Anda di halaman 1dari 47

SKRIPSI 2014

PREVALENSI KATARAK PADA PASIEN DIABETES


MELITUS TIPE 2 YANG DIRAWAT DI POLIKLINIK MATA
RSUD LABUANG BAJI, MAKASSAR PERIODE JANUARI
2013 - DESEMBER 2013

OLEH:
ANDI BESSE FATRYANI
C111 09 361

PEMBIMBING:
Dr. dr. SRI RAMADHANY, M.KES

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU
KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

2014

BAB I

PENDAHULUAN

1
1.1 Latar Belakang

Jumlah orang yang menderita diabetes semakin meningkat seiring dengan


pertumbuhan penduduk, faktor penuaan, urbanisasi, obesitas dan aktifitas yang
inaktif. Menurut World Health Organisation (WHO), diabetes melitus dapat
didefinisikan sebagai suatu penyakit metabolik kronik, baik disebabkan oleh
pankreas yang tidak boleh menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh
tidak boleh menggunakan insulin yang dihasilkan secara efektif. Insulin adalah
hormon yang mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia, atau peningkatan gula
darah adalah efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke
waktu, boleh menyebabkan kerusakan jangka panjang terutama pada mata,
jantung, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. (1)
Pada tahun 2004, WHO menyatakan bahwa, pada tahun 2003, terdapat
lebih dari 200 juta orang dengan diabetes di dunia dan angka ini akan bertambah
menjadi 333 juta orang di tahun 2025. Diperkirakan bahwa jumlah penderita
diabetes di seluruh dunia akan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. Selain itu, prevelensi diabetes disemua umur diseluruh dunia
diperkirakan 2.8% pada tahun 2000 dan 4.4% pada tahun 2030. Walaupun
diabetes diderita lebih banyak oleh wanita namun prevelensinya lebih tinggi pada
pria. Diabetes dikatakan akan menjadi penyebab kematian yang ke-7 pada tahun
2030.
Menurut International Diabetes Federation (IDF), lebih dari 285 juta orang
menderita diabetes melitus di seluruh dunia dan angka ini dijangkau meningkat
menjadi 439 juta pada tahun 2030. Negara berkembang seperti Indonesia
merupakan negara yang paling banyak terkena dalam abad ke-21 ini. Indonesia
merupakan negara ke-4 dengan jumlah diabetes terbanyak di dunia. Jumlah
penderita diabetes melitus di Indonesia terus meningkat dimana saat ini
diperkirakan sekitar 5 juta lebih penduduk Indonesia menderita diabetes.
Diabetes Melitus terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama DM yang
disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan gaya hidup. Secara umum,
hampir 80 % prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2 dan di Indonesia

2
sendiri, DM tipe 1 sangat jarang dijumpai mungkin karena terletak di katulistiwa
atau faktor genetiknya tidak menyokong. (2)
Katarak yang merupakan salah satu komplikasi DM merupakan penyebab
utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu menyumbang sekitar 42% dari semua
kebutaan. Lebih dari 17 juta orang buta karena katarak, dan 28000 kasus baru
dilaporkan setiap hari di seluruh dunia. Sekitar 25% dari populasi berumur lebih
dari 65 tahun dan sekitar 50% berumur lebih dari 80 tahun memiliki gangguan
(3)
penglihatan yang serius karena katarak. Katarak merupakan setiap keadaan
kekeruhan lensa mata yang dapat terjadi akibat penambahan cairan lensa,
pemecahan protein lensa atau keduanya, dan dapat menimbulkan gangguan
penglihatan jika terbentuk pada aksis penglihatan. Meskipun perkembangan
katarak yang perlahan dan progresif sehingga awalnya pasien kadang tidak
menyadari penyakitnya, tetapi katarak dapat menimbulkan gangguan penglihatan
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Sebagian besar katarak timbul pada usia tua sebagai akibat pajanan terus
menerus terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya seperti merokok,
radiasi sinar ultraviolet, dan peningkatan kadar gula darah. (4) Menurut WHO,
sebanyak 25 juta penduduk buta karena katarak. Diperkirakan jumlah penderita
buta akibat katarak didunia saat ini mencapai 17 juta orang. Untuk itu, WHO
dengan visi 2020 bekerja keras untuk menurunkan angka kebutaan dan
menghindari ancaman kebutaan yang dikhawatirkan dapat mencapai angka 80 juta
pada tahun 2020. Katarak menjadi penyebab utama kebutaan di Indonesia.
Pada saat ini terdapat sekitar 1,7 orang menderita katarak dan setiap tahun
terdapat sekitar 200.000 penderita baru katarak. Patogenesis terjadinya katarak
belum sepenuhnya dimengerti. Namun, berdasarkan suatu studi penelitian,
(5)
ditekankan proses polyol sebagai peran utama terjadinya katarak di mata. Pada
lensa katarak, dijumpai agregat - agregat protein yang akan menghalang
tembusnya cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein lainnya
akan mengakibatkan perubahan warna lensa yang jernih menjadi kuning atau
coklat. Ini nantinya akan mengganggu penglihatan dan jika tidak di rawat boleh
(6)
menyebabkan kebutaan. Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya
yaitu dengan tindakan operasi.

3
Operasi katarak merupakan operasi yang mudah dan aman bagi
kebanyakan orang. Namun, sama seperti operasi lain, operasi katarak dapat
menimbulkan komplikasi seperti pendarahan dan kerusakan pada kornea atau
(5)
retina yang memerlukan pembedahan lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan antara
faktor resiko katarak dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2 dalam judul
“Prevalensi Katarak Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Dirujuk Di
Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji, Makassar periode Januari 2013 - Desember
2013”.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di

atas, maka beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Berapakah

prevalensi katarak pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirujuk ke poliklinik

mata RSUD Labuang Baji, Makassar periode Januari 2013 – Desember 2013”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi katarak pada pasien

diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di poliklinik mata RSUD Labuang Baji,

Makassar periode Januari 2013 – Desember 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

4
1. Mengetahui angka kejadian katarak disebabkan diabetes di Poliklinik Mata
RSUD Labuang Baji Makassar.
2. Mengetahui gambaran katarak berdasarkan umur pada pasien diabetes di
Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji Makassar.
3. Mengetahui gambaran katarak berdasarkan jenis kelamin pada pasien
diabetes di Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji Makassar.
4. Mengetahui gambaran katarak pada pasien diabetes berdasarkan durasi di
Poliklinik Mata di Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji Makassar.
5. Mengetahui gambaran katarak pada pasien diabetes yang merokok di
Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji Makassar.
6. Mengetahui angka kejadian stadium katarak yang terbentuk pada pasien
diabetes di Poliklinik Mata RSUD Labuang Baji Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Peneliti yaitu menambah pengetahuan peneliti terhadap diabetes melitus

tipe 2 sebagai salah satu faktor resiko terjadinya katarak dan menambah

wawasan peneliti mengenai prevalensi kejadian diabetes melitus tipe 2 di

RSUD Labuang Baji

2. RSUD Labuang Baji untuk memberikan informasi dalam mengetahui

prevalensi terjadinya diabetes melitus tipe 2 dalam periode satu tahun

terakhir sebagai bahan evaluasi dalam penanggulangan terjadinya penyakit

diabetes melitus tipe 2 di masyarakat.

3. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar sebagai data dasar

diabetes melitus tipe 2 untuk penelitian selanjutnya

5
4. Masyarakat yaitu memberikan informasi yang jelas mengenai katarak dan

diabetes melitus tipe 2 sehingga menjadi pengetahuan bagi masyarakat dan

membantu masyarakat dalam melakukan pencegahan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

6
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi

Diabetes berasal dari kata Yunani yang berarti mengalirkan atau


mengalihkan (siphon), manakala Melitus berasal dari kata Latin yaitu madu atau
gula. Diabetes Melitus (DM) atau kencing gula adalah penyakit metabolik kronik
yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi), baik
disebabkan oleh pankreas yang tidak boleh menghasilkan insulin yang cukup atau
ketika tubuh tidak boleh menggunakan insulin yang dihasilkan secara efektif.
Insulin adalah hormon yang dikeluarkan untuk mengatur kadar gula darah di
mana ia berperan dalam proses penyerapan glukosa ke dalam sel tubuh. WHO
sebelumnya telah merumuskan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan gangguan fungsi insulin. (7)
Glukosa diatur oleh insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas,
sehingga kadar gula di dalam darah selalu dalam batas aman, baik pada keadaan
puasa maupun setelah makan yaitu sekitar 70-140mg/dL. Pada keadaan DM,
tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah
menjadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah sudah tinggi, pemecahan lemak
dan protein menjadi glukosa tidak dapat dihambat, sehingga kadar glukosa darah
tetap semakin meningkat. (8)
Namun, menurut Soegondo (2004), diabetes dapat ditandai dengan
keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan dan
kadar gula darah sewaktu atau postprandial ≥ 200mg/dL atau kadar gula darah
puasa ≥ 126mg/dL. Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemi) yang tidak
terkontrol dapat mengakibatkan terjadinya berbagai komplikasi seperti penyakit
serebro-vaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah, penyulit
pada mata, ginjal dan saraf.(1)

2.1.2. Epidemiologi Katarak Diabetik

7
Beberapa penelitian klinis telah menunjukan bahawa pembentukan katarak
lebih sering terjadi pada pasien diabetik daripada pasien non diabetik terutama
pada usia muda. Data dari Framingham dan studi mata yang lain menyatakan
peningkatan tiga hingga empat kali lipat prevelensi katarak pada pasien diabetes
dibawah usia 65 tahun dan prevelensi selebihnya dua kali lipat pada pasien diatas
usia 65 tahun. Peningkatan risiko adalah pada pasien dengan durasi diabetes yang
panjang dan memiliki tahap metabolism yang jelek. Penyakit katarak banyak
terjadi di negara tropis seperti di Indonesia. Menurut WHO, katarak merupakan
penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di Asia dan menyebabkan
70% kasus kebutaan di Indonesia. Katarak sangat umum mempengaruhi sekitar
60% orang berusia di atas 60 tahun. (9)
Berdasarkan studi Beaver Dam Eye, yaitu suatu penelitian pada populasi
yang dilakukan pada akhir 1980an, dikatakan sebanyak 38,8% lelaki dan 45,9%
wanita diatas usia 74 tahun memiliki katarak yang signifikan. Kemudian
dilakukan penelitian kohort pada tahun 1993-1995 untuk memperkirakan kejadian
katarak nuklear, katarak kortikal dan katarak subkapsular posterior dan didapati
sebanyak 13,1% insidensi katarak nuklear, 8,2% katarak kortikal dan 3,4%
katarak subkapsular posterior. Faktor risiko perkembangan katarak tidak konsisten
pada semua penelitian. Namun, katarak kortikal dikatakan lebih sering pada orang
berkulit hitam. Insidensi katarak nuklear lebih tinggi pada kaum wanita dan
perokok lebih sering membentuk opasitas katarak nuklear. Selain usia, jenis
kelamin dan ras, faktor lain yang mempengaruhi katarak adalah pajanan terhadap
sinar matahari, status nutrisi, obesitas, merokok, konsumsi alkohol dan status
pendidikan. (10)

2.1.3. Etiologi dan Klasifikasi


1. Diabetes Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut) (11)
A. Melalui proses imunologik

8
B. Idiopatik
2. Diabetes Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin) (11)
3. Diabetes Melitus Tipe lain (11)
A. Defek fungsi sel β genetic
• Kromosome 12, HNF-1α (MODY3)
• Kromosome 7, glukokinase (MODY2)
• Kromosome 20, HNF-4α (MODY1)
• Kromosome 13, faktor promoter insulin-1 (IPF-1; MODY4)
• Kromosome 17, HNF-1β (MODY5)
• Kromosome 2, NeuroD1(MODY6)
• DNA Mitochondria dan lain-lain.
B. Defek genetik kerja insulin
1. Insulin resistensi tipe A
2. Leprechaunism
3. Sindroma Rabson-Mendenhall
4. Lipoatropik Diabetes dan lain-lain.
C. Infeksi
• Rubella Kongenital
• Cytomegalovirus dan lain-lain.
D. Penyakit pada eksokrin pankreas
1. Pankreatitis
2. Trauma/pankreatecktomi
3. Neoplasia
4. Cysticfibrosis
5. Hemokromatosis
6. Pankreatopati fibro kalkulus dan lain-lain.
E. Endokrinopati
• Akromegali
• Sindroma Cushing
• Glukagonoma

9
• Feokromositoma
• Hipertirodisme
• Somatostatinoma
• Aldosteronoma dan lain-lain.
F. Obat/ bahan kimia yang menginduksi
• Vacor
• Pentamidine
• Asam Nikotinik
• Glukokortikoid
• Hormon Tiroid
• Diazoxid
• β-adrenergic agonists
• Tiazid dan lain-lain
4. Diabetes Melitus Gestational (Kehamilan) (11)

10
Table 2.1. Karakteristik Umum Tipe 1 dan 2 Diabetes Melitus Sumber:
The Merck Manual; (Kishore, 2012)
Karakteristik Tipe 1 Tipe 2
Onset Biasanya umur < 30 Biasanya umur > 30
tahun tahun
Berkaitan obese Jarang Sangat sering
Menjurus pada Ya Tidak
ketoasidosis
Kadar insulin endogen Sangat rendah/ tidak Rendah, normal atau
Dalam plasma terdeteksi tinggi, tergantung derajat
resistensi insulin dan
destruksi sekretorik
insulin
Konkodansi Kembar ≤ 50% > 90%
Berkaitan dengan antigen Ya Tidak
spesifik HLA-D
Antibodi sel islet pada Ada, tapi boleh juga Tidak ada
diagnose tidak dijumpai sama
sekali
Patologi islet Insulitis, hilangnya sel Lebih kecil; kelihatan
beta selektif normal, deposisi amiloid
sering terjadi
Penyebab komplikasi Ya Ya
(retinopathy,
nephropathy, neuropathy,
atherosclerotic
cardiovascular disease)
Respon hiperglikemia Tidak Ya, tahap awal pada
pada pemberian obat oral pasien
antihiperglikemia

2.1.4. Patofisiologi Diabetes Mellius

11
Secara garis besar, diabetes dapat dibagikan menjadi dua kategori utama
berdasarkan sekresi insulin endogen, yaitu (a) Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM) atau Diabetes Melitus Tipe 1 dan (b) Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tipe 2. Insulin adalah hormon
yang disekresi oleh pankreas, yaitu sebuah kelenjar yang secara anatominya
terletak di belakang lambung. Di dalam kelenjar pankreas terdapat kumpulan sel
yang berbentuk seperti pulau yang disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel
beta yang mengeluarkan hormon insulin. Secara fisiologis, hormon insulin
dikeluarkan sebagai respon terhadap peningkatan kadar gula dalam darah. Insulin
diibarat anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa dalam sel, yang
kemudian akan dimetabolisme menjadi tenaga. Insulin juga berperan
mengkonversi glukosa menjadi glikogen sebagai cadangan di sel otot dan hepar.
Dengan ini, kadar gula darah tetap dalam keadaan normal. (2)
Pada DM tipe 1, pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau insulin
yang diproduksi sangat sedikit. Hal ini karena, pada jenis ini, timbul reaksi
otoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta. Antibodi yang timbul
yaitu Islet Cell Antibody (ICS) akan bereaksi dengan antigen (sel beta)
menyebabkan hancurnya sel beta itu sendiri. Oleh itu, kadar glukosa darah
menjadi sangat tinggi dan tidak dapat digunakan secara optimal untuk
pembentukan energi. Maka, energi nantinya diperoleh dari peningkatan
katabolisme lipid dan protein. (12)
Pada DM tipe 2, berlaku resistensi insulin, dimana sel-sel tubuh tidak
merespon tepat ketika adanya insulin dan juga penurunan kemampuan sel beta
pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Pada
tipe ini, jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Jadi, glukosa akan
menumpuk di dalam darah. Sel beta akan terus memproduksi insulin sehingga
pada suatu saat menyebabkan hiperinsulinemia. Kondisi ini akan mengakibatkan
desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivitas
kinase receptor, translokasi glucose transport dan aktivasi glycogen synthase. Ini

12
akan menyebabkan resistensi insulin yang membawa kepada keadaan
hiperglikemi. Kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan aktivitas pankreas
menghasilkan insulin sehingga pada suatu saat kerja pankreas mulai lemah dan
akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. (12)

2.1.5. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus boleh menyebabkan berbagai kompliksai baik yang


bersifat akut maupun yang kronik. Keadaan yang termasuk dalam komplikasi akut
DM adalah ketoasidosis diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemi Hiperosmolar
(SHH). Pada keadaan ini kadar glukosa darah sangat tinggi (pada KAD 300-600
mg/dL, pada SHH 600-1200 mg/dL), dan pasien biasanya tidak sadarkan diri.
Selain itu, keadaan hipoglikemi juga termasuk komplikasi akut DM, di mana
kadar glukosa darahnya <60mg/dL karena faktor pengambilan obat
antihiperglikemia dan insulin yang terlalu banyak. (13)
Dalam jangka waktu yang panjang, penyakit DM yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan gangguan pada organ tubuh terutama pada jantung, pembuluh
darah, saraf, mata dan ginjal. Pada jantung, berbagai masalah kardiovaskular,
termasuk penyakit arteri koroner, serangan jantung, stroke, penyempitan arteri
(aterosklerosis) dan tekanan darah tinggi dapat terjadi. Kerusakan saraf
(neuropati) boleh menyebabkan kehilangan rasa pada semua tungkai yang terkena.
Selain itu, pada ginjal (nefropati), gula darah yang tidak terkontrol dapat
merusakan pembuluh darah kecil sehingga dapat mengakibatkan gagal ginjal atau
penyakit stadium akhir yang irreversible, yang memerlukan dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada mata, DM merusakan pembuluh darah retina (retina
diabetik) dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Penumpukan sorbitol karena
peningkatan gula darah dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang serius
seperti katarak. (14)

13
2.2. Katarak
2.2.1. Definisi

Katarak berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'katarraktes' yaitu air
terjun karena pada awalnya katarak dipikirkan sebagai cairan yang mengalir dari
otak ke depan lensa. Menurut WHO, katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada
lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata sehingga menyebabkan
penurunan atau gangguan penglihatan. (6)
Lensa mata merupakan bagian jernih dari mata yang berfungsi untuk
menangkap cahaya. Retina pula merupakan jaringan yang berada di bagian
belakang mata dan bersifat sensitif terhadap cahaya. Pada keadaan normal, cahaya
atau gambar yang masuk akan diterima oleh lensa mata, kemudian akan
diteruskan ke retina. Rangsangan cahaya tersebut selanjutnya akan diubah
menjadi sinyal atau impuls yang diteruskan ke otak. Di otak, imej tersebut akan
diterjemahkan dan dapat dilihat oleh mata. (6)

2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Lensa

Lensa normal pada manusia adalah jernih dan bikonveks. Lensa tidak
mengandungi pembuluh darah setelah perkembangan fetus dan bergantung
sepenuhnya kepada cairan akuous untuk kebutuhan metaboliknya. Sebuah lensa
mempunyai diameter 9 mm dan ketebalan sekitar 5mm. Lensa terdiri dari kapsul,
epitel lensa, korteks dan nukleus. Bagian depan lensa berhubungan dengan cairan
bilik dan bagian belakang lensa berhubungan dengan badan kaca. Bagian
belakang iris, lensa digantung pada prosesus siliaris oleh Zonula Zinn
(ligamentum suspensorium lentis), yang melekat pada ekuator lensa, serta
menghubungkannya dengan korpus siliaris. (6)
Zonula Zinni berasal dari lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus
siliaris. Zonula Zinni melekat pada bagian ekuator kapsul lensa, dengan ukuran
sekitar 1,5mm pada bagian anterior dan 1,25 pada bagian posterior. Permukaan
lensa pada bagian posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Di
sebelah anterior lensa terdapat humor akuous dan disebelah posteriornya korpus

14
vitreus. Lensa diliputi oleh kapsular lentis, yang bekerja sebagai membran semi
permeabel, yang melalukan air dan elektrolit untuk makanannya. Di bagian
anterior terdapat epitel subkapsuler sampai ekuator. (15)
Di kapsul anterior depan terdapat selapis epitel subkapsular. Epitel ini
berperan dalam proses metabolism dan menjaga sistem normal dari aktivitas sel
termasuk RNA, protein dan lipid. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya.
Sesuai dengan pertambahan usia, serat-serat lamella terus diproduksi, sehingga
lens alma-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks
terbentuk dari lamella konsentris yang panjang. Tiap serat mengandung inti, yang
pipih dan terdapat di bagian pinggir lensa dekat ekuator, yang berhubungan
dengan epitel subkapsular. Serat-serat ini saling berhubungan di bagian anterior.
(16)

Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamella


ini ujung-ke-ujung terbentuk {Y} bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk {Y} ini
tegak dianterior dan terbalik di posterior (huruf Y yang terbalik). Sebanyak 65%
bagian dari lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein(kandungan protein tertinggi
di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di
jaringan tubuh lainnya. Protein lensa terdiri dari water soluble dan water
insoluble. Water soluble merupakan protein intraseluler yang terdiri dari alfa (α),
beta (β) dan delta (δ) kristalin, sedangkan yang termasuk dalam water insoluble
adalah urea soluble dan urea insoluble. Konsentrasi natrium dan kalium dalam
humor akuous dan humor viterous berbeda dan ini diseimbangkan oleh
permeabilitas membran sel dan pompa NaKATP-ase yang meduduki lensa epitel
dan setiap serat lensa. (3)

15
Gambar 2.1 Lensa Mata

2.2.3. Etiologi dan Patogenesis Katarak Diabetik

Peningkatan kadar glukosa dalam darah memainkan peran penting dalam


perkembangan katarak. Efek patologi hiperglikemia dapat dilihat jelas pada
jaringan tubuh yang tidak bergantung pada insulin untuk kemasukan glukosa
dalam selnya, misalnya pada lensa mata dan ginjal, sehingga mereka tidak mampu
mengatur transportasi glukosa seiring dengan peningkatan konsentrasi gula di
ekstraselular. Menurut beberapa penelitian, jalur poliol dikatakan memainkan
peran dalam perkembangan katarak pada pasien diabetes. Enzim aldose reduktase
(AR) yang terdapat dalam lensa mengkatalisis reduksi glukosa menjadi sorbitol
melalui jalur poliol. Akumulasi sorbitol intrasel menyebabkan perubahan osmotik
sehingga mengakibatkan serat lensa hidropik yang degenerasi dan menghasilkan
gula katarak. (5)
Dalam lensa, sorbitol diproduksi lebih cepat daripada diubah menjadi
fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase (SD), dan sifat sorbitol yang sukar
keluar dari lensa melalui proses difusi menyebabkan peningkatan akumulasi
sorbitol. Ini menciptakan efek hiperosmotik yang nantinya menyebabkan infuse

16
cairan untuk menyeimbangkan gradien osmotik. Keadaan ini menyebabkan
keruntuhan dan pencairan serat lensa yang akhirnya membentuk kekeruhan pada
lensa. Selain itu, stres osmotik pada lensa yang disebabkan oleh akumulasi
sorbitol menginduksi apoptosis pada sel epitel lensa yang mengarah ke
pengembangan katarak. (5)
Jalur poliol telah digambarkan sebagai mediator utama diabetes-induced
oxidative stress pada lensa. Stres osmotik yang disebabkan oleh akumulasi
sorbitol menginduksi stres dalam retikulum endoplasma (RE), situs utama sintesa
protein, yang akhirnya menyebabkan generasi radikal bebas. RE stres juga dapat
disebabkan dari fluktuasi kadar glukosa initiating an unfolded protein response
(UPR), yang menghasilkan reactive oxygen species (ROS) dan menyebabkan
kerusakan stres oksidatif dengan serat lensa. Ada banyak publikasi terbaru yang
menggambarkan kerusakan stres oksidatif pada serat lensa oleh pemulung radikal
bebas pada penderita diabetes. (5)
Namun, tidak ada bukti bahwa radikal bebas memulai proses pembentukan
katarak melainkan mempercepat dan memperburuk perkembangannya. Hidrogen
peroksida (H2O2) meningkat pada aqueous humor dari penderita diabetes dan
menginduksi generasi radikal hidroksil (OH-) setelah memasuki lensa melalui
proses digambarkan sebagai reaksi Fenton. Radikal bebas nitrat oksida (NO),
yaitu faktor lain yang meningkat dalam lensa diabetes dan dalam aqueous humor,
dapat mengakibatkan pembentukan peroxynitrite meningkat, yang pada nantinya
menyebabkan kerusakan sel karena sifat oksidasi. (5)
Selanjutnya, peningkatan kadar glukosa dalam humor akuous dapat
menyebabkan glikasi protein lensa, dimana proses tersebut akan menghasilkan
radikal superoksida (O2-) dan dalam pembentukan advanced glycation
endproducts (AGE). Interaksi AGE dengan reseptornya di permukaan sel akan
memproduksi O2- dan H2O2. Dengan peningkatan radikal bebas, lensa diabetes
sering menunjukan gangguan pada kapasitas antioksidan dan kerentanan mereka
terhadap stres oksidatif. Hilangnya antioksidan diperparah oleh proses glikasi dan
inaktivasi enzim antioksidan seperti superoksida dismutase lensa. (5)
Tembaga-zink superoxide dismutase 1 (SOD1) adalah superoksida
dismutase isoenzim yang paling dominan dalam lensa, dimana ia penting untuk

17
degradasi radikal superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan
oksigen. Kesimpulannya, pembentukan katarak diabetes adalah hasil generasi
jalur poliol dari glukosa oleh AR, yang mengakibatkan peningkatan stres osmotik
dalam serat lensa dan mengarahkan ke pembengkakan dan perpecahan lensa. (5)

Gambar 2.2. Lensa Normal dan Lensa Katarak

2.2.4. Klasifikasi dan Stadium

Katarak pada diabetes biasanya terbagi kepada 2 yang utama yaitu:


a. True diabetic cataract, atau snowflake cataract

Dapat bilateral, onset terjadi secara tiba-tiba dan menyebar sampai lensa
subkapsular

Biasanya terjadi pada usia muda dengan diabetes melitus yang tidak
terkontrol.

Pada awalnya berlaku kekeruhan menyeluruh pada subkapsular seperti
tampilan kepingan salju di superfisial anterior dan korteks posterior lensa.

Vacuola muncul dalam kapsul lensa. Pembengkakan dan kematangan
katarak kortikal terjadi segera sesudahnya.
b. Senescent cataract
Katarak Nuklear :

Tekanan yang dihasilkan dari serat lensa peripheral menyebabkan
pemadatan pada seluruh lensa, terutama nucleus. Nukleus memberi warna
coklat kekuningan (brunescent nuclear cataract). Ini menyebabkan batas

18
tepi dari coklat kemerahan hingga mendekati perubahan warna hitam
diseluruh lensa (katarak hitam). Karena mereka meningkatkan tenaga
refraksi lensa, katarak nuclear menyebabkan myopia lentikular dan
kadang-kadang menimbulkan fokal point kedua di dalam lensa yang
menyebabkan diplopia monocular.
Katarak Kortikal :

Terjadi penyerapan air sehingga lensa menjadi cembung dan terjadi
miopisasi akibat perubahan indeks refraksi lensa. Pada keadaan ini
penderita seakan-akan mendapatkan kekuatan baru untuk melihat dekat
pada usia yang bertambah.

Beberapa perubahan morfologi yang akan terlihat pada pemeriksaan slip
lamp dengan midriasis maksimum :
1. Vacuoles: akumulasi cairan akan terlihat sebagai bentuk vesicle cortical
sempit yang kecil.
2. Water fissure: pola rarial dari fissure yang terisi cairan yang akan terlihat
diantara fiber.
3. Lamella yang terpisah: tidak sesering water fissureI, ini berisi suatu zona
cairan diantara lamella (biasanya antara lamella clear dan fiber kortikal).
4. Cuneiform cataract: ini sering ditemukan dengan opasitas radier dari lensa
peripheral seperti jari-jari roda.

Katarak Subkapsular Posterior :



Terjadinya kekeruhan di sisi belakang lensa.

Menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang serta
pandangan baca menurun.

Banyak ditemukan pada pasein diabetes, pasca radiasi, dan trauma. (16)

19
Tabel 2.2. Grading of the Three Common Types of Cataract
Sumber: Optometric Clinical Practice Guideline; (Murrill, 2004).

Cataract Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4


Type
Nuclear Mild Moderate Pronounced Severe
yellowing and
sclerosis of the
lens nuclear

Cortical Obscure 10% Obscure 10%- Obscure 50%- Obscure more


Measured as of 50% of 90% of than 90% of
aggregate intrapupillay intrapupillary intrapupillary intrapupillary
percentage of space space space space
the
intrapupillary
space
occupied by
the opacity

Posterior Obscures 3% Obscures 30% Obscures Obscures more


subcapsular of the area of of the area of 30%-50% of than 50% of
Measured as the posterior the posterior the area of the the area of the
aggregate capsule capsule posterior posterior
percentage of capsule capsule
the posterior
capsular area
occupied by
the opacity

20
Gambar 2.3. Katarak Subkapsular Posterior

Gambar 2.4. Katarak Kortikal

Gambar 2.5. Katarak Nuklear

21
Berdasarkan stadium, katarak dibagi atas 4 stadium(6):
a. Katarak insipien

Kekeruhan lensa tidak teratur. Terbentuk bercak-bercak yang membentuk
gerigi dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya. Kekeruhan terletak di
daerah korteks anterior dan posterior dan hanya tampak bila pupil
dilebarkan. Kekeruhan ini boleh menimbulkan poliopia oleh karena indeks
refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa.
b. Katarak Imatur

Kekeruhan yang lebih tebal tetapi belum mengenai semua lensa sehingga
masih terdapat bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini terjadi
hidrasi korteks yang mengakibatkan lensa menjadi bertambah cembung.
Pencembungan lensa ini akan memberikan refraksi dimana mata akan
menjadi miopik. Uji bayangan iris pada keadaan ini positif.
c. Katarak Matur

Kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Bila proses degenerasi
terus berlaku, maka akan terjadi pengeluaran air bersama-sama hasil
disintegrasi melalui kapsul. Lensa berukuran normal dan iris tidak
terdorong ke depan. Pada stadium ini, terdapat deposit kalsium dan uji
bayangan iris negatif.
d. Katarak Hipermatur

Merupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks mengkerut dan
berwarna kunung. Pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, nukleus
lensa tenggelam ke arah bawah (Katarak Morgagni). Uji bayangan iris
memberikan gambaran pseudopositif.

2.2.5. Manifestasi Klinis

1. Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain(6):


a. Penurunan tajam penglihatan dan silau serta gangguan fungsional akibat
kehilangan penglihatan.
b. Silau pada malam hari.

22
2. Gejala objektif biasanya meliputi (6):
a. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina Ptak
akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak,
cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam
menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan
menjadi kabur atau redup.
b. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih.
Penglihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan
bertambah putih.
c. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-
benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.

3. Gejala umum gangguan katarak meliputi(6):


a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Gangguan penglihatan bisa berupa :
i. Peka terhadap sinar atau cahaya.
ii. Dapat melihat dobel pada satu mata (diplopia).
iii. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
iv. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
v. Kesulitan melihat pada malam hari
vi.Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa
menyilaukan mata
vii. Penurunan ketajaman penglihatan (bahkan pada siang hari)

4. Gejala lainya adalah :


a. Sering berganti kaca mata
b. Penglihatan sering pada salah satu mata.
c. Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan
tekanan di dalam mata (glukoma) yang bisa menimbulkan rasa nyeri. (17)

23
2.2.6. Diagnosis

Katarak biasanya didiagnosis melalui pemeriksaan rutin mata. Sebagian


besar katarak tidak dapat dilihat oleh pengamat awam sampai menjadi cukup
padat (matur atau hipermatur) dan menimbulkan kebutaan. Namun, katarak, pada
stadium perkembangannya yang paling dini, dapat diketahui melalui pupil yang
didilatasi maksimum dengan ophtalmoskop, kaca pembesar, atau slitlamp. Fundus
okuli menjadi semakin sulit dilihat seiring dengan semakin padatnya kekeruhan
lensa, sampai reaksi fundus sama sekali hilang. Pada stadium ini katarak biasanya
telah matang dan pupil mungkin tampak putih. (18)
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar
celah (slit-lamp), funduskopi pada kedua mata bila mungkin, tonometer selain
daripada pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi
pada kelopak mata, konjungtiva, karena dapat penyulit yang berat berupa
panoftalmitis pasca bedah dan fisik umum. Pada pasien diabetes, diperiksa juga
kadar glukosa darahnya. (18)

2.2.7. Penatalaksanaan

Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika
gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan. Kadang kala
cukup dengan mengganti kacamata. Sejauh ini tidak ada obat-obatan yang dapat
menjernihkan lensa yang keruh. Namun, aldose reductase inhibitor, diketahui
dapat menghambat konversi glukosa menjadi sorbitol, sudah memperlihatkan
hasil yang menjanjikan dalam pencegahan katarak gula pada hewan. Obat anti
katarak lainnya sedang diteliti termasuk diantaranya agen yang menurunkan kadar
sorbitol, aspirin, agen glutathione-raising, dan antioksidan vitamin C dan E. (3)
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Lebih dari bertahun-tahun, tehnik bedah yang bervariasi sudah berkembang dari
metode yang kuno hingga tehnik hari ini phacoemulsifikasi. Hampir bersamaan
dengan evolusi IOL yang digunakan, yang bervariasi dengan lokasi, material, dan
bahan implantasi. Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah

24
lensa yaitu intra capsuler cataract extraction (ICCE) dan extra capsuler cataract
extraction (ECCE). (18)

25
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Umur

Durasi Jenis Kelamin


Katarak yang
disebabkan oleh
Diabetes Melitus
Tipe 2

Merokok Stadium Katarak

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

26
3.2 Definisi Operasional

Variable yang akan di teliti adalah semua penderita DM yang menderita penyakit
katarak.

a. Diabetes Melitus

suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relative. (2)

b. Katarak

merupakan setiap keadaan kekeruhan lensa mata yang dapat terjadi akibat
penambahan cairan lensa, pemecahan protein lensa atau keduanya, dan
dapat menimbulkan gangguan penglihatan jika terbentuk pada aksis
penglihatan. (19) Merupakan salah satu komplikasi pada DM.

c. Prevalensi

Definisi : Prevalensi adalah proporsi subyek yang sakit pada suatu waktu

tertentu (kasus lama dan baru).(20)

d. Umur

Definisi : usia saat pertama kali penderita DM dengan penyakit katarak


datang berobat, sesuai dengan yang tercatat pada kartu status pasien.
• Cara ukur : Observasi rekam medik

• Alat ukur : Rekam medik

• Hasil ukur : a. 40 – 49 tahun

b. 50 – 59 tahun

c. 60 – 69 tahun

d. ≥ 70 tahun

 Skala ukur : Skala Interval

27
e. Jenis Kelamin

• Definisi : jenis kelamin penderita DM dengan komplikasi sesuai dengan

yang tercatat pada kartu status pasien

• Cara ukur : Observasi rekam medik

• Alat ukur : Rekam medik

• Hasil Ukur : a. Pria

b. Wanita

 Skala ukur : Nominal

f. Durasi menderita DM

Definisi : rata-rata lamanya pasien menderita DM sehingga menyebabkan


komplikasi penyakit katarak, sesuai dengan yang tercatat pada kartu status
pasien.
• Cara ukur : Observasi rekam medik

• Alat ukur : Rekam medik

• Hasil Ukur : a. ≤ 10 tahun

b. >10 tahun

• Skala ukur : Skala Interval

g. Merokok

Definisi : kegiatan menghisap rokok. Jumlah perokok yang menderita


katarak diabetes, sesuai dengan yang tercatat pada kartu status pasien.
• Cara ukur : Observasi rekam medik

• Alat ukur : Rekam medik

• Hasil ukur : a. Ya

b. Tidak

• Skala ukur : Nominal

28
h. Katarak

Definisi : tingkat perkembangan kekeruhan pada lensa mata, sesuai dengan

yang tercatat pada kartu status pasien.

• Cara ukur : Observasi rekam medik

• Alat ukur : Rekam medik

• Hasil ukur : a. Imatur

b. Matur

• Skala ukur : Nominal

29
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross

sectional dimana pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk

menggambarkan tentang prevalensi katarak pada pasien diabetes melitus tipe 2

yang dirawat di poliklinik mata RSUD Labuang Baji, Makassar dan retrospektif

dikarenakan pengumpulan data berdasarkan data sekunder, yakni rekam medik

pasien.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji,

Makassar.Lokasi ini dipilih karena rumah sakit ini rumah sakit pusat rujukan

region gerbang Selatan, mencakup Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar,

Kabupaten Jeneponto, termasuk untuk masyarakat yang berdomisili di sisi selatan

Kota Makassar. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian

dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 2014 – 16 Mei 2014

30
4.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. (21) Populasi penelitian

adalah seluruh pasien dengan diagnosis katarak yang dirawat di poliklinik mata

Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji, Makassar selama periode Januari 2013

sampai Desember 2013.

Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan

diambil.(22) Besar sampel yang digunakan ialah dengan metode total sampling,

dimana sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua populasi yang

sesuai dengan kriteria penelitian.

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah seluruh pasien katarak yang

tercatat dalam rekam medik, sementara kriteria eksklusi yang digunakan adalah

pasien yang tidak didapati riwayat diabetes melitus tipe 2 pada rekam medik.

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang

diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji,

Makassar. Dari data sekunder tersebut kemudian dilakukan observasi untuk

mengetahui sosiodemografi (umur, jenis kelamin), lamanya diabetes melitus tipe 2

yang diderita, jenis katarak yang diderita oleh pasien tersebut serta riwayat

merokok yang dimiliki oleh masing-masing pasien tersebut.

31
4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisa data dibagi dalam beberapa tahap, yaitu

pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, analisis/interpretasi data dan

pengambilan kesimpulan.(23) Dalam penelitian ini, setelah data dikumpulkan dan

dicatat kemudian diolah menggunakan program SPSS (Statistical Product and

Service Solution).

32
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan selama dua minggu yaitu

mulai 5 Mei 2014 – 16 Mei 2014 di bagian rekam medik RSUD Labuang Baji,

Makassar. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosis

katarak yang dirawat di poliklinik mata RSUD Labuang Baji, Makassar selama

rentang waktu bulan Januari 2013 sampai Desember 2013. Dari 232 buah rekam

medik pasien dengan katarak yang diperiksa, ditemukan 47 buah rekam medik

pasien dengan katarak dan diabetes melitus tipe 2 yang memenuhi kriteria untuk

dimasukkan sebagai sampel. Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data

rekam medik, maka dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang baji,

Makassar yang terletak di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar

tepatnya di Jalan Dr.Ratulangi No. 81 Makassar.Rumah Sakit ini juga menjadi

rumah sakit Tipe B dan juga sebagai pusat rujukan region gerbang Selatan,

mencakup Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, termasuk

untuk masyarakat yang berdomisili di sisi selatan Kota Makassar. Dikeluarkannya

Perda Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 yang

33
merubah status dari RSUD non pendidikan menjadi BP RSUD Labuang Baji yang

berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Sulawesi

Selatan, namun sebelumnya RSUD Labuang Baji telah Terakreditasi dengan 5

(lima) bidang pelayanan Kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah

Nomor 9 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008 dengan merubah struktur

organisasi RSUD Labuang Baji dari bentuk badan menjadi Rumah Sakit Umum.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

5.1.2.1. Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari hasil pengumpulan data didapatkan sebanyak 47 pasien katarak yang

memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian, terdiri dari 16 orang laki-laki dan

31 orang perempuan.

Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Jenis Kelamin

5.1.2.2. Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Kelompok Umur

34
Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Kelompok Umur

Dari gambar 5.2 diperoleh data pasien yang menderita katarak paling

banyak terjadi pada kelompok usia 60-69 tahun sebanyak 21 orang (45%), diikuti

dengan kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 15 orang (32%), kelompok usia ≥ 70

tahun sebanyak 9 orang (19%), dan paling sedikit yaitu pada kelompok usia 40-49

tahun sebanyak 2 orang (4%).

5.1.2.3. Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Lamanya Menderita DM

Tipe 2

35
Gambar 5.3 Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Lamanya Menderita DM
Tipe 2

Dari gambar 5.3, diperoleh pasien katarak yang paling banyak diderita

oleh penderita Diabetes Melitus tipe 2 ≤ 10 tahun ialah sebanyak 26 orang (55%),

dan diikuti dengan penderita Diabetes Melitus tipe 2 ≥ 10 tahun sebanyak 21

orang (45%).

5.1.2.4. Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Riwayat Merokok

36
Gambar 5.5.Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Riwayat Merokok

Dari gambar 5.5, diperoleh pasien katarak dengan riwayat merokok

sebanyak 15 orang (32%), dan pasien katarak tanpa riwayat merokok sebanyak 32

orang (68 %).

5.1.2.5. Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Jenis Katarak

37
Gambar 5.5 Distribusi Frekuensi Katarak Berdasarkan Jenis Katarak

Dari gambar 5.5, diperoleh tipe katarak yang paling banyak diderita oleh

penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ialah Imatur sebanyak 38 orang (81%), tipe

katarak terbanyak pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 ialah Matur sebanyak 6

orang (13%) dan diikuti gabungan dari imatur dan matur sebanyak 3 orang (6%).

5.1.3. Prevalensi Katarak dengan Diabetes Melitus tipe 2

38
Berdasarkan hasil penelitian pada 158 rekam medis dengan diagnosis

katarak yang dirawat di poliklinik mata RSUD Labuang Baji, Makassar pada

tahun 2013 sebanyak 47 orang sehingga prevalensi katarak pada penderita

diabetes melitus tipe 2 dapat dihitung sebagai berikut :

Prevalensi Katarak pada DM tipe 2

= x 100%

= 29,75%

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini, melalui gambar 5.1, diperoleh hasil penelitian ini

menunjukkan distribusi pasien terbanyak yang mengalami katarak diabetik

berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan, yaitu sebanyak 31 penderita (66%).

Menurut hasil penelitian Raman, R. et al pada tahun 2010 di India, didapatkan

penderita katarak diabetik terbanyak adalah perempuan sebanyak 306 penderita

(51.4%).(24) Menurut hasil penelitian Kim S. dan Kim J. pada tahun 2006 di Korea,

didapatkan penderita katarak diabetik terbanyak adalah perempuan, yaitu

sebanyak 270 penderita (53.15%). Berdasarkan teori Baziad (1996), dikatakan

wanita lebih cenderung mendapat penyakit setelah menopause karena lebih

dipengaruhi faktor hormonal estrogen.(25)

39
Berdasarkan gambar 5.2, diperoleh hasil penelitian ini menunjukkan

distribusi pasien terbanyak yang mengalami katarak diabetik berdasarkan umur

adalah kelompok dengan rentang umur 60 – 69 tahun, yaitu sebanyak 21 orang

(45%). Menurut hasil penelitian Rotimi, C. et al pada tahun 2003 di Afrika Barat,

didapatkan sebanyak 261 (50.4%) pasien dalam kelompok rentang umur 46 – 65

menderita katarak diabetik. Data dari Framingham dan beberapa penelitian

menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi katarak sebesar tiga sampai empat

kali lipat pada penderita diabetes melitus yang berusia dibawah 65 tahun dan

peningkatan sebesar dua kali lipat lebih pada penderita diabetes melitus yang

berusia di atas 65 tahun. Sunjaya dalam penelitiannya pada tahun 2009

menyatakan pembentukan katarak terjadi seiring dengan peningkatan umur karena

proses penuaan dan diabetes melitus sebagai faktor risiko yang memicu

pembentukan katarak dengan cepat. (26)

Sementara dari gambar 5.3, diperoleh hasil penelitian ini menunjukkan

distribusi pasien terbanyak yang mengalami katarak diabetik berdasarkan durasi

adalah pada kelompok dengan durasi ≤ 10 tahun (58.6%). Menurut penelitian

Roaeld, R.B di Libya, sebanyak 46 orang (12.5%) yang menderita diabetes

melitus tipe 2 dengan durasi < 7 tahun. Menurut penelitian Vaz, N.C et al pada

tahun 2011 di Goa, India, sebanyak 71 orang (23.4%) yang menderita diabetes

melitus tipe 2 dengan durasi ≤ 10 tahun. (27) Berdasarkan penelitian kohort oleh

Rotimi C, et al. pada tahun 2005 di Afrika Barat dalam Rizkawati (2012)

menyatakan bahawa kejadian katarak pada penderita diabetes melitus lebih dari

dua kali lipat berisiko dibanding orang yang tidak menderita diabetes melitus. Hal

ini menunjukkan bahawa diabetes melitus merupakan faktor risiko yang penting

40
dalam pembentukan katarak. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga dapat

mempercepat pembentukan katarak pada pasien diabetes. (28)

41
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Dari hasil penelitian ini, yaitu dari 47 jumlah pasien yang menderita
katarak akibat Diabetes Melitus Tipe 2, didapatkan sebanyak 16 orang
(34%) adalah laki-laki dan sebanyak 31 orang (66%) adalah
perempuan. Dengan arti kata lain, jumlah perempuan lebih banyak
menderita katarak karena Diabetes Melitus Tipe 2.
2. Karakteristik umur pasien terbanyak yang menderita Katarak Diabetik
adalah pada kelompok umur 60 – 69 tahun, yaitu sebanyak 21 orang
(44,7%) dari jumlah penderita Katarak Diabetik.

3. Kebanyakan pasien, yaitu sebanyak 26 orang (55.3%) yang menderita


Katarak Diabetik mempunyai riwayat Diabetes Melitus dalam durasi ≤
10 tahun.

4. Dari jumlah 47 orang yang menderita Katarak Diabetik, didapatkan


pasien yang berada di stadium imatur adalah sebanyak 41 orang
(87,2%) dan pasien yang berada di stadium matur adalah sebanyak 6
orang (12,8%). Pasien di stadium imatur lebih banyak dari pasien di
stadium matur.

5. Dari penelitian ini, juga didapatkan riwayat pasien Katarak Diabetik


yang merokok sebanyak 16 orang (34%) dan 31 orang (66%) tidak
mempunyai riwayat merokok. Dengan arti kata lain, jumlah pasien
yang mempunyai riwayat merokok adalah kecil.

6. Dari penelitian ini, didapatkan prevalensi katarak pada pasien diabetes


melitus tipe 2 di RSUD Labuang Baji, Makassar sebesar 29,75%
selama periode Januari – Desember 2013.

42
6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalankan dalam


menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran
yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan
dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagi pihak RSUD. Labuang Baji Makassar disarankan agar pencatatan
status pasien pada rekam medis dilakukan dengan lebih teratur dan
lengkap untuk memudahkan peneliti yang akan melakukan penelitian
berdasarkan rekam medis.
2. Diharapkan kepada RSUD. Labuang Baji Makassar, khususnya
subbagian Endokrinologi Penyakit Dalam, untuk memberi penanganan
dan edukasi kepada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 secara menyeluruh
supaya dapat mencegah terjadinya komplikasi dari penyakit ini.
3. Penyuluhan tentang kesehatan mata terhadap pasien diabetik serta
pemeriksaan mata sebaiknya rutin dilakukan di Puskesmas, Puskesmas
Pembantu, Posyandu dan tempat pelayanan kesehatan lainnya agar
mereka dapat mencegah terjadinya pembentukan katarak.
4. Pemberian edukasi kepada pasien diabetes yang lebih muda supaya
pemeriksaan mata di lakukan lebih sering dan seawal mungkin untuk
mencegah terbentuknya katarak.
5. Pada pasien diabetes, ditekankan tentang bahayanya merokok dan
efeknya pada pembentukan katarak.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. ADA (American Diabetes Association) 2004. Diagnosis and


Classification of DM. Diabetes Care, vol 27. Available from: http:// care.
diabetesjournals. org/ content/ 27/suppl_1/s5.full.pdf+html [19 Mei 2014].
2. Addison D., J.,Miguel N. Burnier, Jr., Cecil C. Ewing (2006), Ian M.
MacDonald, Brent J. MacInnis, J. Clement McCulloch (2007), et al 2008.
Canadian Ophthalmological Society evidence-based clinical practice
guidelines for cataract surgery in the adult eye. Canada: Canadian Journal
of Ophthalmology (CJO). Available from : http:// 66.147.244.248/~
cosscoca/ wpcontent/uploads/2012/09/COS_CataractCPGs_Oct08.pdf
[Accesed 19 Mei 2014].
3. Kyselova, Z., M. Stefek, V. Bauer 2004. Pharmacological prevention of
diabetic cataract. Slovakia: Journal of Diabetes and Its Complications.
Available from : http://www.uef.sav.sk/Kyselova_files/JDC-cataract
%20review.pdf [Accesed 20 April 2014].
4. Kim, S. II, Kim, S. II 2006. Prevalence and Risk Factors for Cataracts in
Person with Types 2 Diabetes Mellitus. Korea: Korean Journal of
Ophthalmology
5. Pollreisz, A. and Ursula Schimidt-Erfurth 2010. Diabetic Cataract
Pathogenesis, Epidemiology and Treatment. Austria : Hindawi Publishing
Corporation. Available from : http:// www. hindawi. com/ journals/
jop/2010/608751/ [Accesed 18 April 2014].
6. Ilyas S, 1997. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta
7. Brunner dan Suddarth 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol.3 EGC.
Jakarta: Keperawatan Bedah Jilit 3.
8. Baziad, A. 1996.Terapi Hormonal: Alternatif Baru penanggulangan
masalah menopause dan komplikasinya dalam Pakasi LS. Menopause:
masalah dan penanganannya. Jakarta: Balai Peneribit FK UI.
9. Christanty, L. 2008. Perbedaan Visual Outcome Pascaoperasi Katarak
disertai Penanaman Intraokular Lensa antara penderita Katarak Senilis
tanpa DM dengan DM non-Retinopati. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/24460/1/Laura.pdf [Accessed 21 Mei 2014]
10. Charan, S.S., Sharma, R.G. 1970. Relationship between lenticular and
blood calcium content in various types of human cataractous lenses. India:
Indian Journal of Ophthalmology. Available from :
http://www.ijo.in/text.asp?1970/18 [Accessed 17 Mei 2014].
11. Deepa. K, Nandini. M, Sudhir 2011. Oxidative stress and calcium levels in
senile and type 2 Diabetic Cataract Patients. India: International Journal
of Pharma and Bio Sciences. Available from : www.ijpbs.net [Accessed 31
Mei 2014].
12. Eva, P., R. and John P. Whitcher 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

44
13. Gustaviani, Reno 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Department Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
14. Nathan, D., M., 1993. Long-Term Complications of Diabetes Melitus. The
New England Journal of Medicine. Available from: http:// www. nejm. org/
doi/ full/10.1056/NEJM199306103282306 [Accesed 26 April 2014].
15. Inzucchi, S., E. 2005. The Diabetes Melitus Manual: A primary care
companion to Ellenberg and Rifkin's Sixth Edition. USA : Mc Graw Hill
Companies, Inc.
16. Javadi, M., A., Siamak Zarei-Ghanavati, 2008. Cataract in Diabetic Patients:
A Review Article. Iran: Journal of Ophthalmic and Vission. Available from:
http://www.jovr.ir/index.php/jovr/article/viewFile/9/9 [Accesed 24 April
2014].
17. Khandekar, R., Mohammed, A.J. 2009. Gender inequality in vision loss and
eye diseases: Evidence from the Sultanate of Oman. India: Indian Journal of
Ophthalmology. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2812763/#!po=67.8571
[Accessed 20 Mei 2014].
18. Murrill, C., A., David L. Stanfield, Michael D. VanBrocklin, Ian L. Bailey,
Brian P. DenBeste, Ralph C. DiIorio et al 2004. USA Optometric Clinical
Practice Guideline Care of the Adult Patient with Cataract. USA: American
Optometric Association Consensus Panel. Available from :
http://www.aoa.org/documents/CPG-8.pdf [Accesed 25 April 2014].
19. Mvitu-Muaka, M., Longo-Mbenza, B., Nkondi MA 2011. Relationship
between Cataract and Metabolic Syndrome among African Type 2 Diabetics.
South Africa: University of Kinshasa.
20. Putra, M. Agung Eka 2011. Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Poliklinik
Mata RSUP Haji Adam Malik. Available from: repository. usu. ac.id/
bistream/ 123456789/24653/3chapterIIpdf. [Accesed 20 April 2014].
21. Rizkawati 2012. Hubungan Antara Kejadian Katarak Dengan Diabetes
Melitus Di Poli Mata Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak. Kalimantan:
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Available from:
jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/.../2819/2834 [Accessed 26 Mei 2014].
22. Regina 2012. Komplikasi Diabetes Melitus. Diabetes Melitus.org Pusat
Informasi Penyakit DM. Available from: http:// diabetesmelitus. org/
komplikasi-diabetes- melitus/ [Accesed 20 April 2014].
23. Vaz, N.C, Ferreira AM, Kulkarni, MN, Vaz, F.S, Pinto, NR 2011. Prevalence
of Diabetic Complications in Rural Goa, India. India: Indian Journal of
Community Medicine.
24. Raman R., Swakshyar. S.P., James S.K.A., Padmaja K.R. 2010. Prevalence
and Risk Factors for Cataract in Diabetes: Sankara Nethralaya Diabetic
Retinopathy Epidermiology and Molecular Genetics Study. India: Department
of Preventive Ophthalmology, Sankara Nethralaya.
25. Baziad, A. 1996.Terapi Hormonal: Alternatif Baru penanggulangan
masalah menopause dan komplikasinya dalam Pakasi LS. Menopause:
masalah dan penanganannya. Jakarta: Balai Peneribit FK UI
26. Rosenfeld, S., I., Mark H. Blecher, James C. Bobrow, Cynthia A. Bradford,
2007. Lens and Cataract. USA : American Academy of Ophthalmology.

45
27. Roaeld, R.B, Kadiki, O.A 2006. Prevalence of long-term complications
among Type 2 Diabetic patients in Benghazi, Libya. Libya: Journal of
Diabetology in Asia Study Group. .
28. Rotimi, C., Daniel, H., Chen, G., Opoku, V., Dunston, G., Collins, F. et al
2003. Prevalence and Determinants of Diabetic Retinopathy and Cataracts in
West African Type 2 Diabetes Patients. Africa: Ethnicity and Disease Vol 13

46
47

Anda mungkin juga menyukai