Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRESENTASI KASUS

“MENINGITIS”

Oleh:
Shinta Pangestu
107103001746

Pembimbing:
Dr. Nadia Dwi Insani, SpA

MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda
dan gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat
disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status
imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh
lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur
dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim
(ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis
(agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan
pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian
lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak.2

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Nama : An. AN
Usia : 2 bln
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Jl. Rawa badak Cipedak 06/02, Jagakarsa, Jakarta selatan
Pendidikan :-
Orang tua
Nama ayah : Tn. Y Nama ayah : Ny. S

Usia : 40 thn Usia : 35 thn

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jagakarsa Alamat : Jagakarsa

Pekerjaan : pedagang Pekerjaan :IRT

Penghasilan : Rp. 500.000 Penghasilan : -

II. ANAMNESIS
 KELUHAN UTAMA
Muntah-muntah sejak 2 hari SMRS.
 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
2 hari SMRS : pasien mengeluh muntah-muntah setiap diberi minum oleh
ibu. Muntah berisi susu, darah (-). Selain itu pasien juga mengalami demam tinggi,
ibu tidak mengukur suhunya tapi ibu pasien menyangkal adanya kejang. Selain itu
pasien juga mengeluh BAB mencret sejak 2 hari SMRS. BAB ± 5 kali perhari.
BAB cair>ampas, lendir (-), darah (-) dan bau busuk (-). Ibu pasien juga mengaku
pasien terlihat lemas. Pasien menyangkal adanya riwayat jatuh, sakit telinga, keluar
cairan dari telinga. BAK normal.
RS Fatmawati: saat di IGD pasien mengalami kejang 1x. Kejang pertama
terjadi ± 5 menit, kejang kelojotan, mata mendelik ke atas, setelah kejang pasien
3
tampak tidak sadar. Setelah itu pasien diberikan obat di IGD yaitu sibital . setelah
itu pasien di rawat Di Picu selama 20 hari. Selama perawatan di PICU, muntah-
muntah (-), BAB mencret (-), kejang (-), demam naik turun (+). Selain itu pasien
masih terlihat lemas. Setelah itu pasien dipindahkan keruangan HCU selama 7 hari.
selama perawatan HCU, muntah-muntah (-), BAB mencret (-), kejang (-), demam
naik turun (+). Pasien juga terlihat lebih aktif. Setelah itu pasien dipindahkan
keruangan biasa. Saat di ruangan sudah tidak ada lagi muntah, mencret, demam dan
kejang.

 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


o Riwayat kejang sebelumnya disangkal
o Riwayat alergi dan asma disangkal
o Riwayat trauma kepala disangkal

 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Kontak TB disangkal, keluhan yang sama disangkal

 RIWAYAT KEHAMILAN
ANC tidak rutin diperiksakan ke bidan atau dokter, ibu tidak pernah
menderita penyakit saat hamil.

 RIWAYAT KELAHIRAN
o Tempat kelahiran : dirumah
o Penolong persalinan : bidan
o Cara bersalin : spontan
o Masa gestasi : cukup bulan
o Keadaan bayi : Berat badan lahir 3100 gram dan panjang lahir ( ibu lupa ),
langsung menangis, sianosis (-), kuning (-).

 RIWAYAT MAKANAN
USIA (bln) ASI/PASI Bubur susu Buah/biskuit Nasi tim
0-2 ASI - - -

4
 RIWAYAT IMUNISASI
Polio 1x, hep B 1x

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : CM
Tanda vital :
o denyut nadi 124x/ menit, denyut kuat, isi cukup
o pernapasan 36x/menit, regular.
o suhu 36,6 C

Status gizi :
BB : 2700 gram, TB: 50 cm, LILA: 8,5 cm
Antropometri : LILA/U = 8,5/10,8= 78% (gizi kurang)

Status Generalis
Kepala : deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, wajah simetris, LK: 38 cm
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor, RCL +/+,
RCTL +/+
Telinga : sekret -/-
Hidung : cavum nasi lapang, konka edema (-), hiperemis (-), sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : KGB TTM
Thorax : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Jantung = bunyi jantung I & II regular, Gallop (-), mur-mur (-)
Pulmo
o Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
o Auskultasi : suara nafas vesikular +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen :
o Inspeksi : Supel, datar
o Palpasi : turgor kulit baik, NT (-), Hepar teraba ½, ½ L tidak tampak
membesar
o Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen
o Auskultasi : bising usus (+) Normal
5
Ektremitas : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-

Status Neurologis
o Kesadaran : GCS = 15 E = 4, M = 6, V = 5
o Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), laseque >70/>70, kernig
>135/>135, brudzinski I dan II (-)
o Nervus kranialis
 N. I = tidak dapat dinilai
 N II = tidak dapat dinilai
 N III, IV, VI = kesan parese (-)
 N VII = kesan parese (-)
 N VIII = tidak dapat dinilai
 N IX,X = uvula ditengah, arkus faring simetris
 N XI = tidak dapat dinilai
 N XII = tidak dapat dinilai
o Tonus : normotonus
o Sensorik = sulit dinilai
o Autonom = sulit dinilai
o Refleks fisiologi +2/+2
o Refleks patologis = Babinski -/-, chadoks -/-, offenheim -/-, gordon -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil laboratorium
25-7-12 30-7-12 2-8-12 6-8-12 9-8-12 Nilai rujukan
Hemoglobin 13.5 9.2 12.0 9.1 12.1 9.0-16.6 g/dL
Hematokrit 41 28 41 27 36 30-54 %
Leukosit 14.3 17.7 9.7 16.6 21.8 5.5-19.5 ribu/uL
Trombosit 531 280 114 220 150 150-440 ribu/uL
Eritrosit 4.21 2.99 4.02 2.29 4.10 3.10-5.10 juta/uL

6
Fungsi hati 25-7-12 6-8-12 Nilai normal

SGOT 89 19 0-34 u/l

SGPT 36 11 0-40 u/l

25-7-12 2-8-12 6-8-12 Nilai normal

Ureum 92 39 38 20-40 mg/dL

Kreatinin 2.5 0.7 0.6 0.6-1.5 mg/dL

25-7-12 30-7-12 2-8-12 6-8-12 Nilai normal

Gula darah sewaktu 161 198 100 78 40-60 mg/dL

AGD 25-7-12 30-7-12 2-8-12 6-8-12 Nilai normal

pH 7.607 7.506 7.594 7.410 7.370-7.440

pCO2 50.0 41.2 26.3 36.0 35-45 mmHg

pO2 52.2 174.7 178.4 82.5 83-108 mmHg

HCO3 48.8 31.8 24.9 22.3 21-28 mmol/L

Saturasi O2 91.5 99.3 99.5 96.5 95-99 %

Base excess 23.7 8.0 4.5 -1.7 -2.5-2.5 mmol/L

BP 750 750 750 751 -

Total CO2 50.3 33.1 25.1 23.4 19-24 mmol/L

25-7-12 30-7-12 2-8-12 6-8-12 Nilai rujukan

Natrium (darah) 137 129 137 140 135-147 mmol/l


Kalium (darah) 4.79 2.47 3.66 3.86 3.10-5.10 mmol/l
Klorida (darah) 80 81 94 101 95-108 mmol/l

7
 Hasil USG kepala 6-8-12 = kesan edema cerebri dengan ventrikulomegali ringan III,
lateral  suspek hidrosefalus obstruktivus dengan sumbatan antara ventrikel IV dan
III. Suspek subdural fluid collection minimal.
 Hasil CT-Scan kepala 13-8-12 = kesan tak tampak lesi patologis pada pemeriksaan
CT scan kepala

RESUME
Anamnesis : demam (+),kejang (+), muntah (+), BAB mencret (+)  saat ini (-)
Pemeriksaan Fisik : kesadaran GCS 15, Kaku kuduk (-), laseque >70/>70, kernig
>135/>135, nervus kranialis: kesan parese (-), tonus: baik
Pemeriksaan Penunjang : leukosit meningkat 21,800 /ul, dan pada pemeriksaan CT-Scan
didapat kesan tak tampak lesi patologis.

DIAGNOSIS KERJA
Susp. Meningitis bakterialis

DIAGNOSIS BANDING
Meningitis TB
Ensefalitis

PENATALAKSANAAN
 O2 2 liter/menit nasal kanul
 Diet PASI
 IVFD NaCl 250 cc/24 jam
 Sanmol 4x0,3 cc
 Phenobarbital 2x5 mg
 Meropenem 3x50 mg

RENCANA PEMERIKSAAN
 Pungsi lumbal
 Mantoux test
 Foto rontgen

8
PROGNOSIS
Ad vitam = Dubia ad bonam
Ad fungsionam = Dubiaad bonam
Ad sanationam = Dubia ad malam

9
BAB III
Tinjauan Pustaka

3.1 DEFINISI
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan
piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa
etiologi (infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit
dalam likuor cerebrospinal (LCS).3

3.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko
tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis
kelamin lakilaki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara
penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran
pernafasan.7

Meningitis Bakterial
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal,
insidens dari meningitis bakteri •} 6000 kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah
pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23
bulan). Sedangkan S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23
bulan).
Pengenalan dari vaksin meningococcal baru-baru ini di Amerika Serikat diharapkan
dapat mengurangi insidens meningitis bacterial di kemudian hari. Insidens dari meningitis
bacterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per
1000 bayi lahir kurang bulan (premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis,
berhubungan dengan adanya meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian antibiotik inisiasi
intrapartum tahun 1996, terjadi penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi GBS
(Group B Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 1990
menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003.1,8

10
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada
kulit hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan
lebih rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.8
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir
40% diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis.9-11

Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih
tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk. Meningitis tuberkulosis masih banyak
ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian
tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang
masih rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia
5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara
10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara
neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak diobati, akan
meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
jumlah pasien tuberkulosis dewasa.6,9,10

Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan berjumlah
lebih dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000 kasus.

11
Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis yang tidak khas dan
inabilitas beberapa virus untuk tumbuh dalam kultur. Menurut data yang dilaporkan Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), pasien rawat inap dengan meningitis viral sekitar
25.000 – 50.000 tiap tahunnya.12
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps virus
mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV. Gejala
meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps menyebabkan 10-20%
meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara dimana akses vaksin sulit. Insidens 20
kali lebih besar pada tahun pertama kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7 hari, meningitis
aseptik sering disebabkan oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis
oleh virus mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles sering menyebabkan
meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih sering lebih
sering menyebabkan meningitis pada laki-laki dibanding perempuan , sedangkan virus
mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan. Menurut WHO tahun
1997, meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab tersering ke-5 kematian
pada neonatus. Diluar periode neonatal mortalitas kurang dari 1%, begitu juga dnegan
morbiditasnya.12
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa. Di negeri
tropis dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak bergantung kepada musim
seperti pada negeri beriklim dingin yang angka kejadian tertingginya dijumpai pada musim
panas dan musim rontok.9

Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat mengancam kehidupan. Walaupun
semua orang dapat terkena meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat pada orang yang
menderita AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit imunodefisiensi ( sistem imun tidak
mempunyai respon yang adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang dengan imunosupresi
(malfungsi dari sistem imun sebagai akibat obat-obatan).5
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang dengan defisiensi imun seperti
HIV adalah Cryptococcus. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering
meningitis di Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan thrush, Candida, dapat
menyebabkan meningitis pada beberapa kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat
lahir sangat rendah. (very low birth weight).5

12
3.3 ETIOLOGI
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus,
parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal.
Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan
sistem imun (imunosupresif).5
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
 Virus :
o Virus Mumps
o Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza
o Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
o Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis
virus), disebarkan melalui tikus.5
 Jamur:
Jamur yang menginfeksi manusia terdieri dari 2 kelompok yaitu, jamur
patogenik dan opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang
dapat menginfeksi manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara
alamiah, manusia dengan penyakit kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya
lebih rentan terserang infeksi jamur dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik
menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis, coccidiodomycosis dan
paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah kelompok jamur apportunistik.
Kelompok ini tidak menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini adalah
aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan
nocardiosis. Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis
akut, subakut dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama
anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten.
Cryptococcus neoformans dan Coccidioides immitis adalah penyebab utama
meningitis jamur pada anak imunokompeten. Candida sering pada anak dengan
imunosupresi dengan penggunaan antibiotik multiple, penyakit yang melemahkan,
resipien transplant dan neonatus kritis yang menggunakan kateter vaskular dalam
waktu lama.

13
 Bakteri :

14
Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3
a. 0 – 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk
bakteri, virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering
seperti Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella,
Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza,
dan bakteri anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV),
enterovirus dan Cytomegalovirus.
b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat,
penyakit yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab
tersering meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam
S.Pneumoniae. H. influenza tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis
yang terjadi pada anak kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau
imunisasi yang tidak lengkap. Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis
jarang, namun harus dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis
yang tinggi dan jika didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang
mendukung diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti
enterovirus, HSV, Human Herpesvirus-6 (HHV-6).
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan
meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus
pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus
lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis,
HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A dan B.

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan
oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

15
3.4 PATOGENESIS
 Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal
dan mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
o Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau
oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
o Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

 Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran
tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena
terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang

16
belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan
McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau
spondilitis. Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama
batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang
serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan
mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan
pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang menimbulkan penyumbatan.
Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian mengakibatkan perlunakan
otak.

 Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan
beberapa cara:1
o Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
o Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar
ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
o Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
o Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender
dan menyebar melalui system saraf.

Berikut contoh cara transmisi virus :12


o Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute
saluran respirasi
o Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
o Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya
ataupun bahan eksresinya.

Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan


enterovirus; pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau
17
dengan penyebaran hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat
tersebut, mulai terjadi multiplikasi dan masuk alirann darah menyebabkan infeksi
beberapa organ. Pada stadium ini (fase ekstraneural) ada sakit demam, sistemik,
tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih lanjut pada organ yang ditempati,
penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi SSP disertai dengan bukti
klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan penyebaran
langsung sepanjang akson saraf. Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi
langsung dan penghancuran jaringan saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan
atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen virus. Kebanyakan penghancuran saraf
mungkin karena invasi virus secara langsung, sedangkan respon jaringan hospes
yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran vaskuler serta perivaskuler
dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.1,7
 Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar.
Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar
yang resisten terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi
fisiologis karbondioksida dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi
sangat baik dalam host mamalia. Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks
primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp node complex) yang biasanya
membatasi penyebaran organisme.
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara klinis dapat terjadi
seperti gejala pneumonia pada infeksi pertama dengan gejala yang bervariasi
beratnya. Keadaan ini biasanya membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan
dengan atau tanpa pengobatan. Pada pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar
fokal atau nodular. Cryptococcus dapat dorman dalam paru atau limfenodus sampai
pertahanan host melemah. Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru dan
limfenodus torakal ke aliran darah terutama pada host yang sistem kekebalannya
terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama infeksi primer atau selama masa
reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika terjadi infeksi jauh, maka tempat yang
paling sering terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana predileksi infeksi
ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum dapat diterangkan. Ada beberapa faktor
yang berperanan dalam patogenesis infeksi Cryptococcus neofarmans pada susunan
saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif karakteristik yang diaktakan
berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat seperti, produksi phenoloxidase,
18
adanya kapsul polisakarida,dan kemampuan untuk berkembang dengan cepat pada
suhu tubuh host.Informasi terakhir mengatakan bahwa melanin bertindak sebagai
antioksidan yang melindungi organisme ini dari mekanisme pertahanan tubuh host.
Faktor karakteristik lainnya yaitu kemampuan kapsul untuk melindungi jamur dari
pertahanan tubuh terutama fagositosis dankemampuan jamur untuk hidup dan
berkembang pada suhu tubuh manusia.

3.5 MANIFESTASI KLINIS


Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,
sakit kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain,
seperti :
 Mual
 Muntah
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
 Perubahan atau penurunan kesadaran

 Meningitis Bakterial
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis
bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga
sering didapatkan pada anakanak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda
dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah
sebelum diagnosis dan respon tubuhterhadap infeksi. Meningitis pada bayi baru lahir
dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas.
Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntahmuntah,
kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila
didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik
meningitis.Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah,
kejang berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda
fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda
Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur

19
ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak
dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran
klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala.
Kadangkadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku.
Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis
yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala
timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai fotofobia dan
hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen
serta radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga
karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV
adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena
nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal.
Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.

20
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung. Pada
anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat
diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas,
perlu dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal
(CSS).

 Meningitis Tuberkulosis 9,10


Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun
selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga
pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala
meningitis belum tampak.
1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan
suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah
terangsang (iritabel) atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak
besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah
juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi kelainan neurologis.
2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang.
Gejala diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana
seluruh tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih
tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata
sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid.
Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).

21
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih
dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi
tidak teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam).
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali Tiga
stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak
meninggal.

 Meningitis Viral 5,9


Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat
sembuh alami tanpa pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-
kadang didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada
anak besar ialah panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk.
Gejala lain yang dapat timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan
kesadaran, nyeri pada kuduk dan punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala
pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah
sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau
Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan panas yang akan menghilang setelah 4-5
hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski kadang-
kadang positif.

 Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya;
namun, gejalanya sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik
meningitis seperti sakit kepala, demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan
meningitis jamur juga mengalami fotofobia, perubahan status mental, halusinasi dan
perubahan personaliti.5

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pungsi Lumbal 1

22
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman. Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis
9. Sepsis

Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak
ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum
diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.

Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum
pungsi tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena
penusukan tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.

23
Berikut ini adalah gambaran cairan serebrospinal menurut etiologinya :

2. Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT Scan kepala : dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
3. Pemeriksan lain:
o Darah : LED, lekosit, hitung jenis, biakan
o Air kemih : biakan
o Uji tuberkulin
o Biakan cairan lambung

3.7 TATA LAKSANA


1) Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum
antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian
klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi
stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih
menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa negatif.8

24
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis
rentan untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga
berkontribusi terhadap timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit.8
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang
memadai dan stabilitas metabolisme.8
Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan
kedua terapi antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus evaluasi
audiologic setelah selesai terapi.8
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan
memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan
jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus
menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg,
output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun
menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan risiko penurunan
perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB
secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam
dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan
dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam
kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam
intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan
dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1
menit jangan melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya
5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis
maintenance.1
Terapi antibiotik
Bayi dan anak
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen
umum: S pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.8

25
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines
for bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau
cefotaxime dianjurkan bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi
ditargetkan berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan
respon yang adekuat terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza
tipe B yang resisten beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas
yang buruk terhadap penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi
untuk cefotaxime atau ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis
yang lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf
pusat. Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka.
Namun, bila S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk
cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60
mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8 Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan
yang baik patogen yang resisten sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan
imipenem oleh karena resiko kejang lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon
(linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk
pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi
sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-
laktam.8 Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya
relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada
sekret nasofaring walaupun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien
harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan
resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat penitipan anak. N.meningitidis dan
S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring setelah terapi meningitis
berhasil.8

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada
bayi dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 10

26
Usia 1 – 3 bulan :
o Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200- 300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
o Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
o Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
o Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
o Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil
kultur dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management


of bacterial meningitis adalah sebagai berikut :8
o N meningitidis - 7 hari
o H influenzae - 7 hari
o S pneumoniae - 10-14 hari
o S agalactiae - 14-21 hari
o Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
o L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis
bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi,
penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan
kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe
B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens
gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan
pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason
pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat
pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8

27
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke
SSP. Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan
kasus, resiko dan manfaatnya.8

2) Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4
macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin
selama 10 bulan. Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian
kombinasi obat antituberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan
simptomatik bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang
kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

3) Meningitis Viral 2
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu
terapi suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu
antiviral spesifik mungkin diperlukan. Pada pasien dengan defisiensi imun ( seperti
agammaglobulinemia), penggantian imunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi
infeksi kronik enterovirus.

4) Meningitis Jamur 2
Candida 2,6
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg /
kg / hari). Flusitosin (25 mg / kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk
mempertahankan tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu,
bergantung dari efektivitas terapi dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat
digunakan untuk follow-up terapi atau pengobatan supresi. Peniadaan material

28
prostetik (misalnya, shunts ventriculoperitoneal) adalah komponen penting dalam
terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur bedah saraf.
Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides,
diberikan secara intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali
suntikan pertama. Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap
minggu. Efek samping pemberian secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri
punggung dan tungkai. Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan intratekal
pada pasien yang tidak dapat mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari) sebagai terapi untuk C
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg / hari) atau
dengan kombinasi flukonazol dan amfoterisin B.2

3.8 KOMPLIKASI
 Cairan subdural
 Hidrosefalus
 Edema otak
 Abses otak
 Renjatan septik
 Pnemonia (karena aspirasi)
 Koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC)

3.9 PROGNOSIS
Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat motorik/mental atau meninggal, hal
tergantung dari :
 Umur penderita
 Jenis kuman penyebab
 Berat ringan infeksi
 Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
 Kepekaan kuman terhadap antibiotika yang diberikan
 Adanya dan penanganan penyulit

29
BAB IV
ANALISIS MASALAH

ANALISIS MASALAH
Pada pasien ini dicurigai menderita meningitis berdasarkan data yaitu dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan tanda-tanda
seperti adanya muntah, demam tinggi dan juga kejang. Berdasarkan teori meningitis pada
pasien usia 2 bulan memang tidak menunjukkan gejala klinis yang khas tetapi dapat dicurigai
karena ditemukannya muntah, kejang dan juga demam. Dari pf saat ini tidak ditemukan
adanya kelainan yang mendukung seperti tanda rangsang meningeal yang positif. Tanda
rangsang meningeal pada pasien ini tidak ditemukan karena usia pasien ini masih dibawah 1
tahun yaitu 2 bulan. Sedangkan dari pemeriksaan neurologis yang lain tidak ditemukan
adanya kelainan. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya peningkatan leukosit yaitu
21.800 yang menunjukkan kemungkinan adanya infeksi. Dari pemeriksaan CT-scan tidak
ditemukan adanya kelainan. Hal ini belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya
meningitis pada pasien karena gold standart untuk menegakkan diagnosis meningitis adalah
dengan pemeriksaan pungsi lumbal. Pada pasien ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
lumbal pungsi agar dapat ditegakkan diagnosis. Namun keluarga pasien menolak untuk
melakukan pungsi lumbal.

Terapi yang didapat saat ini adalah


 O2 2 liter/menit nasal kanul
 Diet PASI
 IVFD NaCl 250 cc/24 jam
 Sanmol 4x0,3 cc
 Phenobarbital 2x5 mg
 Meropenem 3x50 mg

Diliteratur disebutkan pada pasien dengan meningitis bakterial Usia 1 – 3 bulan : terapi
antibiotiknya dapat diberikan Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
Sefotaksim 200- 300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau Seftriakson 100
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis. Namun pada pasien ini diberikan golongan
carbapenem karena dari hasil kultur resistensi didapatkan bahwa pasien resisten terhadap

30
kedua obat yang dianjurkan pada literatur. Hal ini yang membuat pasien diberikan antibiotik
golongan carbapenem. Dari golongancarbapenem sendiri, pada pasien ini diberikan
meropenem karena meropenem mempunyai resiko yang rendah untuk terjadinya kejang.
Pemberian obat-obat simptomatik diperlukan seperti Parasetamol dengan dosis
10mg/kgBB diberikan 3-4 kali sehari dan juga phenobarbital untuk mencegah terjadinya
kejang pada pasien.
Pada pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk
menegakkan diagnosis meningitis serta untuk mencaritahu penyebab meningitis tersebut.
Selain itu juga disarankan untuk melakukan tes mantoux dan foto rontgen torax untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis tuberkulosa.
Prognosis pada pasien ini baik untuk ad vitam, ad functionam adalah dubia ad bonam.
Pada pasien ini saat ini tidak terdapat adanya tanda-tanda yang dapat mengancam nyawa.
Sehingga diambil prognosis untuk ad vitamnya adalah dubia ad bonam. Sedangkan untuk
prognosis ad sanationamnya adalah dubia ad malam karena saat ini belum diketahui etiologi
penyakitnya sehingga masih mungkin dapat terjadi jika penyebabnya belum ditangani.

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics, chapter 602 Central Nervous System
Infectio, 18th ed.
2. Bell WE, Mc. Cormick WF. Neurologic Infections in Childrens, 3rd ed. Philadelphia :
WB Saunders Co., 1984 : 20.
3. Krugman S, Katz SL. Infectious Disease of Children. 7th ed. St. Louis : Mosby Co.,
1981 : 168.
4. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
5. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: August 20th, 2012. Available from :
6. http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed August
20th,2012.
7. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
8. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated:
August 20th, 2012 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed August 20th, 2012.
9. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
10. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004. h. 2038-47.
11. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. August 20th, 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed August 20th,
2012.
12. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
13. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
14. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.

32

Anda mungkin juga menyukai