Proses Pengambilan Keputusan Etis Dengan Metode Seven Step
Proses Pengambilan Keputusan Etis Dengan Metode Seven Step
Proses
Pengambilan
Keputusan
Etis
(Seven
Steps)
Diajukan
sebagai
Tugas
Mata
Kuliah
ETIKA
PROFESI
Dosen:
DRA.
Hj.
SAPARTINAH
ABD,
MM.
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
10
SASKIA
FAWZIA
ACHMAD
(023100045)
GANTRI
NURHAMDANI
RN
(023100059)
JURUSAN
AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
TRISAKTI
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur
kami
panjatkan
kehadirat
Allah
SWT
yang
telah
melimpahkan
rahmat
dan
nikmat
yang
tidak
terhingga
kepada
penulis,
sehingga
kami
dapat
menyelesaikan
makalah
etika
profesi
ini.
Makalah
yang
memuat
tentang
“Proses
Pengambilan
Keputusan
Etis
(Seven
Step)”
ini,
disusun
untuk
memenuhi
tugas
mata
kuliah
etika
profesi.
Penulis
mengucapkan
terimakasih
kepada
Ibu
DRA.
Hj.
Sapartinah
ABD,
MM.
selaku
dosen
Etika
Profesi
yang
telah
memberikan
tugas
makalah
ini
agar
dapat
memperluas
pemahaman
tim
penulis
mengenai
pengambilan
keputusan
etis.
Semoga
makalah
ini
dapat
memberikan
wawasan
yang
lebih
luas
kepada
pembaca.
Kami
menyadari
bahwa
makalah
etika
profesi
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan.
Oleh
karena
itu,
kami
mengharapkan
kritik
dan
saran
dari
pihak
pembaca
demi
penyempurnaan
makalah
yang
akan
datang
Penulis
ii
DAFTAR
ISI
iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Ketika
prinsip-‐prinsip
atau
peraturan
tertentu
terkandung
dalam
kode
etik
tidak
sepenuhnya
berlaku
untuk
masalah
tertentu
yang
dihadapi
oleh
seorang
akuntan
professional,
para
pembuat
keputusan
dapat
berpedoman
kepada
prinsip-‐prinsip
untuk
sampai
pada
keputusan
etis
yang
dapat
dipertahankan.
Apakah
yang
dimaksud
dengan
prinsip-‐prinsip
umum
etika
dan
bagaimana
penerapannya?
Dibutuhkan
suatu
pembahasan
tentang
prinsip-‐prinsip
etika
dan
bagaimana
mengembangkan
sebuah
kerangka
keputusan
menyeluruh
praktis
dan
komprehensif
berdasarkan
bagaimana
tindakan
yang
diusulkan
akan
mempengaruhi
pemangku
kepentingan
untuk
membuat
keputusan.
Oleh
karena
itu,
penulis
ingin
mengangkat
suatu
topic
yang
berjudul
“Proses
Pengambil
Keputusan
Etis
(Seven
Steps)”
menjadi
pokok
pembahasan
dalam
makalah
ini.
Penulis
berusaha
untuk
menyusun
makalah
ini
semenarik
mungkin
agar
para
masyarakat
khususnya
mahasiswa
dan
pelajar
lainnya
dapat
memahami
serta
dapat
menerapkan
kerangka
keputusan
secara
menyeluruh
yang
praktis
dan
komprehensif
berdasarkan
pada
bagaimana
tindakan
yang
diusulkan
akan
mempengaruhi
untuk
membuat
keputusan
etis.
1.2. Rumusan
Masalah
Adapun
Rumusan
masalah
dalam
makalah
ini
adalah
sebagai
berikut.
1. Bagaimana
cara
pengambilan
keputusan
yang
etis
2. Apa
saja
pendekatan
dalam
pengambilan
keputusan
Etis
3. Bagaimana
langkah-‐langkah
dalam
pengambilan
keputusan
etis
yang
digariskan
oleh
America
Accounting
Association
1.3. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan
pulisan
makalah
ini
yaitu:
1. Untuk
mengetahui
pengertian
dan
teori
pengambilan
keputusan
2. Untuk
mengetahui
pendekatan-‐pendekatan
dalam
pengambilan
keputusan
3. Untuk
mengetahui
langkah-‐langkah/proses
dalam
pengambilan
keputusan
etis
sehingga
dapat
mengambil
keputusan
etis
1.4. Manfaat
Penulisan
1. Untuk
menambah
wawasan
dan
kerangka
berpikir
penulis
2. Untuk
memenuhi
dan
melengkapi
tugas
etika
profesi
yang
bermuatan
softskill
3. Sebagai
bahan
refrensi
bagi
pembaca,
khususnya
mahasiswa
yang
mengambil
mata
kuliah
Etika
Profesi
1
BAB
II
ISI
2.1. Pendahuluan
Skandal
Enron,
Arthur
Andersen,
dan
WorldCom
menimbulkan
kemarahan
publik,
runtuhnya
pasar
modal,
dan
akhirnya
Sarbanes
Oxley
Act
2002,
yang
membawa
reformasi
tata
kelola
tersebar
luas.
Skandal
perusahaan
berikutnya
yang
melibatkan
Adelphia,
Tyco,
Health-‐South,
dan
lainnya
mengingatkan
kita
untuk
lebih
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
bahwa
eksekutif
perusahaan
dapat
membuat
keputusan
yang
lebih
baik,
dan
harus
melakukannya
untuk
mempertahankan
profitabilitas
dan
kelangsungan
hidup
perusahaan
mereka.
Kasus
pengadilan
berikutnya
serta
denda
terkait,
hukuman
penjara,
dan
penyelesaiannya
menekankan
pada
keputusan
untuk
mengurangi
kekebalan
terhadap
tindakan
hukum.
Sebagai
respon
terhadap
keputusan
yang
dapat
dipertahankan
secara
etis,
makalah
ini
menyajikan
kerangka
kerja
yang
praktis,
komprehensif,
dan
beraneka
ragam
untuk
pengambilan
keputusan
etis.
Kerangka
ini
menyertakan
persyaratan
tradisional
untuk
profitabilitas
dan
legalitas,
serta
persyaratan
yang
akan
ditampilkan
filosofis
secara
penting
dan
yang
baru
ini
dituntut
oleh
pemangku
kepentingan.
Hal
ini
dirancang
untuk
meningkatkan
pertimbangan
etis
dalam
menyediakan:
• Pengetahuan
dalam
mengidentifikasi
dan
menganalisis
isu-‐isu
penting
yang
harus
dipertimbangkan
dan
dipertanyakan
atau
tantangan
yang
harus
diungkap
• Pendekakatan
untuk
menggabungkan
dan
menerapka
faktor
keputusan
yang
relevan
dalam
tindakan
praktis.
Kerangka
kerja
pengambilan
keputusan
etis
(Ethical
Decision
Making−EDM)
menilai
etikabilitas
keputusan
atau
tindakan
yang
dibuat
terkena
dampak:
• Konsekuensi
atau
kekayaan
yang
dibuat
dalam
hal
keuntungan
bersih
atau
biaya;
• Hak
dan
kewajiban
yang
terkena
dampak;
• Kesetaraan
yang
dilibatkan;
• Motivasi
atau
kebijakan
yang
diharapkan
Dorongan
untuk
meningkatkan
pendidikan
etika
dan
EDM
karena
skandal
Enron,
Arthur
Andersen,
dan
WorldCom,
serta
reformasi
tata
kelola,
AACSB
Ethics
Education
Task
Force
(2004)
menghimbau
para
mahasiswa
bisnis
yang
mengenal
tiga
pendekatan
filosofis
untuk
pengambilan
keputusan
etis:
konsekuensialisme
(utilitarianisme),
deontologi,
dan
etika
kebajikan.
Masing-‐masing
dari
tiga
pendekatan
memberikan
kontribusi
yang
berbeda-‐beda
dalam
menghasilkan
pendekatan
yang
berguna
dan
dapat
dipertahankan
untuk
pengambilan
keputusan
etis
dalam
bisnis
atau
kehidupan
pribadi.
Namun,
karena
prinsip
dan
teori
filosofis
bertentangan
dengan
aspek
lain
dan
dampak
2
bertentangan
dengan
praktik
bisnis
yang
dapat
diterima,
khususnya
dalam
beberpa
budaya
sudut
pandang
(pertimbangan)
yang
ditunjukkan
oleh
pihak
ketiga
pendekatan
filsafat
untuk
menentukan
etikabilitas
suatu
tindakan
dan
panduan
pilihan
yang
harus
dibuat.
Konsekuensialisme
bertujuan
untuk
memaksimalkan
hasil
akhir
dari
sebuah
keputusan.
Bagi
mereka,
kebenaran
dari
suatu
perbuatan
bergantung
pada
konsekuensinya.
Pendekatan
ini
sangat
penting
bagi
keputusan
etis
yang
baik
dan
pemahaman
itu
akan
menjadi
bagian
dari
pendidikan
sekolah
bisnis
terakreditasi
AACSB
di
masa
depan.
Menurut
AACSB,
Konsekuensialisme
berpendapat
bahwa
sebuah
perbuatan
besar
secara
moral
jika
dan
hanya
jika
tindakan
tersebut
mampu
memaksimalkan
kebaikan
bersih.
Dengan
kata
lain,
tindakan
dan
sebuah
keputusan
akan
menjadi
etis
jika
konsekuensi
positif
lebih
besar
dari
konsekuensi
negatifnya.
Utilitarianisme
klasik
yang
terkait
dengan
utilitas
secara
keseluruhan
mencangkup
keseluruhan
varian,
oleh
karena
itu
hanya
dari
manfaat
parsial
dalam
pengambilan
keputusan
etis
dalam
konteks
sebuah
bisnis,
profesional,
atau
organisasi.
Konsekuensialisme
mengacu
pada
sub
bagian
dari
varian
yang
didefiniskan
untuk
menghindari
pengukuran
yang
salah
atau
permasalahan
lain,
atau
dalam
rangka
membuat
proses
menjadi
lebih
relevan
dengan
tindakan,
keputusan
atau
konteks
yang
terlibat.
Oleh
karena
konsekuensialisme
dan
utilitarianisme
berfokus
pada
hasil
atau
akhir
dari
suatu
tindakan,
teori-‐
teori
tersebut
sering
dianggap
sebagai
teleologis.
2.1.5. Deontologi
Deontologi
berbeda
dari
konsekuensialisme,
dalam
artian
bahwa
deontologis
berfokus
pada
kewajiban
atau
tugas
memotivasi
keputusan
atau
tindakan,
bukan
pada
kewajiban
atau
tugas
memotivasi
keputusan
atau
tindakan.
Bukan
pada
konsekuensi
dari
tindakan.
Etika
deontologi
mengambil
posisi
bahwa
kebenaran
bergantung
pada
rasa
hormat
yang
ditunjukkan
dalam
tugas
serta
hak
dan
keadilan
yang
dicerminkan
dari
tugas-‐tugas
tersebut.
Akibatnya,
suatu
pendekatan
deontologis
mengangkat
isu-‐isu
yang
berkaitan
dengan
tugas,
hak,
serta
pertimbangan
keadilan
dan
mengajarkan
para
mahasiswa
untuk
menggunakan
standar
moral,
prinsip
dan
aturan-‐aturan
sebagai
panduan
untuk
membuat
keputusan
etis
terbaik
Penggunaan
pendekatan
yang
sama
juga
dapat
menghasilkan
rasa
hormat
terhadap
hak
asasi
manusia
dan
perlakuannya
yang
adil
bagi
semua.
Hal
ini
dapat
dicapai
dengan
mengadopsi
posisi
bahwa
sesorang
harus
memenuhi
kewajiban
dan
tugas
yang
menghormati
moral
atau
hak
asasi
manusia
dan
hukum
atau
kontrak.
Lebih
jauh
lagi,
hal
tersebut
juga
dicapai
jika
para
individu
bertindak
dengan
kepentingan
pribadi
yang
terkendali
daripada
kepentingan
pribadi
semata.
Dibawah
kepentingan
orubadi
yang
terkendali,
kepentingan
individu
juga
diperhitungkan
dalam
keputusan
dimana
kepentingan
tersebut
tidak
diabaikan
atau
dikesampingkan.
Individu
dianggap
sebagai
akhir
daripada
sebagai
sarana
untuk
mencapai
akhir
dari
suatu
tujuan
3
2.1.6. Etika
Kebajikan
Konsekuensialisme
menekankan
konsekuensi
dari
sebuah
tindakan,
dan
deotologi
menggunakan
tugas,
hak,
dan
prinsip-‐prinsip
sebagai
panduan
untuk
memperbaiki
perilaku
moral
sedangkan
etika
kebajikan
berkaitan
dengan
aspek
yang
memotivasi
karakter
moral
yang
ditunjukkan
oleh
para
pengambil
keputusan.
Tanggung
jawab
khususnya
kesalahan
atau
layak
dianggap
salah
salah
baik
moralitas
atau
hukum
memiliki
dua
dimensi:
actus
reus
(tindakan
yang
salah)
dan
mens
rea
(pikiran
yang
salah).
Kebajikan
adalah
karakter
yang
membuat
orang
bertindak
etis
dan
membuat
orang
tersebut
menjadi
manusia
yang
bermoral.
Kebijaksanaan
adalah
kunci
dari
kebajikan
dalam
menentukan
pilihan
yang
tepat
diantara
pilihan-‐pilihan
yang
ekstrem.
Tiga
kebajikan
yang
terpenting
atau
kebajikan
kardinal
lainnya
ameliputi
kejujuran,
integritas,
kepentingan
pribadi
yang
terkendali,
belas
kasih,
kesetaraan,
ketidak-‐berpihakkan,
kerendahan
hati,
kemurahan
hati,
dan
kesederhanaan.
Kebajikan
harus
selalu
ditanamkan
sepanjang
waktu,
sehingga
mereka
menjadi
tertanam/melekat
dan
bisa
menjadi
refrensi
yang
konsisten,
“jika
anda
memiliki
kebajikan,
itu
adalah
bagian
dari
karakter
anda,
suatu
sifat
atau
watak
yang
biasa
anda
tunjukkan
dalam
tindakan.
Hal
ini
bukan
hanya
sesuatu
yang
dapat
anda
tunjukkan,
tetapi
sesuatu
yang
biasanya
atau
selalu
anda
tunjukkan
Untuk
ahli
etika
kebajikan,
memiliki
kebajikan
adalah
persoalan
derajat.
Sebagai
contoh,
bersikap
jujur
dapat
diartikan
bahwa
seseorang
harus
mengatakan
kebenaran.
Akan
tetapi
kejujuran
seseorang
dapat
dianggap
lebih
kuat
atau
berada
pada
tatanan
yang
lebih
tinggi
jika
ia
berurusan
dengan
orang-‐orang
atau
hal-‐hal
yang
jujur,
bekerja
untuk
perusahaan
yang
jujur,
teman-‐teman
yang
jujur,
membesarkan
anak
untuk
menjadi
jujur,
dan
seterusnya.
Demikian
pula,
alasan
untuk
seseoran
bertindak
bajik
itu
penting.
Ada
beberapa
keraguan
tentang
kekuatan
etika
kebajikan
sebagai
pendekatan
untuk
EDM
sebagai
contoh,
etika
kebajikan
berkaitan
dengan
proses
pengambilan
keputusan
yang
menggabungkan
kepekaan
moral,
persepsi,
imajinasi,
penilaian,
dan
beberapa
klaim
bahwa
hal
ini
tidak
mengarah
pada
prinsip-‐prinsip
EDM
yang
mudah
digunakan.
Kritik
lainnya
yang
relevan,
termasuk
bahwa:
• Interpretasi
kebajikan
adalah
hal
yang
sensitif
terhadap
budaya;
• Seperti
juga
penafsiran
dari
apa
yang
dbenarkan
atau
yang
benar;
• Persepsi
seseorang
tentang
apa
yang
benar
pada
tigkat
tertentu
dipengaruhi
oleh
ego
atau
kepentingan
pribadi.
4
2.2. Sebuah
Kerangka
Komprehensif
Pengambilan
Keputusan
Akan
sangat
membantu
untuk
mengorganisasikan
analisis
keputusan
etis
menggunakan
tujuh
langkah
(seven
steps)
yang
digariskan
oleh
American
Accounting
Association
(1993)
sebagai
berikut:
1. Identifikasi
Fakta
(Apa,
Siapa,
Dimana,
Kapan,
dan
Bagaimana)
Langkah
pertama
dalam
pengambilan
keputusan
yang
bertanggung
jawab
secara
etis
adalah
menentukan
fakta-‐fakta
dalam
situasi
tersebut.
Membedakan
fakta-‐
fakta
dari
opini
belaka
adalah
hal
yang
sangat
penting.
Perbedaan
persepsi
dalam
bagaimana
seseorang
mengalami
situasi
dapat
menyebabkan
banyak
perbedaan
etis.
Sebuah
penilaian
etis
yang
dibuat
berdasarkan
penentuan
yang
cermat
atas
fakta-‐fakta
yang
ada
merupakan
sebuah
penilaian
etis
yang
lebih
masuk
akal
daripada
penilaian
yang
dibuat
tanpa
fakta.
Seseorang
yang
bertindak
sesuai
dengan
pertimbangan
yang
cermat
akan
fakta
telah
bertindak
dalam
cara
yang
lebih
bertanggung
jawab
secara
etis
daripada
orang
yang
bertindak
tanpa
pertimbangan
mendalam.
Begitu
anda
mengenali
bahwa
sebuah
isu
adalah
bagian
dari
situasi
yang
menghadang
anda,
maka
anda
akan
mengumpulkan
informasi
sebanyak
mungkin
mengenai
isu-‐isu
tersebut.
Dalam
mengidentifikasi
fakta-‐fakta
penting,
untuk
mengajukan
pertanyaan
yang
tepat,
pertanyaan
biasanya
diajukan
dalam
langkah
ini
meliputi:
• Apa,
yaitu
berkaitan
dengan
isu
terbaru
apa
yang
mempengaruhi
situasi
saat
ini
• Siapa,
yaitu
siapa
saja
yang
terlibat
dari
pihak-‐pihak
dalam
situasi
pengambilan
keputusan
atau
siapa
yang
menggunakan
keputusan
etis
tersebut.
5
• Dimana,
yaitu
menyatakan
dimana
situasi
keputusuan
etis
tersebut
digunakan
oleh
pihak-‐pihak
pengambil
keputusan
etis
• Kapan,
yaitu
pada
saat
kondisi
dan
situasi
seperti
apa
keputusan
etis
tersebut
diambil
oleh
para
pengambil
keputusan.
• Bagaimana,
yaitu
bagaimana
para
pengambil
keputusan
dapat
mengambil
keputusan
etis
saat
situasi
tersebut.
2. Menetapkan
Isu
Etis
Langkah
kedua
dalam
pengambilan
keputusan
etis
yaitu
menetapkan
isu
etis
yang
terbaru.
Isu-‐isu
aktual
melibatkan
apa
yang
benar-‐benar
diketahui
tentang
sebuah
kasus.
Misalnya,
fakta-‐fakta
yang
ada.
Meskipun
konsep
ini
tampak
tepat
sasaran,
fakta
dari
suatu
kasus
tertentu
tidak
selalu
jelas
dan
mungkin
kontroversial.
Pengambilan
keputusan
etis
yang
bertanggung
jawab
menyaratkan
kemampuan
untuk
mengenali
sebuah
keputusan
atau
permasalahan
sebagai
sebuah
keputusan
etis
atau
permasalahan
etis.
Langkah
ini
terdiri
dari
dua
komponen.
Pertama,
pemangku
kepentingan
utama
(stakeholder)
di
identifikasi,
dan
kedua
masalah
etika
harus
di
identifikasikan
secara
jelas.
Setiap
komponen
dibahas
secara
terpisah
dalam
bagian
ini.
(a) Buatlah
daftar
stakeholder
(pemangku
kepentingan
utama)
(b) Tentukan
isu/masalah
etika
6
5. Bandingkan
Nilai-‐nilai
Alternatif,
serta
melihat
apakah
muncul
keputusan
yang
jelas
Bagaimana
untuk
memutuskan
kapan
teori
menunjukkan
alternatif
yang
berbeda.
Ada
situasi
dimana
prinsip-‐prinsip
etis
yang
berbeda
akan
merekomendasikan
alternatif
yang
berbeda
akan
merekomendasikan
alternatif
yang
berbeda.
Dalam
sebuah
kasus
dimana
prinsip-‐prinsip
memberikan
rekomendasi
campuran
dan
memilih
rekomendasi
untuk
mengikuti
serta
bersiap
untuk
pembenaran
atas
pilihan
sebaik
mungkin.
Pembenaran
dapat
disediakan
mengapa
teori-‐teori
menunjukkan
bahwa
alternatif
tersebut
yang
tertarik
dan
bagaimana
dapat
sesuai
denganbaik
ke
dalam
konsepsi
tentang
apa
kehidupan
yang
baik
dan
alternatif
yang
disarankan
oleh
teori
lain.
6. Menilai
Konsekuensi
Sebuah
elemen
penting
dalam
evaluasi
ini
adalah
pertimbangan
cara
untuk
mengurangi,
meminimalisasi
atau
menggantikan
konsekuensi
kerugian
yang
mungkin
terjadi
atau
menggantikan
konsekuensi
kerugian
yang
mungkin
terjadi
atau
meningkatkan
dan
memajukan
konsekuensi-‐konsekuensi
yang
mendatangkan
manfaat.
Selain
itu,
juga
perlu
mempertimbangkan
kewajiban,
hal-‐hal,
dan
prinsip-‐prinsip,
serta
dampak
bagi
interitas
dan
karakter
pribadi.
7. Membuat
Keputusan
Anda
Menerapkan
alternatif
terbaik.
Setelah
memilih
alternatif
terbaik
yang
tidak
dikesampingkan
oleh
kendala
praktis,
selanjutnya
memutuskan
langkah
apa
yang
diperlukan
oleh
kendala
praktis.
Selanjutnya,
memutuskan
langkah
apa
yang
diperlukan
untuk
keluar
dari
permasalahan.
Pengambilan
keputusan
yang
diakhiri
dengan
evaluasi
yang
merupakan
langkah
terakhir
dalam
proses
pengambilan
keputusan
sebagai
sarana
untuk
menilai
apakah
keputusan
kita
sudah
berdampak
baik
atau
malah
tidak
sesuai
dengan
apa
yang
kita
harapkan.
Salah
satu
cara
untuk
menggunakan
metode
seven
steps
atau
metode
tujuh
langkah
pengambilan
keputusan
etis
adalah
untuk
memberikan
checklist
mental,
yaitu
untuk
memastikan
kelengkapan
dalam
membuat
analisis
etis.
Kebutuhan
sesorang
dalam
membuat
keputusan
etis
mengikuti
prosedur
keputusan
yang
dapat
memastikan
bahwa
dia
telah
mempertimbangkan
semua
faktor
yang
relevan
dan
telah
diperhitungkan
dampaknya
bagi
kepentingan
diri
sendiri.
Velasquez
mengembangkan
metode
seven
steps
untuk
tujuan
ini.
Kebanyakan
para
pengambil
keputusan,
ketika
dihadapkan
dengan
keputusan
etis
akan
mempertimbangkan
sebagian
besar
faktor
yang
relevan.
Metode
ini
jua
menyediakan
kerangka
kerja
untuk
mencari
kesulitan
dan
perselisihan.
Dengan
memisahkan
fakta
dari
masalah
etika.
Misalnya,
kerangka
memungkinkan
kita
untuk
menentukan
apakah
perselisihan
adalah
atas
fakta
atau
isu-‐
isu
etis.
7
Pengambilan
keputusan
etis
adalah
proses
dialektik.
Kenyataannya
bahwa
metode
tujuh
langkah
(seven
steps)
yang
tercantum
dalam
urutan
numerik
tidak
menunjukkan
urutan
logis
atau
kronologis
yang
ketat.
Kehadiran
fakta
yang
akan
mengingatkan
kita
pada
kebutuhan
untik
mempertimbangkan
isu-‐isu
etis
tertentu,
tetapi
tanpa
beberapa
pengenalan
sebelumnya
dari
masalah
etika.
Fakta-‐fakta
ini
tidak
akan
memiliki
etika
signifikan.
Menentukan
apakah
alternatif,
siapa
para
pemangku
kepentingan,
atau
apa
kendala
praktis
dalam
mencari
fakta
tambahan
sehingga
para
pemangku
kepentingan
dapat
menghasilkan
alternatif
baru.
Keputusan
atau
Tindakan
Ya
Alternatif
yang
Tidak
Keputusan
Final
yang
diusulkan
lebih
baik
Identifikasi
fakta
Analisis
Etika
Peringkatkan
Interest
menurut
tingkat
kepentingannya.
Identifikasi
Pemangku
Terapkan
Kerangka
Kerja
Komprehensif
EDM
Kepentingan,
menggunakan
sesbuah
Pendekatan
Filosofis:
Kepentingan
Mereka,
Konsekuensialisme,
Deontologi,
dan
Etika
Kebajikan
ditambah
Analisis
Gap
motivasi,
dan
Masalah-‐masalah
Etis
kebijakan,
dan
sifat
karakter.
8
2.3. Contoh-‐contoh
Kasus
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, M Nuh menyampaikan hasil investigasi Inspektorat
Jenderal Kemendikbud mengenai adanya dugaan penyimpangan anggaran di lingkungan Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud).
"Bahwa Pak Menteri justru menyampaikan hasil tentang adanya dugaan penyimpangan di
lingkungan Wamen. Justru Pak Menteri minta KPK laporkan hasil analisisnya, klarifikasi, karena ini
sudah ramai diberitakan," kata Johan di Jakarta, Jumat (30/5/2013).
Namun, Johan tidak menyebut nama Wamendikbud yang dimaksud. Informasi yang beredar,
penyimpangan anggaran itu salah satunya melibatkan Wamendikbud Bidang Kebudayaan Wiendu
Nuryanti. Perusahaan pemenang lelang di Ditjen Kebudayaan disebut-sebut milik Wiendu.
Saat melaporkan temuan ini semalam, kata Johan, Mendikbud diterima Ketua KPK Abraham Samad
serta Deputi Pengaduan Masyarakat dan Pengawasan Internal KPK. Johan melanjutkan, KPK akan
menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan penelaahan. Mengenai cepat atau lambatnya
penelaahan ini akan dilakukan, Johan mengatakan, hal itu tidak bergantung kepada siapa pihak yang
melaporkan.
"Cepat lambatnya sebuah laporan di KPK itu bukan ditentukan siapa yang melapor, tapi ditentukan
isi laporan itu, apakah laporan itu valid atau tidak, apakah mengandung unsur tindak pidana korupsi
atau tidak," ungkap Johan.
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud yang dipimpin mantan pimpinan KPK Haryono Umar
menemukan berbagai penyimpangan dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan 2012 di Direktorat Jenderal Kebudayaan. APBNP 2012 di Ditjen Kebudayaan mencapai
Rp 700 miliar.
9
Investigasi yang dilakukan sejak tahun 2012 itu menemukan adanya penggelembungan dana dari
beberapa mata kegiatan di luar batas kewajaran. Auditor juga menemukan adanya intervensi pejabat
pada sejumlah lelang kegiatan di Ditjen Kebudayaan yang melibatkan event organizer (EO).
Wamendikbud dan beberapa pejabat, tambahnya, sudah dimintai keterangan terkait kasus ini.
Maralus, Inspektur III Bidang Pendidikan Tinggi, menambahkan, kejanggalan antara lain ditemukan
pada proyek terkait buku, pengadaan benda seni, serta pelaksanaan acara kebudayaan.
Itjen Kemendikbud juga sedang menginvestigasi pelaksanaan World Culture Forum 2013 yang akan
diadakan pada November mendatang.
Wamendikbud Wiendu saat dihubungi Kompas beberapa waktu lalu membantah keterlibatannya
dalam lelang kegiatan di Kemendikbud tersebut.
"Saya pribadi tidak punya EO. Jika yang dimaksud adalah Stuppa, itu bukan EO. Stuppa adalah
yayasan yang dibentuk oleh beberapa dosen UGM. Areanya di bidang pariwisata, kegiatannya
selama ini menyusun masterplan, pelatihan, dan kajian pariwisata," kata Wiendu. Ia menambahkan,
semua kegiatan yang bersumber pada APBN ada peraturannya dan pengawasannya.
10
Bidang
Pendidikan
Tinggi,
menambahkan
kejanggalan
anatara
lain
ditemukan
pada
proyek
terkait
buku,
pengadaan
benda
seni,
serta
pelaksanaan
acara
kebudayaan.
Inspektorat
Jenderal
(Itjen)
Kemendikbud
juga
sedang
menginvestigasi
pelaksanaan
World
Culture
Forum
2013
yang
akan
diadakan
November
mendatang.
Wamendikbud,
Wiendu
saat
dihubungi
Kompas
beberapa
waktu
lalu
membantah
keterlibatannya
dalam
lelang
kegiatan
di
Kemendikbud
tersebut.
“saya
pribadi
tidak
memiliki
EO,
jika
yang
dimaksud
adalah
Stuppa,
itu
bukan
EO.
Stuppa
adalah
yayasan
yang
dibentuk
oleh
beberapa
dosen
UGM.
Areanya
dibidang
pariwisata,
berkegiatan
selama
ini
menyusun
masterplan,
pelatihan,
kajian
pariwisata.”
Kata
Wiendu.
Ia
menambahka,
semua
kegiatan
yang
bersumber
dari
pendapatan
APBN
ada
peraturan
pengawasan.
2. Menetapkan
isu
etis
Kasus:
Adanya
dugaan
penyimpangan
anggaran
dilingkungan
Wamendikbud.
Salah
satunya
melibatkan
Wakil
Menteri,
Wiendu
Nurhayati.
Perusahaan
pemenang
lelang
di
Ditjen
Kebudayaan
disebut-‐sebut
sebagai
Milik
Wiendu.
3. Mengidentifikasi
prinsip-‐prinsip
utama,
aturan,
dan
nilai-‐nilai
Kasus:
Kasus
ini
bertentangan
dengan
salah
satu
dari
tiga
prinsip
keadilan
menurut
Adam
Smith,
yaitu
prinsip
No
Harm
yang
merupakan
prinsip
tidak
merugikan
orang
lain,
khususnya
tidak
merugikan
hak
dan
kepentingan
orang
lain.
Sebagaimana
ia
sendiri
tidak
mau
agar
hak
dan
kepentingannya
dirugikan
oleh
siapapun.
Dalam
bisnis,
tidak
boleh
ada
pihak
yang
dirugikan
hak
dan
kepentingannya.
Baik
sebagai
investor,
karyawan,
distributor,
konsumen,
maupun
masyarakat
luas.
Hubungan
dengan
kasus
Laporan
M.Nuh
terkait
Dugaan
Korupsi
Wamendikbud”
adalah
suatu
tindak
pidanan
korupsi
telah
merugikan
hak
dan
kepentingan
rakyat
Indonesia.
Dugaan
korupsi
tersebut
terkait
dengan
berbagai
penyimpangan
dalam
pengguanaan
APBNP
2012
dalam
penggunakan
APBN
2012
di
Ditjen
mencapai
Rp
700milyar
4. Tentukan
alternatif
Kasus:
M.Nuh
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan
telah
menyapaikan
laporan
ke
KPK
tentang
adanya
dugaan
penyimpangan
anggaran
dilingkungan
Wamendikbud
yang
salah
satunya
melibatkan
Wiendu
Nuryati.
5. Bandingkan
nilai-‐nilai
dan
alternatif,
serta
melihat
apakah
muncul
keputusan
yang
jelas
Kasus:
Dengan
adanya
alternatif
yang
telah
dilakukan
oleh
mendikbud,
M.Nuh
dengan
menyampaikan
laporan
ke
KPK
tentang
adanya
temuan
dugaan
penyimpangan
anggaran
11
dilingkungan
Wamendikbud,
secara
eksplisit
prinsip
No
Harm
yang
merupakan
bagian
dari
prinsip
keadilan
dapat
segera
diterapkan.
Artinya
KPK
akan
mulai
mengusut
hasil
ini
dengan
harapan
pada
akhirnya
kebenaran
dan
keadilan
terkait
adanya
korupsi
dilingkungan
Kemendikbud
dapat
ditegakkan
Namun
alternatif
M.Nuh
dengan
adanya
yang
melaporkan
kepada
KPK
tentunya
belum
dapat
memenuhi
prinisip
No
Harm
secara
keseluruhan.
Perlu
adanya
penetapan
kebijakan,
system
dan
prosedur
yang
mambantu
meyakini
bahwa
tindakan
yang
diperlukan
sudah
dilakukan
dengan
tepat
untuk
dapat
memberikan
keyakinan
memadai
dalam
pencapaian
tiga
tujuan
pokok,
yaitu:
keandalan,
pelaporan
keuangan,
efektivitas
dan
efisiensi,
serta
kepatuhan
terhadap
hukum
dan
peraturan
yang
berlaku
(COSO:1992)
dalam
penggunaan
APBN
2012
di
Direktorat
Jenderal
Kebudayaan
6. Menilai
konsekuensi
Kasus:
Konsekuensi
akibat
adanya
kaskus
“Laporan
M.Nuh
terkait
dugaan
korupsi
wamendikbud”
adalah
dapat
mengurangi
nama
baik/reputasi
Kementian
Pendidikan
dan
Kebudayaan/
Adanya
resiko
tersebut
mengharuskan
internal
auditor
untuk
menyusun
tindakan
pencegahan/prevention
untuk
menangkal
terjadinya
kecurangan.
Bagaimana
cara
mendeteksi
secara
dini
terjadinya
kecurangan-‐kecurangan
dalam
hal
ini
korupsi
yang
timbul.
Pada
awalnya
korupsi
ini
akan
tercermin
melalui
timbulnya
karakterisktik
tertentu,
baik
yang
bersifat
kondisi/situasi
tertentu,
perilak/kondisi
sesorang
personal
tersebut
dinamankan
Red
flag
(fraud
Indicators).
Red
flag
Indicators
terdiri
dari
:
(a) Kecurangan
Laporan
Keuangan
(Financial
Statement
Fraud)
(b) Penyalahgunaan
Aset
(Asset
Missapropriation)
7. Membuat
Keputusan
Kasus:
Untuk
kasus
ini,
korupsi
yang
terjadi
dapat
dicegah
antara
lain
dengan
cara-‐cara
berikut:
a) Membuat
struktur
pengendalian
intern
yang
baik
Dalam
memperkuat
pengendalian
intern
dalam
hal
ini
di
lingkungan
Kemendikbud
menurut
COSO
(The
Committee
of
Sponsoring
Organization
of
The
Treadway
Commission)
pada
bulan
September
1992
memperkenalkan
suatu
kerangka
pengendalian
yang
lebih
luas,
terdiri
tas
lima
komponen
yang
saling
terkait,
yaitu:
• Lingkungan
Pengendalian
(Control
Environment)
Merupakan
dasar
untuk
semua
komponen
pengendalian
intern,
menyediakan
disiplin
dan
struktur.
Lingkungan
pengendalian
mencangkup
integritas
dan
nilai
etika,
pemberian
wewenang,
dan
tanggung
jawab,
serta
kebijakan
dan
praktik
sumber
daya
manusia.
12
• Standar
Pengendalian
(Control
Activities)
Merupakan
kebijakan
dari
prosedur
yang
membantu
menjamin
bahwa
arahan
manajemen
dilaksanakan.
Kebijakan
dan
prosedur
yang
dimaksud
berkaitan
dengan:
− Penelaahan
terhadap
kinerja
− Pengolahan
Informasi
− Pemisahan
Tugas
• Informasi
dan
Komunikasi
(Information
Communication)
Adalah
pengidentifikasian,
pengungkapan,
dan
pertukaran
informasi
dalam
suatu
bentuk
dari
waktu
yang
memungkinkan
orang
melaksanakan
tanggung
jawab
mereka.
Komuksi
mencangkup
penyediaan
suatu
pemahaman
tentang
peran
dan
tanggung
jawab
individual
terkait
dengan
pengendalian
intern
terhadap
pelaporan
keuangan.
• Pemantauan
(Monitoring)
Adalah
proses
menentukan
mutu
kinerja
pengendalian
intern
sepanjang
waktu.
Pemantauan
mencangkup
penentuan
disain
dan
operasi
pengendalian
yang
telat
waktu
dan
pengambilan
tindakan
koreksi.
− Tanggung
Jawab
(responsibility)
− Moralitas,
didalam
prinsip
ini
terkandung
unsur-‐unsur
kejujuran,
kepekaan
sosial,
tanggung
jawab
individu,
− Komitmen
b) Mengefektifkan
fungsi
internal
audit
Beberapa
hal
yang
harus
diperhatikan
agar
fungsi
internal
audit
bisa
efektif
membantu
dalam
melaksanakan
tanggung
jawabnya
dengan
memberikan
analisa,
penilaian,
saran,
dan
komentar,
mengenai
kegiatan
yang
diperiksanya
adalah:
1. Internal
audit
departemen
harus
mempunyai
kedudukan
yang
independen
dan
bertanggung
jawab
kepada
atau
melaporkan
kegiatannya
2. Internal
audit
departemen
harus
mempunyai
uraian
tugas
secara
tertulis,
sehingga
setiap
auditor
mengetahui
dengan
jelas
apa
yang
menjadi
tugas,
wewenang,
dan
tanggung
jawabnya.
3. Internal
audit
harus
mempunyai
internal
audit
manual
yang
berguna
untuk:
§ Mencegah
terjadinya
penyimpangan
dalam
pelaksanaan
tugas
§ Menentukan
standar
yang
berguna
untuk
mengukur,
dan
meningkatkan
performance
§ Memberi
keyakinan
bahwa
hasil
akhir
internal
audit
departemen
sesuai
dengan
requirement
dari
internal
audit
director
4. Harus
ada
dukungan
yang
kuat
kepada
internal
audit
departemen.
Dukungan
tersebut
dapat
berupa:
§ Penempatan
Internal
Audit
departemen
dalam
posisi
yang
independen
13
§ Penempatan
audit
staff
dengan
gaji
yang
cuku
menarik
§ Penyediaan
waktu
yang
cukup
untuk
membaca,
mendengarkan,
dan
mempelajiari
laporan-‐laporan
internal
audit
departemen
dan
respon
yang
cepat
dan
tegas
terhadap
saran-‐saran
perbaikan
yang
diajukan
oleh
internal
auditor.
5. Internal
audit
departemen
harus
memiliki
sumber
daya
yang
profesional,
capable,
dan
bisa
bersikap
objektif
dan
mempunyai
integritas
serta
loyalitas
yang
tinggi.
14
2.3.2. Kasus
II:
Golkar
Protes
Disebut
Tak
Transparan
Soal
Dana
Parpol
Jakarta - Partai Golkar dinilai tak kooperatif soal dana parpol oleh Transparency International
Indonesia (TII). Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengaku partainya sudah
cukup transparan soal pendanaan partai.
"Saya tidak tahu persis juga apa yang menjadi dasar TII memberi kesimpulan seperti itu," kata
Bambang ketika dihubungi wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
"Laporan keuangan Golkar diaudit oleh kantor akuntan independen setiap tahunnya dan tidak ada
masalah. Tidak ada dana ilegal yang mengalir ke partai kami dengan penggunaan yang juga jelas.
Sumber-sumber jelas dari partisipasi para kader dan simpatisan," aku Bambang.
"Laporan pemeriksaan akuntan publik lengkap kok setiap tahun dan dilaporan ke pengurus partai
dan rapimnas partai. Survei ya silahkan saja dan perlu untuk memberikan ganbaran ke masyarakat.
Dan kita tidak menutup diri kok," tandasnya.
TII berhasil mensurvei lima parpol, yaitu Gerindra, PAN, PDIP, PKB, dan Hanura. Di luar lima parpol
itu, TII tidak melanjutkan survei karena dinilai tidak cukup kooperatif.
"Partai kurang kooperatif, yaitu PKS dan Demokrat. Sementara yang tidak kooperatif adalah Golkar,
sama sekali tidak membuka komunikasi dengan TII," ucap peneliti TII Putut Aryo Saputro.
Sementara itu, PPP hanya sebatas membuka diri untuk audiensi. TII tidak melanjutkan surveinya
terhadap PPP.
15
2. Menetapkan
isu
etis
Kasus:
Wakil
bendahara
umum
Partai
Golkar,
Bambang
Soesatyo
mengaku
partainya
sudah
cukup
transparan
soal
pendanaan
partai
saat
dihubungi
wartawan
di
Gedung
DPR,
Senayan,
Jakarta.
Selasa
(16/4/2013).
Bambang
berargumen,
partainya
sudah
mampunyai
akuntan
independen
dan
laporan
keuangan
Golkar
di
audit
setiap
tahunnya
dan
tidak
ada
masalah
untuk
memastikan
keabsahan
pendanaan.
Laporan
dari
akuntan
itu
kemudian
dilaporkan
ke
pengurus
partai
dan
ketika
rapat
pimpinan
nasional.
Tidak
ada
dana
illegal
yang
mengalir
ke
Partai
dengan
penggunaan
yang
juga
jelas
3. Mengidentifikasi
prinsip-‐prinsip
utama,
aturan,
dan
nilai-‐nilai
Kasus:
Menurut
Cadbury
Report
(1992),
Good
Corporate
Governance
(GCG)
terdapat
empat
kriteria
yang
harus
dimiliki
oleh
sebuah
badan
usaha
ataupun
badan
pemerintah,
yaitu:
Pertanggung
jawaban
(responsibility),
Akuntabilitas,
Keadilan(Fairness),
Transparansi.
Transparansi
(transparency),
prinsip
dasar
transparansi
berhubungn
dengan
kualitas
informasi
yang
disajikan
oleh
suatu
badan
tersebut.
Oleh
karena
itu,
suatu
badan
pemerintahan
dituntut
untuk
menyediakan
informasi
yang
jelas,
akurat,
tepat
waktu,
dan
dapat
dibandingkan
dengan
indikator-‐indikator
yang
sama.
Prinsip
ini
diwujudkan
antara
lain
dengan
mengembangkan
sistem
akuntansi
yang
berbasiskan
standar
akuntansi
dan
best
practice
yang
menjamin
adanya
laporan
keuangan
dan
informasi
akuntansi
manajemen
untuk
menjamin
adanya
pengukuran
kinerja
yang
memadai
dan
proses
pengambilan
keputusan
yang
efektif,
termasuk
juga
mengumumkan
jabatan
yang
kosong
secara
terbuka
(Tjager
dkk,
2003:51).
Dengan
kata
lain,
prinsip
transparansi
ini
menghendaki
adanya
keterbukaan
dalam
melaksanakan
proses
pengambilan
keputusan
dan
keterbukaan
dalam
penyajian
(disclosure)
informasi
yang
dimiliki.
Dimana
penerapan
prinsip
transparansi
yang
terdapat
dalam
strategi
good
corporate
governance
dikaitkan
dengan
upaya
pemberantasan
KKN,
maka
penekanan
pelaksanaan
prinsip
keterbukaan
menjadi
penting.
4. Tentukan
alternatif
Kasus:
Wakil
Bendahara
Umum
Partai
Golkar,
Bambang
Soesatyo
mengaku
partainya
sudah
cukup
transparan
soal
pendaan
partai.
Jadi
apabila
Transparency
Internasional
Indonesia
(TII)
ingin
melakukan
survei,
partai
Golkar
tidak
akan
menutup
diri
sehingga
memberikan
gambaran
ke
masyarakat
16
5. Bandingkan
nilai-‐nilai
dan
alternatif,
serta
melihat
apakah
muncul
keputusan
yang
jelas
Kasus:
Wakil
Bendahara
Umum
Partai
Golkar,
Bambang
Soesatyo
mengaku
bahwa
partainya
sudah
cukup
transparan
mengenai
pendanaan
partai.
Namun
apakah
transparansi
yang
diberikan
oleh
Partai
Golkar
dirasa
telah
cukup
kepada
pihak-‐pihak
lain
yang
terkait
didalamnya?
Banyak
definisi
lain
terkait
dnegan
apa
yan
disebut
pelanggaran
prinsip
transparansi,
salah
satunya
adalah
dalam
bentuk
misrepresentation.
Misrepresentation
adakalanya
disebut
juga
sebagai
Misstatement,
yaitu
suatu
perbuatan
yang
membuat
pernyataan
yang
salah,
khususnya
berkaitan
dengan
data
internal
yang
dapat
menyesatkan
bagi
para
pemegang
kepentingan
lainnya.
Selain
itu,
pernyataan
menyesatkan
juga
dapat
muncul
karena
adanya
omission,
yaitu
perbuatan
penghilangan
fakta
material,
seperti
dokumen-‐dokumen
penting.
6. Menilai
konsekuensi
Kasus:
Beberapa
kerugian
untuk
partai
Golkar
apabila
tidak
menerapkan
Good
Corporate
Governance
(GCG)
dengan
baik,
mulai
dari
tidak
memberikan
nilai
ditambah
bagi
organisasi
tersebut
tidak
memberika
nilai
tambah
bagi
organisasi
tidak
hanya
sekedar
citra,
ada
pula
yang
akan
tidak
tertata
dengan
baik.
Kerugian
lain,
dengan
kondisi
organisasi
yang
buruk
sudah
tentu
pihak
luar
akan
memandang
buruk
terhadap
keberadaaan
organisasi
politik
partai
Golkar.
Tak
hanya
organisasi
tersebut
meraih
kerugian,
dengan
tidak
menerapkan
good
corporate
governance
(GCG)
dengan
baikm
tetapi
juga
berdampak
bagi
perekonomian
lebih
umum.
17
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Analisis
dampak
pemangku
kepentingan
menawarkan
cara
formal
dalam
membawa
kebutuhan
dari
organisasi
dan
individu
konsikuennya
(masyarakat)
kepada
sebuah
keputusan.
Perdagangan
merupakan
hal
yang
sulit
dan
dapat
memperoleh
keuntungan
dari
kemajuan
teknik
semacam
itu.
Penting
untuk
tidak
melupakan
fakta
bahwa
konsep
analisis
dampak
pemangku
kepentingan
yang
dibahas
dalam
makalah
ini
perlu
diterapkan
bukan
merupakan
teknik
tunggal,
tetapi
(teknik)
bersama-‐
sama
sebagai
suatu
perangkat.
Hanya
dengan
begitulah
suatu
analisis
yang
komprehensif
akan
dicapai
dan
keputusan
etis
dapat
dibuat.
Bergantung
pada
sifat
dari
keputusan
yang
akan
dihadapi,
dan
pemangku
kepentingan
yang
akan
terpengaruhi,
analisis
yang
tepat
dapat
didasarkan
pada
konsekuensialisme,
deontologi,
dan
etika
kebajikan
sebagai
kumpulan,
atau
salah
satu
dari
5-‐pertanyaan
yang
dimodifikasi,
standar
moral,
atau
pendekatan
Pastin,
dengan
mempertimbangkan
kemungkinan
adanya
masalah
bersama
yang
timbul.
Setiap
pendekatan
EDM
yang
komprehensif
harus
menyertakan
tidak
hanya
sebuah
pemeriksaan
dampak
keputusan
atau
tindakan,
tetapi
juga
analisis
gap
dari
motivasi
kebajikan,
dan
sifat
karakter
yang
terlihat.
Seorang
akuntan
profesional
dapat
menggunakan
analisis
pemangku
kepentingan
dalam
membuat
keputusan
tentang
akuntansi,
audit,
hal-‐hal
praktik,
dan
harus
siap
untuk
memperisapkan
atau
membantu
majikan
atau
klien
dalam
analisi
tersebut
seperti
yang
saat
ini
menjadi
kasus
di
area
lain.
Meskipun
banyak
eksekutif
berorientasi
angka
dan
akuntan
waspada
jika
terlibat
dengan
analisi
subjektif
“lunak”
yang
menggambarkan
analisis
kebijakan
dan
harapan
para
pemangku
kepentingan,
mereka
harus
ingat
bahwa
dunia
telah
berubah
dengan
menempatkan
nilai
yang
jauh
lebih
tinggi
pada
informasi
non-‐angka.
Mereka
harus
berhati-‐hati
menempatkan
bobot
terlalu
banyak
dalam
analisis
numerik,
jika
tidak
mereka
jatuh
ke
dalam
perangkap
ekonom,
yang,
sebagaimana
dikatakan
Oscar
Wilde:
“ketahuilah
harga
dari
segala
sesutu
dan
nilai
dari
sesuatu
yang
sebenarnya
tidak
bernilai.”
18
DAFTAR
PUSTAKA
Brooks, Leonard J dan Paul Dunn. 2011. Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif,
dan Akuntan. Jakarta; PT Salemba Empat.
19