Anda di halaman 1dari 4

Cafe

Cerpen Karangan: Margareth Clarissa


Kategori: Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 10 October 2018

Hari itu hujan. Langit begitu murung, seperti aku saat itu. Biasanya aku bakal bergumul sendiri di
depan perapian, tapi hari ini berbeda.

Memakai mantel hujan dan boots, aku berjalan mengambil payung dan beranjak keluar. Aku tahu
aku akan ke mana. Kuharap aku tahu.

Tidak banyak orang yang keluar. Karena hari itu Minggu dan menyedihkan. Jalan-jalan sepi, toko-
toko sepi. Yang kulihat adalah pancaran warna coklat hangat yang tak pernah kuperhatikan
sebelumnya. Dua tahun aku tinggal di daerah ini, tapi aku tidak pernah menyadari warna-warna
yang berada di sekitar sini. Hidupku terlalu menyedihkan untuk mengamati hal lain.

Lalu aku sampai di sana. Berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang memberikan kesan
mengundang dan hangat. Kututup payung dan meletakkannya di tempat payung, dan berjalan
masuk. Bel kecil yang berada di atas pintu bunyi tanda pintu dibuka. Wangi kopi langsung
memenuhi hidungku. Aku mengambil nafas.

Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku merasa begini nyaman di suatu tempat?

“Selamat pagi,” sapa perempuan di belakang konter. “Mau pesan apa?” dia tersenyum.
“Vanilla Latte,” kataku.
“Ada lagi?”
“Hmm, dua glaze donat,” mengapa? Karena aku suka donat.

Kemudian aku membayar dan membawa makananku ke meja yang tidak di sebelah jendela. Tapi
tetap bisa melihat keluar jendela. Aku tidak mau duduk di samping jendela, karena aku bisa
langsung melihat hujan dan aku tidak suka itu. Aku bakal terlihat seperti seorang yang patut
dikasihani karena sendirian. Hm, singkirkan itu dari otakku, tolong.

Aku menyesap minumanku. Rasanya menyadarkanku kembali ke kenyataan. Apakah dari tadi aku
berhalusinasi? Hmm.

“Hei,” aku melirik dari balik mug ku. Memiringkan kepala, aku meletakkan latte di meja.
“Hai?” kataku. Di depanku sedang duduk seorang wanita asing. Aku tidak mengenalnya.
Jantungku berdegup lebih kencang. Apa, apa yang harus aku katakan?

Dia mengulurkan tangan, “Namaku Eleanor.”


Ragu-ragu aku menjabatnya, “A-aku Rissa.” Kuharap pipiku tidak semerah yang kurasakan.
“Ah, aku tahu,” Eleanor tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Begitu cantik.
Ngg, bagaimana dia tahu aku? Sepertinya wajahku sudah menunjukkan pertanyaan, maka dia
melanjutkan, “Kau tahu, cerita-cerita yang kau tulis secara anonimus di website itu. Aku
membacanya.”

Tidak. Tidak mungkin dia tahu ini aku. Dia pasti hanya menebak-nebak. Aku membenamkan
wajahku di kedua tangan. Malu, sangat. “Kau pasti salah orang. Itu bukan aku.” Duh, mukaku
pasti merah banget, aku tidak berani menunjukkannya kepada Eleanor. Tapi, dia meraih
tanganku.

“Tidak apa-apa, rahasiamu aman kok sama aku,” dia mengedipkan mata, yang malah membuat
muka dan leherku serasa tambah panas.

Aku masih dalam keadaan terkejut, waktu Eleanor mengambil salah satu donatku dan
menggigitnya. “El-” aku memulai.
“Eh, maaf-maaf. Entar aku ganti donatnya,” katanya sambil tertawa.
“Um, bukan, bukan donatnya,” oh tidak, kenapa aku harus gugup begini sih. “Ngg…” duh aku mau
ngomong apa sih?!

Tanganku meraih donat yang satu lagi. Mengamati wajah Eleanor yang terlihat jauh. Lalu tiba-tiba
matanya kembali fokus padaku. Aku hampir melompat. “Rissa, kamu tidak tahu aku?” Serius? Aku
bisa tahu dia dari mana?
“Tidak?” muka Eleanor terlihat terluka. Duh, aku merasa jahat.
“Masa kamu tidak tahu? Kita kan punya banyak kelas bareng!” Apa?! Aku punya banyak kelas
yang sama seperti dia?
Tambah merasa berdosa saja. “Ma-maaf. Aku tidak terlalu baik dengan orang lain,” aku
mengalihkan pandanganku darinya, karena tak tahan dengan rasa malu yang membakar. Entah
atas dasar alasan apa. Tapi, Eleanor kembali menunjukkan senyumnya yang menawan.
“Tak apa,” dia meyakinkan. Apa-apa buatku, lho.

“Um, anu,” kataku sebelum dia bisa kembali berbicara lagi. “Dari mana kau bisa tahu aku? Aku
kan, kan, kayak tidak terlihat gitu dimana-mana.”
Eleanor terlihat berpikir sebentar, “Hm, entahlah. Aku lupa kapan pertama aku melihatmu, tapi
yang pasti saat itu, kau langsung menarik perhatianku.” Ini tambah aneh saja. Aku yakin mataku
sudah melebar, dan Eleanor melanjutkan. “Sejak saat itu, aku suka ngeliatin kamu. Kadang aku
ngeliat kamu pas sendiri, senyum-senyum gitu. Pas aku lewat di belakangmu, kamu kayak lagi
baca komen-komen gitu.” Oh, wow. “Dan, aku beramsusi. Makin lama aku perhatiin, kamu-”
Kuharap aku tidak benar-benar meloncat. “Tunggu, tunggu, selama ini kamu nge stalk aku?!” Aku
merasa ngeri.
“Ngg…” Eleanor terlihat agak terkejut. “Nggak, nggak, cuma merhatiin,” katanya berusaha agar
tidak sepenuhnya salah. Tetap saja itu membuatku takut. Selama ini ada yang merhatiin aku
tanpa aku sadari. Apa-apaan? “Uh, maaf, ya. Aku sudah kelewat batas ya. Aku beliin kamu enam
donat deh sebagai permintaan maaf.”
Wah, penawaran yang baik. Aku hanya terdiam, semoga Eleanor bisa membaca raut mukaku saja.

“Hmm, apakah kamu selalu semerah ini?” tanyanya.


“Eh? Apanya merah?” tanyaku bego.
Eleanor tertawa, membuatku kembali menutup wajahku dengan tangan. “Wajahmu.”
AAAAAAAAAH. Aku sudah tidak tahan lagi. Kakiku langsung bergerak sendiri dan membawaku ke
toilet. “Hei! Jangan pergi dul-” aku dengar Eleanor berteriak, tapi lalu berhenti.

Di depan cermin aku memandangi wajahku sendiri, dan ya, aku seperti tomat. Aku tidak bisa
kuliah untuk tiga tahun ke depan ini. Rasa ini, gak mungkin aku lupain sampai selamanya. Lagian,
kenapa sih aku harus malu dan gugup di depan seseorang yang seperti Eleanor?

Aku menelan ludah dan menatap diriku lurus-lurus. Mungkin memang aku sudah seharusnya
merasakannya.

Tarik nafas, lepaskan. Tarik nafas, lepaskan. Ayo dong, jantung, pelan sedikit. Tidak apa-apa,
tidak apa-apa. Tapi ini apa-apa! Hanya masalah yang sangat kecil, Rissa! Ya ampun. Aku tidak
tahan lagi.

“Rissa?” aku menengok ke sumber suara. Jantungku.

Eleanor menatapku hati-hati. Dia sebaiknya tahu untuk tidak menggodaku lagi. “Um, mau
pulang?” dia mengangkat kantong plastik dengan kotak di dalamnya. Kotak donat. Aku
mengangguk.

Kami jalan keluar bersama. Aku tidak melontarkan satu kata pun. Masih terperangkap dalam
kepala sendiri. Suaraku juga tidak sampai ke tenggorokanku. Aku hampir merasa sesak. Hujan
sudah berhenti, jalanan masih sepi. Dan sekarang, Eleanor bersamaku sedang menyusuri jalan
menuju rumahku. Kenapa?

“Rumahmu di dekat sini?” suaraku terdengar mentah. Aku terbatuk.


“Tidak, aku antar kamu pulang, karena..” dia ragu sejenak, lalu melanjutkan, “karena sepertinya
aku sudah, sudah, yah, itu.” Ya, aku tahu, membuatku malu walaupun sebenarnya aku tidak
semestinya malu, karena itu hal biasa. Tapi, aku tidak bisa mengeluarkannya. Aku yang membuat
dia merasa bersalah, padahal dia tidak berbuat apa-apa. Dia hanya menjadi dirinya sendiri, dan
aku.. aku tidak tahu aku menjadi siapa. Oh.

“Maaf,” mulutku melontarkan kata itu tanpa aku sadari. Refleks. Bagus. Eleanor berhenti dan
menatapku kaget. Dia lebih pendek dariku, jadi dia mendongakkan kepalanya. Wah, kita sudah
sampai di depan rumahku. Cepat juga.

Tiba-tiba saja tangan Eleanor sudah memeluk tubuhku. “Makasih,” katanya. Dia sedikit terisak,
dan aku membalas pelukannya, karena tidak tahu mesti ngapain lagi.

Makasih? Makasih untuk apa?

Beberapa saat kemudian, dia melepas pelukannya dan langsung lari sambil menyeka air matanya.

“Eleanor!” teriakku. Otakku ingin mengejarnya, tapi tubuhku tidak sependapat. Eleanor tidak
mengengok ke belakang. Dia terus berlari sampai tubuhnya hilang di antara kerumunan orang.

Di depan perapian aku duduk. Tanganku meraih tempat dimana jantungku berada.

Thud. Thud. Thud.

Apa ini? Semacam mantra sihir?

Tiga tahun berlalu. Aku tidak jadi tidur seperti yang mentalku rencanakan waktu itu. Tapi setiap
hari, aku bangun masih dengan perasaan yang sama. Merah seperti tomat, jantung seperti
meloncat-loncat di dalam dada, dan perasaan hampa, seperti biasa.

Selama tiga tahun itu juga, aku tidak pernah melihat Eleanor.

Untuk pertama kali setelah enam bulan, aku kembali lagi ke café itu.

Aku kira aku bisa bertemu dengan Eleanor jika aku sering-sering ke sini. Tapi setelah tiga tahun,
tidak ada tanpa apa-apa. Seperti yang sudah kubilang, di kelas tidak ada, di sini pun juga tidak
ada. Mungkin hari ini bakal berbeda.

Seperti biasa, aku duduk di meja biasaku, dengan minuman biasaku (vanilla latte), dan dengan
makanan biasaku (dua glaze donat). Sambil menyesap minumanku, aku membaca buku yang baru
terbit belum lama ini. As Red as a Tomato.

Yep, buku yang aku tulis sendiri. Penuh dengan cerita khayalan. Ada yang masuk akal, ada yang
tidak. Namanya saja khayalan.

“Aku sudah baca bukunya, bagus,” suara itu mengejutkanku. Di depanku, ada Eleanor yang
sedang memegang donatku dan menggigitnya. Seperti waktu pertama kali.

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengikatnya dalam pelukan erat. Eleanor serta merta
membalasnya.

Merasakan sesuatu mengisi kembali bagian-bagian diriku yang kosong. Aku terisak.
Aku akan membuatmu membayar. Pikirku. Tiga tahun, Eleanor, tiga tahun.

Cerpen Karangan: Margareth Clarissa

Cerpen Cafe merupakan cerita pendek karangan Margareth Clarissa, kamu dapat mengunjungi
halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Anda mungkin juga menyukai