Anda di halaman 1dari 2

Dorani

Biarlah ini menjadi kata terakhir, yang kupercayai, cintamu!


(Rabindranath Tagore)

Barangkali cinta memang seperti senja menjelang, seperti awal fajar yang lembut di atas teluk
yang tak bergerak dan lempang, atau seperti dongeng dan kepak burung: ada kemurnian, ada
kepercayaan, ada kekuatan.

Adalah suara-suara bergaung. “Terlepas dari gemetar, dari perpisahan yang sendu membakar,
mengapa cinta harus menjadi begitu penting?”

Kita tertegun. Di selimuti tipis oleh embun. Di bawah langit yang merah, hanya langit yang
merah. Cinta menggetarkan kita dengan seluruh cahaya.

Mereka yang saling mencintai dan terpisah jarak, hidup dalam penderitaan, seperti dihempas
ombak, bukan keputusasaan: sebab mereka tahu cinta itu ada, memanggil-manggil, pelahan-
lahan melesak ke balik cakrawala.

Apakah kamu merasa begitu?

Kalau masih ragu, aku akan menceritakan sebuah dongeng untukmu.

Dulu di India, hidup seorang gadis dengan suara merdu. Tapi hatinya serapuh gelagah.
Dorani namanya. Tak ayal, Ratu Indira dari “Negeri Di Atas Angin” memilihnya. Tak berapa
lama, ia menjadi hamba kesayangan sang ratu. Ia dianugerahi rambut hitam dan harum.

Suatu hari, saat sendirian di tepi sungai, Dorani ketok ujung rambutnya, membungkusnya
dengan selembar daun, lalu menghanyutkannya ke alir sungai yang jernih. Di ujung sungai,
seorang pangeran kebetulan melihat daun itu lewat di hadapannya. Ia mengambilnya. Dan
terkejut saat menemukan potongan rambut yang hitam, halus, dan harum di dalamnya.

Sesampainya di istana, hati sang pangeran terlontar jauh, mendung sepanjang matahari, beku.
Wajahnya muram. Sang raja pun bertanya, “Apa yang membikinmu resah?” Sang pangeran
menunjukkan rambut yang ditemukannya sambil berkata, “Ayah, aku telah jatuh cinta pada
gadis pemilik rambut ini.”

Titah raja pun keluar. Dan akhirnya sampai pada Dorani. “Ayah, aku tak keberatan menikah.
Tapi dengan satu syarat, pangeran harus bersedia membiarkanku seorang diri di malam hari,”
katanya. Dengan senang hati ayah Dorani menyampaikan perihal putrinya dan syarat yang
diminta. Raja mengabulkannya.

Awalnya pangeran bahagia. Tapi kebahagiaan itu berubah jadi keputusasaan hanya dalam
seminggu. Di waktu siang, Dorani hanya duduk membisu dan menutupi wajah dengan
tangan. Di malam hari, ia lenyap entah kemana. “Betapa malang nasibku. Aku telah berhasil
mempersunting gadis yang kucintai tapi tak kudapatkan hatinya. Sepanjang hari ia tidak mau
berkata-kata dan pergi ketika malam tiba. Tapi aku mencintainya, sungguh mencintainya,”
kata pangeran kepada tukang kebunnya.
Mendengar kesungguhan hati pangeran, pak tua itu tergerak hatinya. Ia serahkan sebuah
kantong kecil dan berkata, “Tuanku, malam nanti saat Putri hendak pergi, taburkan bubuk
ajaib ini di atas kepala. Niscaya, Tuanku dapat mengikuti Putri tanpa terlihat sedikit pun.”

Malam tiba. Dorani bergegas keluar istana. Ia mengenakan kerudung berlapis-lapis dan cadar
untuk menutupi wajahnya. Pangeran segera menaburkan bubuk itu dan berjalan mengikuti ke
mana saja Dorani melangkah. Di sebuah puri yang indah, di depan pintu gerbangnya, Dorani
melepas cadarnya. Kemudian ia masuk ke sebuah ruangan dan melepas sehelai kerudungnya.
Dan di sebuah pintu berhias permata, ia tanggalkan begitu saja kerudung terakhirnya.

Di dalam ruangan di balik pintu itu, Dorani dilayani beberapa pelayan wanita. Mereka
memandikannya, merias wajahnya, memakaikan kain bagus, memasangkan perhiasan yang
indah-indah. Selesai berpakaian, Dorani masuk ke dalam bilik yang tertutup tirai sutera. Di
sana sang ratu duduk di atas takhta beledunya. Tiba-tiba sebuah kecapi memainkan musik
dengan sendirinya. Lalu mengalunlah suara Dorani yang lembut dan merdu.

Sepanjang malam itu Dorani bernyanyi dan baru berhenti ketika subuh. Lalu satu per satu
kerudung serta cadarnya dikenakan kembali. Pangeran masih mengikutinya di belakangnya.
Sampai istana, pangeran segera membersihkan tubuhnya dan menemui Dorani yang kembali
membisu dan menutup wajah dengan tangan. “Dorani, semalam aku mimpi aneh,” katanya.
Kemudian ia menceritakan segala hal yang disaksikannya. Dorani diam. Tak mengacuhkan
suaminya. Tapi ketika pangeran memuji suaranya, Dorani terkejut. “Benarkah ia bermimpi?”

Hal itu terus berlanjut hingga malam-malam berikutnya. Dan tiap kali itu pula sang pangeran
bercerita. Suatu pagi, terusik rasa ingin tahunya, Dorani bertanya, “Benarkah yang Tuanku
kisahkan itu hanya mimpi?” Itulah pertama kali Dorani berbicara kepada pangeran. “Aku
mengikutimu Dorani,” pangeran mengaku. “Tapi mengapa?” tanya Dorani. “Karena aku amat
mencintaimu,” sahut pangeran. Mendengar itu, Dorani tersipu dan kembali bisu. Malamnya,
sebelum pergi, ia berpesan, “Jika kau sungguh cinta, tinggallah di sini untuk malam ini saja.”

Malam itu, dengan seluruh keberanian yang dikumpulkan, ia bernyanyi jauh lebih indah dari
malam-malam sebelumnya. Ratu terpesona dan menawarkan hadiah kepadanya, “Aku akan
kabulkan apa pun yang kauminta,” katanya. Dorani hanya diam sampai sang ratu mengulangi
janjinya. “Berikan kecapi itu kepada hamba, Paduka,” kata Dorani.

Betapa menyesalnya ratu akan janjinya. Lalu ia lempar kecapi itu kepada Dorani dan berkata,
“Pergi, kau tak perlu kemari lagi, sekarang kau bebas.” Setiba di istana, Dorani langsung
menghambur menemui suaminya dan bertanya, “Apakah mimpi tuanku semalam?” “Aku tak
bermimpi.” Dorani tenang. Dan sepanjang hari itu, ia tak lagi menutupi wajahnya, ia sesekali
memandang lembut suaminya. “Dorani, maukah kau tinggal bersamaku selamanya?” kata
pangeran. Dorani menjawab dengan agak gemetar, “Ya... ya, Tuanku. Hamba tak akan pergi
lagi dari sisi Tuanku untuk selamanya.”

Itulah kisahnya. Dan bersama dirimu aku akan menjadi langit yang merah...

Dan cinta, barangkali seperti sajak Tagore lainnya ini, “seperti keheningan pagi yang cerah di
atas ladang sunyi.”[]

Anda mungkin juga menyukai