Keluarga yang Kritis, Kreatif dan Bahagia (Amsal 3: 11-20)
Berbicara mengenai penginjilan/pemuridan sering sekali kita memaknainya dengan
pelayanan missioner yaitu memuridkan orang diluar gereja yang belum mengenal Kristus, pergi ke wilayah pedalaman lalu membuat pos-pos PI ditempat tersebut. Itu semua benar namun sering kali kita lupa bahwa target penginjilan atau pemuridan yang pertama kali adalah keluarga terkhususnya anak-anak kita. Anak-anak kita sering luput dari pemuridan. Maka jangan kaget jika suatu kali nanti beberapa dari kita ada yang mengeluh, “anak saya sekarang tidak beribadah ke gereja lagi, anak saya terjebak pergaulan bebas, anak saya ikut member gang motor, anak saya adalah anak yang pemalas, dsb” Seorang psikolog bernama James Fawler, pernah berkata bahwa anak seperti kertas putih ia selalu meniru apa yang dikatakan oleh orang- orang terdekatnya. Perilaku anak adalah cermin bagaimana seorang orang tua mendidik anaknya. Alkitab berbicara apa mengenai mendidik anak? Pertama Keluarga yang berhasil mendidik anaknya adalah keluarga yang mengajar anaknya mendengar didikan Tuhan, takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat, hikmat adalah hal membuat manusia mengerti mengapa ia dilahirkan, lewat hikmat juga manusia mengerti bahwa ia berharga. Disinilah poinnya ketika seseorang mengerti ia bahwa dirinya adalah berharga, ia tidak akan asal-asalan hidup. Ia juga tidak akan memutuskan/memilih segala sesuatu juga secara asal-asalan, begitu juga bertindak bahkan ketika ia memilih cita-citanya. Apalagi Tuhan lebih mengerti keberhargaan kita, lebih dari penghargaan kita pada diri sendiri. Anak akan menjadi lebih kritis dsb jika mengerti hal ini. Seperti ada tertulis “Cari dahulu Kerjaan Allah dan Kebenarannya maka semua akan ditambahkan kepadamu.” Kedua mempersilahkan Tuhan mengajar bukan berarti mempasrahkannya secara 100% kepada Tuhan itu adalah hal yang salah kaprah. Ini juga sering kali disalah pahami. Tradisi Yahudi mendidik anak mereka dari siang dan malam. Mereka juga mempunyai cara-cara yang kreatif mereka mengajarkan anaknya belajar menulis dan membaca dengan cara membaca dan menulis ulang kitab amsal. disaat tidur mereka juga mendaraskan(menyanyikan) amsal sebagai nyayian tidur anak-anak mereka. Keluarga sangat berperan aktif-kreatif disini. Ketiga mengajar anak adalah sebuah spiritualitas ketika kita mengerti ini kita akan selalu dikuatkan bahkan ketika ada rasa bosan, capek, menyerah dsb itu semua tidak akan menghalangi kita untuk mendidik anak kita. izinkan saya mengutip apa yang telah ditulis oleh Dorothy Law Nolte mengenai spiritulitas mengajar anak-anak: Jika anak dibesarkan dengan Celaan, maka ia belajar Memaki. dengan Permusuhan, maka ia belajar Berkelahi. Dengan Ketakutan, maka ia belajar Gelisah. Dengan Rasa Iba, maka ia belajar Menyesali Diri. Jika anak dibesarkan dengan Olok-Olok, maka ia belajar Rendah Diri. dengan Iri Hati, maka ia belajar Kedengkian. dengan Dorongan, maka ia belajar Percaya Diri. Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, maka ia belajar Menahan Diri. dengan Pujian, maka ia belajar Menghargai. dengan Penerimaan, maka ia belajar Mencintai. Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, maka ia belajar Menyenangi Diri. dengan Pengakuan, maka ia belajar Mengenali Tujuan. dengan Berbagi, maka ia belajar Kedermawanan. Jika anak dibesarkan dengan Rasa Kejujuran dan Keterbukaan, maka ia belajar Kebenaran dan Keadilan. dengan Rasa Aman, maka ia belajar Menaruh Kepercayaan. dengan Persahabatan, maka ia belajar Menemukan Cinta dalam Hidup. dengan Ketentraman, maka ia belajar Berdamai dengan Pikiran. Tuhan Yesus Memberkati