Anda di halaman 1dari 8

Dolorosa Sinaga

Dolorosa Sinaga (lahir di Sibolga, Sumatera Utara,


Indonesia, 31 Oktober 1953; umur 60 tahun) seorang
pematung Indonesia. Karyanya banyak menampilkan
keimanan, krisis, solidaritas, multikulturalisme, dan
perjuangan wanita.

Ia juga pernah menjadi dekan Fakultas Seni Rupa Institut


Kesenian Jakarta.

Pendidikan
Dolorosa Sinaga lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada
tahun 1977 dan kemudian meneruskan studinya di St.
Martin's School of Art, London, Karnarija Lubliyana,
Yugoslavia, dan San Francisco Art Institute serta Universitas
Maryland, Amerika Serikat.

Karakteristik karya
Karyanya cenderung memperlihatkan emosi tinggi yang khas,
kebanyakan berwarna hijau dan memiliki bentuk sederhana.
Kebanyakan figur berbentuk wanita.

Namun pada pameran Soliloquy, ia memperlihatkan karya-


karya dengan detail tinggi dengan penggarapan lipatan kain
yang sangat baik.

Daftar karya
• The Crisis di Vietnam dan replikanya di International
Sculpture Park, Chianti, Italia
• Gate of Harmony di Kuala Lumpur, Malaysia
Monumen Semangat 66 di Kuningan, Jakarta Selatan
Edhi Sunarso (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juli 1932; umur
82 tahun) adalah pematung Indonesia.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Ia mulai belajar dan berlatih membuat patung ketika menjadi
tawanan perang KNIL di Bandung antara tahun 1946-1949 yang
kemudian dilanjutkan melalui jalur pendidikan resmi di ASRI,
Yogyakarta lulus tahun 1955 dan Kelabhawa Visva Bharati
University Santiniketan, India lulus pada tahun 1957.[1] Selain
sebagai pematung, ia juga dosen pada Institut Seni Indonesia,
Yogyakarta.
Gregorius Sidharta
Gregorius Sidharta Soegijo (lahir di Yogyakarta, 30
November 1932 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 4
Oktober 2006 pada umur 73 tahun), adalah seorang
pematung terkenal Indonesia. Ia juga dianggap sebagai tokoh
pembaruan seni patung Indonesia.

Latar belakang
Sidharta dilahirkan sebagai anak ketiga dari sepuluh
bersaudara. Ia mulai belajar melukis di Sanggar Pelukis
Rakyat, Yogyakarta, yang kemudian dilanjutkannya di
Akademi Seni Rupa Indonesia juga di Yogyakarta. Sebelum
beralih ke seni patung, ia sempat mempelajari dasar-dasar
melukis dari tokoh-tokoh pelukis seperti Hendra Gunawan
dan Trubus pada tahun 1950-an. Pada tahun 1953 ia dikirim
belajar di Jan van Eyck Academie di Maastricht, Belanda
selama tiga tahun oleh misi Gereja Katolik.

Karya dan aktivitas


Nama Gregorius Sidharta mulai mencuat ketika ia menyajikan
karyanya yang berjudul "Tangisan Dewi Betari" yang kini
menjadi koleksi sebuah museum di Jepang. Karya patungnya
itu melawan konvensi seni patung Barat maupun lokal, karena
bentuknya yang pipih, sehinga dianggap bukan patung.

Sidharta juga menggunakan media yang tak lazim dalam seni


patung, seperti beras atau mata uang. Ia juga menjelajahi
berbagai media seni rupa lainnya, seperti seni lukis, cetak
saring, keramik, dan kerajinan tangan.

Karya-karyanya yang lain yang membuatnya terkenal antara


lain adalah "Tonggak Samudra", monumen Pelabuhan Peti
Kemas di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, "Garuda
Pancasila" di atas podium Gedung MPR/DPR, patung Bung
Karno di makamnya di Blitar, tata ruang Monumen
Proklamasi, yang menghadirkan deretan pilar deformasi dari
bentuk sayap garuda, yang menjadi latar belakang tokoh
Proklamasi, Soekarno-Hatta, rancangan Piala Citra yang
merupakan perpaduan seni tradisional wayang dan modern,
dan patung "Mekatronik". Ia pernah menampilkan karya-
karyanya di pameran Taman Patung Olimpiade Seoul, Korea
Selatan (1986), Taman Patung ASEAN di Manila, Filipina,
pameran patung di Plaza Elgala di Fukuoka, Jepang.

Menjelang akhir hayatnya, Sidharta masih aktif berkarya.


Karyanya yang terakhir adalah sebuah salib yang diberinya
judul "Crucifix 2006". "Saat ini masih ada satu lagi patung
yang belum sempat diberi judul, berupa patung wanita
duduk," kata Bima, anak bungsunya.

Sidharta juga berjasa karena mendirikan Studio Seni Patung


ITB dan mendirikan Institut Kesenian Jakarta.

Selama hidupnya, sejak tahun 1957 Sidharta banyak


melakukan pameran tunggal maupun bersama, antara lain di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Singapura, Manila, New Delhi,
India, Polandia, dan Norwegia. Rencananya, kalau
kesehatannya memungkinkan, ia masih ingin melakukan
pameran tunggal di Daleri Dhaupin, Singapura pada April
2007. Sebelumnya, galeri itu pernah memajang beberapa
karya Sidharta dalam sebuah ekshibisi patung.

Menderita sakit dan kematian


Sidharta meninggal dunia pada usia 74 tahun karena kanker
paru-paru. Ia menghembuskan napasnya yang terakhir di
Rumah Sakit Dr. Oen, Surakarta, setelah sebelumnya sempat
dirawat satu malam di tempat yang sama. Penyakit kanker
paru-parunya telah diidapnya selama satu tahun. Ia juga
pernah dirawat di Bethesda, Yogyakarta, dan di situlah
penyakitnya diketahui. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit
Universitas Nasional, Singapura, dan di sana diketahui bahwa
tumor yang diidapnya pada tulang kompresi sudah menjalar
ke paru-paru. Kemoterapi yang dijalaninya tidak dapat
menyelamatkan nyawanya. Jenazahnya dimakamkan di
Pemakaman Keluarga Besar Moerdani di Astana Bonoloyo,
Kadipiro, Solo, pada 5 Oktober 2006.

Keluarga
Sidharta meninggalkan seorang istri, Maria Sri Noerna
Moerdani, dan empat orang anak, Maria Antoinette Marisa
Sandra, Brigitta Rina Aninda, Dionne Mira Trisani dan
Gregorius Bima Bathara, serta delapan orang cucu.

Penghargaan
Gregorius Sidharta pernah mendapatkan berbagai
penghargaan atas karya-karyanya, antara lain:

• Anugerah Seni dari Badan Musjawarah Kebudajaan


Nasional (1952)
• Anugerah Seni DKI Jakarta tahun (1982)
• Penghargaan Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta
(1986)
• Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan, Komunikasi
dan Karya Sastra (1990)
Penghargaan Rencana Monumen Proklamator di Jakarta
I Nyoman Nuarta
I Nyoman Nuarta (lahir di Tabanan, Bali, 14 November
1951)adalah pematung Indonesia dan salah satu pelopor
Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal lewat
mahakaryanya seperti Patung Garuda Wisnu Kencana
(Badung, Bali), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya),
serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta). Nyoman
Nuarta mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya dari Institut
Teknologi Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.

I Nyoman Nuarta adalah putra keenam dari sembilan


bersaudara dari pasangan Wirjamidjana dan Samudra. I
Nyoman Nuarta tumbuh dalam didikan pamannya, Ketut
Dharma Susila, seorang guru seni rupa..

Pendidikan
Setelah lulus SMA, Nuarta masuk di Institut Teknologi
Bandung (ITB) tahun 1972. Awalnya Nuarta memilih jurusan
seni lukis, namun setelah menempuh dua tahun dia berpindah
ke jurusan seni patung. Saat masih menjadi mahasiswa pada
tahun 1979, I Nyoman Nuarta memenangkan Lomba Patung
Proklamator Republik Indonesia, lomba ini adalah awal dari
ketenaran I Nyoman Nuarta. Bersama rekan-rekan
senimannya, seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono,
dan kritikus seni Jim Supangkat, Nyoman Nuarta tergabung
dalam Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia sejak tahun
1977..

Karier
Sejak tenar, I Nyoman Nuarta yang merupakan alumni ITB
tahun 1979 telah menghasilkan lebih dari seratus karya seni
patung. Semua karyanya menggambarkan seni patung
modern sampai gaya naturalistik, dan material yang
digunakan dalam padatan patungnya adalah dari tembaga dan
kuningan.

Bakat I Nyoman Nuarta di bidang seni diturunkan pada


putrinya. Putri sulungnya, Tania belajar di jurusan seni rupa
di salah satu Perguruan Tinggi di Melbourne, Australia,
sedangkan adiknya, Tasya membantu Nuarta di studionya.

Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun sebuah


Taman Patung yang diberi nama NuArt Sculpture Park.
Nuarta membangun taman ini di kelurahan Sarijadi,
Bandung. Puluhan beraneka bentuk patung dalam beraneka
ukuran tersebar di areal seluas tiga hektare tersebut. Di taman
tersebut dibangun gedung 4 lantai yang digunakan untuk
pameran dan ruang pertemuan dengan gaya yang artistik.

Saat ini, Nyoman Nuarta merupakan pemilik dari Studio


Nyoman Nuarta, Pendiri Yayasan Mandala Garuda Wisnu
Kencana, Komisioner PT Garuda Adhimatra, Pengembang
Proyek Mandala Garuda Wisnu Kencana di Bali, Komisioner
PT Nyoman Nuarta Enterprise, serta pemilik NuArt Sculpture
Park di Bandung. Nyoman Nuarta juga tergabung dalam
organisasi seni patung internasional, seperti International
Sculpture Center Washington (Washington, Amerika Serikat),
Royal British Sculpture Society (London, Inggris), dan
Steering Committee for Bali Recovery Program.

Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen


Jalesveva Jayamahe (Surabaya), serta Monumen Proklamasi
Indonesia (Jakarta) merupakan beberapa dari mahakarya
Nuarta.

Mahakarya
Pada tahun 1993, Nuarta membuat sebuah monumen raksasa
"Jalesveva Jayamahe" yang sampai sekarang masih berdiri di
Dermaga Ujung Madura, Komando Armada Republik
Indonesia Kawasan Timur (Koarmatim) Kota Surabaya.
Monumen tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI
Angkatan Laut berbusana Pakaian Dinas Upacara (PDU)
lengkap dengan pedang kehormatan yang sedang
menerawang ke arah laut. Patung tersebut berdiri di atas
bangunan dan tingginya mencapai 60,6 meter. Monumen
Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus
bangsa yang yakin dan optimis untuk mencapai cita-cita
bangsa Indonesia.
Karya Nuarta yang paling besar dan paling ambisius adalah
Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang dimulai sejak
8 Juni 1997 namun terhenti beberapa tahun akibat berbagai
hambatan. Rencana patung GWK sendiri akan memiliki tinggi
75 meter dengan rentang sayap garuda sepanjang 64 meter,
sedangkan tinggi pedestal 60 meter. Oleh karena itu, tinggi
patung dan pedestal secara keseluruhan akan menjulang
setinggi 126 meter.

Daftar karya I Nyoman Nuarta


• Patung Tiga Mojang yang awalnya didirikan di gerbang Kota
Harapan Indah, Kota Bekasi namun dirobohkan 19 Juni
2010 dalam sebuah kontroversi oleh Ormas Islam
setempat.
• Patung Karapan Sapi, Surabaya
• Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya), Surabaya
• Monumen Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali (dimulai
sejak 8 Juni 1997 - sekarang)
• Patung Wayang, Solo
• Monumen Arjuna Wiwaha, Jakarta
• Monumen Proklamasi Indonesia, Jakarta
• Patung Putri Melenu, Kalimantan Timur
• Patung Timika untuk alun-alun Newtown Freeport,Papua,
dll..
• Patung Lembuswana di Pulau Kumala, Tenggarong, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur
Penghargaan
• Pemenang Lomba Patung Proklamator Republik Indonesia
(1979)
Penghargaan Jasa Adiutama dari Institut Teknologi Bandung
(2009)

Anda mungkin juga menyukai