Anda di halaman 1dari 13

MASALAH SAINTIFIKASI JAMU DAN PROGRAM MAGISTER HERBAL

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dipakai sejak dahulu dan sudah terbukti
khasiatnya. Penggunaan jamu di Indonesia didukung oleh potensi alam negeri ini yang kaya akan
keranekaragaman tanaman obat. Dinyatakan dalam laporan Menkes bahwa Indonesia memiliki
lebih kurang 7.000 spesies tanaman obat, 1.000 diantaranya telah digunakan untuk pengobatan
dan mengatasi masalah kesehatan. Jamu telah dikenal luas dan akrab dengan masyarakat sebagai
buktinya data Riskesdas 2010 menyatakan bahwa Dari populasi di 33 provinsi, dengan sekitar
70.000 rumah tangga dan 315.000 individu, secara nasional 59,29 persen penduduk Indonesia
pernah minum jamu dan sebanyak 93,76 persen masyarakat yang pernah minum jamu
menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh.

Jika dilihat dari segi ekonomi, bisnis jamu merupakan bisnis yang berkembang luas di
Indonesia. Saat ini di Indonesia rantai kegiatan dan distribusi perdagangan produk tanaman obat
menyedot tenaga kerja lebih dari 3 juta orang. Angka ini belum termasuk sebagian pelaku
informal seperti pengobat tradisional, bakul jamu gendong, petani dan pengumpul tanaman obat.
Adapun nilai perdagangan jamu di Indonesia mencapai lebih dari Rp 5 trilyun per tahun.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)


Kementerian Kesehatan, Prof. dr. Agus Purwadianto, SH, M.Si, Sp.FF (K); selain bernilai
strategis di bidang ekonomi, tanaman obat juga berperan dalam meningkatkan ketahanan bangsa
dalam upaya swasembada bahan baku obat. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan bertekad untuk menjadikan jamu sebagai tuan rumah obat tradisional di negeri
sendiri. Hal ini beliau ucapkan dalam seminar Saintifikasi Jamu pada bulan Maret 2010.

Tekad untuk memajukan obat tradisional ini sejalan dengan visi dan misi serta tujuan
dari Program Magister Herbal yang bermunculan dua tahun belakangan ini. Umumnya Program
Magister herbal mempunyai tujuan untuk mengangkat kekayaan lokal dalam hal ini obat-obatan
tradisional atau jamu agar diakui manfaatnya dan digunakan secara luas oleh masyarakat
Indonesia dan dunia.
Masih menurut Prof. Agus, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan jamu antara lain
belum terintegrasinya obat tradisional/jamu dengan pelayanan kesehatan formal karena belum
adanya pengakuan dari profesi tenaga kesehatan seperti dokter dan dokter gigi; bahwa jamu
aman, berkhasiat, dan terjamin mutunya. Untuk memperoleh pengakuan tersebut harus
didasarkan pada bukti-bukti empirik yang akan didapatkan melalui proses saintifikasi jamu.

Selain itu lemahnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor terkait, belum adanya standarisasi
penyediaan bahan baku (penanaman, pemanenan, pengolahan paska panen), belum
dilaksanakannya standar untuk menjamin mutu, manfaat, dan keamanan, lemahnya data tentang
akses obat tradisional yang bermutu, aman, dan efikasi, serta kurangnya informasi terkait
penggunaan rasional obat tradisional adalah tantangan yang dihadapi jamu untuk menjadi tuan
rumah di negeri sendiri.

2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai
jamu di Indonesia, saintifikasinya dan peran magister herbal di dalamnya.

II. Tinjauan Umum


1. Pengertian Jamu

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jamu diartikan sebagai obat yang dibuat dari akar-
akaran, daun-daunan, dan sebagainya bahan obat-obatan tradisional. Sedangkan obat tradisional
menurut KEMENKES No.0584/MENKES/SK/VI/1995 adalah merupakan bahan atau ramuan
bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat.

Di Indonesia jamu telah dikenal sejak zaman dahulu, dapat dibuktikan dengan catatan
resep-resep yang ditemukan dalam literatur-literatur kuno yang ditulis dalam bahasa sansekerta
seperti serat centhini, dalam relief seperti yang terdapat di candi Borobudur, dan dalam
ungkapan-ungkapan bahasa seperti usada yang berarti kesehatan dalam bahasa Bali, bahkan jamu
dapat kita temukan dalam literatur asing, terutama Belanda yang ditulis pada masa penjajahan.

2. Sejarah Jamu
Jamu sudah dikenal sudah berabad-abad di Indonesia yang mana pertama kali jamu dikenal
dalam lingkungan Istana atau keraton yaitu Kesultanan di Djogjakarta dan Kasunanan di
Surakarta. Jaman dahulu resep jamu hanya dikenal dikalangan keraton dan tidak diperbolehkan
keluar dari keraton. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang lingkungan keraton
sendiri yang sudah modern, mereka mulai mengajarkan meracik jamu kepada masyarakat diluar
keraton sehingga jamu berkembang sampai saat ini tidak saja hanya di Indonesia tetapi sampai
ke luar negeri.

Bagi masyarakat Indonesia, Jamu adalah resep turun temurun dari leluhurnya agar dapat
dipertahankan dan dikembangkan. Bahan-bahan jamu sendiri diambil dari tumbuh-tumbuhan
yang ada di Indonesia baik itu dari akar, daun, buah, bunga, maupun kulit kayu. Hal ini didukung
dengan potensi alam Indonesia yang dikenal sebagai negara nomor 2 dengan kekayaan tanaman
obat tradisional setelah Brazilia.

Sejak dahulu kala, Indonesia telah dikenal akan kekayaannya, tanah yang subur dengan
hamparan bermacam-macam tumbuhan yang luas. Tanah yang subur dengan kekayaan tanaman
sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia karena mereka bergantung dari alam
dalam usahanya untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Pengolahan tanah, pemungutan
hasil panen, proses alam tidak hanya menghasilkan makanan, tetapi juga berbagai produk yang
berguna untuk perawatan kesehatan dan kecantikan.

Leluhur kita menggunakan resep yang terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk
mendapatkan kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit, serta persiapan-persiapan lain
yang menyediakan perawatan kecantikan muka dan tubuh yang lengkap. Campuran tanaman
obat tradisional ini di kenal sebagai jamu.

3. Saintifikasi Jamu

Primary Health Care (PHC) diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) sekitar
tahun 70-an, dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Sebagai salah satu strategi menuju Primary Health Care Kementrian Kesehatan
Indonesia memiliki tiga strategi, salah satu strategi tersebut adalah program saintifikasi jamu
yang dimulai sejak tahun 2010 dan bertujuan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan
masyarakat terhadap obat-obatan. Program ini memungkinkan jamu yang merupakan obat-obat
herbal tradisional yang sudah lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia, dapat teregister dan
memiliki izin edar sehingga dapat diintegrasikan di dalam pelayanan kesehatan formal.

Dikatakan lebih lanjut, terkait penyusunan regulasi dalam pengintegrasian obat


tradisional dengan pelayanan kesehatan formal, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan
Kepmenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Kepmenkes
No. 1109 Tahun 2009 tentang Pengobatan Komplementer Alternatif, serta Permenkes No. 003
Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu.

Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan. Tujuannya adalah (1) Untuk memberikan landasan ilmiah (evidence based)
penggunaan jamu secara empiris, (2) Mendorong terbentuknya jejaring dokter/dokter gigi dan
tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya prefentif, promotif, rehabilitatif,
dan paliatif terhadap penggunaan jamu, (3) Meningkatnya kegiatan penelitian kualitatif terhadap
pasien dengan penggunaan jamu, (4) Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki
khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

4. Dasar Hukum

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:003/Menkes/Per/I/2010 Tentang


Saintifikasi Jamu Berbasis Pelayanan Kesehatan: Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah
jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Jamu adalah obat tradisional Indonesia.
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sedian sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.

Berdasar Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 003/Menkes/Per/I/2010, tujuan


saintifikasi jamu adalah:
1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris
melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
2. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya
sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif
melalui penggunaan jamu.
3. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.
4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara
ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam
fasilitas pelayanan kesehatan.

5. Magister Herbal
Program magister herbal, khususnya yang berada di Universitas Indonesia memiliki tujuan
yang sejalan dengan WHO maupun dengan Kementrian Kesehatan untuk mempromosikan jamu,
hal ini terlihat dalam misi dan tujuan Program Magister Universitas Indonesia.

Misi Program Magister Universitas Indonesia adalah


1) Menyelenggarakan dan mengembangkan Program Magister Herbal dengan selalu:
a. Meningkatkan mutu ilmiah dalam penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pelayanan,
dan pengelolaan produksi herbal;
b. Menjaga kelangsungan mutu ilmiah secara bertanggung jawab dengan menjunjung
tinggi etika dan moral;
c. Menjaga dan meningkatkan profesionalisme di bidang herbal Indonesia secara mandiri
maupun melalui kolaborasi dengan berbagai pihak terkait;
d. Menjaga nilai budaya Indonesia demi kepentingan kemanusiaan sebagai orientasi
utama;
2) Menyelenggarakan dan mengembangkan organisasi serta manajemen pendidikan yang
berorientasi pada kualitas dan akuntabilitas.
3) Membina jaringan kemitraan dengan berbagai institusi pendidikan, penelitian, dan industri
obat dan kosmetik herbal baik nasional maupun internasional.
4) Menghasilkan lulusan yang kompeten dalam hal pendidikan, penelitian, dan
pengabdian/pelayanan herbal; diakui secara nasional dan internasional serta mempunyai
sikap yang objektif dan profesional.
Adapun Tujuan Khusus Program Magister Herbal adalah untuk menghasilkan:
a. Sumberdaya Manusia yang kompeten dalam mengangkat nama Indonesia ke dunia
internasional melalui hasil-hasil penelitian bahan herbal atau jamu. Penelitian herbal atau
jamu yang dimaksudkan untuk tindakan preventif, promotif, dan/atau kuratif yang
berkualitas, ditunjang dengan publikasi ilmiah pada jurnal-jurnal nasional dan
internasional yang terakreditasi;
b. Sumberdaya Manusia yang mampu:
1. mendidik dan mengabdikan pengetahuan tentang manfaat/khasiat herbal
atau jamu yang teruji secara tepat dan benar, baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada masyarakat untuk preventif, promotif, dan/atau rehabilitatif,
perawatan kesehatan dan estetika (wellness and beauty);
2. meningkatkan dan mengembangkan diri secara terus menerus dalam bidang
pengetahuan herbal/tanaman obat untuk mengatasi masalah yang terkait dengan
penyakit/ keperawatan/estetika;
3. memelihara dan mengembangkan kepribadian serta sikap yang diperlukan
untuk kelangsungan profesionalnya seperti beretika, bertanggung jawab,
kemampuan bekerja sama, dapat dipercaya dan menghormati serta menghargai
sesama manusia;
4. berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif, terbuka,
menerima perubahan dan berorientasi ke masa depan serta mengajak
masyarakat kearah yang sama;
5. menghasilkan produk obat herbal/kosmetik herbal yang teruji dan unggul serta
menghasilkan hak paten dan mampu memasarkannya. Untuk itu diperlukan
kemampuan bekerjasama dengan industri obat herbal/kosmetik herbal
terstandar yang mampu memproduksi obat herbal/kosmetik herbal yang
berprinsip pada Good Manufacturing Practices (GMP).

III. Masalah yang Dihadapi (ini aku kopi, dari yang kemarin dikirim di milis sama mbak
pulan)
1. Saintifikasi Jamu
- Ketersediaan bahan baku dalam pembuatan formula jamu yang
sudah tersaintifikasi
- Standar mutu bahan baku jamu saintifikasi
- Dana yang besar dalam penelitian saintifikasi jamu
- Pemantauan kepatuhan subjek dalam penelitian yaitu dalam hal
cara penyiapan jamu dalam bentuk rebusan serta konsumsi jamu
- Ketidakpraktisan bentuk sediaan jamu pada jamu saintifikasi
tahun 2011
- Persetujuan protokol penelitian oleh komisi etik (komisi etik
yang mana ?)
- Produk jamu saintifikasi sebagai produk generic public health
atau produk komersial (bisakah formula jamu saintifikasi dijadikan produk komersial oleh
perusahaan ?)
- Notifikasi/pemberitahuan dalam melakukan penelitian
saintifikasi jamu (oleh siapa, kepada siapa, agar tidak terjadi dobel penelitian)
- Mempublikasikan hasil penelitian saintifikasi jamu
- Berkenaan dengan hak paten
- Tugas Komisi Nasional Saintifikasi Jamu dalam melakukan
pendidikan berkelanjutan
2. Program Magister Herbal
- Hubungan saintifikasi jamu dan program Magister Herbal
berkenaan dengan tugas Komisi Nasional Saintifikasi Jamu dalam melakukan pendidikan
berkelanjutan.
- Dana dalam melakukan penelitian
- Komitmen bersama dalam implementasi ilmu herbal di bidang
pelayanan kesehatan
- Integrasi pengobatan dan perawatan herbal untuk pelayanan
kesehatan

IV. Pembahasan (aku ambil poin 14 dan 15)


1. Komitmen bersama dalam implementasi ilmu herbal di bidang pelayanan kesehatan
Untuk menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu, berkhasiat dan aman,
dikembangkanlah “Pojok Jamu” di Puskesmas, pengembangan Tanaman Obat Keluarga (TOGA)
ditingkat rumah tangga untuk pertolongan pertama pada penyakit ringan, diklat kepada dokter
umum, dokter spesialis, dokter Puskesmas tentang pelayanan obat tradisional/jamu, pembinaan
produsen jamu tentang Cara Pembuatan Jamu yang Baik (CPJB), serta pengembangan 12 rumah
sakit untuk persiapan saintifikasi jamu. Ke-12 rumah sakit tersebut adalah RSUP Persahabatan
Jakarta, RS Kanker Dharmais Jakarta, RSAL Mintoharjo Jakarta, RS Dr. Sutomo Surabaya,
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, RS Orthopedi Solo, RSUP Sanglah Bali, RSUP Adam Malik
Medan, RS Dr. Pirngadi Medan, RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RS Syaiful Anwar
Malang serta RSUP Kandou Manado.

2. Integrasi pengobatan dan perawatan herbal untuk pelayanan kesehatan


Salah satu contoh adalah dengan dipilihnya beberapa rumah sakit untuk menyediakan
pelayanan herbal sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1684/Menkes/Per/XII/2005. Salah satu dari Rumah Sakit tersebut adalah RS Kanker Dharmais
Pusat Kanker Nasional. Unit CAM di RS Kanker Dharmais Pusat Kanker Nasional pertama kali
didirikan pada tahun 2006 yang merupakan gabungan antara pelayanan CAM dan Paliatif dengan
sebutan unit Paliatif dan komplementer. Dalam struktur organisasi Rumah sakit kanker
Dharmais, unit ini berada dibawah Instalasi Rehabilitasi Medik. Unit Ini didirikan atas dasar
dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik tahun 2003 tentang
Pengembangan Kedokteran Komplementer dan Alternatif di Rumah Sakit Kanker Dharmais dan
Rumah Sakit Persahabatan. Berdasarkan surat keputusan ini, RS Kanker Dharmais sebagai unit
pelaksana CAM yang berfungsi sebagai tempat rujukan dan pembinaan, pengembangan, serta
pengawasan terhadap mutu dan manfaatnya.
Perkembangannya
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi RS. Kanker Dharmais NO:
HK.00.06/1/8717/2009 tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Complementary Alternative
Medicine RS Kanker Dharmais, maka mulai saat itu unit CAM RS Kanker Dharmais merupakan
satu unit fungsional yang berdiri sendiri dan berada dibawah serta bertanggung jawab langsung
kepada Instalasi Rawat Jalan RS Kanker Dharmais. Unit ini dipimpin oleh seorang Kepala Unit
yang status dan kedudukannya sebagai Pejabat Fungsional. Unit CAM RS Kanker Dharmais
berfungsi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan komplementer bagi penderita penyakit
kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik yang berasal dari Rumah Sakit Kanker
Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya.
Pelayanan
Pada saat ini pelayanan yang diberikan pada Unit CAM RS Kanker Dharmais Pusat
Kanker Nasional meliputi :
1. Akupunktur Medik
2. Herbal
A. Akupunktur Medik
Akupunktur Medik di Rumah Sakit Kanker Dharmais Pusat Kanker Nasional merupakan
satu SMF tersendiri yang dalam pelaksanaan pelayanannya berkoordinasi dengan Unit CAM.
SMF Akupunktur Medik RS Kanker Dharmais dipimpin oleh seorang Dokter Spesialis
Akupunktur Medik sebagai Kepala SMF dan dalam pelaksanaan pelayanannya dilakukan oleh
Dokter Spesialis Akupunktur Medik.
Indikasi dan Kontra Indikasi
Indikasi :
a. Akupunktur Estetika
Pelayanan estetika meliputi antara lain : obesitas, keriput, kerontokan rambut, kantong
mata, dan lain-lain.
b. Akupunktur Pengobatan
Akupunktur telah dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit, baik sebagai
pengobatan penunjang terhadap cara pengobatan lain maupun secara tersendiri apabila cara
pengobatan lain tidak memungkinkan. Secara umum indikasi penggunaan akupunktur dalam
pengobatan adalah:
- Berbagai keadaan nyeri
- Berbagai kelainan fungsional seperti nausea, insomnia, emesis, alergi serta asma.
- Beberapa kelainan saraf seperti paresis dan paraestesis
- Keadaan tertentu lainnya seperti adiksi, peningkatan stamina, penurunan kadar gula
darah
- Khusus masalah kanker
Pada bidang kanker, akupunktur berperan sebagai terapi penunjang terhadap terapi
konvensional yang ada dan dapat juga digunakan untuk mengurangi gejala yang timbul akibat
kanker serta efek samping yang mungkin terjadi akibat pengobatan kanker.
Kontra Indikasi
Terdapat beberapa kontra indikasi dalam melakukan tindakan akupunktur seperti
pada keadaan kedaruratan medik, kasus pembedahan, penusukan pada area tumor, penusukan
pada area perut bawah dan/ lumbosakral serta titik yang menyebabkan sensasi kuat pada wanita
hamil
Efek Samping
The NIH concensus panel on acupuncture mengatakan bahwa catatan terjadinya
efek samping dalam praktek akupunktur sangat sedikit. Komplikasi yang umum terjadi terjadi
adalah memar atau hematom pada tempat penusukan. Terjadinya efek samping pada tindakan
akupunktur jauh lebih rendah dibandingkan dengan oabat-obatan maupun tindakan medic
lainnya untuk kondisi yang sama. Untuk menghindari terjadinya komplikasi serius penting untuk
mengikuti standar pendidikan akupunktur.
B. Herbal
Pemanfaatan herbal oleh dokter dalam sarana pelayanan kesehatan diatur dalam Permenkes
No 1109 tahun 2007 tentang Pengintegrasian Pelayanan Komplementer Alternatif pada Sarana
Pelayanan Kesehatan serta SK Menkes No 121 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik
Herbal. Berdasarkan kedua Peraturan tersebut diatur tentang standar ketenagaan, standar
pelayanan, jenis herbal, dan sistim rujukan, serta sinergi.
Ketenagaan :
Pelayanan herbal diberikan oleh seorang dokter yang memiliki kompentensi tambahan
dalam bidang herbal sesuai peraturan yang berlaku (memiliki Surat Tanda Registrasi/ STR dan
Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif/ SBR-TPKA).
Standar Pelayanan :
Dalam melaksanakan tugasnya dokter harus mengikuti standar pelayanan medik herbal
yang dikeluarkan oleh departemen Kesehatan RI.
Jenis Herbal :
a. Fitofarmaka
b. Herbal terstandar
c. Jamu
Khusus pelayanan dengan menggunakan herbal terstandar ataupun jamu dapat
diberikan dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian yang pelaksanaannya diatur berdasarkan
Permenkes tersendiri. Peraturan ini juga mengatur tentang syarat serta jenis herbal terstandar
maupun jamu yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan pada masyarakat yang berbasis
pada penelitian. Dalam pelaksanaanya Unit CAM bekerjasama dengan SMF ilmu lainnya serta
dengan Badan Pnelitian dan Pengembangan.
Pada RS Kanker Dharmais sebagai Pusat kanker Nasional, penggunaan herbal dalam
pelayanan berbasis penelitian ditujukan sebagai terapi penunjang (komplemen) terhadap
pengobatan konvensional serta juga dalam mengatasi berbagai gejala yang timbul baik akibat
kanker itu sendiri ataupun terhadap efek samping yang terjadi akibat dari pengobatan kanker.

V. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
Telah banyak Peraturan Kementrian Kesehatan dan rencana-rencana yang dibuat untuk
mengangkat citra jamu, namun kontrol dan tindak lanjut dari rencana dan peraturan tersebut
masih minim. Jamu pada kenyataannya belum bisa diterima sebagian kalangan medis yang
mengakibatkan kurangnya atensi dan dukungan terrhadap penggunaan jamu. Saintifikasi
jamu adalah salah satu cara untuk membuat jamu dapat diterima oleh semua kalangan karena
dengan begitu jamu dianggap sudah memiliki evidence base. Program magister herbal
diharapkan untuk bisa mempercepat proses jamu diakui oleh semua kalangan melalui misi
dan tujuannya.
2. Saran
Promosi dan edukasi adalah sarana yang dapat dipakai untuk mempercepat naiknya minat
masyarakat untuk mengunakan jamu, dengan begitu memaksa pelayanan kesehatan dan
industri untuk dapat membantu produksi dan penyediaan jamu. Ada baiknya promosi dan
edukasi juga dilakukan seiring dengan usah saintifikasi jamu, untuk menjadi “jaminan”
bahwa hasil saintifikasi dan peraturan-peraturan mengenai jamu tidak akan sia-sia.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1204-jamu-menjadi-tuan-rumah-di-
negeri-sendiri.html

http://www.dharmais.co.id/index.php/medical-staff.html

Menurut Abidinsyah, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 terkait respons masyarakat terhadap
pengobatan tradisional, diketahui bahwa 55,3 persen penduduk Indonesia pernah menggunakan jamu.
Di antara 55,3 persen tersebut, 95,6 persen mengakui, jamu sangat bermanfaat untuk kesehatan.

"Jadi, setiap orang yang pernah menggunakan jamu itu merasa menemukan manfaat dan tidak ragu
mendekati angka 100 persen. Persoalan kita tinggal bagaimana memperbesar angka yang 55,3 persen itu
dengan memberikan pelayanan dan dilakukan secara formal (puskesmas dan rumah sakit)," katanya.

Puskesmas, seperti konsep yang sudah ada, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan promotif dan
preventif, di samping kuratif dan rehabilitatif. Tambahan pelayanan tradisional diharapkan dapat
meningkatan kualitas kesehatan dan mencegah seseorang jatuh sakit.

"Pelayanan tradisional ini dimaksudkan sebagai upaya preventif. Untuk wilayah preventif, tanaman obat
herbal dan tradisional menjadi solusinya. Dunia puskesmas adalah promotif dan preventif. Maka dari itu,
harus disediakan puskesmas jamu,” paparnya.

Abidinsyah menuturkan, untuk mewujudkan terciptanya puskesmas jamu bukanlah hal yang sulit. Sebab,
selama ini jamu sudah dikenal masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tinggal bagaimana
membuatnya sebagai bahan yang formal dan aman untuk digunakan.

"Target kita tahun ini saja 100 dari 497 (20 persen) puskesmas kabupaten/kota sudah memberikan
pelayanan terintegrasi, yaitu telah menambahkan pelayanan jamu di dalamnya (campuran dengan
konvensional),” katanya.
Obat Tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang tergolong berpenghasilan
rendahsampai sedang. Bahkan di beberapa Negara, obat tradisional telah dimanfaatkan dalam
pelayanankesehatan formal terutama dalam pelayanan kesehatan strata pertama.Tidak dapat dipungkiri
bahwa hingga saat ini, obat tradisional masih menjadi pilihan masyarakatdalam mengobati diri
sendiri.Data SUSENAS 2004-2008 menunjukkan bahwa selama lima tahun tersebut persentase
pendudukIndonesia yang mengeluh sakit dalam kurun waktu sebulan terakhir, berturut-turut 26,51;
26,68;28,15; 30,90 dan 33,24 persen. Dari yang mengeluh sakit dan menggunakan obat tradisionaluntuk
mengobati diri sendiri berturut-turut 32,87; 35,52; 38,30; 28,69 dan 22,6 persen.Pada Riset Kesehatan
Dasar 2010 (RISKESDAS 2010), diperoleh gambaran mengenai penggunaan jamu dan manfaatnya di
Indonesia, yang diperoleh dari penduduk umur 15 tahun keatas. Pendudukkelompok umur 15 tahun ke
atas yang dianalisis sebanyak 177.926 responden,dengan rincian laki-laki sebanyak 86.493 responden
(48,6%) dan perempuan sebanyak 91.433 responden (51,4%). Diperkotaan sebanyak 91.057 responden
(51,2%) dan perdesaan sebanyak 86.869 responden(48,8%).Informasi yang diperoleh berupa: (a)
kebiasaan mengkonsumsi jamu, (b) kebiasaan mengkonsumsi jamu buatan sendiri, (c) jenis jamu yang
biasa dikonsumsi, (d) bentuk jamu, dan (e) manfaat yangdirasakan penduduk yang mengonsumsi jamu

Kebiasaan Mengkonsumsi Jamu/Obat Tradisional


Secara nasional, sebanyak
59,12
persen penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi jamu, yangmerupakan gabungan dari data kebiasaan
mengkonsumsi jamu setiap hari (4,36%) (a), kadang-kadang (45,03%) (b), dan tidak mengkonsumsi
jamu, tapi sebelumnya pernah (9,73%), dan (c).persentase penduduk Indonesia yang tidak pernah
mengkonsumsi jamu sebanyak
40,88
persen.Tabel 3.6.2.1 menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase kebiasaan mengkonsumsi
jamutertinggi adalah Kalimantan Selatan (80,71%) dengan data konsumsi jamu setiap hari 5,55
persen,diikuti oleh DI Yogyakarta (
78,50
%) dengan konsumsi jamu setiap hari (
4,28%)
. Selanjutnya, ProvinsiSulawesi Tenggara (23,95%) merupakan provinsi yang mempunyai kebiasaan
mengonsumsi jamuterendah dengan data konsumsi jamu setiap hari 1,39 persen
http://www.scribd.com/doc/75979020/55/Profil-Penggunaan-Jamu

Anda mungkin juga menyukai