Anda di halaman 1dari 53

1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


PEMENUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR

TUGAS KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

oleh

Kelas D/kelompok 8

1. Muhammad Alfarizi (172310101166)


2. Hestiana Verawati (172310101171)
3. Stefanie Hapy Lisabella (172310101173)
4. Riski Iffatul Afifah (172310101209)
5. Iqbal Maulana (172310101215)
6. Yustika Amalia (172310101217)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2018
ii

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


PEMENUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR

TUGAS KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia

Dosen Pembimbing: Ns. Ahmad Rifai, S.Kep, M.S.

oleh

Kelas D/ Kelompok 8

1. Muhammad Alfarizi (172310101166)


2. Hestiana Verawati (172310101171)
3. Stefanie Hapy Lisabella (172310101173)
4. Rizki Iffatul Afifah (172310101209)
5. Iqbal Maulana (172310101215)
6. Yustika Amalia (172310101217)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2018
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kebutuhan
Dasar Manusia yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Gangguan Pemenuhan Istirahat dan Tidur” dengan tepat waktu dan tanpa
hambatan apapun.

Makalah ini tidak akan selesai dengan baik dan sempurna tanpa adanya
bantuan serta bimbingan dari beberapa pihak. Maka dari itu, kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan tugas ini. Kami menyampaikan terimakasih kepada:

1. Ns. Dicky Endrian K, S.Kep.,M.Kep. selaku dosen pengampuh dan


penanggung jawab mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia
2. Ns. Ahmad Rifai, S.Kep, M.S. selaku Dosen Pembimbing
3. Seluruh rekan mahasiswa kelas D angkatan 2017

Dengan dibuatnya makalah tentang gangguan pemenuhan istirahat dan


tidur, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua sehingga
dapat menambah wawasan mengenai pentingnya menjaga pola tidur yang baik
terhadap kesehatan.

Jember, Mei 2017

Penyusun
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 3
BAB 2. TELAAH LITERATUR
2.1 Pengertian Istirahat dan Tidur .......................................................... 4
2.2 Anatomi Fisiologi Hipotalamus........................................................ 8
2.3 Penyebab dan Faktor Resiko ............................................................ 9
2.4 Macam-macam Gangguan Tidur. ..................................................... 11
2.5 Penatalaksanaan Farmakologis dan non Farmakologis .................... 16
2.6 Patofisiologi Gangguan Tidur .......................................................... 20
2.7 Pengkajian Terfokus ......................................................................... 21
2.8 Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 22
2.9 Intervensi Keperawatan .................................................................... 27
2.10 Implementasi................................................................................... 31
2.11 Evaluasi........................................................................................... 37
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 39
3.2 Saran .................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 41
LAMPIRAN.........................................................................................45
v

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 ....................................................................................................... 6
Gambar 2.2 ...................................................................................................... 8
Gambar 2.3 ...................................................................................................... 19
vi

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 ........................................................................................................... 10
Tabel 2.2 ........................................................................................................... 27
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan dan
harus dipenuhi oleh manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup. Menurut
Abraham Maslow, individu dapat dikatakan sehat optimal apabila kebutuhan
dasarnya dapat terpenuhi yang mencakup kebutuhan fisiologis, keamanan dan
kenyamanan, cinta dan kasih sayang, harga diri serta aktualisasi diri. Selain
itu, Virginia Handerson mengemukakan kebutuhan dasar manusia terbagi
menjadi 14, yang salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan istirahat dan
tidur (Kasiati, 2016).
Pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur tergantung pada keadaan
relaksasi otot dan pikiran seseorang. Selain itu, istirahat dan tidur juga sangat
berkaitan erat dengan kemampuan kenyamanan dan relaksasi psikisnya. Tidur
merupakan kebutuhan fisiologis yang dibutuhkan oleh manusia untuk
berfungsi secara optimal baik dalam keadaan sehat maupun sakit. Seseorang
yang sedang sakit apabila mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan
tidur dapat memperpanjang masa pemulihannya (Potter & Perry, 2005).
Gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis merupakan dampak
dari kebutuhan tidur yang kurang adekuat. Dampak fisiologis meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, seperti rasa mudah lelah, daya imunitas
menurun, dan proses penyembuhan suatu penyakit berlangsung lama
(Lushington, 2000).
Menurut (Evans dan French, 1995) fungsi tidur berhubungan erat dengan
proses penyembuhan. Memperoleh kualitas tidur yang baik diperlukan untuk
peningkatan kesehatan individu serta proses rehabilitasi bagi individu yang
sakit. Banyak sekali faktor pencetus dari gangguan pola tidur, yang paling
sering dikarenakan kebiasaan yang buruk, keadaan suatu penyakit, usia, serta
proses hospitalisasi bagi individu yang sedang rawat inap di rumah sakit.
Lingkungan rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang dan aktivitas
petugas pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi kesulitan untuk tidur
(Potter & Perry, 2005).
2

Dari proses hospitalisasi didapatkan data sejumlah pasien mengalami


gangguan tidur, dan penuruan kualitas tidur. Pasien mulai tertidur > 60 menit
(57%), total jam tidur malam < 5 jam (62%), frekuensi terbangun tiga kali
atau lebih (80%), tidur tidak nyenyak (50%), tidak merasa segar ketika bangun
pagi (52%), merasa lelah dan mengantuk pada siang hari (46%). Dan
mayoritas pesien rumah sakit sekitar 77% mengalami kualitas tidur yang
buruk. Dalam kejadian ini perawat evaluasi dan pengkajian ulang terkait
dengan menurunnya kualitas tidur bagi pasien sehingga pasien dapat
memperbaiki kualitas tidur dan mempercepat proses recovery pada pasien
(Bukit. E, 2005).
Salah satu penyebab terbesar gangguan tidur dan istirahat adalah
penyakit fisik yang diderita oleh individu, menurut (Potter dan Perry, 2005)
penyakit hipertensi, jantung koroner, dan penyakit pernapasan lainnya
seringkali menyebabkan kesulitan dalam memulai tidur dan sering terbangun
pada padi hari dan mengakibatkan kelemahan. Selain itu keadaan psikologis
dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan tidur, misalnya cemas
atau ansietas. Kecemasan merupakan merupakan pengalaman tegang baik
yang disebabkan oleh stressor, klien yang mengalami penekanan ketika
dilakukan perawatan juga akan mmicu kecemasan sehingga akan menurunkan
kualitas tidur seseorang. Faktor lingkungan rumah sakit yang kurang kondusif
dan kurangnya privasi juga dapat memicu pasien tidak bisa tidur. Maka dari
itu perawat bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan meningkatkan kualitas
tidur klien selama perawatan dan mampu menghilangkan faktor-faktor
pencetus klien mengalami gangguan tidur (Miller, 1995; Roy, 1999).
3

1.2 Tujuan

1.1.1 Tujuan Umum


Perawat mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien
dengan gangguan istirahat dan tidur.
1.1.2 Tujuan Khusus
a) Mampu menjelaskan definisi gangguan tidur dan istirahat.
b) Mampu menjelaskan anatomi fisiologi tidur dan tidur
c) Mampu menjelaskan penyebab dan faktor resiko gangguan tidur
dan istirahat.
d) Mampu menjelaskan macam-macam gangguan tidur dan istirahat.
e) Mampu menjelaskan penatalaksanaan farmakologis dan non
farmakologis gangguan istirahat dan tidur.
f) Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan tidur dan istirahat.
g) Mampu menjelaskan pengkajian terfokus gangguan istirahat dan
tidur.
h) Mampu menjelaskan dan menegakkan diagnosa gangguan
istirahat dan tidur.
i) Mampu menjelaskan intervensi gangguan tidur dan istirahat.
j) Mampu menjelaskan implementasi gangguan tidur dan istirahat.
k) Mampu menjelaskan evaluasi gangguan tidur dan istirahat.
l) Mampu membuat asuhan keperawatan dengan gangguan istirahat
dan tidur.
4

BAB 2. TELAAH LITERATUR

2.1 Pengertian Istirahat dan Tidur

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus


dipenuhi oleh semua orang. Pemenuhan istirahat dan tidur sangat diperlukan
terutama bagi orang yang sedang sakit agar lebih cepat memperbaiki
kerusakan pada sel. Apabila kebutuhan istirahat dan tidur cukup, maka
jumlah energi yang diharapkan untuk memulihkan status kesehatan dan
mempertahankan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari terpenuhi. Selain itu
orang yang mengalami kelelahan juga membutuhkan istirahat dan tidur lebih
dari biasanya. Ketika orang beristirahat, biasanya mereka merasa relaks
secara mental, bebas dari kecemasan dan tenang secara fisik. Ketika orang
beristirahat mereka berada pada aktivitas mental dan fisik yang menyegarkan,
mereka kembali bergairah dan siap untuk menyelesaikan aktivitas. Setiap
orang memiliki kebiasaan untuk memperoleh istirahat dengan lingkungan
yang baru atau kondisi yang mempengaruhi kondisi istirahat. Terdapat
beberapa karakteristik istirahat pada manusia yang dikemukakan oleh Narrow
pada tahun 1967 (Potter & Perry, 2005), diantaranya adalah:

1. Merasakan sesuatu dapat diatasi


2. Merasa diterima
3. Mengetahui apa yang sedang terjadi
4. Bebas dari gangguan ketidaknyamanan
5. Mempunyai sebuah kepuasan terhadap aktivitas yang mempunyai tujuan
6. Mengetahui adanya bantuan sewaktu memerlukan

Kebutuhan istirahat dirasakan apabila ke-6 karakter tersebut dapat


terpenuhi. Namun, apabila seseorang tidak merasakan ke-6 karakter tersebut
maka kebutuhan istirahat orang tersebut belum terpenuhi. (Damayanti, 2014).

Pemenuhan istirahat umunya diperoleh dari tidur. Tidur adalah suatu


keadaan yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran yang terjadi selama
periode tertentu. Jika orang memperoleh tidur yang cukup, mereka merasa
5

tenaganya telah pulih kembali. Beberapa ahli tidur yakin bahwa perasaan
tenaga yang pulih ini menunjukkan bahwa tidur memberikan waktu untuk
perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh untuk periode keterjagaan yang
berikutnya. Dengan demikian seseorang dalam keadaan istirahat tidak selalu
dikatakan tidur, tetapi seseorang dalam keadaan tidur dapat dikatakan dan
pasti sedang istirahat.

Tahapan siklus tidur : (Potter & Perry, 2005)

1. Tahap 1 : NREM
a. Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur.
b. Tahap berakhir beberapa menit.
c. Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara
bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme.
d. Seseorangan dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori sepert
suara.
e. Ketika terbangun, seseorang merasa seperti telah melamun.
2. Tahap 2 : NREM
a. Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara.
b. Kemajuan relaksasi.
c. Untuk terbangun masih relatif mudah.
d. Tahap berakhir 10-20 menit.
e. Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban.
3. Tahap 3 : NREM
a. Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam.
b. Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak.
c. Otot-otot dalam kadaan santai penuh.
d. Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur.
e. Tahap berakhir 15-30 menit.
4. Tahap 4 : NREM
a. Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam.
b. Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur.
6

c. Jika terjadi kurang tidur, maka orang akan menghabiskan waktu


porsi malam yang seimbang pada tahap ini.
d. Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam
terjaga.
e. Tahap berakhir kurang lebih 15-30 menit.
f. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi.
5. Tidur REM
a. Mimpi yang penuh warna dan tampak hidup dapat terjadi pada REM.
Mimpi yang kurang hidup dapat terjadi pada tahan yang lain.
b. Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit stelah mulai tidur.
c. Hal ini biasanya dicirikn dengan respons otonom pergerakan mata
yang cepat, fluktasi jantung, kecepatan respirasi dan peningkatan
atau fluktsi tekanan darah.
d. Terjadi tonus otor skelet penurunan.
e. Peningkatan sekresi lambung.
f. Sangat sulit sekali membangun orang tidur pada tahap ini.
g. Durasi tidur REM meningkat pada tiap siklus rata-rata 20 menit.

Tahap pratidur

Non REM Non REM Non REM Non REM


tahap 1 tahap 2 tahap 3 tahap 4
Non REM Non REM Non REM
tahap 1 tahap 2 tahap 2

Non REM Non REM


Tidur REM tahap 2 tahap 2

Non REM Non REM


tahap 1 tahap 1

Non REM Non REM


tahap 2 tahap 3
Non REM Non REM
tahap 1 tahap 2
Gambar 2.1. Tahapan Tidur (Sumber: Potter & Porry, 2005)
Non REM
tahap 2

Non REM
tahap 1
7

Pola tidur normal :

1. Neonatus sampai dengan 3 bulan.


a. Kira-kira membutuhkan 16 jam/hari.
b. Mudah berespons terhadap stimulus.
c. Pada minggu pertama kelahiran 50% adalah tahap REM.
2. Bayi
a. Pada malam hari kira-kira tidur 8-10 jam.
b. Usia 1 bulan sampai dengan 1 tahun kira-kira tidur 14 jam/hari.
c. Tahap REM 20-30%
3. Toddler
a. Tidur 10-12 jam/hari.
b. Tidur REM 20%.
4. Prasekolah
a. Tidur 11 jam pada malam hari.
b. Tahap REM 20%.
5. Usia sekolah
a. Tidur 10 jam pada malam hari.
b. Tahap REM 18,5%.
6. Remaja
a. Tidur 8,5 jam pada malam hari.
b. Tahap REM 20%.
7. Dewasa muda
a. Tidur 7-9 jam/hari.
b. Tahap REM 20-25%.
8. Usia dewasa pertengahan
a. Tidur kurang lebih 7 jam/hari.
b. Tahap REM 20%.
9. Usia tua
a. Tidur kurang lebih 6 jam/hari.
b. Tahap REM 20-25%.
c. Tahap NREM IV menurun dan kadang-kadang absen.
8

d. Sering terbangun pada malam hari.

2.2 Anatomi Fisiologi Hipotalamus

Gambar 2.2. Anatomi Hipotalamus (Sumber: Hidayat, 2008)

Hipotalamus merupakan bagian ujung anterior diensefalon dan di depan


nucleus interpedunkularis. Hipotalamus terbagi dalam berbagai intidan dareah
inti. Hipotalamus terletak pada anterior dan inferior thalamus.
Hipotalamus mengontrol dan mengatur system saraf autonom, Pengaturan
diri terhadap homeostatic, sangat kuat dengan emosi dan
sangat penting berpengaruh antara system syaraf dan endokrin. Hipotalamus j
uga bekerja
sama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
Hipotalamus juga sebagai pusat laparr dan mengkontrol berat badan. Sebagai
pengatur tidur, tekanan darah , perilaku agresif dan seksual dan pusatrespons
emosional (rasa malu,marah, depresi, panic dan takut)
Hipotalamus mempunyai pusat kontrol untuk beberapa aktivitas tubuh,
salah satunya adalah aktivitas tidur dan terbangun yang dibutuhkan oleh
seseorang. System tersebut melibatkan hubungan mekanisme serebral secara
bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan
bangun. Yang berperan pada proses tidur dan bangun adalah Reticular
Activating System (RAS) yang merupakan bagian atas pada batang otak yang
memiliki sel-sel khusus untuk mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran,
9

memberi stimulus visual, nyeri, pendengaran, dan sensori raba serta emosi
dan proses berfikir. Dalam keadaan sadar, neuron pada Reticular Activating
System (RAS) akan melepaskan ketekolamin norepineprin. Sedangkan dalam
keadaan tidur, terjadi pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang terdapat
pada otak bagian tengah yang disebut Bulbar Synchronizing Region (BRS).

Pada saat bangun dari tidur bergantung dengan impuls yang diterima oleh
pusat otak dan sistem limbik. Jadi, sistem pada batang otak yang mengatur
siklus atau pola tidur adalah Retiular Activating System (RAS) dan Bulbar
Synchronizing Region (BRS). (Hidayat, 2008).

2.3 Penyebab dan Faktor Resiko

Menurut (Potter & Perry, 2005) banyak hal yang mempengaruhi kualitas
dan kuantitas tidur seseorang, antara lain :

1. Penyakit Fisik
Setiap penyakit dapat mengakibatkan ketidaknyamanan pada
penderita, misalnya ketidaknyamanan fisik (nyeri, kesulitan bernapas)
ataupun secara psikologis misalnya masalah suasana hati, kecemasan,
dan depresi. Pasien yang menderita suatu penyakit maka kualitas dan
kuantitas tidur pasien akan menurun, penyakit juga memaksa pasien
untuk tidur dengan posisi yang tidak biasa sehingga memperoleh
kenyamanan saat tidur.
Penyakit yang seringkali mengganggu tidur pasien adalah penyakit
pernapasan, penyakit seperti emfisema dengan napasmpendek seringkali
mengganggu tidur pasien, maka dari itu dibutuhkan posisi yang tepat
untuk pasien emfisema seperti memberikan posisi semi fowler, ataupun
fowler. Asma, bronkitis, flu juga dapat mengganggu pernapasan pasien,
batuk dimalam hari juga dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tidur
pasien.

Penyakit jantung koroner sering dimanifestasikan dengan nyeri pada


bagian dada secara tiba-tiba dan denyut jantung tidak teratur (Landis,
10

1988). Hipertensi juga dapat menyebabkan terbangun pada malam hari


dn kelelahan.

Pada lansia yang mengalami penurunan tonus kandung kemih,


penyakit jantung, diabetes seringkali mengalami nokturia atau sering
kencing pada malam hari, pada lansia kejadian tersebut sering terjadi
sehingga sulit untuk tidur kembali.

2. Obat-obatan
Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan pasien mengalami
gangguan tidur seperti :

Tabel 2.1 Obat Yang Menyebabkan Gangguan Tidur

No. Jenis Obat Efek


1. Deuretik Nokturia
2. Antidepresan dan  Menekan tidur REM
stimulant  Menurunkan kuantitas tidur
3. Kafein  Meningkatkan saraf simpatis
 Terbangun pada malam hari
4. Beta Bloker  Menyebabkan mimpi buruk
 Insomnia
 Terbangun dari tidur
5. Narkotika  Menekan tidur REM
 Peningkatan kantuk pada siang hari
6. Alkohol  Mempercepat mulanya tidur
 Mengganggu tidur REM
 Menyebabkan bangun pada malam
hari dan kesulitan untuk tidur kembali
7. Hipnotik  Memperburuk apnea pada lansia
 Mencapai tidur lebih dalam
11

3. Lingkungan
Pasien dapat tidur dengan nyaman jika lingkungan dalam keadaan
tenang dan nyaman, tetapi jika lingkungan terjadi perubahan seperti
gaduh, maka akan menghambat tidur pasien (Tarwoto, 2015).
4. Motivasi
Motivasi dapat memengaruhi tidur dan dapat menimbulkan keiginan
untuk tetap bangun dan waspada untuk menahan kantuk (Tarwoto, 2015).
5. Kelelahan
Kelalahan dapat memperpendek periode pertama dari REM (Tarwoto,
2015).
6. Kecemasan
Pada pasien yang cemas akan meningkatkan saraf simpatis sehingga
mengganggu aktivitas tidur (Tarwoto, 2015).

2.4 Macam-macam Gangguan Tidur

2.4.1. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur nyenyak atau


kesulitan tidur. Menurut Linda C. Copel (2007), penderita gangguan
insomnia mengalami gelisah dan mengeluhkan tidur tidak teratur dan
dapat membuat stress, menjadi sedih karena tidak dapat tidur dan
terbangun dari tidur karena pperasaan cemas. Insomnia dapat
menyerang semua golongan usia. Penyebabnya bersumber dari stress
dan banyak ditemukan oada orang yang memasuki masa dewasa akhir
dan lanjut usia (Pieter, et all., 2011).
2.4.2. Parasomnia

Yaitu keleompok heterogen yang terdiri dari kejadian yang


berlangsung pada malam hari pada saat tidur. Kasus ini berhubungan
dengan gangguan perubahan tingkah laku, sehingga menimbulkan
angka kesakitan dan kematian. Insiden ini sering ditemukan pada usia
anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan penurunan
12

pada usia dewasa (3%) terjadinya parasomnia akibat dari


mengkonsumsi alkohol, kurang tidur, dan stress psikosoisial (Japardi,
2002).

2.4.3. Disomnia
Adalah gangguan tidur yang dapat mempengaruhi kualitas atau waktu
tidur. Beberapa macam dissomnia antara lain :
a. Gangguan tidur spesifik.
1. Gangguan Gerak Anggota Gerak Badan Secara Periodik.
Ditandai dengan adanya gerakan badan secara streotipik
yang berulang-ulang selam tidur. Gangguan ini terjadi pada
bagian kaki, berlangsung selam 0,5-5 detik dan terulang
kembali dalam jangka waktu 20-60 detik atau dapat terung
terus menerus dalam beberapa menit atau jam. Gangguan ini
sering timbul pada fase NREM sehingga menyebabkan
gangguan tidur. Insiden terjadinya gangguan ini 5% dari orang
normal atau pada usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebig
dari 50 tahun. Berat ringannya gangguan ini tergantung pada
jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila gerakan 5-25 per
jam termasuk ringan, sedangkan lebih dari 50 kali per jam
termasuk berat. Biasanya terdapat pada penyakit anemia,
neuropatik, dan gagal ginjal (Japardi, 2002).
2. Sindrom Kaki Gelisah (Restless Legs Syndrome)
Ditandai dengan rasa kaku pada bagian kaki atau kuku
yang terjadi sebelum tidur. Gangguan ini sangan berhubungan
dengan mioklonus nokturnal. Pergerakan kaki secara periodik
yang disertai dengan rasa nyeri akibat otot yang kejang.
Biasanya terjadi pada pasien penderita gagal ginjal stadium
akut, parkinson, dan wanita hamil. Kelainan ini terjadi
diantaraa batang otak hipotalamus (Japardi, 2002).
3. Gangguan Bernafas Saat Tidur (Sleep Apnea)
13

Gangguan bernafas saat tidut ini memiliki tiga jenis,


diantaranya :
4. Central Sleep Apnea
Yaitu gangguan pernafasan yang terjadi pada saat tidur
yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan apnea
patologis jika pasien mengalami gejala apnea kurang dari 5
kali dalam satu jam atau 30 kali gejala apnea saat tidur pada
malam hari. Ketika gejala ini terjadi gerakan dada dan perut
sangat dominan. Apnea sentral sering terjadi pada pasien usia
lanjut, ditandai dengan intermiten penurunan kemampuan
respirasui akibat penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral
ditandai dengan terhentinya aliran udara dan sulit nafas selama
tidur (Japardi, 2002).
5. Gangguan Saluran Nafas (Upper Airway Obstructiv Apnea)
Yaitu peningkatan pernafasan pada saat tidur selama
apnea. Gangguan ini semakin berat apabila memasuki fase
REM. Gangguan saluran nafas ini ditandai dengan nafas yang
tidak teratur atau mendengkur pada saat tidur. Mendengkur ini
berlangsung 3-6 kali dan berulang setiap 20-50 detik (Japardi,
2002).
6. Bentuk Campuran Dari Keduanya.
Baik pada Central Sleep Apnea maupun pada Gangguan
Saluran Nafas (Upper Airway Obstructiv Apnea) pasien sering
terbangun pada saat malam hari atau pada saat istirahat.
Gangguan ini ditandai dengan gejala nyeri kepala atau tidak
enak rasa pada saat bangun tidur di pagihari. Pada anak-anak
ditandai dengan ganguan kongenital saluran nafas dysotonomi
syndrom, dan adenotosilar hypertropi. Pada orang dewasa
ditandai dengan obstruksi saluran nafas septal defek,
hipotiroid, gangguan jantung, dan hipertensi (Japardi, 2002).
14

7. Paska Trauma Kepala


Sebagian besar pasien paska trauma kepala sering
mengalami gangguan tidur. Jarak waktu antara trauma kepala
dengan ganggun tidur antara 2-3 tahun kemudian. Pada
gambaran polysomnography terjadi penurunan fase REM dan
peningkatan sejumlah fase jaga. Hal tersebut juga termasuk
masa koma (trauma kepala)sangat berperan dalam penentuan
kelainan tidur. Pada penelitian terakhir menunjukkan pasien
tampak selalu mengantuk berlebihan sepanjang hari tanpa
diikuti oleh fase onset REM dengan proses program
rehabilitasi seperti slepp hygin. Litium carbonat dapat
menurunkan angka frekwensi gangguan tidur akibat trauma
kepala (Japardi, 2002).
b. Gangguan Tidur Irama Sirkadian
Sleep Wake Schedule Disotders (gangguan jadwal tidur) yaitu
gangguan dimana pasien tidak bisa tidur dan bangun pada waktu
yang diinginkan. Gangguan ini sangat berhubungan dengan
gangguan irama tidur sirkadian normal. Bagian yang berfungsi
dalam pengaturan sirkandian antara lain temperatur badan, plasma
darah, urine, fungsi ginjal, dan psikologi. Dalam keadaan normal
sirkandian mengatur sirkulasi biologi irama tidur dimana waktu
untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun atau aktivitas. Siklus
irama sirkadian dapat mengalami gamgguan apabila irama
mengalami pergeseran. Menurut beberapa penelitian pergeseran
irama sirkadian antara lain konsep waktu tidur reguler dengan
waktu yang in reguler (bringing irama sirkadian). Perubahan
secara organik yang mengalami gangguan irama sirkandian
adalah tumor pineal. Gangguan irama sirkandian memiliki dua
kategori bagian yaitu semantara (acut work shift, Jet lag) dan
menetap (shift worker), keduanya dapat mengganggu irama tidur
sirkandian sehingga terjadi perubahan waktu onset tidur dan
15

perubahan pada fase REM. Ada beberapa gangguan tidur irama


sirkadian antara lain (Japardi, 2002) :
1) Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type) yaitu
waktu tidur yang terlambat dari pada yang diinginkan.
Gangguan ini terjadi pada dewasa muda, anak sekolah, dan
pada orang yang bekerja (Japardi, 2002).
2) Tipe Jet lag yaitu sering merasa ngantuk pada waktu
tertentu, misal pada saat siang hari ketika sedang beraktivitas.
Biasanya terjadi pada orang yang sedang bepergian jarak
jauh, dan tidur terpurtus-putus (Japardi 2002).
3) Tipe pergeseran kerja (shift work type) perubahan jadwal
pekerjaan yang dapat mempengaruhi jadwal tidur. Gejala ini
sering timbul bersamaan dengan gangguan somatik seperti
ulkus peptikus. Gambarannya berupa pola irreguler atau
mungkin pola tidur normal dengan onset tidur fase REM
(Japardi, 2002).
4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase
syndrome). Tipe ini sangat jarang, lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut, dimana onset tidur pada pukul 6-8
malam dan terbangun antara pukul 1-3 pagi (Japardi, 2002).
c. Lesi susunan saraf pusat (neuprologis)
Lesi susunan saraf pusat sangat jarang terjadi, lesi batang
otak atau bulber dapat mengganggu selamat tidur. Feldman dan
Wilkus menemukan fase tidur pada lesi atau trauma pada daerah
fentralponds yang mana fase 1 daan 2 menetap namun fase REM
berkurang (Japardi, 2002).
d. Gangguan Kesehatan dan Toksik
Gangguan ini seperti neoritis, calpal, tunnel, sindroma,
distessia, miopatidistropia, lowback pain, gangguan metabolik
seperti hipotiroid / hipertiroid, gagal ginjal akut atau kronik, dan
16

gangguan nafas obstruksi sering menyebabkan gangguan tidur


seperti yang ditunjukkan mioklonus nortuknal (Japardi, 2002).
e. Obat-obatan
Gangguan tidur dapat dipengarihi oleh obat-obatan seperti
penggunaan obat stimulan yang kronik (amphetamine, kaffein,
nikotine). Obat ini dapat menimbulkan terputusnya fase REM
(Japardi, 2002).
2.4.4. Hipersomnia
Hipersomnia adalah gangguan tidur yang ditandai dengan waktu
tidur yang berlebihan dan klien dengan gangguan ini masih merasakan
kantuk walaupun sudah tidur dalam waktu yang lama. Mark Durand
dan David H. Barlow (2007) mengatakan bahwa gangguan
hipersomnia adalah keluhan mengantuk yang ekspensif dalam waktu
yang lama. Klien dengan gangguan ini mengalami adanya abnormal
yaitu selalu tidur beberapa kali dalam sehari (Pieter, et all., 2011).

2.4.5. Narkolepsi

Narkolepsi adalah bentuk gangguan tidur yang mengalami


katapleksi (melemahnya otot secara tiba-tiba). Katapleksi terjadi pada
saat seseorang terjaga dan berlangsung beberapa detik hingga
beberapa menit. Kondisi ini bisanya diawali dengan kondisi emosi
yang kuat seperti kemarahan dan rasa senang. Gangguan narkolepsi
ini merupakan gangguan neurologi yang membuat rasa kantuk kuat
dan membuat seseorang jatuh tertidur tiba-tiba tanpa ada peringatan
(Pieter, et all., 2011).

2.5 Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis pada Gangguan


Tidur

Penatalaksanaan farmakologis pada klien dengan gangguan tidur harus


memperhatikan tingkat efek samping bagi kondisi seseorang. Penggunaan
obat-obatan gangguan tidur harus benar-benar dipertimbangkan. Adapun jenis
17

obat-obatan yang digunakan sebagai terapi farmakologis gangguan tidur


diantaranya adalah Benzodiazepines yang mencakup Estazolan (Prosom),
Flurazepam (Dalmae), Quazepam (Doral), Temazepam (Restoil), dan
Triazolam (Halcion) (Pieter, et all., 2011). Benzodiazepines ini dapat
menimbulkan efek relaksasi, antiansietas, dan hipnotik melalui kerja neuron
di sistem saraf pusat yang menekan responsitivitas terhadap stimulus,
sehingga dapat menciptakan suasana tidur yang nyenyak (Trevor dan Way,
1995). Obat ini sering digunakan karena efek ansietas yang terjadi pada dosis
aman dan nontoksik. Penggunaan obat benzodiazepins harus mendapat
perhatian yang serius pada anak-anak dibawah usia 12 tahun. Obat ini
dikontraindikasikan pada bayi kurang dari 6 bulan, ibu hamil karena
penggunaannya berhubungan dengan anomali kongenital dan pada ibu
menyusui karena akan diekskresikan di dalam ASI (Potter & Perry, 2005).
Farmakodinamika pada obat benzodiazepines ini terdiri dari sedasi,
hipnotik, anastesi, efek konvulsan, dan sebagai relaksan otot. Efek sedasi ini
dapat didefinisikan sebagai menurunnya tingkat respon stimulus dan terjadi
pada pemberian dosis yang rendah. Obat benzodiazepines akan mengahsilkan
efek hipnotik ketika diberikan dalam dosis besar. Efek pemberian dosis yang
besar terhadap pola tidur normal adalah dengan menurunkan masa laten
dimulainya tidur, peningkatan lamanya tidur pada tahap NREM-2, penurunan
lamanya tidur REM, dan penurunan lamanya tidur gelombang lambat.
Pemberian dosis tinggi pada obat benzodiazepines dapat menyebabkan efek
anastesi. Efek ini sering digunakan pada klien bedah operatif yang tidak akan
mengingat kejadian menyeramkan selama proses bedah (Liya, 2013).
Prinsip dasar pemberian terapi farmakologis pada klien gangguan tidur
yaitu tidak hanya menggunakan obat hipnotik namun juga dikombinasi
dengan terapi non farmakologis. Pemberian obat pada terapi farmakologis
dimulai dari dosis terendah yang selanjutnya akan dinaikkan dosisnya secara
perlahan (Liya, 2013).
Sedangkan penatalaksanaan non farmakologis pada klien dengan
gangguan tidur dapat menggunakan beberapa metode diantaranya adalah:
18

a. Stimulus Control
Dengan metode ini perawat memberikan edukasi kepada klien untuk
menggunakan tempat tidur hanya untuk istirahat dan tidur. Klien dianjurkan
untuk menghindari membaca dan menonton televisi di tempat tidur. Ketika
klien sudah merasakan kantuk, maka klien dianjurkan untuk langsung tidur
dan menghindari ativitas yang dapat menimbulkan rasa kantuk hilang (Astuti,
2010).
b. Sleep Restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan meningkatkan
efisiensi tidur. Klien diberikan edukasi untuk mengurangi frekuensi berada di
tempat tidur. Terlalu lama di tempat tidur akan menyababkan pola tidur
terpecah-pecah sehingga kualitas tidur menjadi turun (Astuti, 2010).
c. Sleep Higiene
Sleep Higiene bertujuan untuk meningatkan kualitas tidur seseorang. Hal-hal
yang dilakukan dalam peningkatan sleep hygiene diantaranya yaitu dengan
olahraga teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, dan mengatur waktu
bangun di pagi hari (Astuti, 2010).
d. Terapi Relaksasi
Tujuan terapi ini yaitu mengatasi kebiasaan klien dengan gangguan sering
terjaga pada malam hari. Terapi ini dapat dilakukan dengan relaksasi otor,
latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi (Astuti, 2010).
19

2.6 Patofisiologi Gangguan Tidur

Gambar 2.3 Pathway Gangguan Tidur (Sumber: (Tarwoto & Wartonah, 2006)
20

Fisiologi tidur adalah kegiatan tidur yang diatur oleh mekanisme serebral
yang bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak sehingga dapat
tidur dan terbangun. Aktivitas tidur diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis
yang merupakan pengatur seluruh kegiatan susunan saraf pusat salah satunya
pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pusat pengaturan kewaspadaan dan tidur
terletak pada mesensefalon dan bagian atas pons (Potter & Perry, 2005).
Tidur merupakan aktivitas yang melibatkan susunan saraf pusat, saraf
perifer, endokrin kardiovaskuler, respirasi, dan musculoskeletal. Setiap
kejadian tersebut dapat direkam dengan electroencephalogram (EEG) untuk
aktivitas listrik otak. Sedangkan pengukuran tonus otot dengan menggunakan
electromyogram (EMG) dan electrooculogram (EOG) untuk mengukur
pergerakan mata (Tarwoto & Wartonah, 2006).
Dalam keadaan sadar, reticular activating system (RAS) akan
mengeluarkan hormon katekolamin seperti noreinefrin. Selain itu RAS juga
dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan, serta
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi
dan proses pikir. Sedangakn pada saat tidur, terjadi pelepasan hormone
serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu
bulbar synchronizing regional (BSR). Pada saat bangun bergantung dari
keseimbangan impuls yang diterima dipusat otak dan sistem limbik. Sehingga
sistem yang mengatur siklus tidur adalah RAS dan BSR yang terletak pada
batang otak (Ardhiyanti, et all., 2014).
Ketika seseorang mencoba tidur, maka akan menutup mata dan berada
dalam posisi yang rileks dan nyaman. Apabila ruangan gelap dan tenang
aktivitas RAS menurun, pada saat itu BSR mengeluarkan serum serotonin
(Tarwoto & Wartonah, 2006).
Aktivitas tidur dapat terganggu karena berbagai faktor diantaranya yaitu
gaya hidup seperti kebiasaan merokok, kebiasaan tidur yang tidak tarator dan
penkonsumsian narkoba. Selain itu stress juga dapat menyebabkan tidur
terganggu seperti kecemasan (ansietas), frustasi dan sering terbangun ketika
malam hari. Penyakit fisik merupakan faktor yang sering dijumpai dalam
21

terganggunya aktivitas tidur, seperti nyeri akut dan ketidaknyamanan fisik.


Setelah adanya faktor yang menyebabkan tidur terganggu, maka akan muncul
gangguan tidur yang terdapat beberapa klasifikasi, diantaranya adalah
insomnia, apnea tidur, narkolepsi, deprivasi tidur, dan parasomnia (Potter &
Perry, 2005).

2.7 Pengkajian Terfokus

Mengkaji pola tidur dan istirhat dari klien menggunakan riwayat


keperawatan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tidur, tidur
merupakan bahan kajian yang bersifat subjrktif, hanyak klien yang bisa
melaporkan apakah kualitas tidurnya sudah cukup atau masih kurang. Jika
klien mengungkapkan kualitas tidurnya belum cukup, maka perlu mengkaji
riwayat klien secara rinci (Potter, 2005). Aspek yang perlu dikaji pada klien
dengan gangguan tidur meliputi :

a. Riwayat Tidur
1. Pola tidur, seperti jam berapa pasien berada di tempat tidur setiap
malam, jam berapa biasanya mulai tertidur, jam berapa klien
terbangun dan keteraturan pola tidur pasien.
2. Kebiasaan pasien ketika menjelang tidur, apakah ada sesuatu atau
kebiasaan pasien yang bisa membantu pasien untuk tidur seperti
membaca, minum susu, buang air kecil dan lain lain.
3. Gangguan tidur pasien, berapa kali pasien terjada pada saat malam
hari.
4. Kebiasaan tidur siang.
5. Lingkungan tidur pasien terkait dengan kebisingan, suhu lingkungan,
pencahayaan.
6. Peristiwa yang telah dialami pasien sehingga menyebabkan pasien
sulit tidur.
7. Stress dan emosional, apakah ada masalah sehingga pasien sulit
untuk tidur.
22

8. Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi fisik dan perilaku yang


timbul karena gangguan tidur.
b. Gejala Klinis
Apakah pasien mengalami kesulitan untuk tidur, atau bangun.
Pernakah pasien mendengkur dengan keras. Apakah kepala pusing ketik
bangun tidur.
c. Penyimpangan Tidur
Kaji kelainan gangguan tidur.
d. Pemeriksaan Fisik
a) Penampilan wajah seperti adanya mata panda, kantung mata,
konjungtiva merah, mata terlihat cekung.
b) Perilaku pasien, misalnya pasien mudah tersinggung, sering
menguap, kurang konsentrasi dan terlihat bingung, mengucek-
ngucek mata.
c) Kelelahan, pasien tampak letih, lesu dan lelah, loyo.
e. Data Penunjang
Data penunjang merupakan data yang menyebabkan masalah
potensial seperti obesitas, tekanan darah rendah, respirasi rate dangkal
dan dalam (Dangoes, 2002).

2.8 Diagnosa Keperawatan

Pada gangguan pola tidur dan istirahat maka diagnosa yang mungkin
muncul menurut Herman dan Komitsuru dalam NANDA (2015) adalah:

1. Insomnia
A. Definisi

Gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang menghambat


fungsi.

B. Batasan karekteristik
a. Bangun terlalu dini
b. Gangguan pola tidur
23

c. Gangguan status kesehatan


d. Gangguan tidur yang berdampak pada keesokan hari
e. Kesulitan tidur nyenyak
f. Kurang bergairah
g. Peningkatan terjadi kecelakaan
h. Penurunan kualitas hidup
i. Perubahan efek
j. Perubahan konsentrasi
k. Perubahan mood
l. Pola tidur tidak menyehatkan (mis., karena tanggung jawab
menjadi pengasuh, menjadi orang tua, pasangan tidur)
m. Sering membolos
n. Tidur tidak memuaskan
C. Faktor yang berhubungan
a. Agen farmasetikal
b. Aktivitas fisik harian rata-rata kurang dari yang dianjurkan
menurut usia dan jenis kelamin
c. Ansietas
d. Berduka
e. Depresi
f. Faktor lingkungan (mis., kebisingan lingkungan sekitar, pajanan
terhadap cahaya atau gelap, suhu atau kelembapan lingkungan
sekitar, tatanan yang tidak familiar)
g. Hygiene tidak adekuat
h. Ketakutan
i. Ketidaknyamanan fisik
j. Konsumsi alcohol
k. Perubahan hormonal
l. Sering mengantuk
m. Stressor
24

2. Gangguan Pola Tidur


A. Definisi
Interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat faktor eksternal.
B. Batasan karekteristik
a. Kesulitan jatuh tertidur
b. Ketidakpuasan tidur
c. Menyatakan tidak cukup istirahat
d. Penurunan kemampuan berfungsi
e. Perubahan pola tidur normal
f. Sering terjaga tanpa jelas penyebabnya
C. Faktor yang berhubungan
a. Gangguan karena pasangan tidur
b. Halangan lingkungan (mis., bising, pajanan/gelap,
suhu/kelembapan, lingkungan yang tidak dikenal)
c. Imobilisasi
d. Kurang privasi
e. Pola tidur tida menyehatkan (mis., karena tanggung jawab
menjadi pengasuh, menjadi orang tua, pasangan tidur)

3. Deprivasi Tidur
A. Definisi
Periode panjang tanpa tidur (berhentinya kesadaran relative secara
periodik dan berlangsung alami).
B. Batasan karekteristik
a. Agitasi
b. Ansietas
c. Apatis
d. Fleeting nystagmus
e. Gangguan presepsi
f. Gelisah
g. Halusinasi
25

h. Iritabilitas
i. Keletihan
j. Konfusi
k. Letargi
l. Malaise
m. Memberontak
n. Mengantuk
o. Paranoia sementara
p. Peningkatan sensitivitas terhadap nyeri
q. Penurunan kemampuan berfungsi
r. Penurunan waktu bereaksi
s. Perubahan konsentrasi
t. Reaksi lambat
u. Tremor tangan
C. Faktor yang berhubungan
a. Apnea tidur
b. Demensia
c. Enuresis terkait tidur
d. Ereksi nyeri terkait tidur
e. Hambatan lingkungan
f. Hygiene tidur tidak adekuat yang terus-menerus
g. Mimpi buruk
h. Narkolepsi
i. Paralisis tidur familial
j. Pergerakan ektermitas periodik (mis., sindrom serah kaki,
mioklonus nocturnal)
k. Pergeseran tahap tidur terkait penuaan
l. Pola tidur menyehatkan (mis., karena tanggung jawab menjadi
pengasuh, menjadi orang tua, pasangan tidur)
m. Program pengobatan
26

n. Rata-rata aktifitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan sesuai


usia dan jenis kelamin
o. Sindrom sundouner
p. Stimulus lingkungan yang terus menerus
q. Terror tidur
r. Tidur berjalan
4. Kesiapan Meningkatkan Pola Tidur
A. Definisi

Pola berhentinya kesadaran relatif secara periodik dan berlangsung


alami untuk member istirahat dan melanjutkan gaya hidup yang
diminta, yang dapat ditingkatkan.

B. Batasan karekteristik
a. Menyatakan minat meningkatkan tidur
27

2.9 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan

1. Insomnia Tujuan: 1. Ciptakan lingkungan 1. Menciptakan perasaan


berhubungan dengan yang tenang dan aman dan nyaman
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
ansietas selama mendukung. pada pasien.
selama 1 x 24 jam diharapkan insomnia
perawatan di rumah 2. Sediakan kamar terpisah 2. Menciptakan
dapat dipertahankan dari poin 3 dan
sakit jika terdapat preverensi lingkungan yang
ditingkatkan ke poin 5 dengan kriteria
dan kebutuhan pasien nyaman bagi pasien.
hasil:
(dan keluarga) untuk
1. Status Kenyamanan Lingkungan mendapatkan ketenangan

a. Lingkungan yang kondusif untuk dan istirahat, jika

tidur memungkinkan.
3. Posisikan pasien untuk 3. Memandirikan pasien
b. Privasi.
memfasilitasi untuk menciptakan
c. Tempat tidur yang nyaman. kenyamanan (misalnya suasana nyaman yang
gunakan prinsip diingikan.
28

2. Tingkat Kecemasan keselarasan tubuh,


sokong dengan bantal,
a. Perasaan gelisah.
sokong sendi selama
b. Perhatian yang berlebihan terhadap pergerakan, belat
kejadian-kejadian dalam sayatan, dam
kehidupan. immobilisasi bagian
tubuh yang nyeri).
4. Puji atau kuatkan 4. Memberikan dorongan
perilaku yang baik secara dan motivasi terhadap
tepat. pasien.
5. Dorong verbalisasi 5. Menciptakan pola
perasaan, persepsi dan pikir pasien yang
ketakutan. positif.
2. Gangguan pola tidur Tujuan: 1. Sediakan lingkungan yang 1. Menciptakan
berhubungan dengan aman dan bersih. lingkungan pasien
Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24
kebisingan lingkungan yang bersih sehingga
jam gangguan pola tidur paisen dapat
dan kurangnya privasi. pasien merasakan
dipertahankan dari poin 3 dan ditingkatkan
kenyamanan.
ke poin 5 dengan kriteria hasil:
2. Hindari gangguan yang 2. Menciptakan kondisi
29

1. Status Kenyamanan: Lingkungan tidak perlu dan berikan yang tenang.


untuk waktu istirahat.
a. Kebersihan lingkungan.

b. Lingungan yang damai.

3. Deprivasi Tidur Tujuan: 1. Berada di sisi pasien 1. Menciptakan suasana


untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman
Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24
aman dan nyaman. pada diri pasien.
jam gangguan deprivasi tidur pasien dapat
2. Instruksikan pasien untuk 2. Memandirikan
dipertahankan dari poin 3 dan ditingkatkan
menggunakan teknik pasien untuk
ke poin 5 dengan kriteria hasil:
relaksasi. melakukan teknik
1. Tingkat Kecemasan relaksasi.

a. Tidak dapat beristirahat. 3. Bantu pasien 3. Mengetahui situasi


mengidentifikasi situasi yang dapat membuat
b. Gangguan tidur.
yang memicu kecemasan. cemas klien.
2. Kontrol Kecemasan Diri 4. Ciptakan situasi aman 4. Pasien dapat
untuk meningkatkan mengontrol diri
a. Mengurangi penyebab kecemasan.
kepercayaan. terhadap kecemasan.
b. Mengurangi rangsangan lingkungan
5. Dukung penggunaan 5. Pasien dapat
30

ketika cemas. mekanisme koping yang mengatasi


sesuai. kecemasan dengan
c. Merencanakan strategi koping
mandiri.
untuk situasi yang menimbulkan
stress.
131

2.10 Implementasi

Menurut Potter & Perry (2005) dalam fundalamental keperawatan


implementasi yang dapat dilakukan sebagai berikut :

a) Kontrol Lingkungan

Klien membutuhkan lingkungan tidur yang bertemperatur rungan


nyaman dan ventilasi yang baik, tidak terlalu bising, tempat tidur yang
nyaman, dan pencahayaan yang baik. Saat dirumah, suara yang menjadi
sumber kebisingan seperti TV dan radio dapat mengganggu tidur klien.
Keluarga menjadi faktor utama dari pendekatan perawat terutama apabila
terdapat beberapa anggota keluarga dengan berbagai jadwal tidur yang
berbeda. Diperlukan kerjasama dari beberapa orang yang tinggal bersama
klien untuk mengurangi kebisingan.

Saat di rumah sakit, perawat dapat mengendalikan kebisingan


melalui beberapa cara, yaitu:

a. Tututp pintu kamar klien jika mungkin.


b. Jaga agar pintu area kerja diunit tersebut ditutup ketika sedang
digunakan.
c. Mengurangi suara telfon yang dekat dengan klien.
d. Gunakan sepatu beralas karet sehingga tidak menimbulkan suara.
e. Matikan oksigen disamping tempat tidur dan peralatan lain yang
tidak digunakan.
f. Matikan alarm dan bunyi pada alat monitor disamping tempat tidur.
g. Kurangi volume TV dan radio dalam kamar klien.
h. Hindari bunyi keras seperti menyiram toilet atau menggeser tempat
tidur.
i. Berbicara dengan suara yang pelan terutama pada malam hari.
j. Lakukan percakapan dan pelaporan diruangan khusus yang jauh dari
kamar klien.
32

selain itu, tempat tidur dan matras harus member topangan dan
kekerasan yang nyaman, papan tempat tidur dapat diletakkan dibawah
matras untuk menambah topangan. Beberapa bantala penting untuk
membantu memposisikan seseorang dengan nyaman di tempat tidur,
untuk klien yang mengalami konfusi atau jatuh, keselamatan merupakan
hal yang penting. Tempat tidur diatur dalam posisi yang paling rendah,
sehingga mengurangi resiko klien terjatuh. Di beberapa rumah sakit telah
dilengkapi dengan alarm yang akan mati jika klien yang beresiko jatuh
turun dari tempat tidur. Selain itu, faktor pencahayaan juga dapat
mengganggu kenyamanan tidur klien. Bayi dan lansia tidur dengan baik
dalam ruangan yang bercahaya lembut. Cahaya tidak boleh langsung
menyinari mata, bagi lansia hal ini mengurangi kesempatan konfusi dan
mencegah jatuh saat berjalan kekamar mandi.

b) Meningkatkan Rutinitas Menjelang Tidur

Rutinitas menjelang tidur dapat membantu merilekskan klien untuk


persiapan tidur. Mencoba untuk tidur saat keadaan terjaga penuh dan
banyak berpikir tentang hal lain dapat menyebabkan insomnia. Rutinitas
menjelang tidur (mis., waktu yang sama untuk tidur, kudapan, dan
aktivitas tenang) digunakan untuk anak kecil untuk tidak menunda waktu
tidurnya. Pada orang dewasa perlu menghindari stimulasi mental
berlebihan sesat menjelang tidur. Menonton TV, mendengarkan musik
atau radio dapat membantu seseorang untuk rileks. Latihan relaksasi
bermanfaat saat menjelang tidur. Pernapasan yang lambat dan dalam
selama 1 atau 2 menit memberikan ketenangan. Kontraksi dan relaksasi
otot berirama menurangi ketegangan dan menyiapkan tubuh untuk
beristirahat (Hoch dan Reynolds, 1986).

c) Meningkatkan Kenyamanan

Dirumah sakit, perawat dapat menganjurkan beberapa tindakan


untuk meningkatkan kenyamanan, seperti:
33

a. Lakukan tindakan higiene bagi klien yang tirah baring


b. Anjurkan klien untuk memakai pakaian malam yang longgar.
c. Singkirkan atau ganti adanya iritan pada kulit klien seperti balutan
yang lembab atau selang drainase.
d. Posisikan dan topang bagian tubuh yang menggantung untuk
melindungi titik tekan dan membantu relaksasi otot selanjutnya
berikan topi dan kaos kaki untuk klien lansia dan klien yang
cenderung kedinginan.
e. Anjurkan klien untuk berkemih sebelum tidur.
f. Berikan analgesic atau sedatif sekitar 30 menit sebelum tidur.
g. Berikan masase tepat sesaat sebelum klien pergi tidur.
h. Berikan matras yang nyaman dan jaga agar tempat tidur tetap bersih
dan kering.
d) Menetapkan Periode Istirahat dan Tidur

Ketika dirumah, hal ini dapat membantu klien tetap menjalankan


aktivitas fisik disaat siang hari sehingga klien dapat tidur di malam hari.
Lansia sering mengalami kurang tidur pada malam hari karena terlalu
banyak tidur pada siang hari (Bliwise, 1993). Perubahan pola dapat
berhubungan dengan penuaan ini bukan berarti terjadi penurunan
kebutuhan tidur. Namun, tetap terjadi redistribusi perilaku tidur selama
periode 24 jam. Dirumah sakit perawat dapat membantu membuat jadwal
pengkajian, pengobtan, prosedur, dan rutinitas pada saat klien terjaga.
Contohnya saat kondisi klien stabil, perawat tidak boleh membangunkan
klien untuk memeriksa tanda tanda vital. Pengambilan darah harus
dilakukan pada saat klien terjaga, kecuali saat waktu pemberian obat
karena merupakan hal yang sangat penting.

Apabila kondisi klien membutuhkan pemantauan yang lebih sering,


perawat dapat merencanakan aktivitas yang memungkinkan periode
istirahat yang lebih lama sehingga klien dapat beristirahat dengan tenang.
Cotohnya saat klien memerukan penggantian balutan yang sering
34

perawat tidak perlu bolak-balik kekamar klien hanya untuk memeriksa


satu masalah. Perawat harus bisa mengatur tingkat istirahat klien agar
lebih optimal.

e) Pengendalian Gangguan Fisiologis

Perawat harus membantu mengendalikan gejala-gejala yang


mengganggu tidur, khususnya pada klien yang mengalami penyakit fisik.
Contohnya klien dengan abnormalitas pernapasan harus tidur dengan dua
bantal atau dengan posisi semi fowler untuk mempermudah
pernapasan.klien dapat diberikan bronkodilator yang diresapkan sebelum
tidur untuk mencegah obstruksi jalan napas. Untuk mencegah gangguan
tidur klien harus memakan makanan ringan beberapa jam sebelum tidur
dan tidur dengan posisi semi fowler. Untuk klien nyeri harus diberikan
obat pereda nyeri sehingga klien dapat tidur dengan nyaman terutama
pada malam hari.

f) Pengurangan Stres

Stres dapat mengganggu tidur klien. Ketidak mampuan tidur juga


dapat membuat seseorang tegang apabila klien mengalami stres, maka
harus dianjurkan agar tidak memaksakan tidur. Insomnia sering terjadi,
dan kemudian waktu tidur berhubungan dengan ketidak mampuan untuk
rileks dan dapat dibantu dengan cara mendengarkan musik atau membaca
buku. Di lingkungan pelayanan kesehatan, perawat pada malam hari
harus meluangkan waktu untuk mengajak klien berbicara. Hal ini
membuat perawat menentukan faktor yang dapat membuat klien tetap
terjaga. Anak-anak biasanya mengalami kesulitan untuk tidur karena
sering mengalami ketakutan karena terpisah dari orang tua. Sedangkan
anak pra sekolah mengalami sulit tidur karena banyaknya aktivitas dan
stimulus pada siang hari (Wong, 1995). Selain masalah aktivitas, anak
prasekolah juga sering ketakutan saat ingin tidur karena mereka takut
terhadap gelap dan juga suara-suara aneh, terbangun pada malam hari,
35

hingga mimpi buruk. Perawat dan orang tua harus segera menenangkan
dengan berbicara singkat kepada mereka. Menyalakan lampu kamar juga
dapat membantu mereka untuk mengurangi rasa takutya.

g) Kudapan Menjelang Tidur

Sebagian orang menyukai kudapan menjelang tidur, sebagian lagi


tidak dapat tidur setelah makan. Mengkonsumsi susu atau cokelat hangat
dapat membantu meningkatkan tidur seseorang. Sedangkan makan besar
sebelum tidur akan menyebabkan gangguan gastrointestinal dan
mengganggu kemampuan untuk tidur. Sebaiknya perawat menganjurkan
klien untuk tidak mengkonsumsi kafein sebelum tidur seperti kopi, the,
kola, dan cokelat karena bekerja sebagai stimulan dan menyebabkan
klien terjaga sepanjang malam.

h) Pendekatan Farmakologis Untuk Meningkatkan Tidur

Beberapa obat-obatan digunakan pada klien yang mengalami


insomnia. Stimulan saraf pusat seperti amfetamin, nikotin, terbutalin,
teofilin, dan pemolin (Cylert), harus digunakan terpisah dan dibawah
penatalaksanaan medis (McKenry dan Salerno, 1995). Selain itu,
pemberhentian depresan SSP seperti alohol, barbiturate, antidepresan
trisiklik (amitriptilin, imipramin, dan doksepin, serta triazolam (Halcon),
dapat menyebabkan insomnia dan harus diatur secara bijak.

Penggunaan obat tidur akan membantu klien apabila digunakan


dengan baik dan benar. Tetapi, penggunaan tanpa resep tidak dianjurkan.
Penggunaan dengan periode lama akan menyebabkan gangguan tidur
lebih lanjut dan menimbulkan bahaya dari pada manfaat walaupun pada
awalnya tampak efektif. Terdapat satu kelompokpok obat yaitu
Benzodiazepine yang dianggap aman karena tidak menyebabkan depresi
SSP umum seperti sedatif atau hipnotik. Obat ini menimbulkan efek
relaksasi, antiansietas, dan hipnotik dengan memfasilitasi kerja neuron di
36

SSP yang menekan responsifitas terhadap stimulus, sehingga dapat


mengurangi terjaga (Trevor dan Way, 1995).

Wanita hamil tidak dianjurkan mengkonsumsi benzodiazepine


karena penggunaannya berhubungan dengan anomali kongenital. Ibu
menyusui juga tidak boleh menggunakan obat ini karena akan terekskresi
di dalam ASI. Untuk pemakaian terhadap anak usia dibawah 12 tahun
harus digunakan secara hati-hati. Benzodiazepine di kontraindikasikan
terhadap bayi berusia kurang dari 6 bulan. Untuk penggunaan obat
benzodiazepine dosis awal harus kecil, dan peningkatan harus diberikan
secara bertahap berdasarkan respon klien, periode waktunya terbatas.
Apabila klien lansia yang tadinya kontinen, ambulasi dan sadar, menjadi
inkontinen, konfusi, dan menunjukkan gangguan mobilitas, makan
penggunaan benzodiazepine harus di pertimbangkan sebagai
kemungkinan penyebab.

i) Promosi Kesehatan Melalui Penyuluhan Klien

Teknik untuk meningkatkan tidur dan kondisi-kondisi yang


mengganggu tidur harus dipelajari untuk membentuk kebiasaan tidur
yang baik. (Zarcone, 1994). Member saran untuk aktivitas menjelang
tidur yang membuat rileks harus mencakup aktivitas-aktivitas yang
disukai oleh klien. Klien yang mengkonsumsi obat-obatan harus
mengetahui resiko dan efek samping yang akan di peroleh dari obat yang
di konsumsinya. Perawat harus member tahu klien agar tidak mencampur
obat-obatan dengan alkhol, analgesik, opioid, atau anti depresan MAO
dan trisiklik karena akan terjadi depresi SSP. Perawat juga
memperingatkan klien agar tidak meminum obat lebih dari yang telah di
resepkan oleh dokter terutama jika terlihat kurang efektif setelah awal
penggunaan. Selain itu, klien harus mengetahui efek dari penyakit
terhadap tidur contohnya pada klien penderita hernia hiatal harus belajar
menghindari makanan besar sebelum tidur dan juga mempelajari tentang
tindakan alternatif untuk meningkatkan tidur.
37

2.11 Evaluasi

a) Subjektif
Untuk menentukan evaluasi apakah hasil yang diharapkan
terpenuhi, maka langkah-langkah evaluatif segera setelah terapi
dilakukan (misalnya: mengamati apakah pasien tertidur setelah
mengurangi kebisingan). Gunakan informasi evaluatif segera setelah
pasien terbangun dari tidurnya (misalnya: minta pasien untuk
menggambarkan pola tidurnya dan jumlah terbangun ketika tidur).
Pasien dan keluarga memberika informasi evaluasi yang akurat.
b) Objektif
Untuk periode tidur yang lama gunakan penilaian skala analog
visual atau peringkat tidur untuk menilai apakah kualitas tidur telah
meningkat atau berubah. Skala analog visual merupakan gambaran raut
muka seseorang dengan rentang nilai tertentu untuk menggambarkan
pola tidur dan istirahat pasien apakah sudah meningkat atau sebaliknya.
Perhatikan adanya tanda-tanda masalah tidur, seperti kelesuhan,
perubahan posisi pasien, sering menguap, dan mata cekung. Sebagai
contoh, tanyakan pada pasien “apakah anda merasa lebih beristirahat”,
atau “bisakah anda memberitahu saya jika anda merasa kami telah
melakukan yang terbaik untuk membantu anda meningkatkan kualitas
tidur anda”. Jika harapan pasien belum terpenuhi, perawat harus lebih
banyak menghabiskan waktu untuk mencoba memahami kebutuhan dan
pilihan pasien.
c) Analisis
Bekerjasama dengan pasien dan keluarga pasien yang
memungkinkan untuk mendefinisikan kembali harapan tersebut yang
akan terwujud secara realistis dalam batas-batas kondisi pasien dan
pengobatan.
d) Planning
Menemukan terapi yang efektif bergantung pada gangguan tidur
pasien, usia dan pola tidur normal. Perawat mendokumentasikan respon
38

pasien terhadap terapi tidur sehingga asuhan keperawatan yang


kontinue dapat dipertahankan. Perawat disebut efektif dalam
meningkatkan tidur dan istirahat jika tujuan asuhan tercapai.
39

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan mengenai gangguan pola tidur dan istirahat pada
manusia, maka dapat diambil kesimpulan:

1. Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus


dipenuhi oleh semua orang. Apabila kebutuhan istirahat dan tidur cukup,
maka jumlah energi yang diharapkan untuk memulihkan status kesehatan
dan mempertahankan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari terpenuhi.

2. Pola tidur dan istirahat dapat terganggu karena disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain karena rasa cemas atau depresi , penyakit pernapasan
yang mengakibatkan sulit bernapas sehingga menyebabkan
ketidaknyamanan saat istirahat, obat-obatan contohnya beta bloker yang
menyebabkan insomnia, dan juga faktor lingkungan yang gaduh atau
tidak tenang dapat menghambat tidur seseorang.

3. Gangguan pola tidur seperti Insomnia, Parasomnia, Disomnia,


Hipersomnia, dan Narkolepsi dapat diatasi dengan melakukan terapi
farmakologis dan non farmakologis. Dalam penatalaksaan farmakoogis
efek samping harus benar-benar dipertimbangkan. Sedangkan
penatalaksanaan non farmakologis pada klien dapat menggunakan
beberapa metode diantaranya adalah Stimulus Control, Sleep Restriction,
Sleep Higiene, dan Terapi Relaksasi.

4. Untuk mengetahui faktor yang memengaruhi tidur, maka harus mengkaji


pola tidur dan istirahat dari klien terlebih dahulu. Hanya klien yang dapat
melaporkan apakah kualitas tidurnya sudah cukup atau masih kurang.
Setelah dilakukan pengkajian, selanjutnya adalah menegakkan diagnosa
keperawatan. Setelah melakukan diagnosa, perawat membuat intervensi
keperawatan dan mengimplementasikannya kepada klien. Tahap terakhir
adalah melakukan evaluasi guna melihat respon dan perkembangan klien
sehingga dapat memutuskan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
40

3.2 Saran

3.2.1 Masyarakat

Untuk mewujudkan pola tidur dan istirahat yang baik, maka


masyarakat harus memahami faktor-faktor yang mungkin dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur guna meminimalisir resiko
terjadinya gangguan tidur dan istirahat sehingga kebutuhan tidur
masyarakat dapat tercukupi dengan maksimal dan juga dapat
melakukan aktivitas sehari-hari.

3.2.2 Institusi Pendidikan

Sebaiknya institusi melakukan riset atau penelitian tentang


pemenuhan pola istirahat dan tidur serta menyempurnakan penelitian
yang pernah dilakukan.

3.2.3 Tenaga Kesehatan

Sebagai tenaga kesehatan yang baik, diharapkan dapat mengatasi


berbagai masalah mengenai gangguan pola tidur dan istirahat klien
secara bijak. Selain itu, perawat juga harus memberi edukasi terhadap
klien mengenai pentingnya menjaga pola istirahat yang cukup terhadap
kesehatannya. Dalam memberikan pengobatan, perawat harus
mengetahui efek samping obat yang akan diberikan. Sebaiknya perawat
menghindari pemberian obat-obatan apabila masih bisa dilakukan
metode non farmakologis.
41

DAFTAR PUSTAKA

Ardhiyanti, Yulrina., Risa Putriani., Ika Putri Damayanti. (2014). Keterampilan


Dasar Kebidanan 1. Sleman: Penerbit Deepublish.

Astuti, Ni Made Hindri. (2010). Penatalaksanaan Insomnia pada Usia Lanjut.


Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Azizah, LM (2011). Keperawatan lanjut usia. Graha Ilmu: Jakarta.

Bliwese DL. (1993). Sleep In Normal Aging and Determinantia. Sleep. 16 (1): 40

Bulechek, G. M., H. K. Butcher., J. M. Dochterman., C. M. Wagner. 2013.


Nursing Intervension Classification (NIC). 6th edition. Terjemahan oleh
Nurjannah, I dan R. D. Tumanggor. Nursing Intervension Classification
(NIC) edisi Bahasa Indonesia. Edisi keenam. Mocomedia.

Bukit, E. K. (2005). Kualitas tidur dan faktor-faktor gangguan tidur klien lanjut
usia yang dirawat inap di ruang penyakit dalam rumah sakit, medan
2003. Jurnal Keperawatan Indonesia, 9(2).
http://www.jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/159/340 [Diakses pada
20 Maret 2018].
Copel, Linda C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawat
(Psychiatric and Mental Health Care: Nurses’s Clinical Guide. Edisi Bahasa
Indonesia (Cetakan Kedua). Alih Bahasa: Akemat. Jakarta: EGC.

Damayanti, Y. A. (2014). Panduan Lengkap Keterampilan Dasar Kebidanan I.


Yogyakarta: Deepublish.

Dangoes, M. E. (2002). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC.


Durand, Mark & Barlow David. (2007). Essential of Abormal. Amerika: Thomson
Wadsworth.
Evans JC, French DG : Sleep and healing in intensive care settings. Dimensions of
critical care nursing 14(4): 189, 1995.
42

http://europepmc.org/search?query=JOURNAL:%22Dimens+Crit+Care+Nu
rs%22&page=1&restrict=All+results [Diakses pada 20 Maret 2018].

Hartono, A (2013). Edisi 2 terapi gizi dan diet rumah sakit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.

Herdman, T. H., dan S. Kamitsuru. (2015). Nanda International Inc,Nursing


Diagnoses: Definition and Classifications 2015-2017. 10Th edition. Nanda
International. Terjemahan oleh Keliat, B. A., H. D. Windarwati., A.
Pawirowiyono., M. A. Subu. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi
2015-1027. Edisi 10. Jakarta : EGC.

Hoch C, Reynolds CIII. (1986). Sleep Distrubances And What to do About Them.
Geriar Nurse. 7:24.

Kasiati, N. W. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan.

Landis CA. (1988). Arrytmias and Sleep Pattern Disturbances in Cardiac Patien.
Prog in Cardiovag Nurs, 3: 73.
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Landis+CA.
+%281988%29.+Arrhythmias+and+Sleep+Pattern+Disturbances+in+Cardia
c+Patien.+Prog+in+Cardiovasc+Nurs%2C+3%3A+73.&btnG= [Diakses
pada 11 Mei 2018].

Lushington, K., Dawson, D., & Lack, L. (2000). Core body temperature is
elevated during constant wakefulness in elderly poor sleepers. Sleep, 23(4),
504-510.
https://www.researchgate.net/profile/Leon_Lack/publication/12442532_Cor
e_Body_Temperature_is_Elevated_During_Constant_Wakefulness_in_Elde
rly_Poor_Sleepers/links/54f15cd70cf2f9e34efe0fa3/Core-Body-
Temperature-is-Elevated-During-Constant-Wakefulness-in-Elderly-Poor-
Sleepers.pdfj [Diakses pada 16 Mei 2018].
43

McKenry LM, Salerno E. (1995). Mosby's Pharmacology in Nursing. ed 19. St


Louis. Mosby.

Miller, C.A. (1995). Nursing care of older adults: Theory & practice.
Philadelphia: J. B. Lippincott.

Moorhead, S., M. Johnson., M. L. Maas., E. Swanson. 2013. Nursing Outcomes


Clasification (NOC) ; Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Terjemahan oleh Nurjannah, I dan R. D. Tumanggor. Edisi Kelima. CV.
Mocomedia.

Ed. Herman T. H and Komitsuru, S. (2015). Nanda Internasional Nursing


Diagnosis, Definition and Clasification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Pieter, Herri Zan., Bethsaida Janiwarti., Marti Saragih. (2011). Pengantar


Psikopatologi untuk Perawat. Jakarta: Kencana.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan;
Konsep, Proses, dan Praktik (Edisi 4). Jakarta: EGC.
Ross MS et al. When sleep won’t come: helping our elderly clients. Canal Nurs
82: 14, 1986.
Sholehah, Liya Rosdiana. (2013). Management Insomnia. E-journal Medika
Udayana. 2 (5). 933-954.

Tarwoto,Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: salemba medika.

Trevor AJ, Way WL. (1995). Sedative-Hypnotic Drugs. In BG Katzung, editor:


Basic & Clinical Pharmacology, ed 6, Norwalk, Coon, Appleton & Lange.

Widjajakusumah djauhari. 2001. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: ECG.

Wong DL. (1995). Whaley and Wong’s Nursing Care of Infats and Children. ed 5.
St Louis. Mosby.
44

Zarcone VP. (1994). Sleep Hygiene in Kryger MH, Roth T, Dement WC, editors:
Principles and practise of sleep medicine, ed 2, Philadelphia, 1994.
Saunders.
45

LAMPIRAN

Lembar Bimbingan

Nama : Kelompok 8 / Kelas D


Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Pemenuhan Istirahat
dan Tidur
Dosen Pembimbing : Ns. Ahmad Rifai, S.Kep, M.S.

Tanda
Materi Masukan
No Hari/tanggal tangan
bimbingan Pembimbing
Pembimbing
46
47

Anda mungkin juga menyukai