan secangkir air kemudian sepotong roti. Perhatikan gejala apa
yang timbul, atau apakah roti mampu menghilangkan sensasi ketulangan.
Kemudian , lihat orofaring menggunakan tongue spatula untuk mencari letak
tulang (Paulose; Higo dkk, 2003; Wai Pak M dkk, 2001).
Lihat hipofaring dengan lampu kepala, perhatikan dasar lidah, tonsil dan
valekula, dimana tulang biasanya menyangkut. Tarik lidah pasien keluar
(menggunakan kasa) dan perintahkan pasien mengangkat palatum mole nya.
tindakan ini bisa saja dilakukan tanpa anestesi topical, tapi jika pasien ingin
muntah, kita dapat menganestesi palatum mole dan faring posterior dengan
lidocaine spray 10% atau menyuruh pasien berkumur menggunakan xylocaine.
Tulang ikan yang kecil biasanya sulit dilihat.. jika tulang langsung dapat
dilihat, hati-hati mengambilnya dengan forsep Tilley. Tulang yang terletak di
antara dasar lidah atau hipofaring membutuhkan laringoskopi indirek untuk
melihatnya atau dengan telengoscope jika memungkinkan (Paulose; Higo dkk,
2003; Wai Pak M dkk, 2001).
Penatalaksanaan lebih lanjut mungkin tidak diperlukan, namun rencanakan
pasien untuk follow-up jika nyeri memburuk, timbul demam, sulit bernafas

26
maupun menelan, atau jika sensasi ketulangan tidak teratasi sepenuhnya selama 2
hari (Paulose; Higo dkk, 2003; Wai Pak M dkk, 2001).

3.3 Apa yang akan terjadi bila tulang tidak diangkat?


Benda asing organik, seperti tulang mempunyai sifat higroskopik, mudah
menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta menyebabkan iritasi pada mukosa.
Di saluran pencernaan, sebuah benda asing yang bersarang akan ada sedikit efek
atau tidak menyebabkan peradangan lokal yang menyebabkan nyeri, perdarahan,
jaringan parut, dan obstruksi, atau mengikis melalui saluran pencernaan. Migrasi
dari esofagus paling sering mengarah ke mediastinitis tetapi mungkin melibatkan
saluran pernapasan bagian bawah atau aorta dan membuat fistula aortoenteric.
Migrasi melalui saluran pencernaan yang lebih rendah dapat menyebabkan
peritonitis.
Diperkirakan 1500 kematian terjadi setiap tahun dari benda asing pada
saluran cerna atas. Benda asing yang tertinggal dapat menyebabkan erosi mukosa
GI, abrasi, parut lokal, atau perforasi. Benda asing di esofagus dapat
menyebabkan peritonitis, mediastinitis, pneumotoraks, pneumomediastinum,
pneumonia, atau penyakit pernapasan lainnya. Migrasi ke aorta dapat
menghasilkan fistula aortoenteric, komplikasi yang mengerikan dengan angka
kematian yang tinggi.
Bila tulang ikan berada di saluran pernapasan seperti bronkus, mukosa
bronkus menjadi edema dan meradang serta dapat pula terjadi jaringan granulasi
di sekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan bronkus makin menghebat.
Akibatnya timbul gejala laringotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan demam yang
irreguler. Benda asing yang bertahan lama di bronkus dapat menyebabkan
perubahan patologik jaringan, sehingga menimbulkan komplikasi antara lain
penyakit paru kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi
yang menutupi benda asing.

27
28
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL. Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 7. Effendi H.
Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.pp.333-4
Anatomi dan fisiologi Tenggorokan. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 31 Maret 2014

Henderson. Foreign Bodies in Upper Aerodigestive. Available at


http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm132.pdf diakses pada1April
2014
Higo R, Matsumoto Y, Ichimura K, Kaga K. Foreign bodies in the
aerodigestivetract in pediatric patients. Auris Nasus Larynx. 2003 Dec; 30
(4):397-401.
Mansjoer, A, et al; 2001. Tenggorok dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta
Mariana. Benda Asing di Saluran Napas dalam: Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-UI,jakarta 2007
hal 259-65
McGill, Trevor J.I, Laurie Ohlms. Foreign Bodies in the Upper Aerodigestive
Tract.. 2000. Didapat dari:
http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm132.pdf Diakses 2 April
2014
Munter, DW. Foreign Bodies, Gastrointestinal. Available at
http://www.eMedicine.com diakses pada 2 April 2014
Paulose. Fish bone in the throat. Available at http://www.drpaulose.com
Perkasa, M. Fadjar. Ekstraksi Benda Asing Laring dengan Neuroleptic Anesthesia.
Medicinus, 2009; 22 (1)
Rusmarjono dan Hermani. Nyeri Tenggorok dalam: Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-
UI,jakarta 2007 hal 212-16

29
Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho ,Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala & Leher.Edisi V.Penerbit FK-
UI,jakarta 2007.
Tenggorokan: Anatomi dan Fisiologi Menelan. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|
id&u=http://webschoolsolutions.com/patts/systems/ear.htm diakses pada1
April 2014
Vagholkar, KR. Fish bone injuries of the upper aerodigestive tract. Available at
http://www.bhj.org/journal diakses pada1 April 2014
Wai Pak M, Chung Lee W, Kwok Fung H, van Hasselt CA. A prospective study of
foreign-body ingestion in 311 children. IntJ Pediatric Otorhinolaryngoly.
2001 Apr 6;58(1):37-45.

10

30

Anda mungkin juga menyukai