Latar Belakang Supervisi
Latar Belakang Supervisi
Oleh :
Kelompok II
1. ANI IKA PUTRI 2016.4.112.0020.1.000167
2. LAILATUL MAGHFIROH 2016.4.112.0020.1.000174
3. ROSALIA DEWI ROVIQOH 2016.4.112.0020.1.000184
Dosen Pengampu :
Beny Shintasari, S. Pd, M. Pd.I
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan.............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Istilah Supervisi ...................................... 3
B. Latar Belakang Pentingnya Supervisi Pendidikan ............ 6
BAB III PENUTUP .................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang berbicara tentang merosotnya mutu pendidikan. Di lain
pihak banyak pula yang menandaskan perlu dan pentingnya pembaharuan
pendidikan dan pengajaran, tetapi sedikit sekali yang berbicara tentang
konsep-konsep pemecahan masalah perbaikan pendidikan dan pembelajaran.
Guru-guru membutuhkan bantuan orang lain yang mempunyai cukup
perlengkapan jabatan professional equipment. Mereka membutuhkan bantuan
dalam mencoba mengerti tujuan-tujuan pendidikan, tujuan-tujuan kurikulum,
tujuan-tujuan intruksional secara operasional (bevavioral objective). Mereka
menhgarapkan apa dan bagaimana cara memberi pengalaman belajar yang
sesuia dengan kebutuhan anak-anak dan masyarakat yang sedang
berkembang. Mereka membutuhkan bantuan dalam menggali bahan-bahan
pengalaman belajar dari sumber-sumber masyarakat dan metode-metode
mengajar modern. Mereka membutuhkan pengalaman mengenal dan menilai
hasil belajar anak-anak da mereka mengharapkan bantuan dalam hal
memecahkan persoala-persoalan pribadi dan jabatan mereka.1
Semuanya membutuhkan bantuan dari seseorang yang mempunyai
kelebihan. Orang yang berfungsi memberi bantuan kepada guru-guru kea rah
usaha mempertahankan suasana belajar-mengajar yang lebih baik disebut
“supervisor”. Sedangkan pekerjaan itu sendiri disebut “supervisi”.2 Guru
ketika berfungsi membantu memecahkan masalah persoalan belajar dan
mengajar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, maka pada saat itu
disebut sebagai supervisor. Begitu pula dengan kepala sekolah yang setiap
hari langsung berhadapan dengan guru-guru juga berfungsi sebagai
supervisor.
1
Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan (Malang: Usana
Offset Printing, 1982), 17.
2
Ibid., 18.
1
2
3
Donni Juni Priansa dan Rismi Somad, Manajemen Supervisi & Kepemimpinan Kepala Sekolah,
(Bandung : Alfabeta, 2014 ), 84
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Istilah Supervisi
Supervisi adalah istilah yang dapat dikatakan baru dikenal di dunia
pendidikan di Indonesia. Istilah ini muncul diperkirakan pada awal tahun 60-
an, atau pada dua dasawarsa terakhir ini. Diperkenalkannya istilah supervisi
seiring dengan diberikannya mata kuliah administrasi pendidikan di beberapa
IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di Indonesia, yang kemudian
disusul pula dengan dijadikannya administrasi pendidikan sebagai mata
pelajaran dan bahan ujian pada SGA/SPG pada tahun ajaran 1965-1966, jadi
tidaklah mengherankan kalau ada dari kalangan pendidik sendiri masih ada
asing dengan istilah ini, terutama bagi mereka yang menamatkan pendidikan
guru, baik di tingkat menengah keguruan maupun pendidikan tinggi pada
sebelum tahun 70-an.4
Di Indonesia, sebenarnya aktivitas semacam supervisi sudah lama
dikenal, tapi sayang sekali kesannya memang agak kurang enak, karena
pelaksanaannya yang lebih cenderung hanya untuk mencari kesalahan dan
kekurangan guru dalam mengajar. Pada waktu itu aktivitas itu dikenal dengan
istilah inspeksi, yang diwariskan oleh Belanda sewaktu menjajah Indonesia
selama lebih kurang 3,5 abad. Pada zaman penjajahan Belanda, orang yang
memeriksa sekolah dasar (SD) mereka sebut dengan "Schoolopziener", yaitu
bertugas memeriksa seluruh mata pelajaran di sekolah dasar yang
menggunakan pengantar bahasa Belanda, sedangkan mata pelajaran lain
diperiksa oleh petugas yang mereka sebut inspektur, yang juga orang belanda
sendiri. Menurut Harahap, bahwa pada zaman penjajahan Jepang ada sebutan
Shigaku, yaitu istilah yang dipakai tugas penilik sekolah dasar, tapi sayang
sekali istilah ini tidak begitu lama melekat di kalangan pendidik Indonesia,
4
Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Jakarta:
P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud, 1988), 152.
3
4
yang mungkin dikarenakan Jepang tidak terlalu lama menjajah Indonesia, yaitu
lebih kurang 2,5 tahun saja.5
Setelah Indonesia merdeka, istilah Inspektur pernah dipakai untuk
beberapa waktu tetapi kemudian diubah dengan sebutan pengawas untuk
tingkat sekolah lanjutan dan penilik untuk sekolah dasar. Seiring dengan itu
muncul pula sebutan baru, yaitu supervisi yang berasal dari bahasa Inggris
“supervision” yang diperkenalkan oleh orang-orang yang pernah belajar di
Amerika Serikat. Menurut Soetopo, di Amerika Serikat aktivitas supervisi baru
muncul pada permulaan zaman kolonial, yaitu pada sekitar tahun 1654. "The
General Court of chusetts bay coloni" menyatakan bahwa pemuka-pemuka
kota bertanggung jawab atas seleksi dan pengaturan kerja guru-guru, gerakan
dapat danggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep yang paling dasar untuk
perkembangan supervisi modern. 6
Kemudian pada tahun 1709, di Boston, a comite of laymen mengunjungi
sekolah-sekolah untuk mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-
guru, kecakapan mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-guru,
kecakapan siswa dan merumuskan usaha-usaha memajukan pengajaran dan
organisasi-organisasi sekolah yang baik. Selanjutnya, perkembangan dan
pertumbuhan sekolah dipengaruhi pula oleh bertambahnya jumlah penduduk,
yang membuat dibutuhkannya tambahan tenaga guru yang lebih besar, yang
ada di antara mereka yang dipilih menjadi kepala sekolah, tapi kepala sekolah
pada waktu itu belum berfungsi sebagai supervisor. Namun pada
perkembangan selanjutnya baru, terutama setelah bertambahnya aktivitas
sekolah, maka didirikanlah kantor superintendent di sekolah-sekolah, yang
mengakibatkan adanya dua unsur pimpinan di setiap sekolah. Kewenangan
kedua unsur pimpinan di sekolah itu tidak begitu cepat berkembang, tapi baru
setelah pada awal abad ke-19, di mana terjadi pengurangan beban pengajar
kepala sekolah, supaya mereka lebih banyak mencurahkan waktu untuk
membantu pekerjaan guru di kelas. Sehingga dapat dikatakan dari sinilah
5
Baharuddin Harahap, Supervisi Pendidikan ( Jakarta: PT. Ciawijaya, 1983), 6.
6
Soetopo, dkk, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), 63.
5
7
Ibid.
8
Muwahid Shulhan, Supervisi Pendidikan (Tulungagung: Acima Publishing, 2012), 12.
9
Ibid., 13.
6
10
Ibid.
11
Ibid., 14.
12
Ibid.
7
13
Soetopo, dkk, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, 1.
8
14
Muwahid Shulhan, Supervisi Pendidikan, 16.
15
Ibid., 17.
9
16
Ibid., 18.
10
17
Ibid., 20.
18
Ibid.
11
19
Ibid.
20
Ibid., 21.
12
21
Ibid., 22.
22
Ibid.
13
23
Ibid., 23.
24
Ibid.
25
Swearingen, Supervision of Instruction (New York Prentice Hall: Englewood Cliffs, 1961), 28.
14
Kebudayaan kita pada saat ini sedang mengalami suatu perubahan dan
pencampuran antara faktor-faktor intern dan ekstern. Perubahan ini
disebabkan oleh hasil budi manusia yang semakin maju. Hasil bahan-bahan
budaya yang makin kompleks, sangat mmpengaruhi sikap dan tindakan
manusia.26
Sekolah sebagai salah satu pusat kebudayaan, bertugas dan
bertanggungjawab menyeleksi unsur-unsur negatif dari pengaruh
kebudayaan modern dan mengambil sari pati unsur-unsur positif
berdasarkan norma-norma yang berlaku pada masa kini. Lebih penting lagi
setelah dilihat sebagai pusat pengembangan kebudayaan yang
mengembangkan kreativitas dan kemampuan nalar para siswa. Unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda-beda sangat mempengaruhi lapangan gerak
pendidikan dan pengajaran. Sekolah bertugas mengkoordinir semua usaha
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Disinilah
letak perlunya supervisi pendidikan.
a. mengkoordinasi semua usaha sekolah
b. memperkembangkan segala usaha untuk mencapai tujuan pendidikan.27
2. Latar Belakang Filosofis
Tiap perubahan kebudayaan adalah akibat dari budi manusia yang
makin berkembang. Tiap jaman alam pikiran manusia mengalami
peningkatan, kontinuitas berfikir. Tiap manusia bertanggungjawab di dalam
memperbaiki dan memperkembangkan hari depannya. Kecakapan untuk
berfikir, merencanakan dan berbuat merupakan usaha-usaha nyata dalam
mengisi kebutuhan manusia. Berdasarkan pandangan dan penafsiran bahwa
pengalaman adalah hasil interaksi antara organisme dan keadaan sekitar,
sedangkan fungsi organisme itu sendiri maupun pengalaman dapat
dipengaruhi, maka hal itu berarti bahwa pada manusia ada potensi-potensi
yang menghasilkan sesuatu pada setiap situasi. Nampak dengan jelas daya
kreasi dan dinamika manusia sehingga dengan demikian setiap pengalaman
26
Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan, 4.
27
Ibid., 5.
15
itu bersifat potensial kreatif, mau tidak mau dibutuhkan daya koordinasi dan
penyusunan rencana-rencana untuk mengatur interaksi manusia. Disini
nampak salah satu dasar pemikiran folosofis tentang perlunya supervisi di
dalam mengatur dan mengkoordinisir pendidikan dan pengajaran. Huxley
seorang zoologist pernah menerangkan perkembangan alam semesta
khususnya manusia telah diberikan kemampuan-kemampuan intelek,
kesadaran dan kecakapan untuk mengumpulkan pengalaman.28
Gardner Murphy seorang ahli ilmu jiwa dalam menerangkan tentang
manusia, berpendapat bahwa manusia itu memiliki tiga ciri hakiki yang
menentukannya sebagai pribadi, yaitu:
a. Pembawaan biologis
b. Pengaruh kebudayaan yang diperkaya dengan hasil pemikiran manusia
c. Hasrat untuk mengetahui, memecahkan suatu masalah.29
Dalam menghadapi proses perubahan dibutuhkan peranan-peranan
aktif manusia sebagai makhluk “kreatif”, berfikir dan mempunyai tujuan
hidup yang jelas. Manusia mempunyai kemampuan untuk mengatur dan
mengembangkan potensi hidupnya. Semua usaha untuk memperluas dan
mengkoordinasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan itu
merupakan fungsi utama dari supervisi pendidikan.30
3. Latar Belakang Psikologis
Dasar psikologis dari supervisi terletak berakar didalam pengalaman
manusia. Pengalaman sering diartikan sebagai kegiatan mencoba
melaksanakan, yaitu usaha memperkembangkan arti dari peristiwa atau
situasi sehingga dapat mengetahui cara pemecahan masalah yang timbul
sekarang dan masa yang akan datang.
Pengalaman merupakan dasar untuk tindakan selanjutnya. Untuk
memperoleh pengertian tentang sesuatu kita harus mengetahui hubungan
dengan hal-hal lain. Pengalaman yang luas memungkinkan kita memperoleh
pengertian yang mendalam tentang sesuatu masalah sehingga memperbesar
28
Swearingen, Supervision of Instruction, 31
29
Ibid., 32.
30
Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan, 6.
16
31
Ibid., 7.
32
Ibid., 9.
33
Swearingen, Supervision of Instruction, 37.
17
34
Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan,10.
35
Swearingen, Supervision of Instruction, 30.
36
Piet. A. Sahertian dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan, 11.
18
37
Ibid.,12
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Piet. A. Sahertian, Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 20.
19
41
Supandi, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: Departemen Agama Universitas
Terbuka, 1996), 542.
20
42
Ibid., 543.
21
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Priansa, Donni Juni dan Rismi Somad, Manajemen Supervisi & Kepemimpinan
Kepala Sekolah, (Bandung : Alfabeta, 2014 ), 84
Sahertian, Piet. A. dan Frans Mataheru, Prinsip & Tekhnik Supervisi Pendidikan.
Malang: Usana Offset Printing, 1982.
24