Anda di halaman 1dari 11

Rift Valley Fever

Rift Valley Fever adalah salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari

genus Phlebovirus dan family Bunyaviridae (Lefevre, 1997). Rift Valley Fever ditularkan secara

zoonosis oleh nyamuk ke ruminansia dan manusia (Daubney et al., 1931). Sedikitnya ada 30 spesies

nyamuk yang ditemukan terinfeksi Rift Valley virus (RVFV), sebagian besar dari jenis Aedes dan

Culex (Chevalier et al., 2010) seperti Ae. mcintoshi, Ae. vexans arabiensis, Ae. caballus, Ae.

circumluteolus, Ae. tarsalis, Ae. lineatopennis, Ae. dentatus, Ae. palpalis, Ae. mcintoshi, Cx. pipiens,

Cx. Culex, Cx. theileri, Cx. Poicilipes dan Cx. antennatus (Pepin et al., 2010). Penyebaran infeksi

penyakit ini ke daerah non endemik kemungkinan besar karena agen penyebab RVF virus (RVFV)

mampu memanfaatkan berbagai vektor nyamuk (Turrel et al. 1998).

Sejarah Penyakit

Penyakit RVF diketahui mulai endemik di Afrika sejak tahun 1912 (Peters dan Linthicum,

1994). Virus yang menyebabkan Rift Valley Fever (RVF) pertama kali diisolasi pada tahun 1930,

investigasi dari kasus aborsi domba betina dan kematian domba yang baru lahir di sebuah peternakan di

Rift Valley, Kenya dan disertai dengan kasus demam pada manusia (Daubney et al., 1931). Sejak itu

RVF dilaporkan telah menyerang sebagian negara sub Sahara, seperti di Kenya dan Tanzania (Meegan

dan Bailey, 1989). Wabah berikutnya dengan kasus manusia dilaporkan di Afrika Selatan (Joubert et

al., 1951) dan Lembah Nil (Sudan - Mesir) (Abdel-Wahab et al., 1978).

Sejak itu, banyak wabah RVF telah dilaporkan di berbagai daerah di Afrika. Kasus terbesar pada

manusia terjadi di Mesir pada 1977-1978, diperkirakan ada 200.000 infeksi, dengan 600 terjadi

kematian. Pada tahun 2000, wabah terjadi di Arab Saudi dan Yaman, ini merupakan yang pertama
terdeteksi di luar benua Afrika. Hal ini meningkatkan kekhawatiran bahwa penyakit ini dapat menyebar

lebih lanjut ke Asia atau Eropa, atau bahkan untuk Belahan Barat (Ahmed et al., 2009).

Gambar: Penyebaran distribusi Rift Valley Fever

Agen Etiologi

Agen etiologi penyakit ini adalah Rift Valley Fever Virus (RVFV) yang berpotensi ditularkan

oleh spesies yang berbeda dari vektor serangga yang memiliki distribusi global yang luas (Gubler,
2002). Rift Valley demam virus (RVFV) adalah anggota dari genus Phlebovirus, salah satu dari lima

golongan dalam keluarga Bunyaviridae (Daubney and Hudson, 1931). Virus ini mengandung tiga

genom segmen, yaitu terdiri dari large (L), medium (M) dan small (S) (Elliot, 1996). Segmen L

mengkode RNA polimerase yang tergantung RNA virus, dan segmen M mengkode setidaknya dua non-

struktural protein yang fungsinya tidak diketahui, gabungannya disebut sebagai NSM dan glikoprotein

struktural Gn dan Gc (Gerrard dan Nichol, 2007).

Secara serologis RVF virus ini mempunyai hubungan dengan genus Phlebovirus lain, tetapi

dapat dibedakan dengan serum netralisasi tes. Hanya ada satu serotipe RVF virus. Virus ini tidak aktif

oleh pelarut lemak (misalnya eter) dan dengan natrium kuat atau kalsium hipoklorit (residu klorin boleh

melebihi 5000 ppm) (FAO, 2002).

Penularan/Penyebaran Penyakit

Penularan utama terjadi lewat gigitan/ tusukan nyamuk. Vektor utama penyakit ini adalah Culex

pipiens (Mesir), Aedes sp (Afrika timur), Culex theileri dan Aides caballus (Afrika Selatan). Penularan

dapat pula terjadi secara kontak langsung dengan jaringan hewan yang baru lahir (placenta, fetus) dari

sapi, domba atau kambing yang mati abortus akibat RVF (Iowa State University 2005). Transmisi

lainnya dapat melalui darah atau jaringan hewan sewaktu merawat hewan sakit, melakukan bedah

bangkai (autopsi) untuk pemeriksaan laboratorik atau pemotongan hewan di RPH. Dalam jumlah

terbatas, dilaporkan terjadi penularan aerosol pada petugas laboratorium (Soeharsono 2002). Di

wilayah enzootik seperti Kenya, Zimbabwe dan negara-negara lain di Afrika Tengah, RVFV menyebar

dalam lingkungan melalui transmisi vertikal pada sesama nyamuk dan transmisi horisontal pada

nyamuk dengan hewan (Olive et al., 2012).

Selain penyebaran wabah penyakit dalam wilayah enzootik RVF, di beberapa dekade

sebelumnya penyebaran RVFV ke sejumlah negara lain di dalam dan di luar Afrika, termasuk Mesir,
Madagaskar, Mauritania dan Arab Saudi, tampaknya sebagai hasil dari angkutan komersial hewan yang

terinfeksi. (Grobbelaar et al., 2011). Morbiditas RVF sangat bervariasi, tergantung pada kerentanan

host dan faktor lainnya. Menurut OIE, hewan muda seperti anak domba, anak anjing, dan anak kucing

dianggap "sangat rentan" angka kematian antara 70-100 persen. Domba dan sapi perah dianggap

"sangat rentan" dengan angka kematian antara 20-70 persen. Sapi dewasa, kambing, dan kerbau

dianggap "kurang rentan "dan mortalitas biasanya kurang dari 10 persen (USAHA, 2008).

Dari berbagai kejadian wabah penyakit RVF ternyata munculnya mengikuti tingginya curah

hujan dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya genangan air di daratan yang cukup lama yang

terkait erat dengan perkembangbiakan vektor (nyamuk). Proyek irigasi selama abad ke-20 di Afrika

memicu terjadinya wabah penyakit RVF karena bermunculannya nyamuk dalam jumlah yang sangat

banyak. Hal ini juga telah dibuktikan melalui timbulnya genangan air di daerah epizootik di Kenya,

ternyata jutaan larva Ae. Mcintoshi menetas dan virus RVF dapat diisolasi dari nyamuk dewasa

termasuk nyamuk jantan. Dengan demikian penularan transovarial virus memberikan suatu penjelasan

yang dapat diterima akal (Gould dan Higgs, 2009).

Karena penyakit RVF ini ditularkan oleh nyamuk Aedes spp. sebagai vektor, maka kondisi iklim

merupakan pemicu timbulnya penyakit RVF. Oleh karena itu, secara teori penyakit RVF ini

memungkinkan untuk tersebar sampai negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Disamping itu,

selain faktor perubahan iklim, faktor lain seperti perpindahan hewan yang terinfeksi melalui

perdagangan (ekspor/ impor) atau terbawa melalui vektor nyamuk yang kompeten ke daerah yang

bukan epidemik RVF dan menyebar di luar batas geografisnya. Oleh karena itu, dapat diantisipasi

pencegahannya melalui kontrol terhadap vektornya disertai dengan melakukan surveilans pada iklim

tertentu atau pada keadaan terjadinya perubahan iklim sebelum terjadinya penyakit sehingga

penyebaran penyakit dapat dihambat (Bahri dan Syafriati, 2011)


Gambar: Siklus penyebaran Rift Valley Fever (RVF) (Balenghien , 2013)

Gejala Klinis

Virus dapat menyebar pada tingkat yang sangat rendah, tiba-tiba, tanpa atau dengan sedikit

tanda-tanda klinis, transmisi ini menjadikan penyakit sangat sulit untuk dideteksi (FAO, 2003). Di

daerah Mayotte, pada tahun 2004, di mana seroprevalensi hingga 22% (130 hewan diuji) pada

ruminansia diperkirakan tanpa gejala klinis. Untuk mendeteksi RVFV, beberapa pengujian yang
tersedia adalah deteksi molekular (RT-PCR), deteksi antigen virus, anti-RVF IgM atau IgG deteksi daya

tahan tubuh (Pepin et al., 2010) enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA), dan agar gel

immunodiffusion (AGID) (OIE, 2008).

Masa inkubasi bervariasi dari 1 sampai 6 hari. Masa inkubasi 12-72 jam untuk anak domba

yang baru lahir dan 24-72 jam pada domba dewasa, kambing, serta sapi (USDA, 2013). Rift Valley

Fever lebih sering menginfeksi hewan muda daripada hewan dewasa (Iowa State University 2005).

Domba adalah spesies yang paling rentan, sementara sapi, kambing, dan unta tingkatnya bervariasi

(Findlay, 1931).

Pada sapi ditandai dengan demam (104-106 ° F / 40-41 ° C), lemah, depresi, diare, dan penyakit

kuning. Pada sapi dewasa sering mengalami infeksi tanpa gejala awal, penyakit klinis ditandai dengan

demam selama 24-96 jam, air liur berlebihan, anoreksia, diare berdarah, produksi susu rendah, dan

tingkat aborsi yang tinggi pada sapi hamil. Pada domba yang baru lahir (kurang dari 2 minggu usia)

ditandai dengan demam (104-106 ° F / 40-41 ° C), anoreksia, lemah, sakit perut, pernafasan lebih

cepat, dan kematian dalam waktu 24-36 jam. Sementara pada domba dewasa dan kambing mengalami

demam yang berlangsung 24-96 jam, anoreksia, lemah, depresi, peningkatan frekuensi napas, muntah,

diare berdarah, dan tingkat aborsi mendekati 100 persen (USDA, 2013).

Patologi anatomi

Patologi biasanya menemukan nekrosis hati, splenomegali, dan perdarahan gastrointestinal

(USDA, 2013). Terdapat pula pendarahan berupa titik dan spot pada seluruh permukaan serosa,

limphonodus, subkutan, ginjal dan jaringan lainnya. Pada beberapa kasus infeksi misalnya pada anak

domba, hati mengalami pembengkakan dan pengerasan. Jika tidak diselubungi darah, maka hati akan

tampak berwarna pucat coklat keabu-abuan hingga kuning kecoklatan serta terlihat spot putih dengan

diameter 1-2 mm. Vesica urinaria mengalami edema dan pendarahan, serta seluruh lymphonodus
membengkak. Sistem pencernaan menunjukkan perubahan yang bervariasi dari pendarahan hingga

nekrosa. Penimbunan cairan (ascites) di rongga perut, rongga dada, dan paru-paru kadang muncul, serta

karkas juga berwarna kekuningan (FAO 2002).

Histopatologi

Penampakan hati yang terkena RVF adalah adanya nekrosa di daerah centrilobular. Beberapa

hati bahkan menunjukkan penimbunan mineral. Hadir pula sel-sel radang limfosit, eosinofil dan

neutrofil yang mengalami penyusutan dan peluruhan. Pada hewan dewasa lebih sedikit area hati yang

mengalami nekrosa, dan hanya pada lobus tertentu (FAO 2002). Perubahan pada hati pada domba yang

baru lahir berlanjut dari focal, lesi primer, dan necrotik hepatocit dengan badan asidofilik dalam 6

sampai 12 jam untuk pembesaran foci primer dan degenerasi parenkim dalam 30 sampai 36 jam

( Coetzer dan Ishak 1982).

Pengobatan dan Vaksinasi

Vaksin yang aman sekarang telah tersedia untuk ternak (Dungu, 2010), mungkin cara ini yang

efisien untuk melindungi hewan dan manusia dari penularan virus di daerah endemik. Bahkan jika bisa

bereaksi dengan baik untuk generasi virus rekombinan, vaksin juga dapat digunakan di daerah infeksi

yang sedang berlangsung (Grobbelaar, 2011). Ada 2 vaksin yang tersedia dan biasanya digunakan

untuk mengendalikan RVF di negara-negara endemik yaitu vaksin aktif dan vaksin inaktif.

Vaksin aktif Smithburn menginduksi kekebalan tubuh seumur hidup pada domba dan kambing.

Vaksin Smithburn memiliki potensi pengembalian, sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan secara

luas di daerah-daerah non endemik dan negara yang sedang wabah (USDA, 2013). Vaksin yang tidak

aktif tidak memberikan kekebalan jangka panjang dan dengan demikian memerlukan penguat vaksinasi

dan vaksinasi ulangan setiap tahun untuk memberi kekebalan dari infeksi. Vaksin inaktif
direkomendasikan untuk digunakan pada hewan bunting dan di negara-negara bebas dari wabah RVF.

Penelitian dan pengembangan vaksin RVF sedang diupayakan oleh USDA untuk memenuhi kebutuhan

Amerika Serikat dalam hal wabah RVF di negerinya (Ikegami, 2009).

Pencegahan dan Kontrol

Beberapa tindakan pengendalian yang dilakukan yaitu

• mengawasi perpindahan ternak dalam perdagangan dan ekspor

• pengendalian vektor dengan penekanan pada larvasida di tempat perkembangbiakan vektor

• vaksinasi ternak (Nicolas, 2013)

Karena penyebaran RVF bisa masuk melalui ternak ruminansia domestik dari negara-negara

yang terinfeksi, OIE Internasional menyarankan supaya hewan masuk dari negara yang terinfeksi

dilampirkan dengan sertifikat penyajian keterangan kesehatan hewan dari dokter hewan setempat. Tapi

sampai saat ini, semua rekomendasi ini sering diabaikan seperti di Tanzania dan Comoros (Cêtre-

Sossah, 2009). Hal ini juga sering terjadi di beberapa negara kepulauan yang masih maraknya

perdagangan ilegal dengan mengabaikan kesehatan ternak.

Tindakan karantina dan kontrol juga harus segera dilakukan jika muncul dugaan penyakit ini

pada suatu wilayah tertentu. Minimal radius 10 km dari wilayah yang terkena harus dilakukan kontrol

secara intensif (Aziz ,2008). Membatasi atau melarang pergerakan ternak merupakan upaya yang cukup

efektif dalam memperlambat perluasan virus dari daerah yang terinfeksi ke daerah-daerah yang tidak

terinfeksi. Daerah berisiko juga harus ditentukan berkaitan dengan kondisi geografis, arah angin, dan

kehadiran vektor (IOWA State University, 2007).

Pemantauan yang berkelanjutan serta pelaporan setiap terjadi kasus dan kematian merupakan

hal yang sangat penting. Setiap terjadi kasus baru harus dilaporkan dan dilakukan peningkatan
pengawasan di seluruh wilayah. Kasus pada hewan harus dilaporkan kepada otoritas veteriner. Namun,

kontrol pada wilayah epidemi tidak hanya dilakukan oleh dokter hewan, tetapi diperlukan pendekatan

multilembaga antara otoritas veteriner dan kesehatan. Pemberitaan secara resmi terkait kasus RVF juga

harus selalu dilaporkan kepada masyarakat secara profesional sehingga epidemi dapat terungkap (Aziz,

2008).
Daftar Pustaka

Abdel-Wahab KS, El Baz LM, El-Tayeb EM, Omar H, Ossman MA, & Yasin W. 1978. Rift Valley
Fever virus infections in Egypt: Pathological and virological findings in man. Trans R Soc Trop
Med Hyg. 72: 392–396.
Ahmed J, Bouloy M, Ergonul O, Fooks A, Paweska J, Chevalier V, Drosten C, Moormann R, Tordo N,
Vatansever Z, Calistri P, Estrada-Pena A, Mirazimi A, Unger H, Yin H, & Seitzer U. 2009.
International network for capacity building for the control of emerging viral vector-borne
zoonotic diseases: Arbo-Zoonet. Euro Surveill. 1419160
Aziz MIA. 2008. Rift valley fever: the storyunfolds. Sudanese J of Public Health 3(1). 5-10.
Bahri S, & Syafriati T. 2011. Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di
Indonesia. WARTAZOA. Vol. 21 No. 1
Balenghien T, Cardinale E, Chevalier V , Elissa N, Failloux AB, Nipomichene TJJ, Nicolas G,
Rakotoharinome VM, Roger M, & Zumbo B. 2013. Towards a better understanding of Rift
Valley fever epidemiology in the south-west of the Indian Ocean. Veterinary Research. 44:78
Cêtre-Sossah C, & Albina E. 2009. Rift Valley Fever: Veterinary aspects and impact for human health.
Med Trop. 69:358–361.
Chevalier V, Pepin M, Plee L, & Lancelot R. 2010. Rift Valley fever—A threat for Europe?. Euro
Surveillance. 15(10), 30–40.
Coetzer JAW, & Ishak KG. 1982. Sequential development of the liver lesions in new-born lambs
infected with Rift Valley fever virus. I. Macroscopic and microscopic pathology. Onder-stepoort
Journal of Veterinary Research. 49:103-108.
Coetzer JAW, Thompson GR, & Tustin RD. 2004. Infectious Diseases of Livestock with Special
Reference to Southern Africa. second ed. Oxford University Press; Cape Town, South Africa.
1037-1070.
Daubney R, Hudson JR, & Garnham PC. 1931. Enzootic hepatitis of Rift Valley fever. An undescribed
virus disease of sheep, cattle, and man from East Africa. The Journal of Pathology and
Bacteriology. 34, 545–579.
Dungu B, Louw I, Lubisi A, Hunter P, von Teichman B, & Bouloy M. 2010. Evaluation of the efficacy
and safety of the Rift Valley Fever Clone 13 vaccine in sheep. Vaccine. 28:4581–4587.
Elliott, R.M. 1996. The Bunyaviridae. New York & London: Plenum Press.
FAO. 2002. Preparation of Rift Valley fever contingency plans. FAO Animal Health Manual. Rome.
Findlay GM. 1931. Rift Valley fever on enzootic hepatitis. Trans R Soc Trop Med Hyg. 25:229–262.
Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2003. In Preparation of Rift Valley Fever
Contingency Plans.
Gerrard SR, & Nichol ST. 2007. Synthesis, proteolytic processing and complex formation of N-
terminally nested precursor proteins of the Rift Valley fever virus glycoproteins. Virology. 357(2):
124-33.
Gould EA, & Higgs S. 2009. Impact of climate change and other factors on emerging arbovirus
diseases. Transactions of The Royal Society of Trop. Med. Hygiene. 103: 109 – 121
Gubler DJ. 2002. The global emergence/resurgence of arboviral diseases as public health problems.
Arch. Med. Res. 33, 330–342
Grobbelaar AA, Weyer J, Leman PA, Kemp A, Paweska JT, & Swanepoel R. 2011. Molecular
epidemiology of Rift Valley fever virus. Emerg Infect Dis. 17:2270–2276.
Ikegami T, Makin S. 2009. Rift Valley fever vaccines. Vaccine. 27: D69–D72.
IOWA State University. 2005. Rift Valley Fever. The Center for Food Security and Public Health.
IOWA State University. 2007. Rift valley fever Infectious enzootic hepatitis of sheep and cattle. Ames:
College of veterinary Medicine, IOWA State University.
Joubert JD, Ferguson AL, & Gear J. 1951. Rift Valley fever in South Africa: 2. The occurrence of
human cases in the Orange Free State, the north-western Cape province, the western and
southern Transvaal. An epidemiological and clinical findings. S Afr Med J. 25:890–891.
Lefevre PC. 1997. Actualite de la fievre de la Vallee du Rift quels enseignements tirer des epidemies de
1977 et 1987. Med Trop. (Mars) 57. 61–64.
Meegan J, Bailey CL. 1989. Rift Valley fever. In The arboviruses: epidemiology and ecology. Edited by
Monath TP. Boca Raton: CRC Press Inc. 51–76.
Nicolas G, Durand B, Durboz R, Rakotondravao R, & Chevalier V. 2013. Description and analysis of
the cattle trade network in the Madagascar highlands: potential role in the diffusion of Rift Valley
fever virus. Acta Trop. 126:19–27.
OIE. 2008. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines Terrestrial Animal. Chapter 2.1.14,
Olive MM, Goodman SM, & Reynes JM. 2012. The role of wild mammals in the maintenance of rift
valley Fever virus. J Wildl Dis. 48:241–266.
Peters, C. J. & Linthicum, K. J. 1994. In Handbook of Zoonoses, section B., Viral, 2nd edn, pp. 125–
138. Edited by G. W. Beran & J. H. Steele. Boca Raton, FL : CRC Press.
Pepin M, Bouloy M, Bird BH, Kemp A, & Paweska, J. 2010. Rift Valley fever virus (Bunyaviridae:
Phlebovirus): An update on pathogenesis, molecular epidemiology, vectors, diagnostics and
prevention. Veterinary Research, 41, 61–100.
Soeharsono. 2002. Penyakit Menular Dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Turrel MJ, Bailey CL, & Beaman JR. 1998. Vector competence of a Houston, Texas strain of Aedes
albopictus for Rift Valley fever virus. J. Am. Mosq. Control Assoc. 4, 94–98.
USAHA. 2008. Foreign Animal Diseases. 7th Ed. Boca Raton, FL: Boca Publications Group. 369 –
375.

Anda mungkin juga menyukai