Anda di halaman 1dari 2

TUGAS BAHASA INDONESIA

TEKS NARASI
Nama : Eni Sucitra Murti
NIM : A1162005
Kelas : Rombel A Reguler

DA’I CILIK
Pagi ini aku sangat bersemangat. Adik laki-lakiku ditunjuk sebagai perwakilan dari pesantren
untuk tampil di acara yang mereka adakan dalam rangka Maulid Nabi sebagai seorang da’i cilik.
Dengan hati gembira aku berangkat dari rumah untuk menghadiri acara itu bersama kedua orang tua.
Selama perjalanan, baik aku maupun ibuku terus mengungkapkan ketidakpercayaan kami jika adikku
yang usil itu bisa jadi seorang penceramah. Ayahku yang sebenarnya juga sangat bangga, hanya
mengangguk dan sesekali mengiyakan kami karena fokus menyetir.
Sesampainya di pesantren kami disambut oleh beberapa santri yang bertugas sebagai panitia
disana. Mereka menuntun kami untuk duduk di deretan bangku depan. Kata mereka, kami adalah
tamu VIP karena adikku adalah peran utama acara ini. Aku merasa terharu dan juga bangga. Tidak
kusangka, adikku yang baru 11 tahun itu berhasil menjadi da’i cilik dan akan tampil didepan banyak
orang.
Setelah itu, acara pun dimulai. Ketua panitia dan beberapa pengurus pesantren memberikan
sambutan dan ucapan selamat datang bagi para tamu. Kemudian beberapa santri dan satriwati naik ke
atas panggung untuk menampilkan qosidah dan juga seni membaca Al-Quran atau yang biasa kami
sebut Qori. Mereka tampil dengan sangat baik, hal ini membuatku semakin berharap tinggi dengan
penampilan adikku nanti.
Dan setelah beberapa saat, acara yang aku tunggu-tunggu pun dimulai, yaitu penampilan
adikku sebagai da’i cilik yang akan berceramah. Aku tersenyum lebar saat mendapatinya berdiri
disamping panggung sambil mempersiapkan diri. Aku dan ibuku seketika bertepuk tangan meriah saat
namanya dipanggil. Sungguh tidak sabar melihat penampilannya.
Dengan langkah penuh percaya diri, adikku melangkah menuju panggung dan berdiri diatas
mimbar yang panitia telah siapkan. Ia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengucapkan
salam kepada kami semua. Hatiku terenyuh saat mendengar suaranya. Adikku yang dulu tengil
berubah jadi seseorang yang lebih santun dan religius, begitu pikirku.
Adikku memberikan sedikit sambutan dan salam hormatnya kepada petinggi pesantren
sebelum menyampaikan isi ceramahnya. Setelah itu ia mengambil nafas dan mulai berta’awudz
dengan teknik suara qori. Mendengar suaranya yang indah membuatku semakin bangga. Tidak
kusangka, adik yang dulu selalu bertengkar untuk berebut remote tv denganku itu sekarang tampil
didepan banyak orang sebagai seorang pendakwah.
Ia membaca bismillah, lalu menjeda bacaannya untuk menarik nafas lagi. Setelah itu adikku
membacakan ayat pertama dari Surah Al-Ikhlas dengan sangat lancar. Ia juga menyampaikan arti dari
ayat itu dengan sangat berapi-api. Aku yang mendengarnya jadi ikut bersemangat. Dan setelah itu,
tiba-tiba ia langsung menutup ceramahnya dan mengucapkan salam.
Aku dan Ibuku saling menoleh. Para ustad, pengurus pesantren, santri dan semua yang hadir
pun saling menatap karena bingung. Aku berpikir jika adikku mungkin demam panggung, jadi ia lupa
dengan materi yang akan ia sampaikan. Tapi yang aku herankan, ekspresi wajahnya saat turun dari
panggung sama sekali tidak menunjukan kalau dia grogi atau takut. Ia malah terlihat santai dan
merasa bangga.
Karena penasaran, aku bangun dari dudukku dan menghampirinya. Aku bertanya, kenapa ia
hanya menyampaikan satu ayat dan artinya lalu langsung selesai begitu saja. Dan dengan bangga ia
menjawab jika ada sebuah hadist yang berbunyi ‘Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu,
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat’.
Dan karena alasan itulah, adikku hanya menyampaikan satu ayat di ceramahnya. Aku menepuk dahiku
keras-keras. Menyesal rasanya sudah berekpektasi berlebihan terhadapnya. Rupanya ia masih adikku
yang tengil dan menjengkelkan.

Anda mungkin juga menyukai