Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI INDONESIA

Masalah remaja (usia >10-1,9 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan nasional di Indonesia. Studi analisis mengenal kecenderungan
kesehatan, mengestimasikan bahwa pada tahun 2005 Indonesia akan menjadi negara
dengan proporsi populasi usia kurang 15 tahun terbesar, dan diduga mencapal 30.02%
pada tahun 2000. Masalah remaja terjadi, karena mereka tidak dipersiapkan mengenai
pengetahuan tentang aspek yang berhubungan dengan masalah peralihan dari masa
anak ke dewasa.. Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan
mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang
sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena
timbuhnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap
penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja dengan segala
konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah, aborsi, PMS & RIV-AIDS serta
narkotika, dll.

Hasil dari beberapa Studi:

Sebagai gambaran tentang masalah remaj'a kaitannya dengan perkembangan


kesehatan reproduksi, tulisan ini mengungkap secara ringkas yang bersumber dari
beberapa studi yang dilakukan tentang hal tersebut.
Banyak studi yang mengungkap bahwa perkawinan yang terlalu dini serta kehamilan
dan persalinan pada usia remaja menyebabkan lbu maupun bayinya berisiko tinggi.
'Studi analisis situasi di kecamatan Tebet Jakarta (tahun 1997) yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja
(KRR) di puskesmas Tebet, dilakukan pengembangan model Pelayanan KRR pada
tahun 1997/1998. Kegiatan awal yang dilakukan adalah Analisis Situasi terhadap
siswa SMP, SMU, Karang Taruna dan provider dari berbagai unit kerja seperti
puskesmas, seksi UKS, Kelurahan, KUA, Kader PKK dan NGO (Yayasan Kusuma
Buana), untuk mengidentifikasi masalah remaja, kebutuhan remaja terhadap informasi
dan pelayanan serta fasilitas pelayanan yang tersedia.
Melalui Focus Group Diskusi (FGD) terungkap berbagai masalah remaja, yaitu
hubungan seksual sebelum nikah, hamil diluar nikah, masalah aborsi, dan putus
sekolah karena menikah, pemakaian alat kontrasepsi pada remaja. Melalui interview
terhadap 41 orang remaja (13-18 tahun) diketahui hanya 19.5% remaja pernah
memanfaatkan fasilitas pelayanan khusus macam pelayanan yang diperoleh belum
mencerminkan pelayanan KRR.
Sebagian besar remaja menyatakan belum cukup informasi dan membutuhkan
informasi tentang PMS/AIDS, perilaku seksual, organ seksual, persiapan perkawinan,
KB, kehamilan/ aborsi, dan obat terlarang. Sumber informasi sebaiknya dan guru
sekolah, orang tua, petugas kesehatan dan tokoh agama, dan disampaikan oleh orang
ahli atau media masa. Mereka menyatakan waktu pelayanan KRR sebaiknya jam
14.00-16.00.
Sebagian besar remaja menyatakan sering mengalami sakit kepala dan sulit belajar.
Timbuinya jerawat dialami oleh cukup banyak diantara mereka (36.6%), juga sakit
mag, masalah haid/ mimpi basah, dll.
Sebagian besar provider menyatakan belum dapat menangani permasalahan KRR
karena belum adanya petugas untuk pelayanan tersebut. Mereka setuju diadakan
pelayanan KRR karena belum adanya petugas khusus untuk pelayanan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa situasi remaja di kecamatan Tebet saat ini memerlukan
penanganan segera, dilain pihak pelayanan KRR belum tcrsedia. Perlu segera disusun
model pelayanan yang menjawab kebutulian remaja.
Status gizi ibu yang buruk berkontribusi terhadap 4 dari 5 penyebab utama
kematian ibu yaitu perdarahan, abortus, hipertensi, infeksi dan partus macet. Dari
studi yang pemah dilakukan terhadap remaja di Madura, Jawa Timur, hasilnya
memperlihatkan bahwa remaja wanita memiliki status gizi buruk, meskipun bila
dilihat dari pengetahuan remaja tentang gizi dan anemia cukup baik.
Sementara itu studi Needs Assesssment,for adolescents Reproductive Health
(1999) yang sasarannya kepada, pendidik, orang tua, pemimpin organisasi, provider
dan anak-anak remqja sendiri telah dilakukan di propinsi Jawa Tengah, dan propinsi
jawa Timur, baik di urban maupun rural dengan metoda indepth interview & FGD.
Dari semua kelompok ini ternyata membutuhkan informasi mengenai kesehatan
reproduksi sehat remaja. Kelompok remaja mengetahui penyebab anemi karena
kekurangan zat besi, pemenuhan gizi dalam makanan tidak tercukupi, serta
gejala-gejalanya. Hubungan antara anemi dengan kesehatan reproduksi sudah
diketahui oleh orang tua, provider dan pendidik, sementara kelompok remaja belum
mengetahui sepenuhnya. Mereka hanya mengetahui bahwa penyakit anemia
mengganggu proses kehamilan.
Dari studi ini diperoleh informasi bahwa para orang tua di daerah penelitian
belum mempersiapkan anak-anak mereka dalam menghadapi masa baligh. Hal ini
disebabkan pada umumnya mereka nienganggap bahwa masalah seks adalah sesuuatu
yang tabu atau saru. Orang tua merasa anak telah mendapatkannya dari sekolah,
bacaan atau dari teman. Disamping itu, untuk orang tua yang pendidikan lebih
rendah , merasa rendah diri dan menganggap anak-anak mereka sudah jauh lebih tahu
dari mereka. Tentang kontrasepsi studi darl PT Surindo temyata sudah mengetahui
tentang jenis-jenis kontrasepsi, yaitu hanya sebatas pil, suntik dan kondom. Mereka
juga mengetahui bahwa fungsi alat kontrasepsi adalah untuk mencegah kehamilan
serta mengatur jarak kehamilan.
Studi ini juga mengungkap tentang kejadian aborsi. Dalam waktu 4 bulan
sebelum survei menurut provider, ada 4 pasien remaja yang berniat untuk
mcnggugurkan kandungan kepada bidan, namun ditolak. Dari hasil FGD mereka
menjelaskan tentang cara-cara, menggugurkan kandungan yaitu antara lain dengan
minum jamu, urut ke dukun, minum minuman keras atau carnpuran pil KB dengan
sprite.
Sebab-sebab teradinya kehamilan illegal adalah akibat kurangnya perhatian
dan bimbingan orang tua, akibat salah pergaulan dan ada pula yang ingin menguji alat
kontrasepsi.
Mengenai penyakit menular seksual (PMS) yang umum diketahui remaja adalah
HIV/AIDS, dikarenakan selama ini yang sering dipopulerkan secara gencar adalah
HIV AIDS.
Tabel berikut ini memberikan gambaran tentang Tingkah Laku Seksual Remaja
Perkotaan di Indonesia.
Penelitian
Lokasi/ Tahun Temuan
1.Istiati Surakarta, 1991  73 kehamilan remaja
2.Affandi Jakarta, 1985 pranikah
3.UII Yogyakarta, 1984  80% remaja yg hamil
4.Dasakung Yogyakarta, 1984 melakukan sanggama
5.Sarlito Jakarta, 1982 dirumah sendiri
 13% dari 846
pernikahan didahului
kehamilan
 62% dari 29 mahasiswa
kumpul kebo
 75% remaja wanita
menjaga kegadisan

Kesimpulan:

 Remaja wanita merupakan satu kesempatan untuk memperbaiki keadaan dan


kelangsungan matemal dan perineonatal bila mereka masuk dalam proses dengan
status gizi yang baik.
 Pengetahuan remaja, orang tua, pcndidik dan pimpinan oraganisasi terkait tentang
kesehatan reproduksi remaja perlu ditingkatkan dan perlu informasi serta
sosialisasinya.(RN)
Ketika perempuan ibukota meneriakkan kebebasan berbusana, dua “Kartini” mati
setiap jamnya karena tak punya kebebasan memilih cara bersalin. Perempuan-
perempuan ini mati seperti Raden Ajeng Kartini, berjuang melahirkan seorang
generasi lalu mangkat sebelum sempat merawat. Setiap tahun dari satu Hari Kartini
ke Hari Kartini berikutnya, 20 ribu “Kartini” Indonesia meninggal akibat komplikasi
dalam persalinan. Ironisnya, tak banyak orang peduli meskipun belum ada perubahan
berarti sejak seabad lalu. Tak mengherankan bila akhirnya Indonesia harus diganjar
rapor merah dalam laporan evaluasi Millenium Development Goals (MDGs).
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1990 ada 390
perempuan meninggal dunia di setiap 100 ribu kelahiran di Indonesia. Angka tersebut
turun perlahan hingga 305 pada 2015 (lihat grafik di bawah).

Target MDGs 2015 untuk angka kematian Ibu adalah menurunkan rasio hingga tiga
perempat dari angka 1990, sekitar 110 kematian ibu di setiap 100 ribu kelahiran.
Padahal sampai sekarang Indonesia masih berkutat di atas angka 305. Sebagai
perbandingan, Malaysia telah menurunkan AKI hingga 45 persen dalam 20 tahun
terakhir, begitu pun angka kematian ibu di dunia.

AKI menurut WHO dihitung dari kematian perempuan yang terjadi selama hamil atau
42 hari setelah berakhirnya kehamilan akibat semua sebab yang terkait atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya. AKI bukan disebabkan oleh
kecelakaan atau cedera.

Peter Stalker dalam laporan bertajuk “Mari Kita Suarakan MDGs” memaparkan,
seorang perempuan yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki
kemungkinan meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. “Angka tersebut bisa
jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil,” ujarnya.
Satu survei di Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut
sebesar 561.

Belajar dari Kematian Kartini


Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari usai melahirkan anak
pertamanya. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ardiansjah Dara dalam laporan
CNN Indonesia mengungkapkan, "Kartini meninggal setelah melahirkan.
Penyebabnya preeklampsia. Tekanan darahnya naik dan sempat kejang."
Ironisnya 110 tahun kemudian tekanan darah tinggi dan pendarahan masih tercatat
di Direktorat Kesehatan Ibu Kementrian Kesehatan sebagai penyebab kematian satu
dari dua ibu di Indonesia. Dalam rentang waktu yang sama mayoritas kematian ibu
yang melahirkan di Indonesia disebabkan oleh faktor itu-itu saja--- preeklampsia,
meskipun pedati sudah tergantikan kereta super cepat dan tinta pena tergantikan
aplikasi pesan instan (lihat grafik di bawah).

Di dunia kebidanan, penyebab kematian ibu dirumuskan sebagai 4 Terlalu 3


Terlambat, yaitu:

 Terlalu muda (<20 tahun)


 Terlalu tua (>35 tahun)
 Terlalu sering atau banyak anaknya (>3 anak)
 Terlalu dekat jarak kelahirannya (< 2 tahun)
 Terlambat mengambil keputusan
 Terlambat sampai di fasilitas kesehatan
 Terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat, karena sudah terlambat
sampai sehingga dalam penanganannya pun terlambat juga.
Yodi Christiani, dokter yang membidangi kesehatan ibu dan anak dari USAID Jalin
menjelaskan kematian akibat terlambat mengambil keputusan bisa disebabkan oleh
ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga. Hal ini memposisikan perempuan
sebagai subordinate dalam pengambilan keputusan meskipun persalinan merupakan
peristiwa kesehatan besar yang mempertaruhkan nyawanya. Belum lagi masalah
infrastruktur, sistem rujukan, dan alokasi tenaga kesehatan turut berkontribusi
sebagai penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia. “Tentunya kebijakan
pemerintah baik sekor kesehatan maupun non-kesehatan berdampak pada hal
tersebut,” katanya kepada Katadata belum lama ini.

Tetapi yang menjadi masalah utama, menurut Yodi, lebih kepada


pengimplementasian kebijakan atau program tersebut di daerah, “atau pun
bagaimana pemda menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat menjadi peraturan
teknis di daerahnya masing-masing.”

Senada dengan penjelasan Yodi, laporan evaluasi MDGs menyebutkan bahwa


pemerintah pusat sebetulnya telah melatih banyak bidan, dan mengirim mereka ke
seluruh penjuru Indonesia. Namun sepertinya pemerintah daerah tidak menganggap
hal tersebut sebagai prioritas, dan tidak memperkerjakan para bidan setelah
berakhirnya kontrak mereka dengan Departemen Kesehatan, kata Stalker.

Perekonomian Indonesia “di Bawah” Kaki Ibu


Menyoal angka kematian perempuan khususnya ibu dan anak sejatinya lebih gawat
dibanding statistik kematian umumnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Partnership for Maternal, Newborn & Child Health (PMNCH) WHO mengungkapkan
kesehatan ibu dan anak bukan semata perkara hak hidup belaka, tetapi juga menyoal
laba atas investasi sosial dan ekonomi di negara tersebut.

Secara umum keterkaitan antara kesehatan ibu dengan Produk Domestik Bruto
(PDB) terjalin di kedua arah, dengan pengaruh kesehatan ibu dan anak terhadap PDB
lebih besar dibanding sebaliknya. Hal ini dibuktikan dalam studi terhadap 180 negara,
termasuk Indonesia, dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dan analisis
kausal Granger. “Kami menemukan bukti bahwa pengaruh PDB terhadap kesehatan
ibu dan anak lebih kuat di negara berpendapatan menengah-bawah dan bawah
dibanding menengah-atas dan atas,” kata Arshia Amiri dan Ulf-G Gerdtham dalam
laporan studi tersebut.

Hal itu bisa jadi mencerminkan pengaruh investasi kesehatan marjinal pada
kesehatan lebih kuat pada wilayah dengan PDB rendah, yaitu negara-negara yang
secara umum tingkat kesehatannya masih lebih rendah.

Studi yang sama menunjukkan investasi kesehatan di negara miskin dapat


meningkatkan PDB dan menurunkan kesejangan (gap) dalam hal kesehatan antara
negara kaya dan negara miskin. Analisis tersebut juga mengungkapkan faktor lain
yang mempengaruhi pertumbuhan PDB, yaitu investasi pada human capital dan
infrastruktur.

Dengan kata lain, ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari keterkaitan antara PDB
dan investasi kesehatan. Pertama, investasi kesehatan akan mengurangi
kesenjangan tingkat kesehatan antar negara maupun antar kelompok tingkat
pendapatan yang berbeda. Kedua, investasi kesehatan di negara-negara
berpenghasilan rendah meningkatkan efisiensi bidang kesehatan pada PDB yang
akan menaikkan pertumbuhan PDB sekaligus mengurangi ketimpangan pendapatan
di dunia.

Senanda dengan studi tersebut, Mary Ellen Stanton dari USAID menuturkan, “Di
tataran rumah tangga, kondisi ibu yang sakit menyebabkan kerugian ekonomi yang
sangat besar.” Keluarga yang tidak dapat menjangkau fasilitas kesehatan akan
mengajukan pinjaman dan memotong budget makan sehari-hari keluarganya.

“Ketika para perempuan memiliki pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, para ibu
memiliki kekuatan lebih sebagai pembuat keputusan rumah tangga dan
memprioritaskan kesejahteraan anak-anaknya,” ujar Mayra Buvinic, direktur sector
group gender dan perkembangannya di World Bank. “Sebagai balasannya, anak-anak
yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik dan tumbuh menjadi orang
dewasa yang produktif akan membangun perekonomian dalam jangka panjang." Ini
bukti bahwa perempuan sehat dapat membantu keluarganya bertahan dari krisis
keuangan.

Hingga kini membicarakan angka kematian perempuan terkait kehamilan tak pernah
seseksi perempuan itu sendiri. Kalaupun ada yang berkoar tentang angka kematian
ibu, harus menunggu seremonial tahunan seperti hari Kartini atau hari Ibu pada
Desember nanti. Entah sampai kapan bicara nyawa perempuan terbatas di acara
tahunan. Gaungnya kemudian hilang bersamaan bubarnya hajatan bertema
perempuan. Tidak ada tindak lanjut berarti meskipun sudah lebih dari 20 ribu “Kartini”
mati tahun ini. Bahkan bukan tidak mungkin ketika tulisan ini baru selesai dibaca, dua
lagi “kartini” mati. Begitu seterusnya hingga hari Kartini datang lagi.

Anda mungkin juga menyukai