Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Transurethal Resection Of The Prostat (TURP) adalah operasi pada yang dilakukan
karena adanya pembesaran prostat jinak. Pembesaran Prostat Jinak disebut juga Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) merupakan hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menimbulkan gejala obstruktif dan gejala iritatif. Untuk
itu kasus seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH) harus segera ditatalaksana agar tidak
menyebabkan komplikasi lain yang dapat membahayakan kesehatan pasien, untuk itu hiperplasia
prostat dapat di tatalaksana dengan beberapa cara salah satunya Transurethral Resection of the
Prostate (TURP).¹

Prevalensi Benign Prostate Hyperplasia (BPH) pada usia dekade keenam sebesar 43%
sedangkan secara mikroskopis prevalensi Pembessran Prostat Jinak (PPJ) dimulai pada usia 25-
30 tahun walaupun prevalensinya sangat rendah. Setelah usia 40 tahun prevalensinya meningkat
secara cepat yaitu pada usia 41-50 tahun sebesar 20%, usia 51-60 tahun lebih dari 50%, usia
lebih dari 85 tahun prevalensinya lebih dari 90% sedangkan yang mengalami keluhan Low
Urinary Tract Syndrome (LUTS) sekitar 50%nya memerlukan pertolongan dokter termasuk
tindakan pembedahan. Angka kejadian BPH di Indonesia belum ada data pasti sedangkan
problem BPH merupakan problem di bidang urologi kedua terbanyak setelah penyakit batu
saluran kencing dan diperkirakan sekitar 30% pasien BPH akan datang untuk meminta bantuan
baik secara medikamentosa maupun operasi.²

Pasien-pasien yang menjalani operasi prostat biasanya orang tua dan mempunyai
masalah medis yang menyertai, termasuk : Coronary Artery Disease(CAD) ,Congestive Heart
Failure(CHF), Peripheral Vascular Disease(PVD), Cerebrovascular Disease(CVD), Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Gagal Ginjal. Teknik anestesi pada TURP dapat berupa
anestesi Regional atau anestesi umum. Pilihan tehnik anestesi tergantung pada penyakit yang
menyertai dan kesiapan sebelum operasi.1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Benign Prostate Hyperplasia (BPH)1,3,4


1. Definisi BPH
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) disebut juga Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah
hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer.

2. Anatomi Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal
uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex
kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

2
3. lobus anterior

4. lobus posterior

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi
satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak
karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi
cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral.
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proksimal dari
sfingter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut
hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat
berasal dari zona perifer.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari verumontanum
dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan didapatkan ligamentum pubo
prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan
fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan
vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan
memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat
didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

3
1. Kapsul anatomis :Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus
kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:

 Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.

 Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone

 Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan
bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer
zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan
bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak
jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus
medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu
keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit
mengandung jaringan kelenjar.5,6
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks selapis
dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel tampak menyerupai
epitel berlapis.
Vaskularisasi

4
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari
a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda
interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis
prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2
kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri uretra, menembus kapsul di posterolateral dari vesico prostatic junction dan
memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang
memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).

Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian
bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca
interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

3. Fisiologi Prostat
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan cairan dan plasma
seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80%
pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan
dengan pemberian Stilbestrol.

4. Etiologi BPH
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan).

5
5. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke dalam gagal ginjal.
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan
adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga
terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi
tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alfa adrenergik reseptor. Stimulasi pada
alfa adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

6. Diagnosis BPH
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik

6
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter
ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

2. Adakah asimetris

3. Adakah nodul pada prostat

4. Apakah batas atas dapat diraba

5. Sulcus medianus prostate

6. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak
didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat,
batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesika urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, kondiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa
kistik di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.

7
1. Darah : - Ureum dan Kreatinin

 Elektrolit

 Blood urea nitrogen

 Prostate Specific Antigen (PSA)

 Gula darah

2. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

 Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

 Sedimen

d. Pemeriksaan pencitraan

1. Foto polos abdomen (BNO)


adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan vesika urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu
retensi urin. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih
atau adanya metastasis ke tulang dari karsinoma prostat.
2. Pielografi Intravena (IVP).
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
 kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis

 memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi


prostat (pendesakan vesika urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah
distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish.

 penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi vesica urinaria.

8
 foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.

3. Sistogram retrograd.
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS).


Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat,
menentukan volume vesika urinaria dan jumlah residual urin, serta mencari kelainan lain yang
mungkin ada di dalam vesika urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin
ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di
dalam vesika urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau
batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan


Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.

7. Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

 kelainan medula spinalis

 neuropatia diabetes mellitus

 pasca bedah radikal di pelvis

9
 farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

 kelainan neurologik

 neuropati perifer

 diabetes mellitus

 alkoholisme

 farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

 Dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan


relaksasi sfingter

 ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih : Fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

 hiperplasia prostat jinak atau ganas

 kelainan yang menyumbat uretra

 uretrolitiasis

 uretritis akut atau kronik

6. striktur uretra

7. Prostatitis akut atau kronis

10
8. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematuria

4. Sistitis

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal11

9. Penatalaksanaan

Hiperplasia prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan
penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:
- Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
- Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih
menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
- Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml.

11
- Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban
penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS
tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS.
Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.3,11
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara
penanganan.

 Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan
pengobatan secara konservatif.

 Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang
sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR).
Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan
seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.

 Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman
biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya
dilakukan operasi terbuka.

 Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi
setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian
terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.3,11

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup
dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih
merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian
pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai
keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik
hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya

12
elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik
ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 7,11


Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher vesica
urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.
Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna7

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Watchfull Penghambat TUMT


Prostatektomi terbuka
waiting adrenergik α TUBD

Penghambat Endourologi Strent uretra dengan


reduktase α prostacath
1. TUR P
Fitoterapi TUNA
Hormonal
2. TUIP

3. TULP (laser)

ANESTESI SPINAL PADA TURP3,5,6


1. Alasan pemilihan anestesi spinal
TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi ( Awake TURP ) lebih
dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut :
 Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang
sadar
 Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.

13
 Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif
 Kehilangan darah akan lebih sedikit

Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda mayor
ini dapat muncul. :
 Peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit peningkatan
pada tekanan darah diastolik.
 Denyut yang lambat
 Perubahan aktivitas saraf pusat (seperti
kebingungan, semicoma,g e l i s a h , n y e r i k e p a l a , m u a l , m u n t a h ) .
 Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan
wheezing. Denyut jantung menurun. Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien
bisa mengalami sianotik, hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa
pasien muncul dengan gejala neurologikal. Pasien menjadilemah kemudian
tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti
dengan episode singkat dari kejang tonik - klonik sebagai awal dari
keadaan koma.

2. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi

3. Kontraindikasi

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-
obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin,
parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, dan a resistant
surgeon.

14
4. Persiapan Pasien

Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisis dilakukan
meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial
(PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Kunjungan praoperasi dapat
menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan anestesi
dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak berguna bila diberikan pada waktu yang
tidak tepat.

5. Perlengkapan

Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang
lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.

Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang
rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik lokal
yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik
lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika
berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah
dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di
tempat penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol.

6. Jenis jarum Spinal

Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bambu runcing
(jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre).
Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan
spinal.

15
PREMEDIKASI
Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi
Narkotik Analgetik
Dosis :
 Papaveratum :0,3 mg/Kg
 Pethidin : 50-100 mg/Kg
 Phentanyl : 100 mcg

Cara Pemberian Obat Premedikasi


Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Secara IV,IM,Oral maupun rectal
1. Intramuskular (IM)
Hampir semua obat premedikasi diberikan dengan cara ini.
2. Intra venous (IV)
Biasanya diberikan di kamar operasi, sebelum obat induksi diberikan
Misalnya :
 Pasien yg harus dilakukan tindakan emergency dimana pemberian IM tdk
mendapat efek yg baik
 Pasien yg dilakukan operasi elektif yg oleh suatu sebab premedikasi belum
diberikan
 Pasien yg sudah mempunyai intra venous line
 Pasien syok, oleh karena absorbsi IM sangat lambat

3. Cara Oral
Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat , onset, durasi, tingkah laku selama
penyembuhan, interaksi dengan obat lain, dan efek samping.

INDUKSI
Obat yang dipakai untuk induksi spinal
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yangdigunakan adalah 7-15 mg (larutan 0,75%).
Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah :

16
Teknik untuk melakuakan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral
dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral atau dengan
posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah
duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan
pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka
jatum suntik akan menembus : kulitsubkutisligamentum supraspinosumligamentum
interspinosumligamentum flavumruang epiduralduramaterruang subarachnoid.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer sedalam
kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar dengan
dengan serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk BAB anelgesi
spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.

17
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.

Pengawasan selama berlangsungnya operasi

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP adalah gejala-gejala
komplikasi yang dapat terjadi.

Komplikasi mayor yang dapat terjadi pada TURP adalah :


1. Pendarahan
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,
m e n y e b a b k a n kehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan
sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah
berkorelasi dengan ukuran kelenjar prostatyang direseksi, lamanya pembedahan dan
skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi
prostat.
2. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari
cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda
yang disebut dengan sindromTURP .
Manifestasi dari Sindrom TURP :
1.Hioponatremia
2.Hipoosmolaritas
3.Overload cairan
4.Gagal jantung kongestif
5 . E d e m a p a r u
6 . H i p o t e n s i
7 . H e m o l i s i s
8.Keracunancairan
9.Hiperglisinemia
10.Hiperamonemia

18
11 . H i p e rg l i k e m i a
12.Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi
urologi. Insidens i n d r o m T U R P m e n c a p a i 2 0 % d a n m e m b a w a a n g k a
m o r t a l i t a s y a n g s i g n i f i k a n . Wa l a u p u n terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20
% pasien yang mengalami TURP menunjukkans a t u a t a u l e b i h g e j a l a s i n d r o m T U R P
d a n 0 , 5 % - 5 % d i a n t a r a n y a m e n i n g g a l p a d a w a k t u perioperatif. Angka mortalitas
dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan
m e m p e r g u n a k a n c a i r a n i r i g a s i a g a r daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-hemolitik,
electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan t i d a k m a h a l .
Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas
b e l u m ditemukan. Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai
cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol
2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang
digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
Tatalaksana Sindrom TURP
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal yang
bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi
sistem saraf p u s a t d a n j a n t u n g y a n g s e r i u s . K e t i k a S i n d r o m T U R P
d i d i a g n o s a , p r o s e d u r p e m b e d a h a n sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien
bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk
mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik.
Hiponatremia yang terjadisebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien
yang menggunakan obat-obatan diureticdan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis
memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dans e p t i s e m i a . C e n t r a l Ve n o u s P r e s s u r e
( C V P ) m o n i t o r i n g a t a u k a t e t e r i s a s i a r t e r i p u l m o n a l i s diperlukan untuk pasien
dengan penyakit jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm. U n t u k

19
mengurangi timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri
untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa
o p e r a t o r m e m a s a n g s i s t o t o m i suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi
lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul p r o s t a t h a r u s d i j a g a d a n
distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan
s e r i n g mengosongkan kandung kemih. K o r e k s i h i p o n a t r e m i a s e b a i k n y a
d i l a k u k a n d e n g a n d i u r e s i s d a n p e m b e r i a n s a l i n hipertonis 3-5% secara
lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari100 ml/jam. Tepatnya
200 ml salin hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia. P e m b e r i a n
s e c a r a c e p a t d a r i s a l i n a k a n m e n g a k i b a t k a n e d e m a p a r u d a n central
pontine myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium
dan osmolaritas,sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan
furosemide.F u r o s e m i d e s e b a i k n y a d i b e r i k a n d e n g a n d o s i s 1 m g / k g b b s e c a r a
i n t r a v e n a . Te t a p i , p e n g g u n a a n f u r o s e m i d e d a l a m t e r a p i S i n d r o m T U R P
d i p e r t a n y a k a n k a r e n a m e n i n g k a t k a n ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15%
manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari
ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritasekstraseluler. Oksigen
harus diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen
dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen.Gas darah, hemoglobin dan
serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakanuntuk merawat gangguan
gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya diterapi dengan
diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot
tergantungdari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkand e n g a n
d o s i s k e c i l d a r i midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100 mg).
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka
fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin
2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen
Plasma (FFP) dan platelet juga bias digunakan tergantung dari jenis

20
koagulasinya.Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi
bisa menurunkanmorbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat
diberikan sebagai tambahan infusglisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin
pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin m emproteksi jantung belum diketahui.
Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus
dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal
secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi
normal.Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia
menjadi b a t a s / l e v e l y a n g a m a n , y a n g d i d a s a r k a n k o n s e n t r a s i s e r u m s o d i u m
p a s i e n . S o l u s i s a l i n hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih
dari 100 ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan
sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari denganmeningkatkan suhu ruang operasi,
penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah
dihangatkan sampai suhu 37oC. M a n a j e m e n p a s i e n y a n g m e n g a l a m i k o m a h a r u s
meliputi oksigenasi, sirkulasi yang m e m a d a i , p e n u r u n a n t e k a n a n
intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
m e n j a g a keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang
dilakukan glukosa,e l e k t r o l i t ( N a , K , C a , C l , C O 3 , P O 4 ) , u r e a
k r e a t i n i n , o s m o l a r i t a s , g l i s i n , d a n a m o n i a . Pemeriksaan gas darah dapat
melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi
kardiovaskular.
Perawatan Di Ruang Pemulihan.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke ruang pemulihan.
Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan
pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa dihitung dulu.
menurut Alderette Skor.

Berikut Tabel skor Aldrette :


Yang Dinilai Nilai

21
Pergerakan 2
 Gerak bertujuan 1
 Gerak tak bertujuan 0

 Diam
Pernafasan 2
 teratur, batuk , menangis 1
 depresi 0

 perlu dibantu
Warna 2
 merah muda 1
 pucat 0

 sianosis
Tekanan Darah 2
 berubah sekitar 20% 1
 berubah 20-30% 0

 berubah lebih dari 30%


Kesadaran 2
 benar-benar sadar 1
 bereaksi 0

 tak bereaksi

22
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
1. Transurethal Resection Of The Prostat (TURP) adalah
operasi pada yang dilakukan karena adanya Pembesaran prostat jinak atau disebut juga
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
2. Teknik anestesi dapat berupa anestesi Regional atau
anestesi umum. Pilihan tehnik anestesi tergantung pada penyakit yang
menyertai dan kesiapan sebelum operasi. Keuntungan dari anestesi regional
dibanding anestesi umum untuk TURP adalah memungkinkannya menilai
status mental/kesadaran, dan oleh karena itu lebih mudah mendeteksi adanya
sindrome TURP.
3. Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun
postoperatif dengan gejala sakit kepala,kelelahan terus menerus, confusion,
sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure.Selain itu bisa berakibat
lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari
cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi.
4. Prinsip penanganan sindrom TURP yang
u t a m a a d a l a h p e n c e g a h a n , r e s t r i k s i c a i r a n , diuretic loop, serta terapi intensif
untuk pasien yang mengalami koma.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Peter S. Pulmonary Edema and Cardiac Arrest
Complicating Transurethral Resection of the Prostate and TURP Syndrome. USA. 2011
2. Hasbullah B. Angka Kejadian Komplikasi Lambat
Pascaoperasi Prostatektomi Transvesikal dan Reseksi Transuretral pada Pasien Pembesaran
Prostat Jinak. Yogyakarta. 2009.
3. Braunwald, et all. Harrison’s Principles of Interal
Medicine. Ed 15th. McGraw-Hill. New York, USA. 2001.
4. Sjamsuhidajat, et all. Buku Ajar Ilmu Bedah-de
Jong. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2010
5. Dewi S, Widnyana MG, Suranadi W. Perbedaan
osmolalitas dan ph darah pada tindakan transurethral resection of prostate (turp) yang
diberikan natrium laktat hipertonik 3 ml/kgbb dengan natrium klorida 0,9% 3 ml/kgbb.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali. 2015.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for
Genitourinary Surgery, Clinical Anesthesiology, 2th edition, Los Angeles; 71-103

24

Anda mungkin juga menyukai