Anda di halaman 1dari 2

TEORI PERKOTAAN DAN SUB URBANISASI

Pertama, teori Urban Life Cycle oleh Van Den Berg. Teori ini mengatakan bahwa ada empat tahapan
urbanisasi yaitu urbanisasi, suburbanisasi, deurbanisasi dan reurbanisasi (Burian dan Voženílek, 2012).
Van Den Berg membangun kerangka teorinya dari tingkat mikro melalui analisis fungsi perilaku
individu perkotaan. Van den Berg berasumsi bahwa pelaku perkotaan bertujuan untuk
memaksimalkan kesejahteraan mereka (bukan utilitas atau kekayaan). Daya tarik lokasi perumahan
atau lokasi bisnis tergantung pada ukuran dan kualitas dari unsur-unsur kesejahteraan yang
ditawarkan. Faktor-faktor tersebut menunjukkan fakta bahwa orang tidak selalu bergantung pada
unsur kesejahteraan lokal saja. Tersedianya unsur kesejahteraan di lokasi yang sesuai secara
keseluruhan dan relevan mempengaruhi perilaku spasial mereka. Bagi penduduk, unsur kesejahteraan
meliputi faktor-faktor yang terkait dengan rumah dan lingkungan langsung, akses terhadap pekerjaan
dan akses ke fasilitas. Bagi perusahaan, faktor-faktor tersebut seperti lokasi yang potensial, potensi
pasar tenaga kerja, potensi input dan pasar-potensial. Singkatnya, perubahan dalam perilaku para
aktor urban menyebabkan terjadinya perubahan perkotaan. Dalam model Van den Berg, perubahan
perilaku spasial pelaku perkotaan disebabkan oleh perkembangan (ekonomi, sosial, politik, teknologi,
demografi) yang mendasar, yang mempengaruhi mobilitas, preferensi dan tingkat aspirasi para pelaku
(Braun, 2008).

Kedua, teori mengenai permintaan akan lahan yang di kemukakan oleh Robert Margo berdasarkan
proses suburbanisasi pasca perang di Amerika Serikat (Glaisser dan Kahn, 2003). Margo berpendapat
bahwa pendapatan meningkat selama 50 tahun terakhir telah meningkatkan permintaan akan lahan
dan bahwa peningkatan suburbanisasi antara tahun 1950 dan 1980 dapat dijelaskan oleh orang-orang
yang semakin kaya. Metodologi yang ia gunakan adalah untuk melihat hubungan antara pendapatan
dan kehidupan di pinggiran kota pada tahun 1950 dan menunjukkan bahwa jika hubungan itu tetap
konstan, peningkatan pendapatan akan mendorong sejumlah besar orang ke daerah-daerah pinggiran
kota (Glaisser dan Kahn, 2003). Ini menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan merupakan faktor
penting dalam mendorong suburbanisasi penduduk. Ketiga, teori Evolusi Alami (natural evolution
theory) yang disukai oleh para ahli perkotaan dan ahli transportasi (Mieszkowski dan Mills, 1993).
Ketika lapangan pekerjaan terkonsentrasi di pusat kota, di sekitar stasiun atau pelabuhan,
pembangunan perumahan penduduk bergerak dari dalam kemudian semakin keluar. Untuk
meminimalkan biaya perjalanan ke pusat kegiatan bisnis, pembangunan perumahan di pusat
perkotaan dikembangkan lebih dahulu kemudian bergerak ke daerah suburban dengan membuka
lahan-lahan baru. Sebagai perumahan baru di daerah suburban, mereka yang berpenghasilan tinggi
mampu membeli rumah yang lebih besar dan lebih modern dan kemudian menetap di sana. Mayoritas
golongan menengah pun lebih banyak memilih tinggal di daerah suburban daripada tinggal di
pemukiman padat di pusat kota. Kecenderungan golongan menengah untuk tinggal di daerah
suburban diperkuat oleh inovasi dalam transportasi dan pertimbangan waktu perjalanan. Ketika jalan
raya, rel kereta api, dan kendaraan bermotor dikembangkan, hal ini menjadikan perjalanan menjadi
lebih cepat. Peningkatan pendapatan riil masyarakat meningkatkan kemampuan untuk menggunakan
moda transportasi yang lebih cepat. Akses ke daerah pinggiran kota atau suburban menjadi lebih
mudah. Hal ini mendorong berkembangnya pemukimanpemukiman di daerah suburban yang
kemudian diikuti dengan desentralisasi lapangan kerja dimana perusahaan-perusahan mengikuti
pergerakan penduduk ke daerah pinggiran dengan mendirikan pabrik dan sebagainya. Perusahaan
dapat mengambil keuntungan berupa upah yang lebih rendah di daerah suburban dan harga sewa
lahan yang lebih murah. Teori natural evolution menekankan pada jarak dari tempat tinggal ke pusat
kerja, efek pendapatan riil yang meningkat dari waktu ke waktu, permintaan perumahan dan
lahan baru, serta persediaan perumahan yang beragam. Pertimbangan penting lainnya dalam teori ini
adalah biaya transportasi, inovasi transportasi dalam perkotaan dan perubahan waktu sebagai
perbandingan keuntungan dari berbagai kelompok pendapatan dalam bepergian jarak jauh untuk
bekerja. Keempat, teori flight from blight. Teori ini menekankan pada permasalahan fiskal dan
permasalahan sosial di kota-kota utama, seperti pajak yang tinggi, rendahnya kualitas sekolah negeri
dan pelayanan pemerintah lainnya, ketegangan rasial, kejahatan, kemacetan dan kualitas lingkungan
yang rendah. Masalah-masalah ini menyebabkan penduduk mampu di kota utama bermigrasi ke
pinggiran kota. Mereka yang pindah ke pinggiran kota berusaha untuk membentuk komunitas yang
homogen, karena beberapa alasan. Ada preferensi untuk berada di antara individu dengan
penghasilan, pendidikan, ras, dan etnis tertentu. Pembentukan masyarakat homogen juga dimotivasi
oleh berbagai tuntutan terhadap barang-barang lokal, yang disebabkan oleh perbedaan pendapatan
dan selera (Mieszkowski dan Mills, 1993). Model yang dibangun dari teori ini terfokus pada migrasi-
etnis minoritas dan kelompok berpenghasilan rendah ke kota-kota utama, dan penurunan kumulatif
di kota utama sebagai kekuatan pendorong dari suburbanisasi (Byun dan Esparza, 2005).
Meningkatnya jumlah minoritas berpenghasilan rendah dan etnis di kota-kota utama setelah Perang
Dunia II memperdalam beban pajak kelas menengah, meningkatnya masalah sosial dan diperburuk
oleh ketegangan etnis (Mieszkowski dan Mills 1993). Akibatnya terjadi relokasi kelas menengah dan
bisnis ke daerah pinggiran kota. Karena tren suburbanisasi ini, pendapatan pajak dari pemerintah
pusat kota menjadi berkurang. Penurunan jumlah pendapatan pajak mengakibatkan menurunnya
kualitas pelayanan publik dan infrastruktur, dan meningkatkan beban pajak untuk penduduk pusat
kota. Secara khusus, layanan di kota utama menurun serta lingkungan memburuk yang dirasakan oleh
warga kelas menengah terutama yang memiliki rumah. Pemilik rumah cenderung sensitif terhadap
perubahan negatif dalam lingkungan yang dapat mengancam nilai rumah mereka. Akibat dikelilingi
oleh penurunan yang terjadi di pusat kota, kelas menengah tertarik (flight from blight) ke masyarakat
pinggiran kota (suburban). Sesampai di sana, mereka membentuk komunitas mereka sendiri yang
didasarkan pada homogenitas sosial dan relatif bebas dari beban pajak yang berat.

Kelima, teori market failure. Teori ini menjelaskan mengenai kegagalan pasar yang mendorong
penyebaran penduduk ke wilayah suburban. Kegagalan pasar mencakup tiga hal yaitu pengabaian
terhadap nilai sosial dari ruang terbuka, pengabaian biaya sosial dari penggunaan kendaraan bermotor
dan kegagalan dalam penghitungan biaya rata-rata dari infrastruktur milik umum (Byun dan Esparza,
2005). Berdasarkan nilai sosial lahan pertanian atau pedesaan di wilayah pinggiran perkotaan serta
rata-rata biaya infrastruktur publik maka dimungkinkan untuk menurunkan biaya pembangunan di
pinggiran kota. Selain, biaya sosial sebagai efek eksternalisasi kendaraan bermotor juga memberikan
kontribusi untuk membuat hidup di pinggiran kota relatif murah. Alasan ini mendorong penyebaran
penduduk ke daerah pinggiran kota (suburban)

Anda mungkin juga menyukai