Anda di halaman 1dari 5

Studi Governance Lintas Budaya; Implikasi Konseptual dan

Metodologi
Dosen Pengampu: Johan Arifin ,S.E.,M.Si.

DISUSUN OLEH:
ARJUNA BAHAR 15312275
M. SYAFIQ AZHARI 15312279
VAVIN PAPERU 15312280
M. FAHRI REZKY 15312290

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2018
Peranan Budaya dalam Penelitian
Terminologi budaya telah didefinisikan secara variatif berdasarkancara dan sudut pandang
yang berbeda (Ferraro, 1998). Misalnya, Hofstede (1984) mendefinisikan budaya sebagai cara
sekelompok individu dalam masyarakat menyelesaikan masalah mereka melakukan
rekonsialiasi terhadap berbagai dilema yang dihadapi dengan ‘cara mereka’.

Berbagai Isu Budaya dan Dimensi Penelitian


Burrel dan Morgan (1979) membedakan sifat alamiah dunia sosial yang relevan untuk menjadi
rujukan dalam melakukan penelitian di ranah ilmu sosial menjadi dua dimensi; subjektifistik
(the subjective) dan objektifistik (the objective). Asumsi dasar dari dimensi subjektivistik
dalam ilmu sosial adalah berupa the normalism ontology dan anti-positivism epistemology.
Setiap peneliti harus memperhatikan secara jelas dan penuh kehati-hatian pentingnya isu
budaya dalam berbagai elemen riset yang dilakukan dalam konteks budaya riset yang berbeda.

Peneliti Lintas Budaya


Brislin (1976) mendefinisikan penelitian lintas budaya (cross-cultural research) sebagai suatu
studi empirikal yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok penelitian dari beragam latar
belakang budaya dengan pengalaman yang berbeda, sehingga memiliki perilaku penelitian
yang berbeda secara signifikan. Sejalan dengan pendapat ini (sekaran, 1983) memberikan
argumentasi bahwa penelitian lintas budaya relatif sulit, membutuhkan waktu yang lama serta
membutuhkan sumber daya yang relatif besar. menurutAdler (1991) berbagai pendekatan
dalam penelitian lintas budaya di desain untuk menjawab seperangkat pertanyaan penelitian
yang didasarkan pada seperangkat asumsi yang relevan. Pembedaan dari pendekatan penelitian
ini diperlukan untuk menyesuaikan kebutuhan peneliti dengan tujuan penelitian yang
ditetapkan dalam konteks lintas budaya.

Perbedaan Antarnegara
Sebelum melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan aspek budaya setiap peneliti
terlebih dahulu harus mampu memberikan penjelasan dan pertimbangan sebagai argumentasi
untuk memperoleh higher external validity. Kesepakatan atau kenyamanan di dalam
menggunakan batasan negara sebagai suatu entitas budaya, tidak banyak dipertanyakan dan
telah digunakan dalam berbagai studi komperasi terutama dalam bidang manajemen.
Penggunaan negara sebagai batasan suatu budaya dapat dilihat melalui rangkaian penelitian
yang dilakukan oleh Hofstede (1984b). Studi yang dilakukan ahli ini meliputi 50 negara yang
dibagi menjadi 3 wilayah di dalam mengobservasi perbedaan secara nasional terkait pada
work-related values sebagai kerangka untuk tujuan komperasi antarnegara, dan menjelaskan
komponen utama dalam teori umum terkait perbedaan budaya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penggunaan batasan budaya (cultural boundary)
dalam suatu penelitian sangat ditentukan oleh unit of analysis atau research prepective,
walaupun budaya ditemukan pada berbagai tingkatan yang berbeda, budaya pada tingkatan
nasional sebuah negara memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat di negara tersebut.
Pernyataan ini didukung oleh Negandhi (1983), bahwa budaya organisasi merupakan fungsi
dari kondisi lingkungan eksternal yang dihadapi perusahaan dilokasi atau negara yang berbeda.

Pengaruh Budaya dalam Metodologi Penelitian


Terdapat dua pilihan yang tersedia terkait peranan budaya dalam metodologi penelitian; apakah
penelitian dilakukan tanpa memperhatikan faktor budaya (cultural Free) atau menggunakan
faktor budaya sebagai pembatas (cultural-bound). Penelitian tanpa mempertimbangkan faktof
budaya (culture free reaserch) mempunyai pandangan bahwa faktor budaya merupakan hal
yang tidak relevan, sehingga menjaga asumsi universitas. Berdasarkan asumsi tersebut, maka
peneliti akan memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan atau dapat mengabaikan berbagai
faktor budaya dalam penelitian mereka.
Pada sisi lainnya, baik Brislin (1976) maupun Adler (1991) merupakan beberapa peneliti yang
menekankan pentingnya setiap peneliti untuk mempertimbangkan elemen budaya dalam setiap
riset yang dilakukan.

Isu Metodologi; Penelitian Lintas Budaya


Di dalam penelitian lintas budaya, konsepsi ernic-etic analusis merupakan konsepso pokok dan
utama. Konsep dimaksud diaplikasikan melalui pembedaan secara tegas antara berbagai item
budaya secara umum (the general culture) dengan item budaya yang bersifat spesifik (culture
specific item).
Berbagai istilah spesifik seperti construct equivalence merupakan hal utama yang mengakar
kepada perspektif etic (singh, 1995) dan akan menjadi aspek penting di dalam konteks
penelitian lintas budaya atau cross-culture study. Dengan demikian, sebelum melakukan
penelitian, seorang peneliti harus melakukan uji terhadap konstruk tertentu yang akan memiliki
fungsi sama serta diekspresikan dengan hal dan cara yang sama untuk budaya atau negara yang
berbeda.
Berbagau peneliti Adler (1983) sepakat bahwa kelamahan dalam pemahaman terhadap suatu
construct equivalence akan mengancam validitas terhadap berbagai hal yang bersifat subtantif
dari suatu penelitian lintas budaya. Dengan demikian upaya untuk menemukan berbagai hal
yang sepadan (equivalence) merupakan hal yang paling kritikal dan penting bagi aspek
metodologi dari penelitian yang bersifat lintas budaya.
Sekaran (1983) mengategorikan peranan kritikal aspek budaya dalam hubungannya dengan
metodologi penelitian menjadi lima aspek; functional equivalence, instrumentation, data
collection, sampling design, dan data analysis. Dalam kaitan ini dipercaya bahwa kelima isu
tersebut penting d dalam mencapai tujuan dan hasil penelitian lintas budaya yang secara
metodologis telah memenuhi aspek yang patut dipertimbangkan (methodologicallyrigor).
Latar Belakang Budaya Peneliti
Berbagai hal terkait isu etnosentris (ethnocentrims) atau lebih dikenal dengan culture-confered
merupakan kendala utama di dalam melaksanakan penelitian lintas budaya isu tersebut
merupakan turunan dari kecenderungan penelitian dalam memahami perilaku.
Pihak lain dengan menggunakan standar penilaian yang didasarkan kepada latar belakang
budaya seorang peneliti (Ferraro, 1998).

Langkah fundamental paling utama di dalam mengatasi potensi bias dari perilaku dan sikap
etnosentris adalah melalui tindakan spesifikasi terhadap domain teoretik dari suatu konstruk
penelitian (research construct) (Cavusgil dan Das, 1997).

Berbagai bias yang berpotensi muncul dalam penelitian lintas budaya dapat disebabkan oleh
seperangkat faktor berikut.
1. Dimensi Budaya (the Cultural Dimension)
2. Nilai-nilai Budaya (the Culturan Values)
3. Peranan Bahasa (the Language)
4. Aspek Keagamaan (Religious Aspects)

Berdasarkan uraian tersebut, adalah penting bagi seorang peneliti yang akan melakukan
penelitian lintas budaya untuk memahami budaya mereka sendiri, sebelum dapat memahami
serta mengapresiasi budaya lainnya. Kondisi demikian diperlukan karena pemahaman tersebut
akan membawa dampak dan implikasi baik secara konseptual maupun metodologikal dari
penelitian lintas budaya yang dilakukan.

Implikasi Terhadap Penelitian Corporate Governance


Kondisi demikian menjadi dasar argumentasi utama bahwa konsepsi CG secara inherent
bersifat context-specific, dengan budaya nasional (national culture) berperan sebagai bagian
penting di dalam mengakomodasi ekspektasi masyarakat terkait bagaimana seharusnya praktik
bisnis dilakukan oleh korporasi? Kondisi yang diharapkan tersebut merupakan hal strategis,
terutama bagi perusahaan multinasional yang akan dihadapkan pada budaya yang berbeda di
berbagai negara tempat perusahaan beroperasi.

Perspektif universalis memiliki pandangan bahwa perusahaan dari berbagai negara yang
menerapkan konsepsi CG akan memiliki kinerja lebih baik dibandingkan perusahaan yang
tidak mengadopsi CG, karena keberadaan CG dalam perusahaan dapat mengatasi berbagai
konflik kepentingan yang muncul.

Perspektif kultural berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat dalam jangka panjang, di mana
berbagai norma dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarak, berperan dalam membentuk
institusi formal dan praktik CG pada tataran perusahaan (firm level) untuk jangka waktu lama
(Licht, 2001).

Beberapa potensi permasalahan terkait pemahaman konseptual dan akan berpengaruh dalam
penelitian CG, khususnya berhubngan dengan perbedaan legal origins, dapat membawa
implikasi konseptual praktis dan metodologi, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Tradisi Hukum
2. Perkembangan berbagai literatur CG, baik penelitian imperikal maupun konseptual.
3. Konsepsi CG pada generasi ketiga, sebagaimana telah dibahas pada bagian
sebelumnya, memperlihatkan kecenderungan semakin terkonsentrasinya kepemilikan
perusahaan di berbagai belahan dunia (lihat Denis dan McConnel, 2001).
4. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pola kepemilikan perusahaan di negara
berbasis Anglo-Saxon mengarah kepada kepemilikan terkonsentrasi, di antaranya
ditandai dengan semakin aktif dan besarnya peran investor institusi (institutional
investors).
5. Implikasi penggunaan konsepsi CG dan penelitian empirikal dengan tradisi hukum
yang berbeda.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa peneliti di dalam melakukan studi lintas
negara harus memahami karakteristik budaya mereka sendiri serta perangkat budaya di berbagai
negara lain yang termasuk dalam lingkup penelitian yang dilakukan.

Pemahaman terhadap budaya juga diikuti dengan pemahaman secara konseptual terhadap isu CG yang
akan diteliti sesuai dengan karakteristik setiap engara, serta membawa konsekuensi terhadap desain
penelitian yang dilakukan. Penekanan ini diperlukan pada studi komparatif atau lintas budaya dalam
bidang aplikasi konsepsi CG. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, pemahaman secara
komprehensif terhadap berbagai aspek tersebut untuk menghindari bias dari hasil penelitian serta untuk
mencapai rigorous research oucomes.

Anda mungkin juga menyukai