Devaluasi berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk
menurunkan nilai uang dalam negeri (rupiah ) terhadap nilai uang luar negeri. Indonesia telah melaksanakan kebijaksanaan devaluasi berkali kali ,khususnya pada zaman pemerintah sukarno dan Suharto dimana kurs devisa di pertahankan tetap(harga resmi),sedangkan di pasar kurs tersebut telah berubah. Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari devaluasi adalah : 1. Mendorong ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi equilibrium atau setidaknya mendekati equilibrium. 2. Mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik. 3. Dengan tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat menjadi relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat
mempengaruhi aktivitas perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching dari konsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri. Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat cenderung turun
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi
yang dapat mendorong terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi BOP melalui mekanisme moneter.
Dampak jangka panjang merupakan akibat dari dampak yang terjadi
pada jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional. Ada beberapa pengaruh dari devaluasi: 1. Efek terhadap aliran barang (komoditi) 2. Efek terhadap harga luar negeri 3. Efek terhadap harga dalam negeri 4. Efek terhadap kuantitas nilai tukar yg diminta 5. Efek terhadap kuantitas nilai tukar yang ditawarkan 6. Efek terhadap Term of Trade (TOT) 7. Efek terhadap Balance Of Trade (BOT) 8. Efek terhadap konsumsi domestik dan produksi domestik Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs itu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs. Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.
Tabel 8.8 menunjukan bahwa inflasi di AS pada tahun 2007 adalah
2,6%. Dengan kata lain ,nilai dollar AS menurun sebesar 2,6 %. Pada tahun yang sama nilai rupiah menurun sebesar 13 persen. Sebagaimana kita mengetahui bahwa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia kurs valuta asing diserahkan kepada permintaan dan penawaran. Oleh karena itu pasar valuta asing di masing masing Negara mengadakan penyesuaian seperlunya. Katakanlah,(angka hipotesis), di Amerika Serikat nilai dollar Amerika Serikat naik terhadap rupiah menjadi sebagai berikut: Dari US1$= Rp9500 menjadi US$1=9600. Catatan kurs valuta asing (dalam hal ini US%) menunjukan bahwa nilai rupiah yang semula mampu mendapatkan US1,0526 turun menjadi hanya mendapatkan US$1,0416 untuk setiap unitnya.beginilah mestinya catatan kurs tersebut dibuat agar supaya konsisten dengan definisi nilai uang dalam negeri relative terhadap mata uang asing. Namun yang dikerjakan di Indonesia adalah seperti pada catatan kurs di Amerika Serikat di atas. Namun karena kebiasaan bertahun tahun ,hal tersebut tidak perlu diganti lagi. Dalam kedua cara penulisan kurs valuta asing di atas semuanya menunjukkan bahwa dollar Amerika Serikat mengalamai apresiasi(nilainya meningkat) dan rupiah Indonesia mengalami depresiasi(nilai menurun).naik/turunnya nilai satu mata uang relative terhadap mata uang lainnya yang ditentukan berdadsarkan kekuatan permintaan dan penawaran disebut mata uang tersebut mengalami apresiasi/depresiasi. Berbeda halnya kalau perubahan nilai satu mata uang itu didasarkan atas kebijaksanaan pemerintah,dalam hal mana dikatakan terjadi devaluasi(nilai mata uang dalam negri menurun relative terhadap mata uang asing) atau revaluasi( nilai mata uang dalam negeri naik relative terhadap mata uang asing). Namun dari tabel8.8 terlihat bahwa keadaan devaluasi adalah lebih umum terjadi dibandingkan dengan revaluasi. Ada dua cara dalam menentukan kurs valuta asing ,yakni pariti kandungan jaminan(mint parity) dan parity daya beli(purchasing power parity). Setiap mata uang mempunyai jaminan di bank sentralnya yang berupa emas dan logam mulia lainnya ditambah dengan surat surat berharga dan mata uang asing yang komfortabel(yang mudah ditukarkan dengan uang). Semua jaminan yang terkandung di dalam satu mata uang sama artinya dengan kandungan logam mulia(mint) pada uang yang bersangkutan. Kandungan jaminan pada mata uang menunjukan nilainy masing masing, dan kalau keduanya dibandingkan maka akan diperoleh nilai mata uang tertentu relative terhadap mata uang lainnya. Sedangkan cara kedua adalah dengan membandingkan daya beli mata uang di dalem Negerinya masing masing ,yang ditunjukan oleh indeks harga konsumen. Jadi membandingkan indeks harga konsumen dua Negara (dengan tahun dasar yang sama) akan memperoleh kurs mata uang satu Negara relative terhadap mata uang lainnya. Cara yang demikian ini disebut parity daya beli. Cara manapun yang di pakai dalam menentukan kurs valuta asing, satu Negara pasti mempunyai nilai mata uang terhadap mata uang Negara lain dan perubahannya ditentukan setiap hari oleh pasar atau pada waktu tertentu oleh pemerintah. Pemerintah hanya menentukan kurs mata uangnya kalau system devisa yang dipakainya memperkenakan campur tangan pemerintah. Misalnya, pada akhir masa pemerintahan Sukarno,pemerintah menerapkan system devisa yang disebut Exchange control dan sepanjang pemerintahan Suharto pemerintah menerapkan system devisa mengambang terkendali (managed floating exchange rate). Pada Agustus 1959 pemerintah menetapkan harga US$1=45. Kemudian pemerintah mempertahankan Kurs US$ itu tetap sebesar Rp45 meskipun pada waktu itu terjadi kenaikan harga di dalam negeri. Harag resmi US$ tetap,tetapi karena infasi harga di pasar gelap telah meningkat. Dalam keadaan demikian ini, rupiah dinilai terlalu tinggi oleh pemerintah yang mempunyai akibat menguntungkan importer tetapi tidak mendorong ekspor. Karena alasan ini, yaitu ingin mendorong ekspor dan mengekang impor maka kemudian pemerintah menyesuaikan kurs US$ menjadi Rp250 pada tahun 1964. Kebijaksanaan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam negeri disebut kebijaksanaan devaluasi. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan devaluasi beberapa kali. ,dan sejak Oktober 1997 rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai kekuatan pasar dan oleh karenanya tidak ada lagi peluang untuk mengadakan devaluasi. Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana University Press. Analisis Kasus Capital Flight di Indonesia sebagai Salah Satu Fenomena Moneter Capital Flight atau pelarian modal sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonomi. Secara teoritis capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahun ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara berkembang, di mana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang diiringi oleh adanya peningkatan utang luar negeri. Pendapat mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans- Ulhaque (1987) yang mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow) dari negara berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut. Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal di negara sedang berkembang kurang (langka), sehingga arus modal keluar dapat berarti menghilangkan potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan pula potensi pertumbuhan ekonomi. Sementara Cuddington (1986) mengartikan capital flight sebagai semua arus modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat mauipun yang tidak tercatat. Arus modal keluar jangka pendek itu dapat disebabkan oleh adanya ketidakpastian situasi ekonomi, atau politik di dalam negeri maupun untuk tujuan spekulasi. Broad definition (definisi yang paling luas) mendefinisikan capital flight hanya dari satu sisi aliran modal, yakni aliran modal keluar. Dalam definisi ini dimasukkan seluruh peningkatan aset asing baik dari sektor domestik dan publik serta seluruh nilai yang tercatat maupun yang tidak tercatat dalam perekonomian. Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa capital flight terjadi sebagai respon terhadap perlakuan yang diskriminatif terhadap modal domestik. Definisi ini menunjukkan bahwa pergerakan modal terjadi sebagai respon dari kondisi perubahan dan ketidakpastian. Varman-Schneider, B. (1991) mengemukakan hal yang sama bahwa pergerakan modal keluar terjadi karena pemegang domestic asset memandang adanya suatu risiko dan return profile yang kurang menguntungkan sebagai dampak dari kondisi ketidakpastian yang ditimbulkan oleh adanya konflik kepentingan antara pemegang aset dengan pemerintah di suatu Negara. Hampir tidak mungkin memastikan jumlah capital flight dari suatu negara, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Tetapi karena, seperti yang telah dijelaskan di atas, terdapat perbedaan pendapat dari para ahli, maka tidak menghenrankan jika terdapat perbedaan pula dalam metode estimasi capital flight dari suatu negara. Secara garis besar terdapat tiga konsep pendekatan yang berbeda terhadap pengukuran capital flight, yaitu : 1. Pendekatan Komputasi Neraca Pembayaran Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisional yang memfokuskan pada komponen neraca pembayaran. Pendekatan ini digunakan oleh Cuddington dalam mengestimasi capital flight, yang mendefinisikan pelarian modal sebagai arus modal keluar swasta non bank jangka pendek pada balance of payment statistics digunakan untuk mencatat estimasi arus modal keluar jangka pendek yang tercatat sedangkan untuk mencatat estimasi arus modal keluar jangka pendek yang tidak tercatat digunakan komponen Net Error and Omission. Rumusnya secara sistematis sebagai berikut : CF = G - C di mana, CF = Capital flight G = Error and Omission C = Arus modal jangka pendek 2. Pendekatan Residual Pendekatan ini mengestimasi capital flight sebagai residual. Bank Dunia dalam salah satu bagian dari World Development Report mengestimasikan capital flight dengan cara mencari selisih antara arus modal masuk dengan defisit transaksi berjalan ditambah perubahan cadangan devisa otoritas moneter pada periode tertentu. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : CF = H + B + A + F di mana, CF = Capital Flight H = Investasi langsung swasta bersih A = Surplus transaksi berjalan F = Perubahan cadangan devisa 3. Pendekatan Deposito Bank Pendekatan ini merupakan arus modal keluar yang meliputi pengukuran terhadap kenaikan dalam deposito perbankan luar negeri yang tercatat (recorded foreign bank deposits) yang dimiliki oleh penduduk dalam negeri.
Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight. Bahkan jika diteliti
lebih jauh, keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi besaran yang tidak dapat diketahui secara pasti. Capital flight biasanya merupakan gejala dan bukan penyebab dari adanya krisis ekonomi. Aliran modal keluar dari Indonesia dipengaruhi antara lain oleh tinggi rendahnya suku bunga aset finansial luar negeri, tingkat inflasi domestik, dan perubahan nilai tukar mata uang domestik (Cuddington : 1986). Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah pada tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus Virgantari dari Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada tahun 1996 s/d 2009. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di Asia Tenggara. Krisis ekonomi yang terjadi di wilayah Asia Tenggara dan melanda Indonesia berdampak pada kondisi perekonomian dalam negeri yang tidak kondusif dan sarat risiko diduga mendorong investor lebih memilih memindahkan aset/modal yang dimiliki ke luar dari Indonesia. Krisis mata uang yang terjadi di Indonesia, dimana mata uang Rupiah mengalami depresiasi nilai makin memperkuat kenyataan bahwa investasi di Indonesia kurang menguntungkan dibandingkan memegang mata uang lainnya, misalnya USD yang pada saat itu terapresiasi terhadap Rupiah. World Development Report (Bank Dunia, 1998) menyebutkan pula bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia Tenggara diyakini menjadi penyebab terjadi pelarian modal besar - besaran ke luar negeri mulai kuartal keempat tahun 1997 hingga pertengahan kuartal kedua tahun 1998. Dalam kurun waktu periode setelah tahun 1997, kondisi perekonomian dibayangi oleh kondisi ketidakpastian sebagai akibat tingginya risiko politik, ekonomi dan finansial pada saat itu. Pada tahun 1998 pelarian modal (capital flight) meningkat hal ini disebabkan terutama oleh kondisi di dalam negeri yang kurang kondusif dalam menciptakan keuntungan bagi para pemegang dana, dan pada saat itu juga terjadi depresiasi rupiah sebesar 80 % dan inflasi melonjak 82,6 %. Pada tahun 1999 pelarian modal (capital flight) mulai menurun karena arus ekonomi positif dan perekonomian Indonesia bergerak cepat. Pada tahun 2000 juga pelarian modal menurun dikarenakan adanya persepsi positif investor bahwa iklim investasi di Indonesia semakin kondusif karena didukung oleh kebijakan yang diambil pemerintah bersama - sama dengan Bank Indonesia untuk melakukan rekapitulasi perbankan dalam rangka program penyehatan perbankan. Program ini meliputi penjaminan pemerintah bagi bank umum & BPR, restrukturisasi kredit perbankan, pemulihan fungsi intermediasi bank, pengembangan infrastruktur, penerapan good governance serta penyempurnaan sistem pengaturan dan pengawasan bank. Pada kuartal pertama tahun 2004 merupakan tonggak bersejarah dalam kehidupan politik dan bernegara bagi Indonesia di mana pada saat itu Indonesia berhasil menyelenggarakan PEMILU presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Kondisi sosial politik dalam negerti seperti ini memberikan keyakinan bagi investor untuk menanamkan dananya di Indonesia karena prospektif memberikan keuntungan di masa mendatang. Kemudian capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali 2 yang membawa citra buruk atas kondisi keamanan dalam negeri dan juga kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia yang memicu kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok dan memicu terjadinya peningkatan inflasi dalam negeri. Sektor - sektor perekonomian yang dalam kegiatan produksinya sangat bergantung pada minyak semakin terpuruk. Berbagai hal inilah yang direspon secara negatif oleh pemilik dana dengan pemindahan aset ke luar negeri (capital outflow). Setahun kemudian pada tahun 2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku bunga SBI dari 11,25% menjadi sekitar 9,75%. Penurunan suku bunga ini mengindikasikan bahwa return penanaman modal di dalam negeri menjadi relatif kurang menguntungkan dibandingkan kondisi investasi di luar Indonesia. Investor dalam negeri cenderung membeli aset di luar negeri dan investor non residen cenderung memindahkan dananya atau kepemilikan SBI ke luar negeri. Hingga pada tahun 2008 pelarian modal (capital flight) terus meningkat bersamaan dengan isu krisis ekonomi global yang berawal dari kasus subprime mortgage di Amerika dan menyebabkan resesi ekonomi US telah merambat ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Krisis ini telah membawa dampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan mempengaruhi pertumbuhan di Indonesia. Dari sisi ketersediaan dana investasi, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pendanaan yang diperlukan untuk menggerakan roda perekonomian karena keringnya likuiditas hampir di sebagian besar pasar keuangan dunia. Kalaupun ada modal yang masuk ke Indonesia sifatnya hanya sementara atau jangka pendek untuk menarik keuntungan saja dan bukan investasi yang dapat dijadikan modal pembangunan dalam negerti. Keterpurukan pasar keuangan di luar negeri berimbas pula pada pasar keuangan domestik. Sentimen negatif pasar atas kondisi krisis keuangan global mendorong harga saham di bursa Indonesia turut mengalami penurunan nilai hingga pemerintah mengambil kebijakan penutupan sementara Bursa Efek Indonesia untuk melindungi kepentingan emiten dan mencegah semakin anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai akibat keluarnya investor asing dari bursa saham dalam negeri. Kepanikan di pasar keuangan inilah yang kemungkinan besar memicu capital outflow yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu kuartal keempat tahun 2008. Pelarian modal (capital flight) merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh Indonesia dan penting untuk dipecahkan. Ketika fenomena pelarian modal ini terjadi secara terus menerus dampak jangka panjangnya dapat mengurangi sumber daya yang tersedia untuk mendanai investasi. Hal ini pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pembentukan modal domestik bruto dan akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, dan juga dapat mengurangi kemampuan pemerintah untuk memungut pajak pendapatan dari masyarakat. Ini mengakibatkan penerimaan pemerintah mengalami penurunan dan mengurangi kapasitas pembayaran beban utang luar negeri pemerintah, akibat lain adalah terjadinya erosi dalam basis pajak (tax base), dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kenaikan utang luar negeri dan pada gilirannya dapat memperparah krisis utang di suatu negara. Hal ini akan mengancam iklim perekonomian nasional, dan secara langsung ataupun tidak langsung akan mengganggu investasi dalam negeri, dan akan menghambat masuknya arus modal asing ke Indonesia serta menghambat juga munculnya kesempatan kerja baru (Andi Irawan: 2001). Untuk mengatasi masalah capital flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight dapat diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara yang dapat dilakukan adalah: 1. Kebijakan yang tidak terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan aset milik orang asing. 2. Kebijakan yang menjamin stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali, pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang stabil). 3. Penetapan pajak yang tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
Virgantari, Kus. 2010. Analisis Faktor yang Menentukan Pelarian Modal
(Capital Flight) dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta : Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Istikomah, Navik. 2003. Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi "Capital
Flight" di Indonesia. Bandung : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. PP.13 - 31