Anda di halaman 1dari 8

A.

Karakteristik Hearing Imparment

a. Kurang pendengaran tipe hantaran / Conductive Hearing Loss (CHL)

1) Berderajat ringan sampai sedang.

2) Umumnya mengenai nada/frekuensi rendah.

3) Dapat memakai ABD dengan baik

b. Kurang pendengaran tipe sensorineual / Sensoryneural Hearing Loss (SHL)

1) Derajat bisa dari ringan sampai berat sekali.

2) Umumnya mengenai nada tinggi.

3) "Hearing aid" /ABD umumnya tidak banyak membantu.

c. Kurang Pendengaran tipe campuran Mixed Hearing Loss (MHL)

1) Kombinasi konduktif + sensorieural.

2) Infeksi teilinga tengah + komplikasi

3) 2 penyakit : radang telinga tengah + tumor n.VIlI.

4) ABD tidak membantu.

B. Karakteristik Mental Retardasi

Karakteristik/gejala dari retardasi mental tergantung dari tipenya, adalah sebagai berikut:

a. Retardasi mental ringan

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Kebanyakan dari
mereka ini termasuk dari tipe social-budaya dan diagnosis dibuat setelah anak
beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain
dapat diajar baca tulis bahkan bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih
keterampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti
orang dewasa yang normal. Tetapi pada umumnya mereka ini kurang mampu
menghadapi stress sehingga tetap mambutuhkan bimbingan dari keluarganya
b. Retardasi mental sedang

Kelompok ini kira - kira 12 % dari seluruh penderita retardasi mental , mereka ini
mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya
dapat sampai kelas dua SD saja, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan
tertentu, misalnya pertukangan, pertanian mereka ini perlu pengawasan. Mereka
juga pelu dilatih mengurus diri sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu
menghadapi stress dan kurang mandiri sehingga perlu bimbingan dan pengawasan

c. Retardasi mental berat

Sekitar 7 % dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini.


Diagnosis mudah ditegakkan secara dini karena selain adanya gejala fisik yang
menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua dimena anak sejak awal sudah
terdapat keterlambatan perkembangan motorik dan bahasa. Kelompok ini
termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih hygiene dasar saja dan kemampuam
berbicara yeng sederhena, tidak dapat dilatih ketrampilan kerja, dan memerlukan
pengawasan dan bimbingan sepanjang hidupnya. ini.

d. Retardasi mental sangat berat

Kolompok ini sekitar 1 % dan termasuk dalam tipe klinik . Diagnosis dini mudah
buat karena gejala baik mental dan fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya
sangat minimal. Mereka ini saluruh hidupnya tergantung orang disekitarnya.

Masalah - Masalah Yang Dihadapi Olen Anak Mental Retardasi

Perkembangan fungsi intelektual anak MR yang rendah dan disertai dengan


perkembangan perilaku adaptif yang rendah akan berakibat langsung pada kehidupan
mereka sehari-hari, sehingga banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya, masalah-
masalah yang dihadapi oleh anak MR meliputi:

a. Masalah belajar

b. Masalah penyesuaian diri terhadap lingkungan,

c. Masalah gangguan bahasa dan bicara

d. Masalah kepribadaian.
C. Karakteristik CLP
D. Karakteristik Cerebral Palsy
Anak yang membaca cerebral palsy mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Keterbelakangan mental

Anak-anak yang menderita cerebal palsy kurang lebih 40 % mengalami kelambatan


dalam proses berfikir. IQ-nya rendah sehingga ada yang tergolong tuna grahita ringan
atau tuna grahita sedang. Selain itu ada pula anak cerebal palsy yang memiliki 1Q
normal, tetapi karena kelainannya sikap sosialnya pun ada hanbatan-hambatan

b. Mengalami Speech Defect

Anak cerebal palsy kebanyakan menderita speech defect. Mereka dapat mendengan
tetapi kalau ingin mengatakan sesuatu tidak dapat berbicara atau bicaranya menjadi
terputus-putus, bahkan bila dapat bersuara tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Berbicara mcrupakan pekerjaan yang berat bagi mereka, akan banyak mengeluarkan
peluh dan otot-ototnya kejang

c. Pengihatan Kabur

Tidak ada penyakit pada matanya, namun penglihatan anak cerebal palsy ada kalanya
terganggu. Walaupun nampaknya melihat sesuatu, tetapi ia tidak dapat melihat atau
apa yang nampak hanya samar-samar atau kabur Hal ini disebabkan syaraf-syaraf
mata tidak dapat berfungsi sebagai mestinya. Sebab lain karena bola matanya selalu
bergerak diluar kemampuannya sendiri

d. Kurang Pendengaran

Menurut pemeriksaan dengan audiometer, ternyata anak cerebal palsy sebagian ada
yang menderita kurang pendengaran. Karena akibat kejang- kejang yang kurang
berfungsi sering terjadi akan mengakibatkan syaraf pendengarannya

e. Motoriknya Terganggu

Sebagai akibat dari kejangan otot-otot dan gerakan-gerakan yang tidak terkendali,
pengaruh yang paling berat adalah motorik.
E. Karakteristik Down Syndromea
Down Syndrome dan Kemampuan Linguistiknya

Down Syndrome adalah gangguan perkembangan anak yang bersifat medis dan secara
tipikal buhan hanya menjadikan anak memiliki abnormalitas secara fisik melainkan juga
secara mental. Secara genetik, gangguan ini disebabkan oleh kondisi berlebihnya autosom 21
yang diderita merata pada gender, baik laki-laki maupun perempuan. Istilah lain gangguan ini
yaitu mongolism dengan ciri khusus seperti: abnormalitas pada tengkorak dan bentuk muka;
tubuh pendek; mulut selalu terbuka, jarak lebar antara kedua mata, dan sebagainya. Kondisi
ini terjadi akibat nondisjunction pada saat proses pembuahan dalam rahim akibat kandungan
antibodi tiroid yang terlalu tinggi, adanya virus akibat radiasi dan akibat terjadi kemunduran
sel telur setelah satu jam berada di dalam saluran falopi yang tidak dibuahi. Penderita Down
Syndro mememiliki skor IQ di bawah 70. Namun begitu kemampuan intelektualnya sangat
beragam dan salah jika kita menganggap kemampuan berbahasa semua penderitanya sama.
Menurut Kendler (dalam Carrol, 1986) tingkatannya terbagi atas:
a. ringan (IQ 53-68),
b. sedang (IQ 36-52),
c. berat (IQ 20-35) dan
d. parah (IQ di bawah 20).

Dengan demikian kemampuan linguistiknya mengacu pada kelainan kognitif yang


dialaminya. Kajian tentang Down Syndrome (DS) atau keterbelakangan mental menunjukkan
adanya hubungan antara kelainan kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi
linguistic sepenuhnya. Penderita keterbelakangan mental memiliki keterbatasan dalam hal
perhatian, ingatan jangka pendek, dan pembedaan persepsi; mereka juga kesulitan memahami
segala bentuk makna simbolik. Ini semua mempengaruhi performasi berbahasa meskipun
masing-masing penderita menunjukkan gejala yang bervariasi. Di bawah usia setahun
perkembangan komunikasi dan prelinguistiknya cenderung lambat. Pada umumnya,
perkembangan fonologisnya juga lambat (Rondal, 2010). Hanya sedikit kosakata dapat
dikuasai dan ucapannya cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan dan kata sambung,
mirip bahasa dalam telegram).Dewasa ini banyak dibahas mengenai seberapa jauh perbedaan
antara perkembangan bahasa pada anak dengan keterbelakangan mental dengan anak yang
mengalami lambat bicara. Isu ini sulit dipecahkan karena terdapat perbedaan yang lebar
antara performasi masing-masing individu, dan karena keterlambatan pada satu area bahasa
(misalnya keterbatasan kosakata) akan berimbas. pada area lain (misalnya panjang ujaran).
Namun yang perlu dicatat, ke;terlambatan perkembangan fonologis pada penyandang DS
tidak berlanjut penyimpangan sebagaimana yang dialami penyandang autisme (Rondal,
2010). Anak sindroma Down bermasalah dengan pelafalan. Ketika diminta menirukan ucapan
orang lain kesalahan pelafalan lebih sedikit muncul dibandingkan dengan ketika mereka
berbicara spontan. Dengan suaranya yang khas parau, intonasinya tergolong
abnormal.Komunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh (gesture) lebih dipilih oleh anak
dengan sindroma Down berat dan parah. Kebanyakan penyandang DS mengalami masalah
serius dalam organ wicara dan artikulasi yang bisa disebabkan:
(1) rongga mulut yang terlalu sempit sehingga menyulitkan lidah menghasilkan suara
resonansi, lidah menjulur, bibir sumbing atau langit-langitnya pendek, struktur gigi yang
tidak normal atau cacat yang menyebabkan oklusi gigi, pangkal tenggorok berada di leher
atas, otot wicara lemah yang terkait dengan lidah, bibir,langit-langit dan otot pernafasan;
(2) gangguan pendengaran: kehilangan hingga sekitar 25-55 desibel dari suara yang
diperdengarkan, gangguan konduktif, sensori atau gabungan keduanya;
(3) lemah dalam kordinasi motorik; dan
(4) masalah bersuara (Rondal, 2010).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa gangguan berbahasa, yang dialami penyandang
DS baik anak-anak maupun dewasa, hanya bersifat terlambat (bukan bersifat kurang atau
tidak mampu). Artinya dengan perkembangan yang berlangsung lamban, proses bahasa yang
dilaluinya mirip dengan urutan normal meskipun pada sebagian penyandang tidak dapat
mencapai kompetensi penuh sebagai mana pembicara dewasa normal. Hal ini tergantung
tingkat parahnya kelainan yang diderita. Adapun kemampuan sintaksisnya dapat dicapai pada
usia dewasa, meskipun mereka lebih dapat menangkap kontruksi kalimat afirmatif daripada
negasi. Penyandang DS dengan IQ 50-70 mampu menunjukkan keterampilan linguistik,
empati dan intuisi yang baik. Beberapa diantaranya bahkan sangat senang berbicara, cukup
fasih dan sangat ekspresif. Namun demikian, tidak sedikit yang menggunakan bahasa bukan
untuk menyampaikan informasi tetapi sekedar menikmati berbicara saja tanpa harus
bermakna (Bogdashina, 2005). Pada penyandang DS apabila disertai dengan gangguan
berbahasa dan berkonsentrasi dapat diatasi dengan intervensi dini. Hal ini juga perlu
ditunjang diet agar sari makanan yang berbahaya dapat dihindari sehingga akan mendukung
proses perbaikan pada kondisis psikologis, neurologis, fisiologis, dan endokrinnya. Dalam
perkembangan bahasanya, penyandang DS mengalami kesulitan morfosintaksis. Rondal
(2010) menyebutkan kesulitan utama perkembangan morfosintaksis pada penyandang DS
sebagai berikut:
a. Menyusun frasa dengan menggunakan kata-kata fungsional disamping kelas kata
(nomina, verba, kata sifat, kata keterangan) sedemikian rupa untuk menyampaikan
makna yang tepat
b. Menghasilkan kata dengan imbuhan yang tepat
c. Menyatukan frasa membentuk kalimat sederhana
d. Menghasilkan beragam kalimat pragmatik (kalimat afirmatif, kalimat tanya, kalimat
perintah, kalimat seruan)
e. Menyusun dan memahami perbedaan kalimat aktif dan pasifLebih jauh, kemampuan
membaca penyandang DS tidak berbeda dengan anak normal. Buckley (dalam
Rondal, 2010) melakukan studi kasus yang menunjukkan bahwa pengenalan
membaca sejak dini atau sejak usia 3 tahun akan secara signifikan meningkatkan
kematangan berbahasa,kemampuan literasi dan memori jangka pendek pada remaja
penyandang DS. Perbedaan ini kentara jika dibandingkan dengan hasil pembelajaran
membaca yang dimulai usia 5 atau 6 tahun. Hal ini dilandasi tiga alasan:
1) Pemrosesan informasi spasial visual lebih cepat daripada verbal auditory pada
penyandang DS
2) Pesan ganda (berupa lisan dan tulisan) dapat tersimpan dengan baik pada
memori bahasa anak
3) Penggunaan media tulis secara alami akan mendukung perkembangan aspek
morfosintaktik daripada penyampaian melalui media lisan

Pada individu DS kemampuan pragmatiknya tidak mengalami hambatan yang berarti.


Dalam percakapan mereka memahami fungsi pergantian giliran dan pertukaran informasi
serta menyadari adanya tindak ilokusi yang membutuhkan respon. Kelemahannya hanya
dalam mengekspresikan tindak tutur tak langsung, misalnya melaporkan kalimat penutur lain.
Namun demikian menurut Abbeduto & Keller Bell, kemampuan pragmatik yang terkait
dengan keterampilan sosial tersebut dapat ditingkatkan secara bertahap melalui program
intervensi (dalam Rondal, 2010).Kemampuan linguistik dan kognitif penyandang DS dapat
mengalami penurunan dini. Hal ini karena secara fisik dan biokimiawi proses penuaan
penyandang DS lebih cepat yaitu dimulai sejak sebelum menginjak usia 40 tahun. Riset
menunjukkan bahwa 55% penyandang DS pada usia tersebut mengalami penurunan memori
akibat demensia jenis Alzheimer (Rondal, 2010). Sebagai dampaknya mereka akan
mengalami:
a. Pemrosesan bahasa baik secara reseptif maupun ekspresif yang lebih lamban
b. Pernafasannya kurang mendukung kelancaran bicara
c. Gangguan pendengaran, tidak dapat menangkap stimuli auditori, kesulitan menyimak
bisikan maupun bercakap-cakap melalui telepon, menangkap pembicaraan di area
bising.
d. Kesulitan memahami kalimat dengan struktur sintaksis kompleks
e. Kesulitan memahami wacana
f. Makin tidak fasih, dalam bicara lebih sering muncul jeda, ragu, dan pengisi seperti:
mmm....eeer....
g. Sulit membedakan kata, sangat lama menemukan diksi yang tepat dalam memori
semantiknya.

Anda mungkin juga menyukai