Anda di halaman 1dari 21

Konsep Value Chain

Value chain bagi setiap perusahaan adalah hubungan dalam value-creating activities mulai dari
bahan baku hingga produk atau jasa yang diberikan kepada konsumen.

Value chain adalah alat analisis yang digunakan oleh perusahaan atau
organisasi untuk mengidentifikasi tahapan tertentu mulai dari supplier
hingga pelanggan dalam menghasilkan produk atau jasa yang memiliki
competitive advantage.

Secara khusus, analisis pada value chain membantu manajemen untuk menemukan tahapan
mana atau aktivitas mana yang tidak kompetitif dan cost-nya dapat dikurangi. Analisis value
chain juga dapat mengidentifikasi aktivitas mana yang sebaiknya di-outsourcing-kan. Ide

utama dari analisis value chain adalah perusahaan harus secara hati-hati
mempelajari setiap tahapan dari proses operasi untuk menentukan
bagaimana setiap tahapan berkontribusi bagi profit dan keunggulan
perusahaan.

Value chain didesain oleh Michael Porter pada tahun 1985. Value chain mengidentifikasi
sembilan aktivitas strategis yang relevan, lima primary activities dan empat support activities.
Primary activities :
 inbound logistic atau membawa material ke perusahaan
 operations atau mengubah material menjadi produk jadi
 outbound logistic (shipping
 marketing dan service.
Support activities :
 pengadaan
 pengembangan teknologi
 manjemen sumber daya manusia, dan
 infrastruktur perusahaan.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, analisis value chain bertujuan untuk menciptakan
competitive advantage. Porter mengemukakan bahwa sebuah bisnis dapat mengembangkan
competitive advatage yang berkelanjutan dengan mengikuti satu dari dua strategi (1) Low cost
strategy (2) Differentiation strategy

Fokus utama dari low cost strategy adalah untuk mencapai biaya rendah relatif jika
dibandingkan dengan kompetitor (cost leadership). Hal tersebut bisa dicapai melalui
pendekatan seperti (1) Skala ekonomi dalam produksi (2) Experience curve effects (3) Tight
cost control (4) Meminimalkan biaya di area-area tertentu seperti R&D, servis, dan iklan.
Perusahaan yang sudah mengikuti strategi ini termasuk Texas Instrument, Emerson Electric,
Hyundai, dan lain-lain.

Differentiation strategy berfokus bagaimana konsumen merasakan atau menerima suatu


produk atau jasa sebagai sesuatu yang “baru”/unik. Keunikan sebuah produk atau jasa bisa
dicapai dengan pendekatan seperti brand loyalty (Coca-cola), superior costumer service
(IBM), dealer network (Caterpillar Tractors), fitur dan desain produk (HP), atau teknologi
(Coleman). Perusahaan lain yang juga sudah menerapkan strategi ini seperti Marcedez Benz,
Stouffer, Neiman-Marcus, Cross, dan Rolex.

Perusahaan dapat membangun cost leadership atau differentiation yang berkelanjutan. Tetapi,
hal tersebut tergantung pada bagaimana perusahaan mengelola value chain-nya retatif secara
mendasar jika dibandingkan dengan kompetitor. Baik secara intuitif maupun teori, competitive
advantage dihasilkan dari menyediakan costumer value yang lebih baik ekuivalen dengan
cost-nya atau sebaliknya.

Salah satu tema besar dalam Strategic Cost Management (SCM) adalah usaha dalam
memanajemen biaya/cost. Di dalam kerangka kerja SCM, memanajemen biaya yang efektif
membutuhkan pemahaman yang luas dengan menggunakan analisis value chain. Analisis ini
lebih menitikberatkan pada eksternal perusahaan dengan tidak menghiraukan sisi internal.

Akuntansi manajemen tradisional lebih menekankan kajiannya pada internal perusahaan


(kontras dengan SCM). Bagaimana pembelian dari supplier, proses, fungsi, produk, dan
hubungan dengan konsumen dilakukan. Dengan kata lain, akuntansi manajemen tradisional
menggunakan perspektif value added yang dimulai dari pembelian pada supplier dan berhenti
ke penjualan pada konsumen. Tema kuncinya adalah untuk memaksimalkan perbedaan antara
pembelian dan penjualan.

Framework

Value chain framework adalah sebuah metode untuk merinci chain—mulai dari basic raw
material hingga end-use customer—menjadi aktivitas yang relevan secara strategis dalam
rangka memahami behavior biaya dan sumber differensisasi. Supplier tidak hanya
memproduksi dan mengirimkan input tetapi juga sangat mempengaruhi biaya dan posisi
differensiasi perusahaan. Dengan cara yang sama, jaringan distribusi memiliki dampak yang
signifikan terhadap value chain activities perusahaan.

Untuk memeroleh competitive advantage yang berkelanjutan, perusahaan harus benar-benar


memahami keseluruhan value delivery system-nya. Tidak hanya bagian kecil dari value chain
di mana perusahaan berperan aktif. Supplier dan jaringan distribusi memiliki profit margins
yang penting untuk mengidentifikasi biaya atau posisi differensiasi perusahaan karena end-use
customer pada akhirnya akan membayar semua profit margins dalam value chain.

Value Chain Membantu untuk Memperkirakan Competitive Advantage

Cara analisis value chainmembantu untuk memperkirakan competitive advantage adalah:

 Internal cost analysis – untuk menentukan sumber profitabilitas dan posisi biaya reatif
dalam internal value creating process
 Internal differentation analysis – untuk memahami peluang differensiasi termasuk juga
biaya
 Vertical linkages analysis – untuk memahami hubungan dan biaya yang berasosiasi
dengan pemasok dan konsumen dalam rangka memaksimalkan value bagi konsumen
dan mengefisiensikan biaya
Supplier Linkages

Perbedaan antara perspektif value added dan value chain bisa dilihat dengan jelas pada konteks
masalah jadwal pengiriman jika perusahaan mengabaikan value chain secara keseluruhan.
Perusahaan otomotif adalah contoh yang sangat pas dalam masalah ini. Beberapa tahun lalu,
perusahaan otomotif besar Amerika mulai menerapkan konsep just-in-time (JIT) pada pabrik
perakitan. Biaya perakitan menyumbang 30% dari penjulan. Perusahaan beranggapan bahwa
penerapan JIT akan mengurangi 20% dari biaya tersebut sesusai dengan yang terjadi di Jepang.
Namun pada akhirnya konsep itu gagal untuk diterapkan karena keterlambatan pengiriman oleh
pemasok.

Perusahaan di Jepang menerapkan konsep keiretsu yaitu suatu jaringan kompleks yang
dipimpin oleh satu perusahaan besar. Kairetsu horizontal adalah sebuah jaringan perusahaan
yang bergerak di dalam industri yang sama. Mereka bersaing tetapi juga bekerja sama untuk
meningkatkan kualitas. Sedangkan kairetsu vertikal adalah jaringan perusahaan besar seperti
Toyota, Nissan, dan Honda dengan pemasok-pemasoknya. Konsep ini yang mebuat JIT sukses
di Jepang dan juga didukung oleh kultur masyarakat Jepang itu sendiri.

Toyota melibatkan pemasok dalam pengembangan produk sehingga mereka memahami


dengan baik produk tersebut dan memiliki kebanggan. Pemasok merasa bagian dari perusahaan
sehingga memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama untuk pengembangan produk
yang berkualitas. Toyota dan Nissan membangung hubungan jangka panjang dengan pemasok
dan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.

Perusahaan-perusahaan di Jepang juga berusaha mendekatkan pabrik mereka dengan pemasok.


Kebijakan ini mempermudah koordinasi, mengurangi biaya, dan menjadikan JIT lebih mudah
diaplikasikan.

Customer Linkages

Memperhatikan hubungan dengan konsumen tidak kalah pentingnya dengan pemasok. Hal ini
merupakan kunci utama di balik konsep life cycle costing. Konsep ini menjelaskan mengenai
biaya yang harus dibayar oleh konsumen dari total cost (harga jual)hingga biaya-biaya yang
terjadi selama kepemilikan (post-purchase cost) produk oleh konsumen hingga manfaat
ekonomisnya habis. Perhatian pada post-purchase cost tersebut dapat meningkatkan
keefektifan penentuan segmen dan posisi pasar. Mendesain produk yang memiliki post
purchase cost yang rendah bisa menjadi senjata yang ampuh untuk memeroleh competitive
advantage. Life cycle cost yang lebih rendah menjawab mengapa mobil-mobil produksi Jepang
sukses di pasar Amerika. Pelayanan purna jual juga bisa menjadi instrumen untuk menabah
value perusahaan. Penyediaan bengkel service dan suku cadang untuk merawat kendaraan yang
mudah diakses oleh konsumen di mana saja. Pelayanan seperti ini meningkatkan loyalitas
konsumen terhadap suatu merek atau produk.

Missed Opportunities

Sama seperti masalah-masalah cost management lainnya adalah gagal dalam memahami
karena tidak mampu melihat dampak dari value chain secara keseluruhan. Industri kertas
kembali menjadi contoh yang tepat dalam kasus ini. Ketika analisis value added lebih
diterapkan daripada value chain.

Pada akhir tahun 1980-an pemasok kertas Amerika untuk perusahaan pembuat amplop
kehilangan keuntungan karena mereka tidak menyadari perubahan mesin konverter pembuat
amplop. Perubahan mesin konverter dari sheet-fed ke roll-fed telah merubah spesifikasi kertas
yang dibutuhkan secara drastis.

Meskipun mesin roll-fed belum diperkenalkan di Amerika sampai pada tahun 1980-an,
sekarang mesin itu telah memproduksi lebih dari 60% amplop domestik. Mesin roll-fed
memiliki harga yang lebih mahal daripada mesin sebelumnya tetapi lebih murah dan mudah
dalam pengoperasiaannya. Mesin ini juga bisa menghemat biaya lebih besar apabila amplop
diproduksi dalam jumlah yang besar.

Dengan mesin sheet-fed, perusahaan amplop membeli gulungan kertas yang besar, sekitar 40-
60 inci lebarnya. Lalu gulungan tersebut dipotong menjadi lembaran-lembaran kertas
menggunakan mesin die-cutting. Akhirnya, kertas-kertas itu dimasukan dengan tangan ke
mesin pelipat dan pengeleman. Dengan mesin roll-fed perusahaan amplop hanya perlu
membeli gulungan amplop selebar 5-11 inci yang langsung diubah langsung menjadi amplop
dengan satu proses operasi yang dikombinasikan.

Pemasok kertas tidak ingin membuat proses produksi utamanya lebih rumit dengan mengubah
spesifikasi kertas gulungannya menjadi lebih kecil. Malahan mereka menggunakan mesin
tambahan yang disebut rewinders slitters untuk mengubah gulungan yang lebih besar menjadi
lebih kecil yang digunakan oleh masin amplop terbaru sekarang. Oleh karena itu, proses dan
langkah produksi pada perusahaan kertas menjadi lebih lama dan banyak. Isu bisnis pada kasus
ini adalah bagaimana perusahaan kertas merespons perubahan value chain permintaan
konsumen harus direfleksikan dalam harga kertas yang mengingkat karena perubahan proses
produksi tadi.

Akuntansi manajemen pada perusahaan kertas tidak mengaplikasikan analisis value chain
maupun life cycle costing ke dalam perkiraan mereka. Konsekuensinya, tambahan biaya karena
penambahan mesin baru hanya diperkirakan berkontribusi kecil pada biaya mill-overhead yang
dialokasikan ke seluruh produksi kertas. Dalam jumlah besar, mesin rewinders slitters bisa
berkontribusi 1-7% dari total cost dengan implikasi pada biaya total rata-rata kurang dari $10.
Padahal, mesin tersbut selalu beroperasi lebih dari kapasitas normalnya.

Industri kertas biasanya membebankan biaya tambahan sebesar $11 per ton jika konsumen
ingin gulungan kertasnya lebih kecil 11 inci atau kurang. Penghematan yang didapat oleh
perusahaan amplop jauh lebih besar daripada jumlah tersebut. Sayangnya, full cost produksi
produksi kertas karena tambahan mesin juga jauh lebih besar daripada tambahan biaya yang
dibebankan kepada konsumen. Padahal,jika perusahaan kertas ingin memproduksi gulungan
kertas yang lebih kecil ke kontraktor luar, hal ini bisa menimbulkan biaya lebih dari $100/ton.

Perspektif eksternal value chain akan melihat perubahan mesin akan menghemat biaya
produksi bagi konsumen dan biaya ekstra bagi produsen kertas yang bisa menetapkan harga
baru. Sedangkan perskpektif internal tidak melihat perubahan biaya yang signifikan.

Ketidakmampuan dalam memahami perspektif eksternal value chain bisa menimbulkan


kesalahan dalam pengalokasian harga pokok produksi. $11 terlihat seperti keuntungan
tambahan bagi produsen kertas yang menghasilkan harga yang tidak ekonomis dan dampaknya
tertimbun dalam sistem akuntansi managemennya yang tidak menghiraukan value chain.
Kesempatan untuk menyesuaikan harga dan mengalokasikan biaya lebih akurat tentu tidak
akan terjadi jika akuntan manajemen pada perusahaan kertas memiliki pemahaman yang baik
terhadap value chain.

A Framework of Interdependence

Tidak seperti value added, value chain melihat berbagai macam aktivitas di dalam perusahaan
saling berhubungan satu sama lain. Contohnya McDonald, pemilihan waktu untuk kegiatan
promosi (salah satu aktivitas value chain) akan sangat mempengaruhi jumlah produksi (value
chain lainnya). Contoh lain seperti perusahaan Jepang pembuat video kaset (VCR) yang
mampu untuk mengurangi harga dari $1.300 pada 1977 menjadi $298 pada 1984 sebagai
dampak dari tahap awal dari chain (desain produk) dan langkah selanjutnya (produksi) dengan
secara drastis mengurangi komponen VCR.

Kereterbatasan Analisis Value Chain

Terdapat beberapa kelemahan dalam pengimplementasian dan penginterpretasian analisis


value chain. Pertama, data biaya, pendapatan, dan asset yang digunakan untuk analisi value
chain berasal dari periode tertentu (satu periode). Untuk keputusan jangka panjang, perubahan
pada struktur biaya, harga pasar, dan investasi modal sangat mungkin memiliki implikasi
terhadap analisis value chain. Perusahaan seharusnya memastikan bahwa analisis value
chainrelevan dan valid untuk periode di masa depan. Untuk itu, analisi value chain harus
diperbarui sesuai dengan kondisi terbaru.

Menemukan biaya-biaya, pendapatan, dan asset dari setiap value chain terkadang
menimbulkan beberapa kesulitan. Ada banyak sekali eksperimen yang mungkin lebih
menawarkan pendekatan yang lebih baik. Memiliki setidaknya satu perusahaan yang
beroperasi pada setiap aktivitas value chain membentu untuk mengidentifikasi harga eksternal
bagi barang dan jasa yang ditransfer di antara value chain. Bagi produk atau tingkat menengah
yang tidak memiliki informasi harga eksternal (pasar), transfer harga (transfer prices) harus
dilakukan dengan informasi terbaik yang tersedia.

Menentukan cost driver, value chain linkages, dan menghitung profit margin pada konsumen
dan pemasok merupakan tantangan yang serius. Penggunaan full costmengasumsikan bahwa
full capacitydari fasilitas aktivitas value chain digunakan untuk memeroleh biaya. Personel
pabrik dan produksi dan vendor peralatan adalah sumber yang bagus untuk informasi kapasitas.
Mereka juga bisa membantu untuk memperkirakan biaya sebuah asset atau biaya
penggantiannya.

Meskipun banyak kesulitas dalam perhitungan, pengalaman mengindikasikan melakukan


analisis value chain memberikan informasi yang sangat berguna bagi kondisi kompetitif,
struktur biaya, dan hubungan dengan pemasok dan konsumen bagi perusahaan.

The Methodology

Fungsi Manajemen Biaya adalah memberikan informasi yang berguna bagi manajer dalam
mengambil keputusan strategis dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan
(Blocher, Chen dan Lin, 1999). Perangkat informasi yang lebih luas ini setidaknya harus
memenuhi dua syarat ( Hansen and Mowen, 2000). Pertama, perangkat informasi ini harus
mencakup informasi mengenai lingkungan perusahaan dan lingkungan kerja perusahaan.
Kedua, perangkat informasi tersebut juga harus prospektif dan karenanya harus memberikan
pandangan mengenai periode dan kegiatan di masa-masa mendatang.

Kerangka rantai-nilai (Value Chain) dengan data biaya untuk mendukung analisis rantai nilai
diperlukan untuk memenuhi syarat pertama. Informasi untuk mendukung analisis daur hidup
produk diperlukan untuk memenuhi syarat kedua. Dengan demikian analisis Value Chain
dapat digunakan sebagai salah satu alat analisis manajemen biaya untuk pengambilan
keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat.

Rantai nilai memiliki metodologi yang unik. Metodologi tersebut melibatkan langkah-langkah
berikut:

1. Identifikasi rantai nilai industri , lalu menetapkan costs,revenues dan asset untuk
aktivitas nilai
2. Menetapkan cost driver
3. Mengembangkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, baik melalui
pengendalian cost driver yang lebih baik dari pesaing atau dengan pengaturan ulang
rantai nilai.

1. Identifying The Value Chain

Langkah pertama dalam menggunakan rantai nilai adalah dengan mengidentifikasi rantai nilai
industry. Langkah ini harus dijalankan dengan ide untuk mendapatkan keunggulan kompetitif,
namun untuk keunggulan kompetitif tidak dapat diperiksa pada tingkat industri secara
keseluruhan. Starting point untuk analisis biaya adalah untuk mendefinisikan rantai nilai
industri, lalu untuk menentukan biaya, pendapatan dan aset untuk berbagai kegiatan nilai.

kegiatan harus dipisahkan jika mereka memenuhi salah satu atau semua kondisi berikut:

 Aktivitas - aktivitas mewakili persentase yang signifikan dari biaya operasi


 perilaku biaya aktivitas atau pemicu biaya yang berbeda
 Aktivitas – aktivitas tersebut dilakukan oleh pesaing dengan cara yang berbeda
 Menciptakan perbedaan
Sesudah mengidentifikasi rantai nilai, biaya operasional, revenues dan asset harus ditetapkan
ke aktivitas nilai individu.

2. Menetapkan Cost Driver

Cost driver struktural dan eksekusional digunakan untuk pengambilan keputusan stratejik dan
operasional. Cost driver struktural bersifat stratejik karena cost driver tersebut melibatkan
perencanaan dan keputusan-keputusan yang berpengaruh dalam jangka panjang. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan :
1. Skala : apa ukuran investasi yang akan dilakukan di bidang manufaktur, R&D dan
marketing resources?
2. Scope
3. Pengalaman : berapa kali di masa lalu yang perusahaan sudah lakukan lalu dilakukan
lagi?
4. Teknologi : Apa teknologi yang digunakan perusahaan?
5. Kompleksitas : seberapa luas lini produk atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan

Cost driver eksekusional merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan


perusahaan untuk mengelola perusahaan dalam jangka pendek, melakukan pengambilan
keputusan untuk menurunkan biaya. Hal ini meliputi :
1. Keterlibatan semua tenaga kerja
2. Total Quality Management
3. Capacity utilization
4. Desain proses produksi
5. Konfigurasi Produk
6. Hubungan dengan pemasok/supplier

3. Developing Sustainable Competitive Advantage / Mengembangkan keunggulan


kompetitif yang berkelanjutan

Langkah ketiga dalam membangun dan menggunakan rantai nilai adalah untuk
mengembangkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Setelah sebuah
perusahaan telah mengidentifikasi rantai nilai industri anad mendiagnosa pemicu biaya
masing-masing kegiatan nilai, keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dapat
diperoleh baik dengan mengendalikan driver yang lebih baik dari pesaing atau dengan
konfigurasi ulang rantai nilai

Pertanyaan mengenai Mengembangkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan


adalah

1. Bisakah cost di setiap aktivitas bisa dikurangi, sementara revenues


konstan/tetap?

2. Bisakah revenue naik, sementara costs konstan/tetap?

Dengan menganalisis biaya, pendapatan dan aset dalam setiap kegiatan perusahaan
dapat mencapai diferensiasi dan biaya rendah. Cara yang efektif untuk mencapai tujuan
ini adalah dengan membandingkan rantai nilai perusahaan dengan rantai nilai dari satu
atau dua pesaing utama, kemudian mengidentifikasi tindakan yang diperlukan untuk
mengelola rantai nilai perusahaan lebih baik daripada pesaing mengelola rantai nilai
mereka/competitor.

Value Increase

Dengan terus fokus pada pengelolaan rantai nilai yang ada lebih baik daripada pesaing,
perusahaan harus mencurahkan usaha lebih untuk mengidentifikasi di mana dalam
value chain payoffs bisa menjadi signifikan.

Studi Kasus : Kekuatan AnalisisValue Chain

Bagian ini menyajikan kasus untuk menggambarkan konsep dan metodologi value chain. Studi
ini juga menunjukkan bagaimana analisis value chain berbeda dari analisis akuntansi
manajemen konvensional.

Dalam penelitian ini akan disajikan data biaya dan diferensiasi posisi dua perusahaan dari
industri penerbangan dengan membandingkan biaya per kursi kilometer dari kedua maskapai
tersebut dalam komponen yang berbeda dari value chain mereka. Analisis yang disajikan
didasarkan pada laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan yang dibahas tersebut.

Value chain dari maskapai pesaing dijelaskan baik secara kualitatif dan kuantitatif. Secara
umum, dapat dikatakan bahwa semua penerbangan komersial memberikan value kepada
pelanggan dalam tiga tahapan berikut:
Analisis

1. Dengan memberikan informasi reservasi dan layanan ticketing,


2. Dengan mengoperasikan pesawat udara dari titik A ke titik B, dan
3. Dengan memberikan layanan lain untuk penumpang sebelum penerbangan, selama
penerbangan, dan setelah layanan penerbangan.

Setiap elemen dalam value chain memanfaatkan aset spesifik dan memiliki fungsi biaya
spesifik. Secara keseluruhan laba atas investasi adalah hasil dari nilai tambah seluruh tiga
tahapan di atas.

Laporan keuangan konvensional tidak mengungkapkan apa-apa tentang pemisahan kegiatan


penciptaan value di mana maskapai tersebut bergerak. Bagan 2 menunjukkan versi samar dan
ringkas laporan laba rugi dan laporan posisi keuangan dari salah satu maskapai penerbangan
utama (yang di sini disebut sebagai Ajax Airlines). Laporan jelas mengungkapkan banyak yang
menarik tentang perusahaan, tetapi tidak ada tentang value chain perusahaan. Menggabungkan
laporan keuangan dengan analisis DuPont (seperti yang ditunjukkan dalam Bagan 3) dapat
menghasilkan wawasan yang lazim (konvensional), tapi tidak banyak tentang strategi bisnis
perusahaan.

Profit Margins

Analisis DuPont mengungkapkan Profit margins di Ajax Airline meningkat sejalan dengan
peningkatan penjualannya. Artinya, maskapai ini mampu menjual lebih banyak tiket,
sedangkan beban operasional turun per penjualan. Pemanfaatan aset juga meningkat, terlihat
dalam nilai Asset Turnover yang meningkatkan dari 0.857 menjadi 0.917 seperti yang tertera
pada Bagan 3. Sementara itu, Financial leverage tetap konstan. Sehingga tampak bahwa Ajax
Airline mampu dengan baik meningkatkan margin laba dan pemanfaatan asetnya, sambil
mempertahankan risiko keuangan yang konstan. Ini akan menunjukkan bahwa manajemen
telah melakukan pekerjaan yang baik dan harus melanjutkan dengan strategi pertumbuhan yang
tampaknya sukses ini.

Bagan 2. Data Keuangan Ajax Airlines

INCOME STATEMENTS 1988 1987


Sales $ 8.800 $ 7.200
Expense
Salaries and benefits $ 2.900 $ 2.400
Aircraft fuel $ 1.100 $ 1.000
Fleet operation cost
(lease and
depreciation) $ 3.900 $ 3.200
Total operating
expenses $ 7.900 $ 6.600

Operating income $ 900 $ 600


Interest expense $ 230 $ 200
Tax $ 335 $ 200
Net income $ 335 $ 200

BALANCE SHEETS
Current assets $ 2.600 $ 2.100
Property and equipment $ 7.000 $ 6.300
Total assets $ 9.600 $ 8.400

Current liabilities $ 2.700 $ 2.000


Long-term debt $ 3.000 $ 3.000
Equity 3,900 $ 3.900 $ 3.400
$ 9.600 $ 8.400

Bagan 3. Analisis DuPont Ajax Airlines

Net Net
Sales Assets
income X X = income
Sales Assets Equity Equity
335 8800 9600 335
x x =
8800 9600 3900 3900
1988

0,038 0,086
x 0,917 x 2,462 =
200 7200 8400 200
x x =
7200 8400 3400 3400

1987
0,028 0,059
x 0,857 x 2,471 =

Tapi bagaimana Ajax tumbuh? Dan bagaimana perusahaan mampu memperoleh margin yang
lebih besar pada tingkat yang lebih tinggi dari penjualan? Dimana Ajax menambahkan
kapasitas untuk pemanfaatan aset yang meningkat? Dan, akhirnya apa sih strategi Ajax
sehingga berkembang? Analisis laporan keuangan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan ini.

Analisis Traditional Management Accounting

Traditional management accounting memberikan informasi tambahan tentang Ajax Airlines,


meskipun juga mengabaikan perspektif value chain. Traditional cost accounting akan
menunjukkan bahwa, dalam suatu industri seperti industri penerbangan dengan biaya tetap
tinggi, analisis kontribusi adalah kuncinya. Argumen akan itu, karena biaya armada dan
kompensasi untuk pilot, pramugari, dan ground personnel tidak tergantung pada volume dalam
jangka pendek, strategi maskapai harus mampu mengisi kapasitas dengan penetapan harga
yang agresif. Setelah breakeven point terpenuhi, sebagian besar setiap tambahan pendapatan
akan langsung ke intinya, karena tambahan biaya variabel mungkin terbatas terutama untuk
bahan bakar dan makanan.

Informasi tambahan biasanya disertakan dalam laporan keuangan tahunan pada kebanyakan
perusahaan penerbangan besar, analisis kontribusi tradisional dapat dibuat untuk sebuah
perusahaan penerbangan. Bagan 4 menunjukkan analisis Ajax Airlines yang menggunakan
kursi penerbangan sebagai per unit metrik.

Bagan 4. Analisis Ajax Airlines Contribution

1988 1987
Additional information
Seat miles flown $ 65.000 $ 57.000
Available seat miles $ 102.000 $ 89.000
Assets utilization (load factor realized) 64% 64%
Revenue per seat mile flown $ 0,135 $ 0,126
Compensation per seat mile flown $ 0,045 $ 0,042
Fuel per seat mile flown $ 0,017 $ 0,018
Fleet operation per seat mile flown $ 0,060 $ 0,056
Total $0.122 $ 0,122 $ 0,116
Operating profit per seat mile $ 0,013 $ 0,010
Contribution margin per seat mile flown $ 0,118 $ 0,108

Break even level $ 57.600 $ 51.900


Break even percent of available capacity 56,5% 58,3%

Karena biaya tambahan dalam jangka pendek sangat rendah, akuntan manajerial tradisional
akan merekomendasikan untuk mengisi kapasitas yang tidak terpakai (seperti yang ditunjukkan
pada Bagan 4) di hampir semua harga. Namun data keuangan tambahan menunjukkan bahwa
Ajax Airline tidak mengejar tujuan ini. Ajax Airline mampu mengisi kapasitas secara lebih
signifikan untuk setiap kursi penerbangan tanpa meningkatkan pemanfaatan kursi penerbangan
kosong yang tersedia, karena pemanfaatan kursi penerbangan tetap konstan pada angka 64
persen. Berbeda dengan kesimpulan yang ditarik dari Bagan 3. Analisis tersebut menunjukkan
bahwa pemanfaatan aset telah ditingkatkan, sedangkan traditional management accounting
menyimpulkan bahwa itu tetap konstan. Konflik ini muncul kembali ketika faktor-faktor lain
yang dianalisis, seperti yang yang akan dibahas selanjutnya.

ANALISIS FURTHER MANAGEMENT ACCOUNTING

Analisis akuntansi manajemen dalam Bagan 4 menunjukkan bahwa, untuk pemanfaatan


kapasitas yang sama, Ajax Airline mampu menetapkan harga yang lebih tinggi pada kursi
penerbangannya sementara ia membayar lebih untuk kompensasi dan peralatan (kompensasi
per kursi kilometer naik dari $ 0,042 sampai $ 0,045, sedangkan biaya operasi armada per kursi
penrbangan naik dari 5,6 sen menjadi 6,0 sen). Ini menunjukkan bahwa, dengan meningkatkan
kualitas pelayanan dan kualitas peralatan yang digunakan, Ajax mampu mengenakan harga
yang lebih tinggi. Meskipun kesimpulan ini mungkin sesuai dengan apa yang terjadi, tidak ada
cara untuk memastikan bahwa ini adalah strategi yang benar-benar diterapkan Ajax. Apalagi,
bagaimana kesimpulan yang bertentangan tentang pemanfaatan aset dari dua analisis yang
berbeda dapat dijelaskan? Juga, haruskah penerimaan tambahan dari kursi yang tidak terpakai
mengalir langsung ke bagian inti (seperti usulan kedua analisis di atas)?

Dalam upaya untuk memahami masalah ini, wawasan yang sangat berbeda dapat diperoleh dari
analisis value chain, seperti yang ditunjukkan pada Bagan 5. Jelas, maskapai Ajax berinvestasi
dalam ticketing dan reservasi (T&R) , berkemungkinan untuk meningkatkan sistem reservasi
dan ticketing yang terkomputerisasi. Dan meskipun peningkatan 14 persen di kursi yang telah
diterbangkan (yaitu, 57.000 pada tahun 1.987 sampai 65.000 pada tahun 1988) - biaya T&R
per kursi penerbangan tetap konstan pada $ 0,005 (lihat "Costs" di Bagan 5) , meskipun biaya
T&R mendekati biaya tetap. Agaknya, Ajax Airline bersedia untuk meningkatkan biaya T&R
dan aset sebagai investasi strategis dalam layanan yang lebih baik.

Bagan 5. Analisis Value Chain Ajax Airline

1988 1987
Sales $ 8.800 $ 7.200
Tickets and reservation $ 320 $ 300
Aircraft operation $ 4.980 $ 3.900
Customer service $ 2.600 $ 2.400
Total expenses $ 7.900 $ 6.600

Identifiable property, plant and equipment assets


Tickets and reservation $ 2.000 $ 1.000
Aircraft operations $ 5.000 $ 5.300
Customer service $ 0 $ 0
Total $ 7.000 $ 6.300

PER PER
SEAT MILE FLOWN SEAT MILE FLOWN
1988 1987 1988 1987
Costs
Tickets and
reservation $ 0,005 $ 0,005 $ 0,003 $ 0,003
Aircraft operation $ 0,077 $ 0,068 $ 0,049 $ 0,044
Customer service $ 0,040 $ 0,043 $ 0,025 $ 0,027
Total $ 0,122 $ 0,116 $ 0,077 $ 0,074
Assets
Tickets and
reservation $ 0,030 $ 0,020 $ 0,020 $ 0,010
Aircraft operation $ 0,080 $ 0,090 $ 0,050 $ 0,060
Customer service $ 0 $ 0 $ 0 $ 0
Total $ 0,110 $ 0,110 $ 0,070 $ 0,070
Analisis value chain juga menunjukkan bahwa Aircraft operation tidak murni biaya tetap,
seperti yang dinyatakan dalam konsep traditional management accounting. Sementara jumlah
kursi penerbangan meningkat 14 persen, beban usaha meningkat sebesar 28 persen (yaitu, dari
$ 3.900 sampai $ 4.980, pada "Aircraft operation" di Bagan 5), sehingga angka ini jelas bukan
biaya tetap. Sehingga jelas, cost driver selain pemanfataan kapasitas berpengaruh di sini, dan
manajemen jelas tidak mengendalikan mereka.

Penurunan aset dasar (lihat baris "Aircraft operation" di Bagan 5) dianggap mencerminkan
depresiasi tambahan satu tahun lagi daripada perubahan strategis dalam konfigurasi armada.
Juga, menarik bahwa biaya per kursi penerbangan yang diterbangkan telah meningkat sekitar
13 persen (yaitu, dari $ 0,068 sampai $ 0,007 - lihat baris "Aircraft operation" di Bagan 5). Ini
adalah elemen dalam value chain yang tampaknya tidak dapat diterjemahkan dengan mudah
menjadi value kepada pelanggan. Tampaknya, Ajax Airline telah menaikkan harga per kursi
diterbangkan terutama untuk mengimbangi peningkatan biaya operasional armada yang tidak
memiliki strategi penilaian yang jelas.

Beban layanan pelanggan per kursi diterbangkan telah turun dari $ 0,043 sampai $ 0.040.
Sebagai straight fixed cost, biaya ini harus turun menjadi $ 0,038 ($ 0,043 / 1,14, di mana 1,14
adalah penyesuaian untuk peningkatan 14 persen di kursi mil diterbangkan), sehingga Ajax
Airlines menghabiskan sedikit lebih pada kegiatan ini, disesuaikan dengan volume.

Secara strategis, Ajax Airlines tampaknya berharap peningkatan yang kecil secara keseluruhan
(tapi tidak per unit) pengeluaran layanan pelanggan dan sistem T & R yang lebih baik mampu
memberikan pembenaran harga yang lebih tinggi dalam depresiasi armada. Tetapi peningkatan
biaya Aircraft operation mengimbangi sebagian dari dampak keuntungan dari kenaikan
pendapatan per kursi mil diterbangkan dari $ 0,126 pada tahun 1987 menjadi $ 0,135 pada
tahun 1988 (lihat "Revenue/seat mile" di Bagan 4). Hasil ini hampir tidak tampak sesuai dengan
"cerita keberhasilan" seperti penjelasan dengan analisis traditional management accounting.
Analisis value chain, bagaimanapun, dapat menghasilkan wawasan yang berbeda.
Penghubungan analisis keuangan tradisional dengan posisi strategis dengan cara ini adalah
elemen penting dalam analisis keuangan yang efektif.

ANALISIS PERBANDINGAN
Perlu dicatat bahwa kemampuan untuk menyajikan value chain analisis yang komparatif di
perusahaan bersaing meningkatkan the value of the techinique. Bagan 6 menunjukkan contoh
sederhana dari perbandingan perspektif value chain. Bagan menunjukkan grafik yang dibuat
dari informasi publik yang tersedia untuk dua maskapai besar yang sangat berbeda: United
Airlines dan People Express.

Dengan terstruktur seperti itu, perbedaan strategi antara dua penerbangan menjadi jelas.
Konsep "tanpa embel-embel" People Express sangat mudah terlihat. Secara spesifik, keputusan
strategis di lima area tercantum dalam "Value chain element" kolom Bagan 7 account untuk $
13.500 perbedaan dalam biaya per 10.000 mil kursi terbang antara dua penerbangan.

STRATEGI UNTUK KEUNGGULAN KOMPETITIF

Analisis biaya tradisional berfokus pada gagasan value added (misalnya, harga jual dikurangi
biaya bahan baku yang dibeli) dalam kesan kekeliruan bahwa ini adalah satu-satunya daerah di
mana perusahaan dapat mempengaruhi biaya. Artikel ini berpendapat bahwa analisis value
chain menyediakan cara yang lebih bermakna untuk mengeksplorasi keunggulan kompetitif.

Value added bisa sangat salah pengertian setidaknya tiga alasan:

1. Secara arbitrer membedakan antara bahan baku dan banyak pembelian masukan
lainnya. Jasa yang dibeli, seperti pemeliharaan atau konsultasi layanan profesional,
diperlakukan berbeda dengan bahan baku dibeli.
2. Tidak menunjukkan potensi untuk mengeksploitasi hubungan (baik antara perusahaan
dan pemasoknya atau antara perusahaan dan pelanggan) dengan beberapa langkah
untuk mengurangi biaya atau penggabungan diferensiasi produk.
3. Keunggulan kompetitif tidak dapat sepenuhnya dieksplorasi tanpa mempertimbangkan
interaksi antara bahan baku yang dibeli dan unsur-unsur biaya lainnya (misalnya,
pembelian bahan baku berkualitas tinggi dengan harga lebih tinggi dapat mengurangi
biaya scrap, dan dengan demikian bisa menurunkan biaya total).

Bagan 6. Perbandingan Value Chain antara People Express dan United Airlines
cost per cost per
10.000 10.000
seat mile seat mile
Advertising and
People $ 1.000 publicity $ 1.300
United Airlines
express
$ 9.000 Ticketing office $ 13.200
Ticket counter
operation

Gate operation

Baggage handling

$ 4.900 Fleets $ 6.700

$ 11.600 Aircraft operation $ 15.600

$ 1.500 On-board service $ 4.700


$ 28.000 $ 41.500
Bagan 7. Strategic inference from the value chains of people express and united airlines
People
Express
less than
United
Airlines
(cost per
Value Chain 10.000
Element mile) Strategic Differences
People express United airlines
Advertising and Heavy promotion to tout low price/no- Heavy promotion of full
Publicity $ 300 frills airline service airline
Reservations Ticket office in
and ticketing 4200 No ticket offices downtown location
No separate computer reservation Extentisive computers
system reservation system
Secondary airport terminal Full service
No ticket counters (check in only)
Tickets purchased on board the aircraft or from machines
No interline tickets
Few fare option
First-come, firts-serve seating
No ticketing at gates
Carry-on space provided
Charge for checked baggage
No interline baggage
fleet costs 1800 Used aircraft ("budget" airplanes) New aircraft
flight operation 4000 High-density seating Union pilots
Nonunion pilots Bigger crews
Smaller crews and more flying hours Crews paid on higher
per day scale
Flight crews paid on dramatically lower scale
Flight crews double on ground duties
cabin operation 3200 Nonunion flight attendants Full service
Lower pay scale
No first class
No meals
Charge for snacks and drinks served

Fokus dari analisis value chain berada di luar perusahaan. Setiap perusahaan dilihat dalam
konteks keseluruhan rantai kegiatan penciptaan nilai, dimana perusahaan tersebut mungkin
hanya sebagian kecil.

Singkatnya, metodologi untuk membangun dan menggunakan value chain meliputi langkah-
langkah berikut:

1. Identifikasi industry’s value chain, kemudian menetapkan biaya, pendapatan, dan aset
untuk setiap kegiatan.
2. Mengidentifikasi cost driver yang mengatur setiap nilai kegiatan.
3. Membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, baik dengan mengendalikan
cost driver yang lebih baik dari pesaing atau dengan konfigurasi ulang value chain.

Upaya untuk secara bersamaan mengurangi biaya dan penggabungan diferensiasi yang
mungkin dengan hati-hati mempertimbangkan biaya, pendapatan, dan aset di setiap nilai
kegiatan dalam persaingan. Analisis cost driver (dimana ABC adalah subset) adalah bagian
dari analisis value chain. Oleh karena itu, dalam SCM, value chain memberikan kerangka
keseluruhan; topik seperti ABC adalah komponen membangun dan menggunakan value chain.

Studi kasus yang disediakan dalam artikel ini menggambarkan bahwa wawasan yang berasal
dari analisis value chain yang jauh berbeda dari yang disarankan oleh alat akuntansi
manajemen yang lebih konvensional. Bagan 8 merangkum utama antara value chain dan
akuntansi manajemen konvensional.

Bagan 8. Perbandingan Traditional Management Accounting dengan Value Chain Analysis in


the SCM Framework

Traditional Management Value Chain Analysis in the SCM


Accounting Framework
Focus Internal external
Perspective Value added Entire set of linked activities from
suppliers to end-use customers
Cost driver Single driver (“volume”) Multiple cost driver
concept  Structural drivers
 Executional driver
Aplication at overall firm level A set of unique cost driver for each
(cost-volume-profit analysis) value activity
Cost containment “Across the board” cost reduction View cost containment as a function
philosophy of the cost driver regulating each
value activity
Exploit linkages with supplier
Exploit linkages with customer
“Spend to save”
Insight for None readily apparent (this is a Identify cost driver at the individual
strategic decision large reason why the strategic activity level, and develop
consulting firms always discard cost/differentiation advantage
the conventional reports as either by controlling those driver
they begin their cost analysis) better than competitors or by
reconfiguring the value chain
For each value value activity, ask
strategic question pertaining to:
 Make or buy
 Forward/backward integration
Quantify and asses “supplier power”
and “buyer power” and exploit
linkages with supplier and buyers
Perspektif value chain dapat digunakan untuk menurunkan wawasan berikut:

• Karena hampir tidak ada dua perusahaan yang persis bersaing secara value activity, analisis
value chain sangat penting dalam langkah memahami bagaimana sebuah posisi sebuah
perusahaan dalam industrinya. Membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan
memerlukan pengetahuan penuh, terkait serangkaian value activity dimana perusahaan dan
pesaingnya mengambil bagian.

• Setelah value chain sepenuhnya diartikulasikan, keputusan strategis penting (misalnya,


keputusan membuat-atau-membeli atau maju dibandingkan integrasi ke belakang) menjadi
lebih jelas. Keputusan investasi dapat dilihat dari perspektif dampaknya terhadap keseluruhan
rantai dan posisi perusahaan di dalamnya.

• Analisis value chain membantu untuk mengukur kekuatan pemasok dengan menghitung
persentase dari total keuntungan yang dapat dikaitkan dengan pemasok. Kegiatan ini dapat
membantu perusahaan untuk mengidentifikasi cara-cara untuk mengeksploitasi hubungan
dengan pemasok.

• Kerangka value chain menyoroti bagaimana produk perusahaan cocok menjadi value chain
pembeli. Mengingat kerangka ini, jelas berapa persen biaya produk perusahaan terdiri dari total
biaya pembeli. Informasi ini dapat bekerja sama dalam kegiatan pengurangan biaya.
• Dalam analisis akhir, mengejar kesimultanan antara biaya rendah dan diferensiasi bergantung
pada pemahaman lanjut dari cost driver, pendapatan, dan aset di setiap value acvity dan saling
ketergantungan antara value acvity.

Anda mungkin juga menyukai