Masalah remaja (usia >10-1,9 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan nasional di Indonesia. Studi analisis mengenal kecenderungan
kesehatan, mengestimasikan bahwa pada tahun 2005 Indonesia akan menjadi negara
dengan proporsi populasi usia kurang 15 tahun terbesar, dan diduga mencapal 30.02%
pada tahun 2000. Masalah remaja terjadi, karena mereka tidak dipersiapkan mengenai
pengetahuan tentang aspek yang berhubungan dengan masalah peralihan dari masa
anak ke dewasa.. Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan
mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang
sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena
timbuhnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap
penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja dengan segala
konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah, aborsi, PMS & RIV-AIDS serta
narkotika, dll.
Kesimpulan:
Target MDGs 2015 untuk angka kematian Ibu adalah menurunkan rasio hingga tiga
perempat dari angka 1990, sekitar 110 kematian ibu di setiap 100 ribu kelahiran.
Padahal sampai sekarang Indonesia masih berkutat di atas angka 305. Sebagai
perbandingan, Malaysia telah menurunkan AKI hingga 45 persen dalam 20 tahun
terakhir, begitu pun angka kematian ibu di dunia.
AKI menurut WHO dihitung dari kematian perempuan yang terjadi selama hamil atau
42 hari setelah berakhirnya kehamilan akibat semua sebab yang terkait atau
diperberat oleh kehamilan atau penanganannya. AKI bukan disebabkan oleh
kecelakaan atau cedera.
Peter Stalker dalam laporan bertajuk “Mari Kita Suarakan MDGs” memaparkan,
seorang perempuan yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki
kemungkinan meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. “Angka tersebut bisa
jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil,” ujarnya.
Satu survei di Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut
sebesar 561.
Secara umum keterkaitan antara kesehatan ibu dengan Produk Domestik Bruto
(PDB) terjalin di kedua arah, dengan pengaruh kesehatan ibu dan anak terhadap PDB
lebih besar dibanding sebaliknya. Hal ini dibuktikan dalam studi terhadap 180 negara,
termasuk Indonesia, dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dan analisis
kausal Granger. “Kami menemukan bukti bahwa pengaruh PDB terhadap kesehatan
ibu dan anak lebih kuat di negara berpendapatan menengah-bawah dan bawah
dibanding menengah-atas dan atas,” kata Arshia Amiri dan Ulf-G Gerdtham dalam
laporan studi tersebut.
Hal itu bisa jadi mencerminkan pengaruh investasi kesehatan marjinal pada
kesehatan lebih kuat pada wilayah dengan PDB rendah, yaitu negara-negara yang
secara umum tingkat kesehatannya masih lebih rendah.
Dengan kata lain, ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari keterkaitan antara PDB
dan investasi kesehatan. Pertama, investasi kesehatan akan mengurangi
kesenjangan tingkat kesehatan antar negara maupun antar kelompok tingkat
pendapatan yang berbeda. Kedua, investasi kesehatan di negara-negara
berpenghasilan rendah meningkatkan efisiensi bidang kesehatan pada PDB yang
akan menaikkan pertumbuhan PDB sekaligus mengurangi ketimpangan pendapatan
di dunia.
Senanda dengan studi tersebut, Mary Ellen Stanton dari USAID menuturkan, “Di
tataran rumah tangga, kondisi ibu yang sakit menyebabkan kerugian ekonomi yang
sangat besar.” Keluarga yang tidak dapat menjangkau fasilitas kesehatan akan
mengajukan pinjaman dan memotong budget makan sehari-hari keluarganya.
“Ketika para perempuan memiliki pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, para ibu
memiliki kekuatan lebih sebagai pembuat keputusan rumah tangga dan
memprioritaskan kesejahteraan anak-anaknya,” ujar Mayra Buvinic, direktur sector
group gender dan perkembangannya di World Bank. “Sebagai balasannya, anak-anak
yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik dan tumbuh menjadi orang
dewasa yang produktif akan membangun perekonomian dalam jangka panjang." Ini
bukti bahwa perempuan sehat dapat membantu keluarganya bertahan dari krisis
keuangan.
Hingga kini membicarakan angka kematian perempuan terkait kehamilan tak pernah
seseksi perempuan itu sendiri. Kalaupun ada yang berkoar tentang angka kematian
ibu, harus menunggu seremonial tahunan seperti hari Kartini atau hari Ibu pada
Desember nanti. Entah sampai kapan bicara nyawa perempuan terbatas di acara
tahunan. Gaungnya kemudian hilang bersamaan bubarnya hajatan bertema
perempuan. Tidak ada tindak lanjut berarti meskipun sudah lebih dari 20 ribu “Kartini”
mati tahun ini. Bahkan bukan tidak mungkin ketika tulisan ini baru selesai dibaca, dua
lagi “kartini” mati. Begitu seterusnya hingga hari Kartini datang lagi.