Anda di halaman 1dari 77

Tugas Mata Kuliah:

EKOLOGI PANGAN DAN GIZI


(Dosen: Ir. Laksmi Widajanti, M.Si.)
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI PANGAN DAN GIZI
Oleh: ARDA DINATA
NIM. E2A309018

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, kita tidak akan terlepas dari masalah pangan dan gizi.
Sebab, pangan ini menjadi salah satu syarat pokok keberlangsungan hidup, di samping udara
(oksigen). Ada empat fungsi pokok dari pangan (makanan) ini bagi kehidupan manusia. (1)
Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh
yang rusak. (2) Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari. (3) Mengatur
metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh lainnya. (4) Berperan di
Dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Terkait dengan pangan dan gizi ini, ada beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
dari status pangan dan gizi suatu masyarakat, yaitu: Pertama, lingkungan fisik dan biologi.
Kondisi fisik dan biologi dapat mempengaruhi terhadap status pangan dan gizi suatu daerah.
Contoh lingkungan fisik ini meliputi: kondisi tanah, sistem cocok tanam, kondisi tanaman dan
ternak, serta kesehatan lingkungannya. Sementara itu, yang termasuk lingkungan biologi,
misalnya adanya rekayasa genetika terhadap tanaman dan produk pangan. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap kondisi pangan dan gizi.

Kedua, tingkat pendidikan dan kesehatan. Faktor pendidikan dan kesehatan ini memberikan
andil dalam pola pikir dan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi dan menyediakan bahan
pangan untuk kehidupan manusia sehari-hari.

Ketiga, lingkungan politik. Kondisi politik yang tidak menentu (kacau) di suatu daerah atau
negara sangat menentukan terhadap ketersediaan pangan dan kualitas gizi pangan yang
dihasilkan di suatu daerah/negara. Hal ini disebabkan masyarakat tidak bebas dalam melakukan
produksi pangan dan memperhatikan nilai gizinya.

Keempat, lingkungan ekonomi. Artinya kondisi ekonomi seseorang sangat menentukan dalam
penyediaan pangan dan kualitas gizi makanan yang dikonsumsinya. Kondisi ekonomi ini, bisa
meliputi tentang tingkat penghasilan, pekerjaan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan dalam
keluarga, dll.

Kelima, lingkungan budaya. Budaya suatu daerah sangat menentukan terhadap produksi pangan
dan cara pengolahan makanannya. Tiap daerah itu memiliki kekhasan dalam budidaya pangan,
sehingga kondisi budaya daerah ini akan mempengaruhi masalah pangan dan gizi di daerah
tersebut.

Keenam, lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sosial ini berkaitan dengan kondisi ekonomi di
suatu daerah. Artinya lingkungan sosial yang terdiri dari proporsi penduduk, keadaan lingkungan
tempat tinggal, dan perilaku sosial ini, tentu sangat menentukan pola konsumsi pangan dan gizi
yang dilakukan anggota masyarakatnya. Misalnya antara daerah perkotaan dan pedesaan, daerah
perumahan dan daerah kumuh, tentu pola konsumsi pangan dan gizinya akan berbeda-beda.

Akhirnya, malnutrisi ini merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik,
biologis dan lingkungan budaya masyarakatnya. Jumlah makanan yang tersedia sangat
tergantung dari keadaan ekologi seperti: iklim, tanah, irigasi dll. Sehingga pengukuran faktor
ekologi ini penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di masyarakat sebagai dasar
melakukan program intervensi gizi.***
Sumber Bacaan:

Atmarita, Tatang S. Fallah (2004). Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.

Azwar, Asrul (2004). Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.
Makalah pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar
Gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004.

Hadi, Hamam (2005). Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan
Pembangunan Kesehatan Nasional: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 5 Februari 2005.

Supariasa. et.al. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit EGC.

Notoatmodjo, Soekidjo (1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta.

Posted in Kesehatan Masyarakat, Serba Serbi


-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Status Gizi

Posted on November 9, 2012 by evanjh

PENGERTIAN STATUS GIZI

• Status Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk tertentu atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variable tertentu. Contoh: Gondok merupakan keadaan tidak
seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa. IDN, 2002: 18).

• Status Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu dalam
suatu variabel (Hadi, 2002).

• Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi
yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya (Gibson, 1990).

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI


• Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang adalah lingkungan fisik,
biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Achmadi, 2009).

1. Kondisi fisik yang dapat mempengaruhi terhadap status pangan dan gizi suatu daerah adalah
cuaca, iklim, kondisi tanah, sistem bercocok tanam, dan kesehatan lingkungan.

2. Faktor lingkungan biologi misalnya adanya rekayasa genetika terhadap tanaman dan produk
pangan. Kondisi ini berpengaruh terhadap pangan dan gizi. Selain itu adanya interaksi sinergis
antara malnutrisi dengan penyakit infeksi yaitu infeksi akan mempengaruhi status gizi dan
mempercepat malnutrisi.

3. Lingkungan ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang sangat menentukan dalam penyediaan


pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian seseorang baik maka status gizinya akan
baik. Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan
golongan menengah ke atas.

4. Faktor lingkungan budaya. Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat
pantangan, takhayul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi
rendah. Di samping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu
banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga.

5. Lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi ekonomi di suatu
daerah dan menentukan pola konsumsi pangan dan gizi yang dilakukan oleh masyarakat.
Misalnya kondisi sosial di pedesaan dan perkotaan yang memiliki pola konsumsi pangan dan gizi
yang berbeda. Selain status gizi juga dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, ketegangan dan
tekanan sosial dalam masyarakat.

6. Lingkungan politik. Ideologi politik suatu negara akan mempengaruhi kebijakan dalam hal
produksi, distribusi, dan ketersediaan pangan

Jurusan Kesehatan Masyarakat


Design by Mustamar Natsir Proudly powered by WordPress.
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI,
KETERSEDIAAN DAN PRODUKSI PANGAN

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata
atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host
yang lain (Soemirat, 2005). Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan
lain-lain. Di samping itu, budaya juga berpengaruh seperti kebiasaan memasak, prioritas
makanan dalam keluarga, distribusi dan pantangan makan bagi golongan rawan gizi (Supariasa,
2002).
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi persediaan pangan dan asupan gizi seseorang
adalah lingkungan fisik, biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Achmadi, 2009).
Pertama, kondisi fisik yang dapat mempengaruhi terhadap status pangan dan gizi suatu daerah
adalah cuaca, iklim, kondisi tanah, sistem bercocok tanam, dan kesehatan lingkungan
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2005). Kedua, faktor lingkungan biologi misalnya
adanya rekayasa genetika terhadap tanaman dan produk pangan. Kondisi ini berpengaruh
terhadap pangan dan gizi. Selain itu adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi yaitu infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi (Anonim,
2009). Ketiga, lingkungan ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang sangat menentukan dalam
penyediaan pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian seseorang baik maka status
gizinya akan baik. Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang
dibandingkan golongan menengah ke atas. Keempat, faktor lingkungan budaya. Dalam hal sikap
terhadap makanan, masih banyak terdapat pantangan, takhayul, tabu dalam masyarakat yang
menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah. Di samping itu jarak kelahiran anak yang
terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam
keluarga. Kelima, lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi
ekonomi di suatu daerah dan menentukan pola konsumsi pangan dan gizi yang dilakukan oleh
masyarakat. Misalnya kondisi sosial di pedesaan dan perkotaan yang memiliki pola konsumsi
pangan dan gizi yang berbeda. Selain status gizi juga dipengaruhi oleh kepadatan penduduk,
ketegangan dan tekanan sosial dalam masyarakat. Keenam, lingkungan politik. Ideologi politik
suatu negara akan mempengaruhi kebijakan dalam hal produksi, distribusi, dan ketersediaan
pangan (Supariasa, 2002).

Dengan demikian faktor lingkungan mempengaruhi persediaan pangan dan asupan zat-zat gizi.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di
suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Supariasa, 2002).

Daftar pustaka:

Achmadi. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi.


http://www.rajawana.com/component/content/article/32-health/334-2-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-status-gizi.pdf Diakses pada tanggal 28 Oktober 2009.
Anonim. 2009. Gizi dan Kesehatan Keluarga.
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=179 Diakses pada
tanggal 28 Oktober 2009.
Departemen Gizi dan KesMasy. 2007. Gizi dan kesehatan Masyarakat. Jakarta: Grafindo.
Supariasa, et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soemirat, Juli. 2005. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: GMU Press.
Sebelumnya: KoMet (Komentar kamu tentang..); SiSTem BLOG Angkatan 2007 FKM Undip
Lingkungan dan Status Gizi
KOMPONEN LINGKUNGAN (BIOLOGIS, FISIK, SOSIAL BUDAYA, EKONOMI DAN
POLITIK)
YANG BERPENGARUH PADA STATUS GIZI

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Secara garis besar faktor
lingkungan dapat dibagi menjadi dua yaitu lingkungan pranatal dan pascanatal. Faktor
lingkungan pranatal adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi status gizi seseorang saat
masih dalam kandungan. Faktor lingkungan pascanatal adalah faktor lingkungan yang
mempengaruhi status gizi seseorang setelah lahir. Dalam tulisan ini yang akan dibahas lebih
lanjut adalah tentang faktor lingkungan pascanatal.
Faktor lingkungan pascanatal yang berpengaruh terhadap status gizi seseorang yaitu
lingkungan biologis, fisik, sosial budaya, ekonomi, politik. Faktor biologis yang berpengaruh
adalah tumbuhan hijau, tumbuhan tak hijau, parasit, manusia, binatang, ras, jenis kelamin, umur,
gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme
yang saling terkait satu dengan yang lain. Tumbuhan hijau contohnya adalah sayuran, buah-
buahan, dan sebagainya. Dan tumbuhan hijau tersebut akan mempengaruhi asupan gizi pada
seseorang.
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang adalah cuaca, keadaan
geografis, sanitasi lingkungan, keadaan rumah dan radiasi. Cuaca dan keadaan geografis
berkaitan erat dengan pertanian dan kandungan unsur mineral dalam tanah. Daerah kekeringan
atau musim kemarau yang panjang menyebabkan kegagalan panen sehingga persediaan pangan
di tingkat rumah tangga menurun yang berakibat pada asupan gizi keluarga rendah. Kondisi
geografis yang berkapur di daerah pegunungan dan daerah lahar dapat menyebabkan kandungan
yodium dalam tanah sangat rendah sehingga menyebabkan GAKI.
Faktor sosial budaya yang mempengaruhi gizi seseorang misalnya pada faktor
kepercayaan. Lingkungan masyarakat desa yang miskin cenderung memberikan makanan
tambahan pada balita setelah jangka waktu lebih lama daripada seharusnya karena mereka
mempercayai bahwa dengan pemberian ASI saja sudah cukup. Selain itu ada beberapa faktor lain
yaitu, ketidaktahuan hubungan antara makanan dan kesehatan dimana seseorang hanya makan
seadanya asal kenyang, prasangka buruk pada beberapa makanan bergizi tinggi, ada kebiasaan
yang merugikan atau pantangan pada makanan tertentu, kesukaan yang berlebihan satu jenis
makanan sehingga menyebabkan asupan gizi kurang bervariasi.
Faktor ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Tingkat pendapatan
seseorang akan mempengaruhi sumber pangan yang dikonsumsinya. Hal itu berakibat pada
masukan zat gizi yang selanjutnya berpengaruh pada status gizi orang tersebut. Status sosial
ekonomi akan mempengaruhi praktik kesehatan dan sanitasi lingkungan masyarakat. Dimana hal
tersebut memiliki andil dalam perkembangan penyakit di masyarakat. Adanya penyakit atau
infeksi pada masyarakat juga akan mempengaruhi status gizi masyarakat. Misalnya, jika
masyarakat terkena cacingan akan menyebabkan anemia.
Faktor politik yang ikut berkontribusi dalam status gizi masyarakat misalnya adalah
pergantian kebijakan tentang pengadaan tambahan makanan bergizi pada sekolah-sekolah yang
semula ada menjadi ditiadakan karena pergantian pemimpin. Zat gizi yang semula dipenuhi dari
tambahan makanan bergizi menjadi tidak dipengaruhi lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Moehji, Syahmien. 1982. Ilmu Gizi Jilid 1. Baratara Karya Aksara: Jakarta.
Soekirman dan Fasli Jalal. 1990. Pemanfaatan Antropometri Sebagai Indikator Sosial
Ekonomi.Gizi Indonesia, Journal of The Indonesia Nutrition Association Vol.XV Nomor 2.
Jakarta.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. EGC: Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC: Jakarta.
Winarno, FG. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta.
Hati-hati Mengembangkan Tanaman Rekayasa Genetik

Sejumlah benih produk rekayasa genetik (PRG) harus menunggu izin keamanan hayati
untuk dibudidayakan.

(Thinkstockphoto)

Rekayasa genetika menjadi salah satu terobosan teknologi penting dalam meningkatkan produksi
pangan. Hal ini disoroti pada sebuah diskusi ahli terbatas mengenai budidaya pangan transgenik
di Redaksi Kompas, 24 Oktober lalu.

Perkembangan teknologi transgenik ini dimulai sejak 1953 ketika ditemukan makhluk hidup
memiliki asam deoksiribonukleat (DNA). Tahun 1973 ditemukan cara mengisolasi gen itu dan
pada 1980-an dirintis teknik memindahkan gen pembawa sifat tertentu dari satu makhluk hidup
ke makhluk hidup lain.

Indonesia merupakan negara yang memiliki salah satu biodiversitas terkaya di dunia. Sayangnya,
upaya petani turun-temurun untuk mengonservasi kekayaan genetik lokal tanaman pertanian,
masih kurang difasilitasi dan dilindungi pemerintah.

Sekarang misalnya, Kementerian Pertanian baru akan mendirikan bank gen bagi gen tanaman
unggul produk rekayasa genetik (PRG). Pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
berupaya terus meningkatkan penguasaan teknologi, tapi penghargaan peneliti belum memadai
sejauh ini.

Pengalaman budidaya kapas transgenik di Sulawesi Selatan tahun 2000 yang gagal dan terhenti
pun, diakibatkan ketidaksiapan kelembagaan sebagai salah satu faktor. Dalam kasus budidaya
kapas ini, ketika sosialisasi kapas PRG sudah berjalan di antara para petani, terjadi
ketergantungan benih kepada perusahaan multinasional penyedia benih alias di luar jangkauan
petani.

Oleh karena itulah pemerintah diharapkan menjadi regulator yang kokoh, independen, dan
berdaya dalam pengembangan teknologi produk-produk transgenik.

Di samping itu disebutkan, dimensi keamanan hayati pun sangat esensial, menyangkut syarat
utama keamanan pangan, keragaman hayati, dan pencemaran gen.

Sejumlah benih PRG harus menunggu izin keamanan hayati untuk dibudidayakan. Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan bahwa pangan olahan yang sebagian
besar berbahan baku PRG harus menyatakan pada label.
(Gloria Samantha. Sumber: Kompas)
Rekayasa Genetika Tanaman Pangan Harus Efektif

Margaret Puspitarini
Selasa, 10 Juli 2012 18:04 wib

Ilustrasi : ist.
JAKARTA - Saat ini, rekayasa genetika kerap dilakukan untuk menghasilkan bibit unggul di
berbagai bidang, baik pertanian maupun kelautan. Namun, upaya penggunaan tanaman hasil
rekayasa genetika untuk mendukung terwujudnya kedaulatan pangan harus dibarengi dengan
hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang efektif serta efisien.

“Hal ini untuk meminimalisasi polemik tentang penggunaan tanaman hasil transgenik di tengah
masyarakat. Jangan sampai energi kita habis karena polemik tersebut. Kajian pemanfaatan
tanaman hasil rekayasa genetika untuk menjawab berbagai kendala produksi di lapang perlu
segera dilakukan secara terkoordinasi,” kata Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry
Suhardiyanto dalam acara Temu Pakar Biokteknologi 2012 di IPB International Convention
Center, seperti dilansir dari siaran pers yang diterima Okezone, Selasa (10/7/2012).

Kegiatan yang mengangkat tema “Tanaman Hasil Rekayasa Genetika Versus Tantangan
Ketahanan Pangan” ini diselenggarakan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian IPB dan didukung Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB. Selama ini kajian
pemanfaatan masih dilakukan masing-masing lembaga penelitian sehingga kurang terintegrasi.

Di masa mendatang, lanjut Rektor, bioteknologi terutama rekayasa genetik diharapkan


memberikan kontribusi nyata dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
“Seluruh komponen bangsa Indonesia harus memikirkan kedaulatan pangan demi masa depan
bangsa. Peran praktisi dan peneliti bioteknologi sangat strategis dalam membantu mewujudkan
kedaulatan pangan khususnya berkaitan riset, pengembangan, dan penggunaan tanaman hasil
rekayasa genetika serta produk bioteknologi lainnya di Indonesia,” ujarnya menambahkan.

Selain itu, kewajiban para peneliti bioteknologi pula memberikan sosialisasi mengenai keamanan
produk bioteknologi kepada masyarakat. Hal senada juga disampaikan Ketua Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB, Agus Purwito. Menurut Agus, masalah penyediaan pangan
akhir-akhir ini menjadi isu yang semakin penting seiring semakin tingginya laju konversi lahan
pertanian tanaman pangan menjadi lahan non pertanian,degradasi sumberdaya lahan,
produktivitas yang mulai levelling off dan perubahan iklim global yang berdampak negatif
terhadap produksi pangan.
Agus menyebut, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja produksi
pangan, di antaranya, peningkatkan penggunaan teknologi baru, perakitan varietas baru,
perbaikan sarana prasarana produksi, menekan laju konversi, dan mencetak lahan pangan baru.

“Tidak kalah penting adalah peningkatkan produksi melalui bioteknologi. Kami berharap, dari
Temu Pakar Bioteknologi 2012 ini dirumuskan langkah bersama di masa depan. Tentunya,
partisipasi aktif stakeholder di Indonesia sangat diharapkan dalam kegiatan ini,” tutur Agus.

Kegiatan yang dihadiri 250 peserta dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi dan
perusahaan multinasional ini juga menggelar pameran poster hasil-hasil penelitian rekayasa
genetika tanaman dan bioteknologi pada umumnya.(mrg)(rhs)
TEMU PAKAR BIOTEKNOLOGI 2012: Tanaman Hasil Rekayasa Genetik versus
Tantangan Ketahanan Pangan

Ditulis dalam Berita, Institusi, Pertemuan Ilmiah | Oleh Toto Hadiarto | 19/07/2012

TEMU PAKAR BIOTEKNOLOGI 2012: Tanaman Hasil Rekayasa Genetik versus Tantangan
Ketahanan Pangan

Acara ini diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor diadakan pada 10 Juli 2012 dan dihadiri
oleh beberapa pakar bioteknologi baik dari Indonesia maupun dari luar negeri termasuk Roger N.
Beachy PhD yang bekerja di Donald Danforth Plant Science Center, St. Louis, MO, USA.
Sebagai pembicara pertama, Dr. Roger membahas mengenai perkembangan tanaman
bioteknologi di level internasional. Selain itu, Dr. Roger juga membahas mengenai kontribusi
dari manipulasi genetik pada ketahanan pangan dunia dan teknologi small RNA yang sudah
diaplikasikan untuk melawan mozaic virus di Brazil.

Tema The role of Indonesian Biotechnology Information Centre to Support Biotechnology


Application in Indonesia dibahas oleh pembicara kedua, Bambang Purwantara. Pada tema ini
dibahas secara detail mengenai status global dari aplikasi bioteknologi pertanian. 1996-2011:
terjadi peningkatan penanaman tanaman transgenik dan 29 negara bioteknologi termasuk USA,
Brazil, Argentina, India, Canada, China, Paraguay, Pakistan, South Agrica, Uruguay, Australia
namun tidak termasuk Indonesia. Organisme hasil rekayasa genetik meliputi: hewan, tanaman
dan mikroba yang memiliki genom yang sudah dimodifikasi melalui rekayasa genetik. Aplikasi
penelitian dan pengembangan di Indonesia: kentang dengan ketahanan terhadap hawar daun,
tebu yang tahan terhadap kekeringan, jagung tahan Bt dan herbisida. Sebagai tambahan, dibahas
juga regulasi dan regulatori di Indonesia termasuk Cartagena protocol.

Bambang Sugiharto adalah pembicara ketiga yang menyampaikan Development of biotechnology


to increase sucrose accumulation in sugarcane. Tebu yang digunakan sebagai sumber tanaman
memiliki banyak keuntungan karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. 100
ton tebu dapat menghasilkan: 10 ton sukrosa, 4 ton molase, 3 ton filter mud, 30 ton bagasse dan
1500kw listrik dari bagasse. Tebu juga merupakan tanaman C4 yang mudah beradaptasi di
lingkungan tropik. Penelitiannya melibatkan overexpresi gen SoSPS1 pada tembakau dan tomat
untuk melihat fungsi dari produk gen tersebut. Sucrose transporter proteins (SUT) juga memiliki
pengaruh penting dalam mekanisme penimbunan sukrosa/gula. Overexpresi dari SoSPS1 dan
SoSUT1 di tomat menyebabkan peningkatan kemanisan buah. Expresi ganda pada kedua gen ini
dapat meningkatkan produksi, tinggi dan berat tanaman secara keseluruhan.

Materi Plant Genetic Engineering Research: as thesis/disertation research topics for IPB
graduate students dibawakan oleh Dr. Sudarsono. Gambaran posisi bioteknologi dengan
traditional biotek menggunakan fermentasi, kultur jaringan, molekular marker membutuhkan
biaya dan waktu yang lebih tinggi. Problem yang dihadapi pada pertanian adalah: leveling off
pada beberapa komoditas karena percobaan perbaikan tanaman tidak dapat menghasilkan produk
yang lebih baik. Sehingga diperlukan teknologi yang mengeliminir kendala-kendala yang dapat
menghambat peningkatan hasil. Teknologi tersebut adalah rekayasa genetik. Tiga komponen
kunci rekayasa genetik: gen, transformasi genetik, ekspresi transgen.

Buang Abdullah membahas mengenai Peran produk rekayasa genetik dalam pemuliaan tanaman.
Keberhasilan pemuliaan terdapat pada variabilitas gen dan metode pemuliaan. Uji fasilitas
terbatas dilakukan pada golden rice. Uji kesepadanan golden rice menunjukkan belum ada
kesepadanan dan masih perlu diseleksi lagi.

Muhammad Herman membahas mengenai Status terkini penelitian perakitan kentang PRG tahan
penyakit hawar daun. Penyakit hawar daun adalah penyakit utama pada tanaman kentang yang
bisa menyebabkan kehilangan hasil dari 80 hingga 100%. Untuk menurunkan kemungkinan
gagal panen, penyemprotan fungisida dilakukan antara 20-30 kali per musim tanam.
Penyemprotan dapat dihemat bila ada varietas yang tahan terhadap hawar daun. Uji ketahanan
tetua, skrining ketahanan dan studi karakter hortikultura. Out-reach communication dilakukan
sebagai bagian dari pemberian pemahaman kepada masyarakat mengenai produk bioteknologi
ini.
Andreas Santos membahas mengenai penelitia Tebu transgenik di IPB untuk penghematan
pupuk. Pemupukan p sebagai salah satu faktor penting dalam penanaman tebu. Penurunan dosis
pemupukan P secara nyata mempengaruhi produksi gula. Seluruh pupuk P diimpor dari luar
negeri. Dalam struktur biaya di perkebunan tebu, pupuk memerlukan biaya sebesar 50% dari
total biaya. Gen fitasedimanfaatkan pada penelitian ini untuk tujuan penghematan pupuk.

Satya Nugroho membahas Pengembangan padi tahan penggerek batang dan padi toleran stres
abiotik melalui rekayasa genetika. Penggerek batang sebagai salah satu penyakit terpenting pada
padi karena perkembangannya yang sangat cepat dan dapat menyerang padi sejak di persemaian
sampai masa panen. Pengendalian denga insektisida kimiawi. Gen cryI spesifik mempengaruhi
lepidoptera (penggerek batang) dimanfaatkan untuk merakit tanaman padi tahan penggerek
batang.
Kedelai Transgenik Yang Unik

Panganan kedelai transgenik bebas beredar di pasaran Indonesia. Bukan karena rasanya yang
enak atau murahnya, namun ketiadaan peraturan dan petunjuk teknis dianggap sebagai legitimasi
beredarnya produk ini. Meski tanpa adanya tekanan dari para petani lokal.

Adalah Indonesia, yang selama ini menjadi negara konsumen pangan hasil rekayasa genetika ini.
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 2001,
2002, dan 2005, terhadap beberapa produk diantaranya panganan yang selama ini merupakan
menu kegemaran para konsumen warteg alias 'warung tegal', tahu dan tempe. Dari kedua
panganan itu ditemukan kandungan kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetika.

"Dikhawatirkan, jangan-jangan kedelai itu membuat konsumen keracunan dan gatal-gatal karena
sudah disisipi gen bakteri dalam inti selnya. Alergi timbul karena ada protein baru yang
terbentuk dalam biji kedelai transgenik. Protein baru ini masih asing bagi konsumen protein
kedelai biasa," jelas Ilyani S. Andang, peneliti dari Departemen Riset YLKI.

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk
rekayasa genetika, disebutkan sebelum produk beredar, perlu diberlakukan pengkajian resiko dan
pengujian terlebih dahulu. Yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan
hayati. Untuk proses itu, peraturan pemerintah tadi juga sudah menunjuk Tim Teknis Keamanan
Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga produk rekayasa
genetika bebas beredar di pasaran.

“Disini seharusnya dibentuk Komisi Keamanan Hayati dan Pangan, Balai Kliring dan tim
Teknis. Yang ada baru Balai Kliringnya. Sampai sekarang belum ada kelanjutannya,” kata Ilyani
S. Andang.

Pangan yang mengandung materi rekayasa genetika menurut hasil penelitian YLKI adalah
produk pangan impor seperti jagung, kedelai, dan kentang olahan. “Kebanyakan kedelai
transgenik datang dari Amerika yang menguasai 60 persen pasar kedelai dunia. Sedangkan
kebutuhan kedelai kita 70 persennya tergantung dari impor,” ujar Ilyani.

Umumnya kedelai lokal mudah dibedakan secara fisik dengan kedelai impor hasil rekayasa
genetika. Kedelai transgenik yang beredar umumnya adalah jenis roundup ready yang besar-
besar dan bagus butirannya. Sedangkan kedelai lokal umunya kecil-kecil. Namun jika sudah
becampur menjadi produk olahan seperti tahu, tempe dan kecap, tanpa analisis laboratoroum
sulit untuk diketahui apakah produk transgenik atau tidak.

Prosedur pengamanan yang juga penting adalah pelabelan. Sampai saat ini belum ada aturan
bagaimana sistem dan prosedur pelabelan untuk pangan transgenic. “Misal kalau di luar negeri,
materi transgenik dibawah 1 persen tidak perlu label, tapi kalau diatas 5 persen perlu. Sampai
sekarang belum ada standar untuk ini,” ungkap Ilyani.

Produk transgenik yang sebagian besar impor ini bahkan saat kini telah bercampur dengan
produk lokal sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan. Lagi-lagi melanggar PP No. 69/1999
tentang Label dan Iklan Pangan yang mengharuskan produk transgenik diberi label sebelum
diedarkan.

Apa Itu Kedelai Transgenik

Kedelai transgenik merupakan tanaman yang merupakan hasil dari proses rekayasa genetika.
Sebuah proses yang dipakai dalam dunia kedokteran untuk mendapatkan bentuk-bentuk baru
yang lebih bernilai dapat dengan mudah dimaksudkan, meskipun rekayasa yang dilakukan adalah
rekayasa populasi (melalui seleksi).

Pada tanaman transgenik, hasil rekayasa genetika dibuat untuk beberapa tujuan yaitu :
pengembangan teknik transformasi baru, studi dasar mengenai peranan atau fungsi suatu gen,
dan perbaikan tanaman untuk tujuan khusus. Dengan rekayasa genetika sudah dihasilkan
tanaman transgenik yang memiliki sifat baru seperti tanaman transgenik yang tahan terhadap
hama, tanaman kedelai yang tahan terhadap herbisida dan tanaman transgenik yang mempunyai
kualitas hasil yang tinggi.

Tanaman transgenik direkayasa pertama kali pada tahun 1980-an, yakni melalui proses
mentransfer gen b–faseolin dari kacang-kacangan ke kromosom bunga matahari. Dalam rekayasa
genetika untuk bibit pangan nabati telah berkembang dengan luas begitu pula produk rekayasa
genetika pada hewan misalnya produksi hormon untuk meningkatan kuantitas maupun kualitas
dari pangan hewani.

Dengan adanya produk-produk rekayasa genetika tersebut dapat dikatakan bahwa produk
rekayasa genetika khususnya bahan pangan mengintroduksi unsur toksis, bahan-bahan asing dan
berbagai sifat yang belum dapat dipastikan dan berbagai karakteristik lainnya. Oleh karena itu
muncullah berbagai kekhawatiran dalam menggunakan dan mengkonsumsi bahan pangan
transgenik.

Dampak Kesehatan

Ada kekhawatiran apabila manusia memakan organisme khususnya tanaman transgenik yang
mengandung gen Bt-endotoxin akan mati karena keracunan. Kekhawatiran tersebut didasari oleh
sifat beracun dari gen Bt terhadap serangga, karena serangga yang memakan tanaman
transgeniktersebut akan mati akibat racun gen Bt.

Kekhawatiran lain dari tanaman hasil rekayasa genetik adalah sebagai penyebab alergi. Satu
sampai dua persen orang dewasa dan 4 - 6% anak-anak menderita alergi akibat makanan.
Beberapa komoditas yang digunakan sebagai bahan makanan diketahui dan dikenal sebagai
sumber bahan penyebab alergi (allergen) seperti brazil nut, crustacean, gandum, ikan, kacang
tanah, kedelai dan padi.

Jadi berbahaya atau tidak tanaman transgenik itu dikonsumsi ?

Jika produk rekayasa itu dilakukan dengan memasukkan prinsip-prinsip etika moral maka
tanaman transgenik tersebut tidak berbahaya bagi konsumen. Sebagai contoh, di Indonesia pada
awal tahun 2001 dihebohkan dengan kasus penyedap rasa (monosodium glutamat) yang
diproduksi dengan menggunakan enzim yang diisolasi dari gen babi, yang haram hukumnya bagi
mereka yang menganut agama Islam. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kekhawatiran yang
berdampak negatif mengkonsumsi bahan transgenik terhadap gangguan etis dan agama.

Dalam perkembangannya di Indonesia, sampai saat ini belum ada laporan ilmiah yang
membuktikan bahwa mengkonsumsi pangan transgenik menyebabkan gangguan kesehatan.
Selain reaksi alergis (hal inipun gen dan produknya telah ditarik dari persedaran) maka dapat
dikatakan pada saat ini pangan transgenik belum berbahaya bagi kesehatan.

Di luar negeri telah dikeluarkan petunjuk dan rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan
pangan. Misalnya di Amerika Serikat keamanan pangan termasuk produk rekayasa genetika
ditangani oleh suatu badan yaitu Food and Drug Administration (FDA) . Badan ini membuat
pedoman keamanan pangan yang bertujuan untuk memberikan kepastian bahwa produk baru
(termasuk yang berasal dari hasil rekayasa genetika) sebelum dikomersialkan produk tersebut
harus aman untuk dikonsumsi dan masalah keamanan pangan harus dukendalikan dengan baik.
FDA akan melakukan telaah ulang terhadap produk asal tanaman transgenik apabila terdapat
pengeluhan atau pengaduan dari publik yang disertai dengan data yang bersifat ilmiah. Gen yang
ditransfer pada tanaman menghasilkan tanaman transgenik oleh FDA disepadankan dengan food
additive yang dievaluasi secara substansi sepadan.

Apabila bahan pangan baru diketahui secara substansial sepadan dengan bahan pangan yang
telah ada, maka ketentuan keamanan bahan pangan tersebut sama dengan ketentuan bahan
pangan aslinya. Kesepadanan substansial ditentukan berdasarkan : sifat fenotipik, Karekteristik
molekuler, analisis kandungan nutrisi, sifat potensial toksisitas dan non-toksisitas, sifat alergen
dan non-alergen, penggunaan kategori generaly regarded as save (GRAS) dan tidak melakukan
pelabelan bahan pangan yang berasal dari tanaman transgenik.(Her/Ijs)
Supreme Master TV: Pemirsa penuh wawasan, selamat datang di acara Hidup Sehat minggu
ini, dimana kami akan membahas efek berbahaya dari organisme rekayasa genetika (GMO)
dalam pasokan makanan kita. GMO di produksi dengan memindahkan gen dari satu spesies ke
kode genetik lainnya. Makanan GM belum pernah terbukti aman secara ilmiah. Sadar akan
bahayanya, beberapa negara telah melarang semua tanaman GMO, terutama Swiss dan Bulgaria.
Diseluruh Eropa ada oposisi konsumen yang luas pada produk GMO. Di Jepang, makanan yang
direkayasa secara genetik tidak ditanam secara komersial. Di India, pemerintah nasional
melarang penanaman terong GM pada tahun 2010 setelah menteri lingkungan menyimpulkan
ada kurangnya data yang menunjukkan bahwa tanamannya aman untuk konsumsi manusia atau
lingkungan Untuk tahu lebih lanjut tentang proses yang secara inheren berbahaya dari
memproduksi GMO, pertama-tama mari dengar dari Jeffrey M. Smith, seorang ahli dalam
bidang tersebut dan juga pendiri dari Institut untuk Teknologi Bertanggungjawab yang ada di AS
yang memberitahukan para pembuat kebijakan dan publik tentang risiko dari makanan yang
direkayasa secara genetik.
Jeffrey Smith: Anda mengambil suatu gen; katakanlah Anda ingin membuat tanaman jagung
yang memproduksi pestisidanya sendiri. Jadi Anda mengambil gen dari bakteri tanah Bt
(Bacillus thuringiensis) dan Anda membuat jutaan salinan dari gen itu dan Anda masukkan
dalam pistol dan Anda menembak pistol itu ke satu lempeng jutaan sel, berharap bahwa beberapa
dari gen itu masuk ke dalam DNA dari beberapa sel-sel tersebut. Lalu Anda klon sel-sel itu ke
tanaman. Sekarang proses penyisipan ditambah kloning menyebabkan jaminan kerusakan besar
dalam DNA tanaman itu. Dua sampai empat persen adalah berbeda; bisa ada ratusan atau ribuan
mutasi. Dan ada juga efek holistik. Ketika Anda menyisipkan gen tunggal, hingga lima persen
dari gen alamiah ke tanaman dapat mengubah tingkat ekspresi mereka dan kemudian
menghasilkan terlalu banyak atau terlalu sedikit protein. Jadi, apa yang dilakukan ini, saat Anda
ubah sebanyak itu pada DNA, adalah bahwa RNA dapat berubah, protein dapat berubah, dan
produk sampingan metabolisme bisa berubah. Jadi Anda bisa mendapat penambahan tingkat dari
alergen, meningkatkan tingkat racun atau karsinogen atau alergen dan racun dan karsinogen yang
benar-benar baru yang belum pernah ada di tanaman itu sebelumnya. Sekarang hal-hal ini tidak
dievaluasi.

Supreme Master TV: The American Academy of Environmental Medicine telah memberi
peringatan mendesak masyarakat hindari makanan GM dan tambahkan “Terdapat lebih dari
hubungan secara kebetulan antara makanan GM dan efek yang merugikan kesehatan. Ada sebab-
akibat. " Bukti keseluruhan semakin bertambah mengarah pada hasil kesehatan yang berbahaya
dari GMO, seperti penuaan dini, disfungsi kekebalan tubuh, kanker, beberapa kerusakan organ
dan gangguan reproduksi. Kelompok lingkungan nirlaba yang dihormati Greenpeace
International juga menentang keras budidaya tanaman rekayasa genetik.

Bapak Anantha: Saya pikir, pertama, adalah salah bermain sebagai Tuhan. Tetapi tentu saja,
seseorang menunjuk bahwa semua sains sedikit banyak seperti itu. Kita menghargainya, kita
tidak anti-sains. Tapi dalam bidang pertanian, bermain sebagai Tuhan melangkah terlalu jauh,
karena Anda melepaskan organisme itu ke dalam lingkungan. Mereka tidak di laboratorium;
mereka akan ada di lingkungan. Mereka berinteraksi dengan spesies lainnya. Mereka berinteraksi
dengan lingkungan. Jadi, secara potensial ada efek yang tak dapat diubah. Juga ada efek
kesehatan dari mengkonsumsi tanaman pangan modifikasi genetik. Kita tidak memerlukannya.
Sudah cukup ada teknik organik dan teknologi yang tersedia untuk menghasilkan makanan untuk
memberi makan dunia.
Supreme Master TV: Pada tahun 2009, Dr. Don Lotter, yang memiliki gelar Doktor dalam
agroekologi, menulis sebuah artikel yang diterbitkan di Jurnal Internasional Sosiologi Pertanian
dan Makanan yang berjudul “Rekayasa Genetik Makanan dan Kegagalan dari Sains.” Makalah
itu membahas bahaya, kurangnya pengujian keselamatan dan kurangnya perlindungan konsumen
terhadap GMO. Penulis menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang mendasari penelitian oleh
industri GM memiliki kelemahan, memberi contoh promotor virus- mosaic- kembang kol
(CaMV 35S), yang digunakan untuk mengaktifkan gen luar yang dimasukan ke tanaman GM.
Virus ini berbahaya karena itu tidak dinetralisir saat ia masuk ke sistem pencernaan manusia, tapi
malahan memicu transfer dari gen dari GMO ke bakteri di sistem pencernaan yang bertanggung
jawab untuk 80% dari fungsi sistem kekebakan kita. Jeffrey M. Smith amat khawatir bahwa
GMO akan dengan serius melukai kesehatan manusia melalui transfer dari informasi genetik dari
makanan yang modifikasi ke bakteri usus.
Jeffrey Smith: Nyatanya bahwa gen-gen pindahkan ke bakteri usus kita semakin buruk saat
Anda berpikir tentang apa yang bisa dipindahkan. Jagung dan katun yang direkayasa genetik, ada
beberapa jenis yang memproduksi pestisidanya sendiri, jadi jika gennya yang memproduksi
pemindahan pestisida, mungkin mengubah bakteri pencernaan kita jadi pabrik pestisida hidup.

Supreme Master TV: Pestisida yang diproduksi di jagung dan kapas GM, disebut Bt toxin,
telah memiliki efek menghancurkan pada mereka yang terekspos pada versi semprotan dari
bakteri dan juga tanaman pertanian GM yang menghasilkan Bt.
Jeffrey Smith: Saat digunakan pada bentuk alaminya sebagai semprotan di Pasifik Barat laut.
(AS), ratusan orang mendapat reaksi alergi atau gejala seperti flu; beberapa harus masuk rumah
sakit. Jadi itu secara jelas pengaruhi manusia dan mamalia. Sekarang jika Anda melihat gejala
dari orang yang disemprot di negara bagian Washington (AS) dan Anda melihat gejala dari
pekerja peternakan di India yang memetik kapas yang di rekayasa genetika untuk memproduksi
Bt toxin, mereka mengalami gejala yang sama. Mereka menderita ruam, reaksi pernafasan atas,
demam, beberapa harus pergi ke rumah sakit.
Sekarang racun Bt yang ada di dalam tanaman, namun ribuan kali lebih pekat dibanding
semprotan alami. Yang dirancang untuk lebih beracun, dan itu mengandung alergen yang
dikenal. Dan itu juga tidak bisa dibersihkan dari tanaman, karena dia diproduksi oleh botol
semprotan kecil dalam setiap sel tanaman, dalam setiap gigitan. Begitu banyak orang percaya
bahwa racun Bt yang diproduksi oleh jagung dan katun yang direkayasa secara genetik sangatlah
berbahaya. Dan gagasan bahwa kita memiliki pabrik pestisida (Ya) di dalam diri kita secara total
sangat tinggi dalam faktor “menjijikkan” Akan saya beritahukan itu.
Supreme Master TV: Suatu studi terhadap sekelompok wanita hamil dan tidak hamil di Kanada
menemukan bahwa 93% wanita hamil memiliki Bt toxin di darah mereka dan 80% ada di dalam
darah tali pusar mereka, sementara racunnya terdeteksi di 69% darah wanita yang tidak hamil.
Pemeliti percaya sumber dari Bt toxin adalah daging, telur, dan susu yang dimakan oleh peserta
studi yang berasal dari ternak yang memakan jagung GM. Peneliti menyatakan di makalah yang
diterbitkan di jurnal “Toksikologi Reproduktif ,” “Ini adalah penelitian pertama untuk menyorot
kehadiran pestisida terkait dengan makanan direkayasa secara genetik di makanan dalam darah
ibu, janin dan wanita non-hamil. "
Dokter Vandana Shiva: Toksin Bt adalah racun. Panenan toksin Bt bukanlah dengan hasil
panen lebih tinggi. Itu adalah hasil panen dari racun. Hasil panen yang tahan herbisida akan
melawan herbisida, oleh karena itu Anda dapat menyemprotkannya dengan dosis glyphosate
yang lebih tinggi. Semakin banyak racun dalam kebun kita, bukan lebih banyak makanan Sampai
saat ini, tidak terdapat satu GMO (organisme hasil modifikasi genetik) pun yang telah hasilkan
lebih banyak makanan daripada panen serupanya.
Supreme Master TV: Selama tahun 1980-an 37 orang di Amerika Serikat meninggal dan 5.000
orang menderita sakit setelah minum supplemen makanan yang mengandung bakteri GM. Dalam
kasus ilustratif lainnya terhadap mengapa itu tidak bijaksana untuk merusak alam adalah bahwa
orang yang alergi terhadap kacang Brasil ditemukan memiliki reaksi setelah memakan kedelai
GM yang memiliki gen kacang Brasil di dalamnya.
Dokter Vandana Shiva: Rekayasa genetik sangat kasar dan teknologi yang amat kejam. Salah
satu kebohongan terbesar yang diberitahu di semua tempat, terutama dalam konteks krisis
makanan, adalah GMO bisa menyelesaikan masalah kelaparan. Mereka tidak karena teknologi
tidak dirancang untuk meningkatkan produksi. Teknologi dirancang untuk menaruh lebih banyak
racun pada tanaman. Benih rekayasa genetika tidak menyelesaikan kelaparan. Mereka tidak
membawa kesejahteraan pada petani. Mereka membunuh para petani kita. Dan pertanian tanpa
GMO adalah pertanian yang damai. Pertanian bebas GMO adalah pertanian yang makmur.
Pertanian bebas GMO adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh umat manusia di masa
depan.
Bapak Anantha: Solusinya tentu saja adalah pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan
dalam bentuk, yang menjaga tanah, makhluk hidup yang bergantung padanya. Jutaan,
sebenarnya, ratusan juta orang (India) tergantung pada pertanian demi penghidupannya. Jadi,
sebuah sistem pertanian yang menjaga tanah, merawat orang-orang, tidak memakai bahan kimia,
dan makanya bagus bagi konsumen, yaitu pertanian berkelanjutan. Tentu saja ada sejumlah
penghalang. Misalnya, salah satu penghalang terbesar di India adalah pemerintah memberi
subsidi yang besar pada pupuk. Jadi, hampir 1/10 dari pengeluaran pemerintah digunakan untuk
pupuk yang disubsidi. Sekarang, jika uang itu diambil dan digunakan untuk pertanian organik,
kita akan melihat perubahannya. Jadi, inilah hal yang akan dikampanyekan oleh Greenpeace.
Jadi, itu yang akan kita lakukan demi pertanian berkelanjutan.
Supreme Master TV: Maha Guru Ching Hai telah berbicara pada berbagai kesempatan
mengenai efek berbahaya dari GMO.
“Saat ini, banyak orang berusaha melakukan ini makanan direkayasa secara genetik, jadi kadang
kita makan makanan vegetarian dan kami bahkan tidak tahu bahwa ada zat hewan di dalamnya.
Bicara secara ilmiah, daging dihubungkan pada penyakit berbagai jenis - dengan kolesterol,
obesitas, penyakit jantung dan stroke. Jadi, jika kita menaruh daging atau zat hewani di sayuran,
lalu kita juga akan memiliki efek yang sama, kurang lebih. Saya kira kita tidak boleh main-main
dengan alam dan Tuhan. Apapun yang telah diberikan kepada kita, itu cukup bagus. Mungkin
akan ada lebih banyak penyakit yang tidak dapat diobati berasal dari GMO yang kita bahkan
tidak tahu apa yang akan terjadi. Saat ini, bahkan jika kita hanya makan daging normal dan kita
punya begitu banyak penyakit yang tidak dapat diobati, jika kita mencampurnya dengan sayuran,
mungkin kita akan memiliki lebih banyak penyakit yang tidak bisa diobati dan penyakit yang
aneh yang bahkan kita tidak tahu bagaimana menghadapinya di masa depan. Jadi, lebih baik
memiliki metode pertanian vegan organik”.
Kita sebagai konsumen bisa menghentikan industri GMO untuk lebih jauh merusak kesehatan
dan planet kami. Petama, kita bisa menolak membeli produk GM. Saat berbelanja, kita bisa
memilih membeli sayuran dan buah organik, yang diproduksi lokal. Kedua, kita bisa menulis
pada pejabat pemerintah kita untuk menyuarakan oposisi kita pada GMO. Ketiga, kami bisa
menyebarkan berita tentang risiko tinggi dari tanaman rekayasa genetik pada teman-teman dan
keluarga kita. Langkah-langkah ini, bersama dengan pertanian vegan organik, akan membantu
memastikan kita memiliki masa depan bebas GMO untuk anak-anak kita.
Untuk informasi lebih lanjut tentang bahaya makanan GMO, silahkan kunjungi halaman web
berikut: Institut untuk Teknologi Bertanggung Jawab: www.ResponsibleTechnology.org
Greenpeace International: www.Greenpeace.org
Navdanya: www.Navdanya.org
Nasional - Minggu, 30 Des 2012 00:01 WIB
TEROPONG Pertanian
Apa Itu Pangan Transgenik ?
Oleh : dr.M.Idris Pane. Menurut Komisi Keamanan Hayati produk rekayasa genetik baru saja
meloloskan jagung transgenik RRNK 603, dan BT Mon 890, sebagai produk yang aman pakan.
Ini semua mengenai bio tekhnologi. Apa sebenarnya bio tekhnologi - Menurut pakar bio
tekhnologi adalah terminologi yang dipakai untuk menjelaskan segala tekhnik pemanfaatan
bagian-bagian dari makhluk hidup untuk menghasilkan produk baru.
Pengertian ini sering dicampur-adukkan dengan rekayasa genetika, padahal rekayasa genetika
hanya merupakan salah satu tekhnologi dalam bio tekhnologi. Pemindahan gen dari satu
makhluk ke organ lain (transgenic) adalah satu bentuk rekayasa genetik.

Transfer gen dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai sifat yang
dikehendaki. Dengan transfer genik ini telah dapat dihasilkan tanaman jagung, kedelai yang
toleran terhadap glyphosate. Penyemprotan di ladang dengan berbisidu glyphosate akan
mematikan semua gulma-gulma tanpa sedikitpun mempengaruhi tanaman pangan yang sudah
dibuat tahan glyphosate.

Jagung BT adalah hasil rekayasa karena salah satu gen-nya diambil dari bakteri bacillius.
Tanaman yang dapat menghasilkan substansi protein yang bersifat toksis bagi insilatidu yang
menyerang jagung BT akan masuk setelah mencicipi jagung yang mengandung toksis seperti itu.

Produk pangan transgenic pada umumnya adalah bertujuan untuk mendatangkan keuntungan
yang lebih besar dari produksi pertanian. Dengan meminimalkan serangan hama dan membuat
produksi lebih baik maka petani tak akan rugi dalam menjalankan usahanya.

ALLERGI

Adapun bahaya allergi pada produk transgenic perlu diwaspadai. Pada kasus glyphosate maka
sebenarnya yang dilakukan adalah memasukkan protein sebagai barang baru ke dalam makanan.
Datangnya protein baru ini berpotensi menyebabkan allergi.

Transfer gen yang dilakukan dalam produk rekayasa genetic memungkinkan terjadinya positif
efek. Dalam organisme hidup gen-gen di rajut dalam satu jaringan yang seimbang. Memasukkan
gen-gen baru pada makanan dikhawatirkan akan mengacaukan jaringan yang seimbang tadi.
Kehadiran pangan transgenic menimbulkan polemik yang tak berkesudahan. Di Eropa
supermarket tak menjual rekayasa pangan transgenic. Pemerintah memang harus bertindak hati-
hati dalam manajemen produk pakan rekayasa transgenic ini. Perlu dilakukan uji pada bidang
kesehatan (dampaknya dibidang kesehatan). Hasil penelitian tentang produk rekayasa genetic
jangan menjadi polemik di pers, tetapi lebih penting dikomunikasikan sesama peneliti atau
ilmuwan pada jurnal Internasional. Mereka yang membela pengembangan pangan transgenic
lebih banyak jumlahnya.

Seperti yang diketahui DNA bukanlah suspense kimiawi yang bersifat racun (Alikoman) dimana
DNA (yang bersifat membawa pada gen asing berasal dari makanan yang kita makan dan mikro
organisme disekitar lingkungan kita).

Tanaman yang mengandung 4.000 gen, kekhawatiran bahwa gen DNA dari pangan transgenic
akan masuk ke dalam sel-sel manusia mungkin terjadi, dan mungkin tidak. Hal ini dilandasi
dengan manusia merupakan system efesiensi DNA yang masuk cerna segera dipecah-pecah
sehingga menjadi sangat kecil dan sulit di fungsikan kembali. Dengan demikian DNA
diperkirakan akan masuk ke sel-sel manusia meskipun pecah-pecah dari DNA tadi diserap oleh
bakteri-bakteri dari dalam saluran cerna.

Tikus percobaan yang diberi DNA bebas memang menyebabkan terjadinya transfer DNA pada
tikus, tapi kalau DNA tersebut berasal dari makanan tampaknya belum ada bukti terjadinya
transfer DNA.
Pada penyakit kronis ada yang terkait dengan masalah gen, artinya bersifat turun-temurun dari
orangtua, namun demikian fakor-faktor lain yang turut dalam memicu munculnya penyakit
degerenatif seperti diet (pada konsumsi pangan), adanya paparan kimia dari lingkungan life style
seseorang (kurang berolahraga, merokok, dan lain-lain). Melihat sulitnya transfer gen dan produk
pangan transgenic ke sel manusia maka kemungkinan pangan transgenic ini sebagai penyebab
penyakit kronis menjadi kecil. Mengingat bahwa secara alamiah sebagai pakan nontransgenic
juga menghasilkan kumpulan kimia yang mengganggu kesehatan - mereka terkena rekayasa
transgenic yang juga menghasilkan himpunan kimia yang mengganggu kesehatan, maka
rekayasa genetic juga harus dilihat lebih teliti sejauh mana pangan tersebut mengumpul
hamparan kimia, apakah memakai atau justru menambah.

WASPADA

Fakta makanan seperti konsumsi lemak, dan antioksida dapat mempengaruhi munculnya insiden
penyakit tertentu pada manusia sebagai pegangan transgenic diciptakan secara sengaja untuk
menyumbat kompisisi karbohidrat, asam lemak dan antioksida. Perubahan komposisi gizi dan
non gizi tentu akan berdampak pada asupan gizi orang yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu
perlu diwaspadai bahwa kadar gizi yang tinggi pada pangan transgenic tak selalu berarti baik
karena asupan gizi seimbang jauh lebih penting untuk mencapai penyakit, apalagi untuk anak
balita dan bayi yang kegunaan konsumsinya masih terbatas.

Pada publikasi FAO/WHO (2000) antara lain menyampaikan, bahwa masalah yang mungkin
muncul pada waktu dampak jangka panjang dari konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan
dimodifikasi gen-nya sangat sedikit diketahui. Pangan transgenic yang dimaksudkan untuk
meningkatkan gizi, pangan mempunyai arti penting bagi Negara yang sedang berkembang.
Namun ini menuntut adanya informasi tentang stabilitas produksi pangan seiring dengan
menjelang waktu, cara perut sesuai dengan penyimpanan dan kemungkinan terjadinya perubahan
konsumsi pangan pada masyarakat yang berdampak pada status gizi. Dinyatakan pula bahwa
studi tentang status gizi hendaknya dilakukan pada kelompok masyarakat yang mempunyai
perubahan diet dan bubur. Karena mereka mengkonsumsi pangan transgenic juga pada
pemberian untuk bayi/anak balita dan ibu menyusui, jadi hati-hati pada pemberian di posyandu.

Pada dasarnya pangan transgenic menjadi perhatian kita serius, kita sebagai konsumen tetap
harus bersikap kritis agar bisa mendapatkan hak konsumsi yaitu hak memperoleh pangan yang
sama untuk memperoleh informasi yang benar. Seperti pada pemulaan pembicaraan dimana
dinyatakan oleh hayati produk rekayasa transgenic baru saja meloloskan jagung transgenic
RHNK 6.2, dan BC Moa 89024 sebagai produk yang aman pakan, dan juga Balai POM juga
mengeluarkan 11 bahan rekayasa transgenic diantaranya 7 jenis jagung, 2 jenis kedelai, 1 jenis
telur, 1 jenis bahan es krim.

Demikianlah untuk selanjutnya diminta perhatian pada pemberian makanan tambahan melalui
posyandu kepada anak balita, bayi, dan ibu menyusui, jangan sampai terjadi hal-hal yang kurang
baik.***

Penulis adalah mantan Dokabu Langkat, alumni USU dan UI.


Rekayasa Genetika Tanaman Pangan Harus Efektif

Warta IPTEK

Wednesday, 11 July 2012 10:14

Rekayasa Genetika Tanaman Pangan Harus Efektif

Ilustrasi : ist.
JAKARTA - Saat ini, rekayasa genetika kerap dilakukan untuk menghasilkan bibit unggul di
berbagai bidang, baik pertanian maupun kelautan. Namun, upaya penggunaan tanaman hasil
rekayasa genetika untuk mendukung terwujudnya kedaulatan pangan harus dibarengi dengan
hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang efektif serta efisien.

“Hal ini untuk meminimalisasi polemik tentang penggunaan tanaman hasil transgenik di tengah
masyarakat. Jangan sampai energi kita habis karena polemik tersebut. Kajian pemanfaatan
tanaman hasil rekayasa genetika untuk menjawab berbagai kendala produksi di lapang perlu
segera dilakukan secara terkoordinasi,” kata Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry
Suhardiyanto dalam acara Temu Pakar Biokteknologi 2012 di IPB International Convention
Center, seperti dilansir dari siaran pers yang diterima Okezone, Selasa (10/7/2012).

Kegiatan yang mengangkat tema “Tanaman Hasil Rekayasa Genetika Versus Tantangan
Ketahanan Pangan” ini diselenggarakan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian IPB dan didukung Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB. Selama ini kajian
pemanfaatan masih dilakukan masing-masing lembaga penelitian sehingga kurang terintegrasi.

Di masa mendatang, lanjut Rektor, bioteknologi terutama rekayasa genetik diharapkan


memberikan kontribusi nyata dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
“Seluruh komponen bangsa Indonesia harus memikirkan kedaulatan pangan demi masa depan
bangsa. Peran praktisi dan peneliti bioteknologi sangat strategis dalam membantu mewujudkan
kedaulatan pangan khususnya berkaitan riset, pengembangan, dan penggunaan tanaman hasil
rekayasa genetika serta produk bioteknologi lainnya di Indonesia,” ujarnya menambahkan.

Selain itu, kewajiban para peneliti bioteknologi pula memberikan sosialisasi mengenai keamanan
produk bioteknologi kepada masyarakat. Hal senada juga disampaikan Ketua Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB, Agus Purwito. Menurut Agus, masalah penyediaan pangan
akhir-akhir ini menjadi isu yang semakin penting seiring semakin tingginya laju konversi lahan
pertanian tanaman pangan menjadi lahan non pertanian,degradasi sumberdaya lahan,
produktivitas yang mulai levelling off dan perubahan iklim global yang berdampak negatif
terhadap produksi pangan.

Agus menyebut, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja produksi
pangan, di antaranya, peningkatkan penggunaan teknologi baru, perakitan varietas baru,
perbaikan sarana prasarana produksi, menekan laju konversi, dan mencetak lahan pangan baru.
“Tidak kalah penting adalah peningkatkan produksi melalui bioteknologi. Kami berharap, dari
Temu Pakar Bioteknologi 2012 ini dirumuskan langkah bersama di masa depan. Tentunya,
partisipasi aktif stakeholder di Indonesia sangat diharapkan dalam kegiatan ini,” tutur Agus.

Kegiatan yang dihadiri 250 peserta dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi dan
perusahaan multinasional ini juga menggelar pameran poster hasil-hasil penelitian rekayasa
genetika tanaman dan bioteknologi pada umumnya.(mrg)(rhs)

Sumber : Okezone
Revolusi Lambat pada Produksi Pangan
December 6, 2012 by Bustanul Arifin

BUSTANUL ARIFIN

Kompas, Senin 29 Oktober 2012

Jika tidak ada halangan serius, awal November nanti Badan Pusat Statistik akan mengeluarkan
angka ramalan produksi pangan, setidaknya untuk padi, jagung, dan kedelai. Walaupun BPS
tidak secara reguler memutakhirkan data produksi gula dan daging sapi, masyarakat akan mampu
menilai apakah target swasembada untuk lima komoditas pangan strategis itu tercapai atau tidak.

Target swasembada jagung mungkin dapat tercapai karena struktur permintaan dan insentif harga
dari industri pakan ternak yang relatif lebih baik. Akses benih unggul dan hibrida oleh petani
relatif lebih mudah karena gencarnya sektor swasta dalam melakukan pemasaran benih jagung
bersertifikat tersebut. Swasembada kedelai hampir pasti tidak akan tercapai karena sistem
insentif dalam produksi kedelai telanjur rusak selama dua dasawarsa terakhir. Swasembada gula
juga masih jauh dari harapan karena sistem usaha tani di hulu dan manajemen produksi di hilir
yang tidak sepadan antara tebu rakyat, perkebunan swasta besar, dan badan usaha milik negara.
Swasembada daging sapi mungkin dapat tercapai apabila sistem insentif penggemukan sapi
benar-benar dilaksanakan dan kebijakan perdagangan impor cukup konsisten.

Salah satu penjelasan di balik lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas pangan
strategis itu karena sekian macam program dan kebijakan yang dikembangkan belum berhasil
meningkatkan kapasitas produksi pangan. Konsistensi kebijakan pemerintah untuk mencetak
sawah baru, memelihara saluran irigasi, mengelola saluran air, menanggulangi hama dan
penyakit tanaman, dan lain-lain ternyata kalah cepat dengan hilangnya kapasitas produksi
pangan, baik karena konversi lahan maupun karena penurunan kapasitas produksi itu sendiri.

Di tengah rasa frustrasi seperti itu, produk rekayasa genetika tanaman pangan atau yang dikenal
dengan tanaman transformasi genetika (transgenik) tiba-tiba masuk ke ranah diskusi publik.
Masyarakat awam pun membahasnya secara intensif walaupun informasi yang disajikan para
ilmuwan dan birokrasi pemerintah masih sangat minim. Esensinya, produk rekayasa genetika
seakan-akan dianggap sebagai harapan baru untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan di
Tanah Air. Dalam literatur ekonomi pembangunan pertanian, produk pangan transgenik atau
genetically modified organism sering disebut sebagai Revolusi Hijau Generasi Kedua, untuk
membedakan dengan fenomena Revolusi Hijau setengah abad lalu.

Pada Revolusi Hijau Generasi Pertama telah terjadi kerja sama yang cukup rapi antara ilmuwan
(peneliti), dunia usaha, dan pemerintah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi
biologi-kimiawi pada pangan berbasis biji-bijian. Kerja sama tiga pihak, ilmuwan, swasta, dan
pemerintah, sering dinamakan Triple Helix, untuk menunjukkan keberhasilan kerja sama yang
menghasilkan peningkatan produktivitas pangan biji-bijian, terutama gandum, beras, jagung, dan
kedelai.

Di Indonesia, fenomena Revolusi Hijau bersamaan dengan program besar yang dikenal dengan
Bimas dan Inmas yang dikembangkan pada masa Presiden Soekarno serta Insus dan Opsus yang
dicanangkan pada masa Presiden Soeharto. Swasembada beras pada masa lalu itu merupakan
salah satu contoh keberhasilan Triple Helix dalam mewujudkan kerja sama yang sinergis guna
meningkatkan produksi pangan.

Pada Revolusi Hijau Generasi Kedua, dengan tumpuan bioteknologi pertanian, arena
pengembangan kapasitas produksi pangan wajib melibatkan masyarakat, terutama petani yang
merupakan stakeholder penting dalam ekonomi pangan. Falsafah Quadruple Helix, governansi
kelembagaan ABGC (academics, business, government, and civil society), perlu menjadi pilar
utama dalam Revolusi Hijau Generasi Kedua. Langkah governansi kebijakan tidaklah harus
diartikan bahwa setiap jengkal perumusan kebijakan pangan harus dilakukan melalui voting,
tetapi bahwa pemerintah dan dunia usaha wajib memberikan informasi yang terbuka terhadap
produk transgenik yang telanjur beredar di pasaran.
Rekomendasi oleh Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika bahwa jagung varietas
RR NK603 dan jagung Bt Mon89034 aman untuk konsumsi pakan akan menimbulkan
pertanyaan di dalam masyarakat. Bukan hanya karena dua varietas jagung tersebut dihasilkan
oleh perusahaan multinasional, melainkan juga kekhawatiran ketergantungan petani pada benih,
produk ikutan, pupuk, bahkan pestisida dapat mengancam kedaulatan pangan, sebagaimana
dimandatkan dalam Undang-Undang Pangan baru yang disahkan pada 18 Oktober 2012.

Singkatnya, peningkatan kapasitas produksi pangan memang penting. Hal itu tidak hanya untuk
mencapai kepentingan birokrasi pencapaian swasembada, tetapi juga untuk menjawab tantangan
masa depan yang pasti lebih kompleks.

Semua komponen Quadruple Helix harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari kesepahaman,
bukan menjadi lapisan elite yang tidak dapat menerima kritik. Kualitas governansi, keterbukaan
informasi, dan keterlibatan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilan (dan kegagalan)
masa depan pangan transgenik di Indonesia.

Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung dan Anggota Komite Inovasi Nasional

Berita » Rekayasa Genetik dan Keamanan Hayati


 Efek parah racun dari GMO dan herbisida utama dunia
11 Oct 2012
Untuk pertama kalinya, dampak kesehatan dari Organisme Hasil Rekayasa Genetik
(Genetically Modified Organisme – GMO) dan pestisida yang digunakan secara luas
telah dikaji secara komprehensif * dalam uji coba binatang menyusui jangka panjang
dan durasi yang lebih besar dengan analisis yang lebih rinci daripada studi
sebelumnya, oleh badan-badan pangan dan lingkungan, pemerintah, industri atau
lembaga peneliti.
 Ilmuwan peringatkan ancaman gandum transgenik CSIRO
24 Sep 2012
Ilmuwan memperingatkan gandum transgenik (rekayasa genetik – genetically modified
- GM) dapat menyebabkan Glycogen Storage Disease IV, mengakibatkan pembesaran
hati, sirosis hati, dan kelainan pertumbuhan. Anak-anak lahir dengan penyakit ini
biasanya meninggal pada sekitar usia 5.
 Proses Uji Produk Transgenik Abaikan (lagi) prinsip kehati-hatian
22 Sep 2012
Untuk mempercepat proses komersialisasi produk transgenik di Indonesia, Tim
Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan hanya melakukan uji dokumen
terhadap jagung transgenik NK 603 dan MON 89034 milik Monsanto. Hal ini tidak
cukup dan menunjukkan pengabaian atas prinsip kehati-hatian demi kepentingan
pemilik benih.
 India: Tanaman transgenik tidak untuk masa depan
05 Sep 2012
Sudah jelas bahwa untuk petani kapas di negara tropis, pengenalan kapas Bt
(transgenik) tidak memberikan manfaat sosial ekonomi. Sebaliknya, upaya itu hanya
menjadi praktik padat modal, investasi petani meningkat sehingga menempatkan
mereka pada risiko yang lebih besar karena hutang. Perlu diingat bahwa petani tadah
hujan merupakan 85 persen dari semua petani kapas di India.
 Kajian risiko nyamuk transgenik masih belum benar
24 Aug 2012
Dalam laporan terbaru, GeneWatch Inggris menyoroti banyak kesalahan dan kelalaian
dalam proses kajian atau penilaian risiko nyamuk rekayasa genetik (transgenik).
Perusahaan Inggris Oxitec telah melepas nyamuk transgenik dalam jumlah besar di
Kepulauan Cayman (3 juta nyamuk) dan Brazil (10 juta) serta sejumlah kecil di
Malaysia (6.000 nyamuk), sebagai bagian dari uji coba mengurangi insiden penyakit
tropis demam berdarah. Penilaian risiko tidak dipublikasikan sebelum pelepasan di
Cayman atau Brazil dan hanya Malaysia yang memiliki sejenis proses konsultasi.
 Diskusi Pertanian Produk Pangan Rekayasa Genetik Kontra Pertanian Organik
di Indonesia
08 Apr 2012
Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan Indonesia (KONPHALINDO) akan
mengadakan diskusi untuk membahas pokok persoalan Pertanian dan Bioteknologi:
Pertanian Produk Pangan Rekayasa Genetika Kontra Pertanian Organik di Indonesia,
di Kampus Institut Pertanian Bogor, 24 Mei 2012.
 Laporan Baru oleh GenØk: Potensi Dampak Transgenik
24 Feb 2012
Laporan baru oleh GenØk - Pusat Keamanan Hayati di Norwegia ini menekankan
bahwa potensi dampak transgenik terjadi sepanjang siklus hidup dan rantai nilai
mereka. Dalam hal ini, penilaian hanya pada tahap tertentu (umumnya pada awal
produksi atau konsumsi lapangan) tidak lengkap, membatasi pemahaman menyeluruh
dari dampak dan sifat saling terkait mereka.
 Informasi Pelepasan Serangga Transgenik ke Alam Bebas Sangat Terbatas
20 Feb 2012
Ilmuwan Max Planck yang menganalisa pelepasan serangga rekayasa genetik
(transgenik) ke alam lepas telah menemukan bahwa akses terhadap informasi ilmiah
yang akurat sangat terbatas bahkan bisa dikatakan tidak ada.

 Pelepasan nyamuk transgenik secara rahasia


11 Feb 2012
Sebuah laboratorium bioteknologi Inggris telah melepas sejumlah besar nyamuk hasil
rekayasa genetik (transgenik) untuk memerangi demam berdarah. Tapi beberapa orang
mengatakan, penduduk setempat tidak mendapat informasi percobaan dan sekarang
perdebatan telah berlangsung atas potensi bahayanya bagi manusia.
 Tersembunyi, Nyamuk Transgenik Miliki Tingkat Kelangsungan Hidup Tinggi
di Alam Liar
17 Jan 2012
Sebuah dokumen internal rahasia yang diperoleh kelompok masyarakat sipil
menunjukkan nyamuk hasil rekayasa genetik (transgenik) yang dijelaskan
produsennya, perusahaan Inggris Oxitec, sebagai "steril" sebenarnya tidak steril dan
keturunan mereka memiliki tingkat 15 persen bertahan hidup dengan antibiotik
tetrasiklin umum. Demikian menurut siaran pers Friends of the Earth Amerika Serikat,
GeneWatch UK and Third World Network, 12 Januari 2012.
 Pelepasan Nyamuk Transgenik Ditunda
06 Jan 2012
Badan Pengendalian Nyamuk Florida Keys mengumumkan telah menunda rencana
pelepasan nyamuk rekayasa genetik (transgenik) - yang akan menjadi pelepasan
pertama kalinya di AS - sampai akhir musim semi. Rencana pelepasan ini sebagai
teknik pengendalian populasi nyamuk namun telah menarik keprihatinan kesehatan,
etika dan lingkungan.
 Kapas Transgenik Menyimpan Bahaya
31 Oct 2011
Tanaman kapas liar di Meksiko telah terkontaminasi bahan rekayasa genetik
(transgenik). Hal ini menunjukkan adanya risiko terhadap keanekaragaman hayati.
Demikian kesimpulan mengkhawatirkan enam ilmuwan di Universitas Otonom
Nasional Meksiko (National Autonomous University of Mexico - UNAM) dan Komisi
Nasional untuk Pengetahuan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati (National
Commission for Knowledge and Use of Biodiversity - CONABIO) dalam studi
penelitian yang dipublikasikan bulan ini dalam Molecular Ecology, jurnal
internasional.
 Gen Kapas Transgenik Ditemukan pada Tanaman Liar
27 Oct 2011
Gen kapas rekayasa genetik (transgenik) telah ditemukan dalam populasi liar untuk
pertama kalinya, menjadikannya spesies yang ketiga setelah Brassica dan bentgrass
dimana transgen telah dilepas di alam liar.
 Meksiko: JagungTradisional Dapat Atasi Perubahan Iklim
30 Sep 2011
Jagung, makanan pokok Meksiko,memiliki potensi untuk beradaptasi dan mengurangi
dampak perubahan iklim tanpa memerlukan benih rekayasa genetik. Demikian
menurut para lmuwan pertanian seperti dikutib Inter Press Service-IPS (8/9).
 Raksasa Transgenik itu Disengat Lebah Jerman
20 Sep 2011
Perusahaan multinasional yang berpusat di St. Louis Amerika Serikat, Monsanto kali
ini disengat lebah peternak lebah di Jerman. Setelah Mahkamah Eropa (The European
Court of Justice - ECJ) di Luksemburg memutuskan bahwa madu yang terkontaminasi
oleh pollen (serbuk sari) dari tanaman hasil rekayasa genetika (transgenik) baik
sengaja ataupun tidak sengaja, harus diotorisasi pihak berwenang sebelum
diperbolehkan untuk dipasarkan.
 Jagung Transgenik Monsanto Diserang Hama
08 Sep 2011
Jagung transgenik Bt (Bacillus thuringeinsis) adalah jagung yang benihnya telah
direkayasa secara genetik dengan memasukkan gen Bt yaitu mikroorganisme yang
hidup di tanah. Seperti yang dipromosikan perusahaan-perusahaan bioteknologi
pertanian raksasa seperti Monsanto dan Syngenta AG, jagung-jagung transgenik Bt
dibuat untuk tahan terhadap serangga.
 Testbiotech: Kedelai Transgenik Berisiko bagi Kesehatan
12 Aug 2011
Testbiotech (organisasi independen yang mengkaji dampak bioteknologi) menolak
pendapat EFSA itu. Hasil Tesbiotech menunjukkan bahwa kedelai transgenik (kedelai
A5547-127) berisiko bagi kesehatan manusia dan hewan.
 Rumput Transgenik Terlalu Berisiko dan Tidak Diperlukan
10 Aug 2011
Jutaan ilmu publik telah diarahkan untuk pengembangan spesies padang rumput
transgenik (rekayasa genetik)di Selandia Baru selama dua dekade terakhir. Tiga besar
program (dua berbasis di Selandia Baru dan satu di Australia) sedang mengembangkan
berbagai rumput padang rumput transgenik yang direkayasa untuk mentolerir atau
tahan kekeringan, meningkatkan biomassa, air dan efisiensi nitrogen, dan
meningkatkan kandungan nutrisi spesies hijauan seperti ryegrass dan semanggi.
 Mengkhawatirkan, USDA Tidak Atur Rumput Transgenik Baru
27 Jul 2011
Pertanian AS (US Department of Agriculture – USDA) pada Jumat (8 Juli)
mengeluarkan pengumuman kontroversial. Dalam siaran pers berjudul "USDA
Responds to Regulation Requests Regarding Kentucky Bluegrass,” (“Tanggapan
USDA pada Permintaan Pengaturan Kentucky Bluegrass"), pejabat instansi
pemerintah ini mengumumkan keputusannya untuk tidak mengatur "Roundup Ready"
strain Kentucky bluegrass, yaitu strain transgenik (rekayasa genetik) tahan glifosat,
herbisida yang digunakan secara luas oleh Monsanto, yang dikenal dengan Roundup.
 Hasil Studi: Hewan Makan Transgenik Alami Gangguan Organ Tubuh
20 Jul 2011
Sebuah laporan terbaru yang mengkaji 19 studi mamalia yang makan kedelai dan
jagung transgenik (rekayasa geneti) komersial (yang mewakili lebih dari 80% dari
semua transgenik yang ditanam dalam skala besar) menunjukkan tanda-tanda
keracunan hati dan ginjal pada mamalia tersebut. Laporan Gilles-Eric Séralini dkk ini
diterbitkan dalam Environmental Sciences Europe (2011, 23, 10-20).
Produk-produk Bioteknologi dan Rekayasa Genetika

Artikel ini telah dibaca 11,057 kali

BMC – Kembali saya posting tentang produk bioteknologi, karena ternyata banyak yang masih
membutuhkan konsep ini. Langsung saja, inilah ringkasan berbagai produk bioteknologi, berupa
produk makanan, obat-obatan, hormon, hibridoma, kloning, dan sebagainya.

Yoghurt Susu dipasteurisasi terlebih dahulu, selanjutnya sebagian besar


lemak dibuang. Mikroorganisme yang berperan dalam
pembuatan yoghurt, yaitu Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophillus. Kedua bakteri tersebut
ditambahkan pada susu dengan jumlah yang seimbang,
selanjutnya disimpan selama ± 5 jam pada temperatur 45oC.
Selama penyimpanan tersebut pH akan turun menjadi 4,0
sebagai akibat dari kegiatan bakteri asam laktat. Selanjutnya
susu didinginkan dan dapat diberi cita rasa.
Keju Proses pembuatan keju diawali dengan pemanasan susu dengan
suhu 90oC atau dipasteurisasi, kemudian didinginkan sampai
30oC. Selanjutnya bakteri asam laktat dicampurkan. Akibat dari
kegiatan bakteri tersebut pH menurun dan susu terpisah menjadi
cairan whey dan dadih padat, kemudian ditambahkan enzim
renin dari lambung sapi muda untuk mengumpulkan dadih.
Enzim renin dewasa ini telah digantikan dengan enzim buatan,
yaitu klimosin. Dadih yang terbentuk selanjutnya dipanaskan
pada temperatur 32oC – 420oC dan ditambah garam, kemudian
ditekan untuk membuang air dan disimpan agar matang.

Mentega Menggunakan mikroorganisme Streptococcus lactis bakteri-


bakteri tersebut membentuk proses pengasaman. Selanjutnya,
susu diberi cita rasa tertentu dan lemak mentega dipisahkan.
Kemudian lemak mentega diaduk untuk menghasilkan mentega
yang siap dimakan
Kecap Dalam pembuatan kecap, jamur, Aspergillus wentii dibiakkan
pada kulit gandum terlebih dahulu. Jamur Aspergillus wentii
bersama-sama dengan bakteri asam laktat yang tumbuh pada
kedelai yang telah dimasak menghancurkan campuran gandum.
Setelah proses fermentasi karbohidrat berlangsung cukup lama
akhirnya akan dihasilkan produk kecap.
Tempe Untuk membuat tempe, selain diperlukan bahan dasar kedelai
juga diperlukan ragi. Ragi merupakan kumpulan spora
mikroorganisme, berupa kapang. Dalam proses pembuatan
tempe paling sedikit diperlukan empat jenis kapang dari genus
Rhizopus, yaitu Rhyzopus oligosporus, Rhyzopus stolonifer,
Rhyzopus arrhizus, dan Rhyzopus oryzae. Miselium dari kapang
tersebut akan mengikat keping-keping biji kedelai dan
memfermentasikannya menjadi produk tempe.
Tape Tape dibuat dari bahan dasar ketela pohon dengan menggunakan
sel-sel ragi. Ragi menghasilkan enzim yang dapat mengubah zat
tepung menjadi produk yang berupa gula dan alkohol. Jamur
yang digunakan adalah Saccharomyces cereviceae.
Teknologi Plasmid Plasmid adalah lingkaran DNA kecil yang terdapat di dalam sel
(pembuatan insulin) bakteri atau ragi di luar kromosomnya. Sifat-sifat plasmid,
antara lain:

a) merupakan molekul DNA yang mengandung gen tertentu;

b) dapat beraplikasi diri;

c) dapat berpindah ke sel bakteri lain;

d) sifat plasmid pada keturunan bakteri sama dengan plasmid


induk.

Karena sifat-sifat tersebut di atas plasmid digunakan sebagai


vektor atau pemindah gen ke dalam sel target, dan dimanfaatkan
dalam teknologi pembuatan insulin.

Pada proses pembuatan insulin, plasmid digunakan sebagai


media, sedangkan penyambungan segmen ADN-nya
menggunakan teknologi yang disebut DNA rekombinan.

Rekombinasi DNA adalah proses penggabungan DNA-DNA


dari sumber yang berbeda. Tujuannya adalah untuk
menyambungkan gen yang ada di dalamnya. Oleh karena itu,
rekombinasi DNA disebut juga rekombinasi gen.

Rekombinasi DNA dapat dilakukan karena alasan-alasan


sebagai berikut.

1) Struktur DNA setiap spesies makhluk hidup sebenarnya


sama.

2) DNA dapat disambungkan

Cara pembuatan insulin adalah dengan menyambungkan gen


pengontrol pembuatan insulin manusia ke dalam DNA bakteri.
Kemudian dari hasil penyambungan tersebut akan terbentuk
bakteri baru yang mampu menghasilkan hormon insulin
manusia. Bakteri ini dipelihara di laboratorium untuk
menghasilkan insulin. Insulin yang dihasilkan digunakan untuk
mengobati penyakit kencing manis.

Penjelasan lengkap di sini.


Kultur Jaringan Pelaksanaan teknik kultur jaringan bertujuan untuk
memperbanyak jumlah tanaman. Tanaman yang
dikulturbiasanya adalah bibit unggul. Dengan teknik ini, kita
bisa mendapatkan keturunan bibit unggul dalam jumlah yang
banyak dan memiliki sifat yang sama dengan induknya.

Kultur jaringan sebenarnya memanfaatkan sifat totipotensi yang


dimiliki oleh sel tumbuhan. Totipotensi yaitu kemampuan setiap
sel tumbuhan untuk menjadi individu yang sempurna.

Transplantasi inti (kloning) Kloning adalah rekayasa sel somatik makhluk hidup multiseluler
untuk membuat satu atau lebih individu dengan materi genetik
yang sama atau identik. Langkah ini dilakukan berdasar teknik
transplantasi nukleus.
Dengan pemindahan inti dari suatu sel ke sel yang lain akan
didapatkan individu baru dengan sifat sesuai dengan inti yang
diterimanya. Transplantasi inti pernah dilakukan terhadap sel
katak. Inti sel yang dipindahkan adalah inti dari sel-sel usus
katak yang bersifat diploid. Inti sel tersebut dimasukkan ke
dalam ovum tanpa inti, sehingga terbentuk ovum dengan inti
diploid. Setelah diberi inti baru, ovum membelah secara mitosis
berkali-kali sehingga terbentuklah morula yang berkembang
menjadi blastula. Blastula tersebut selanjutnya dipotong-potong
menjadi banyak sel dan diambil intinya. Kemudian inti-inti
tersebut dimasukkan ke dalam ovum tanpa inti yang lain. Pada
akhirnya terbentuk ovum berinti diploid dalam jumlah banyak.
Masing-masing ovum akan berkembang menjadi individu baru
dengan sifat dan jenis kelamin yang sama.

Penjelasan lengkap kloning manusia di sini.


Fusi sel (hibridoma) Fusi sel adalah peleburan dua sel baik dari spesies yang sama
maupun berbeda supaya terbentuk sel bastar atau hibridoma.
Fusi sel diawali oleh peleburan membran dua sel serta diikuti
oleh peleburan sitoplasma (plasmogami) dan peleburan inti sel
(kariogami).

Manfaat fusi sel, antara lain untuk pemetaan kromosom,


membuat antibodi monoklonal, dan membentuk spesies baru.

Antibodi monoklonal adalah antibodi yang diperoleh dari suatu


sumber tunggal. Manfaat antibodi monoklonal, antara lain:

a) untuk mendeteksi kandungan hormon korionik gonadotropin


dalam urine wanita hamil

b) mengikat racun dan menonaktifkannya

c) mencegah penolakan tubuh terhadap hasil transplantasi


jaringan lain.
Bayi tabung (fertilisasi Fertilisasi invitro dalam teknologi bayi tabung menempuh
invitro) langkah utama sebagai berikut:

a. Sel telur yang mengalami ovulasi pada induk atau wanita


diambil dengan suatu alat dan disimpan di dalam tabung yang
berisi medium seperti kondisi yang ada pada rahim wanita
hamil.

b. Sel telur dipertemukan dengan sperma di bawah mikroskop


dan diamati sehingga terjadi fertilisasi.

c. Sel telur yang sudah dibuahi tersebut dikembalikan ke dalam


tabung.

d. Jika sel telur yang sudah dibuahi membentuk zigot, dan


berkembang dengan baik dan menjadi embrio, maka embrio
tersebut akan disuntikkan kembali ke dalam rahim induk betina
(ibu).
Tanaman hidroponik dan Metode yang digunakan dalam hidroponik, antara lain metode
aeroponik kultur air (menggunakan media air), metode kultur pasir
(menggunakan media pasir), dan metode porus (menggunakan
media kerikil, pecahan batu bata, dan lain-lain). Metode yang
tergolong berhasil dan mudah diterapkan adalah metode pasir.

Aeroponik merupakan tipe hidroponik (memberdayakan air),


karena air yang berisi larutan unsur hara disemburkan dalam
bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman. Akar tanaman
yang ditanam menggantung akan menyerap larutan hara
tersebut.
Produk Rekayasa Genetik Bukan Satu-satunya Pilihan
Penulis : Brigitta Isworo Laksmi | Selasa, 25 September 2012 | 17:24 WIB

DOKUMENTASI KOMPAS Sejak 1997, Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan


Departemen Pertanian di Bogor, Jawa Barat, telah meneliti beberapa jenis tanaman transgenik, di
antaranya jagung transgenik.

TERKAIT:

 Kementan Setuju, KLH Ingatkan Dampak


 Belum ada Produk Rekayasa Genetika di Pasaran
 Tebu Transgenik Direkomendasikan Menteri LH
 Transgenik Tabrak UU

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memiliki kekayaan hayati dan sumber daya manusia
yang andal untuk meningkatkan produk pertanian dan pangan. Produk rekayasa genetik bukan
satu-satunya pilihan. Untuk memasukkan produk rekayasa genetik, prinsip kehati-hatian harus
diterapkan secara tegas dan konsisten.

Demikian diutarakan Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti
Nuramaliati Prijono dan Koordinator Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko, Senin
(24/9/2012), di Jakarta.

Awal bulan ini, Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) menyatakan
aman produk pakan jagung RR NK603 dan Bt MON89034.

”Apakah PRG itu urgen? Apakah tidak ada yang lain? Kalau pakan, harus dicoba efeknya
terhadap ternak kita, efek klinisnya harus diteliti,” kata Nuramaliati, yang biasa dipanggil Lili.

”Ini tantangan buat kami. Indonesia punya jagung lokal, mengapa tidak kita produksi
sendiri?”ujarnya. Menurut dia, jika akan dikembangkan, produktivitas jagung lokal bisa
ditingkatkan. ”Riset jagung juga sudah banyak dilakukan,” kata Lili menambahkan.

Hal senada diungkapkan Tejo yang banyak mendampingi petani. Persoalan sebenarnya, menurut
Tejo, adalah keberpihakan negara. Bagaimana kebijakan negara terkait penelitian dalam negeri.
”Kita punya penelitian, macam-macam hortikultura, memiliki pusat-pusat penelitian. Lalu,
dikemanakan hasil-hasil penelitian selama ini?” ujar Tejo.

Dalam banyak kasus, hasil penelitian yang sampai pada tahap produksi massal biasanya jatuh ke
tangan perusahaan. Hasil penelitian tidak bisa murah ketika sampai di pasar.

Pengetahuan petani

Sebenarnya banyak petani memiliki kemampuan untuk memproduksi benih unggul. Petani
secara tradisional memiliki kemampuan yang didapatkan turun-temurun.

Persoalannya, pengetahuan mereka tidak tertulis dan hanya ada dalam ingatan mereka. Mengapa
pemerintah tidak mendampingi mereka untuk mencatat pengetahuan mereka. Dengan demikian,
mereka akan bisa bersaing,” katanya.
Masalahnya, Indonesia telah terikat dengan kesepakatan-kesepakatan dalam Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) sehingga melahirkan Undang-Undang Varietas Makanan. ”Semua
jenis benih harus didaftarkan, ada patennya,” ujar Tejo. ”Pemerintah tidak terlalu tertarik bekerja
dengan petani yang jumlahnya amat banyak.”

Sebaliknya, semua hasil percobaan dikerjasamakan dengan perusahaan.

Keputusan dangkal

Keputusan KKH PRG dinilai Tejo sebagai keputusan yang amat dangkal dan tidak berdasar.
Masalahnya, kajian atas dokumen dari proponen (pemberi usul) sebenarnya ”belum selesai”. Ada
hal yang belum jelas.

Laporan penelitian yang diajukan pihak perusahaan sebagai pengusul, misalnya, menyebutkan,
tidak ada dampak terhadap kesehatan.

Sementara itu, dari percobaan yang dilakukan ulang oleh peneliti Perancis, Gilles-Eric Seralini,
dari Universitas Caen, disebutkan, produk MON dan NK menunjukkan indikasi keracunan pada
hewan percobaan yang diberi produk itu.

Laporan penelitian dimuat pada International Journal of Biological Sciences edisi 5. ”Ternyata
dari penelitian masih ada ketidakjelasan,” ungkap Tejo.

Pada jumpa pers, Jumat lalu, pakar bioteknologi dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas
Santosa, mempertanyakan apakah efek pakan tersebut akan sama terhadap kambing dan sapi.

Pertanyaan senada dikemukakan Lili. ”Kalau pakan, kan, bisa langsung dimakan. Lalu, apa
efeknya terhadap ternak? Efek klinisnya harus diteliti secara serius,” ujar Lili.

Prinsip kehati-hatian

Pemerintah Indonesia didesak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam menerima PRG. Prinsip
kehati-hatian tersebut termuat dalam Deklarasi Rio Tahun 1992 pada butir ke-15.

”Indonesia menyepakati deklarasi internasional tersebut. Isi deklarasi itu merupakan prinsip
dasar dalam menangani PRG. Prinsip ini mengakui adanya potensi dampak lingkungan, sosial-
ekonomi, dan kesehatan dari PRG,” kata Lili.

Demi transparansi, lanjutnya, perusahaan produsen PRG harus jujur mencantumkan label PRG
dan menyebutkan hal-hal positif dan negatif dalam produknya.
8 Produk Rekayasa Genetik Dinyatakan Aman Pangan
Penulis : Yunanto Wiji Utomo | Jumat, 28 Oktober 2011 | 09:16 WIB

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Petani di Desa Kedungsuko, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten


Nganjuk, Jawa Timur, Kamis (1/10), memanen jagung di lahan garapan mereka. Di musim
kemarau, jagung menjadi favorit petani di kawasan ini karena harganya jualnya cukup tinggi dan
banyak dibutuhkan untuk memasok industri pakan ternak atau bahan baku bio energi.

JAKARTA, KOMPAS.com — Delapan produk rekayasa genetik dinyatakan "Aman Pangan".


Demikian dikatakan Muhammad Herman dari Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian dan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan.

Pernyataan "Aman Pangan" berarti produk tersebut sudah memenuhi kajian kesepadanan
substansial, perubahan nilai gizi, alerginisitas, toksisitas, dan pertimbangan lain, misalnya marka
gen antibiotik. "Dari 8 produk, 2 adalah kedelai dan 6 adalah jagung," kata Herman.

Beberapa jenis hasil rekayasa genetiknya seperti jagung tahan hama, jagung toleran herbisida
dan kedelai toleran herbisida.

Dari 8 produk "Aman Pangan" tersebut, semuanya merupakan hasil produksi perusahaan asing.
Masing-masing produsennya adalah Monsanto, Syngenta, dan Dupont-Pioneer.

Meski sudah dinyatakan "Aman Pangan", produk-produk tersebut belum bisa diedarkan. Semua
produk harus lulus uji keamanan pakan dan keamanan lingkungan. Uji keamanan pakan terkait
kemungkinan bagian tanaman transgenik dipakai sebagai pakan hewan. Sementara uji keamanan
lingkungan dilakukan karena kemungkinan interaksi tanaman atau gen yang disisipkan dengan
lingkungan.

Uji keamanan pangan pakan dan lingkungan adalah bagian dari upaya kehati-hatian pemerintah
pada produk transgenik. Pengkajian tanaman rekayasa genetik dilakukan dari tingkat lab,
fasilitas uji terbatas, lapangan uji terbatas, dan pengujian total.

Di samping produk yang rekayasa genetik yang "Aman Pangan" tersebut, ada juga produk tebu
yang sudah dinyatakan "Aman Lingkungan" hasil penelitian PT Perkebunan Nusantara IX.

Selain produk yang telah dinyatakan "Aman pangan" dan "Aman Lingkungan" tersebut, Herman
juga mengatakan, sudah ada perusahaan di Indonesia yang mengajukan permohonan uji produk
transgenik itu dari Monsanto, Dupont dan Syngenta.

Menurut Herman, Indonesia pada prinsipnya tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
menerima dan mengkomersialisasikan produk rekayasa genetika. Salah satunya dengan adanya
Permentan No 61/2011. Ia membantah bahwa Permentan itu menabrak UU No 32/2009.

Berdasarkan data, kini ada 148 juta hektar lahan di dunia yang ditanami tanaman transgenik.
Lahan terbesar yang ditanami ada di Amerika Serikat.

Editor :

A. Wisnubrata
Ilmu pengetahuan dalam bidang rekayasa genetika tanaman mengalami perkembangan yang luar
biasa. Perkembangannya diharapkan mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan baik
dari segi sandang, pangan, dan papan yang secara konvensional tidak mampu memberikan
konstribusi yang maksimal. Adanya produk hasil rekayasa tanaman memiliki tujuan untuk
mengatasi kelaparan, defisiensi nutrisi, peningkatan produktivitas tanaman, ketahanan terhadap
cekaman lingkungan yang ekstrem, dan lain-lain (Amin et al., 2011a). Perkembangan dari
rekayasa genetika tersebut diikuti dengan berbagai macam isu permasalahan seperti sosial,
ekonomi, lingkungan, kesehatan, politik, agama, etika dan legalitas suatu produk rekayasa
genetika. Permasalahan-permasalahan tersebut terangkum dalam sebuah kajian yang dinamakan
bioetika (Pottage, 2007; Evans&Michael, 2008). Perma-salahan bioetika rekayasa genetika selalu
dikaitkan oleh berbagai macam kekhawatiran tentang produk hasil rekayasa genetika.
Kekhawatiran tersebut mendorong munculnya berbagai macam kontroversial di kalangan
masyarakat. Dari hal inilah muncul berbagai macam pro dan kontra mengenai produk rekayasa
genetika. Adanya berbagai polemik tersebut mendasari terbentuknya berbagai macam peraturan
atau protokol yang mengatur berbagai macam aktivitas di bidang rekayasa genetika (Dano,
2007).

Pemanfaatan Rekayasa Genetika Tanaman


Tanaman transgenik memiliki potensi yang mampu mengubah dunia agrikultural. Hal ini
dikarenakan tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil produktivitas serta mampu
menekan biaya dann mengurangi ketergantungan bahan kimia yang mampu mencemari
lingkungan (Bhumiratana & Kongsawat, 2008). Pemanfaatan tanaman transgenik mampu
meningkatkan produksi tanaman di lebih dari 15 negara serta hampir 80 juta hektar pada tahun
2004 dalam skala global dipakai untuk memproduksi tanaman transgenik seperti kedelai, jagung,
kanola dan kapas (Watanabe, 2005). Pada tahun 2009, terjadi peningkatan menjadi 29 negara
yang menggunakan tanaman transgenik. Hal ini dikarenakan tanaman transgenik mampu
meningkatkan hasil produksi serta mampu memberikan income skala global, mampu mereduksi
emisi karbon, serta mampu meminimalisir penggunaan pestisida (Adams, 2011).

Tanaman transgenik yang telah diaplikasikan memiliki sejumlah potensi antara lain
menghasilkan tanaman yang toleran terhadap herbisida, serangga/hama, kekeringan, banjir,
panas, dan kadar garam. Tanaman-tanaman tersebut telah dimodifikasi secara genetik untuk
mampu mentoleransi kondisi lingkungannya. Sebagai contoh tanaman kapas yang mampu
menghasilkan toksin serangga yang telah disisipi gen dari Bacillus thuringensis (Bt). Di india,
tamanan kapas transgenik tersebut secara ekonomi mampu meningkatkan hasil produksi sebesar
39% serta meningkatkan profit sebesar 71% per hektar dan dampak positif terhadap lingkungan
adalah mampu mengurangi penggunaan pestisida sebesar 33% pada tahun 2007. Sementara di
China mampu menghasilkan tanaman padi transgenik yang juga disisipi gen penghasil toksin
serangga dari Bt dan sebagai hasilnya negara tersebut mampu mereduksi penggunaan 17 kg
pestisida per hektar. Dan dalam skala global, penggunaan pestisida mengalami penurunan
sebesar 389 juta kg semenjak tahun 1996 (Adams, 2011; Velkov et al., 2005).

Pengertian Bioetika
Etika adalah kajian yang membahas mengenai sudut pandang moral yang mengatur suatu
perilaku yang sesuai dengan keadaan bagi perorangan maupun kelompok. Secara sederhana,
etika dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan perilaku, norma, atau perspektif yang
membedakan antara baik dan buruk yang dapat diterima oleh suatu kelompok sosial. Sementara
pengertian bioetika sendiri merupakan kajian etika yang berada pada level kajian biologi dan
medis. Dalam pertanian, Bioetika dipandang sebagai penerapan yang lebih luas mengenai
bioetika yang mencakup suatu penialaian etika terhadap semua tindakan yang bisa membantu
atau membahayakan suatu organisme. (Fossey, 2007).

Dalam membahas bioetika, terdapat empat prinsip fundamental yang dirintis oleh Maulana
Jalaluddin Rumi pada abad 13 yang meliputi:

1. Beneficence, yakni memberikan prioritas yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia


serta mengacu pada perilaku yang baik.
2. Non-maleficence, menghindari perilaku yang dapat merugikan orang lain.
3. Autonomy, menghormati hak-hak pribadi orang lain
4. Justice, memberikan perilaku yang adil serta kesetaraan bagi manusia. (Aksoy&Tenik,
2002; Fossey, 2007).
Kebijakan Regulasi Tanaman Transgenik
Kebijakan publik pada pengembangan dan penggunaan organisme yang dimodifikasi secara
genetik (Genetically Modified Organism–GMO) selalu berkaitan dengan manajemen risiko yang
akan ditimbulkan. Sehingga diperlukan suatu regulasi yang mengatur suatu produk transgenik.
Regulasi yang dikaji berupa Regulation and Risk Assessment, yang merupakan peraturan
mengenai peluncuran, pengembangan, dan produksi komersial dari GMO yang berkaitan dengan
risiko lingkungan dan kesehatan; dan ‘‘The Natural’’ and Crossing Species Borders, yang
merupakan pengaturan mengenai klaim “tidak alami” akibat penyebaran GMO yang
dikhawatirkan akan mengganngu biodiversitas (Myskja, 2006).

Adapun regulasi skala global telah yang disepakati adalah Cartagena Protocol on Biosafety yang
didasarkan pada asas precationary yang terdiri dari 40 artikel dan 3 annex (Cartagena Protocol,
2000). Protokol tersebut memiliki tujuan untuk memberikan konstribusi dan memastikan
keamanan di lingkungan serta menangani dan memberikan sarana bagi organisme transgenik
agar tidak merugikan keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan juga pula resikonya
terhadap kesehatan manusia. Protokol tersebut juga berlaku bagi perpindahan lintas batas,
persinggahan, penanganan dan penggunaan semua organisme hasil modifikasi yang mungkin
memiliki efek buruk pada konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman
hayati, dengan mempertimbangkan pula risiko terhadap kesehatan manusia.

Selain protokol Cartagena, regulasi regional juga diberlakukan seperti yang dilakukan di negara
Denmark pada tahun 2004 yang mengatur beberapa regulasi, yakni: sistem perizinan dalam
menumbuhkan tanaman transgenik; isolasi jarak yang secara saintifik telah dievaluasi dan
disetujui; dan tanggung jawab terhadap kerusakan yang mungkin muncul akibat hibridisasi/
pencampuran tanaman transgenik dengan non-transgenik.

Dalam skala nasional, sudah dibentuk undang-undang yang berkaitan dengan transgenik yang
tertuang dalam UU No. 18/2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan IPTEK (RPP Peneltian Berisiko Tinggi). Disebutkan pada pasal 22 yang berbunyi:

1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata
kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. 2) Untuk melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur perizinan bagi
pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang
berlaku secara internasional.

Kajian Dampak Sosial - Ekonomi Transgenik


Menurut Dano (2007), kajian mengenai dampak sosial-ekonomi transgenik memiliki keterkaitan
dengan sejumlah alasan/nilai-nilai penting, antara lain tanggung jawab sosial: para ilmuwan yang
mengembangkan transgenik harus memperkenalkan ke masyarakat serta diperhatikan pula
tanggung jawab moral dan etika akan dampak-dampak yang ditimbulkan dari produk transgenik,
termasuk potensi dampak sosial-ekonominya; tanggung jawab antar generasi: tujuan dari adanya
teknologi harus memiliki sifat pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tujuan ini terkait
dengan tanggung jawab antar generasi dari para pengembang teknologi tersebut dan para
pembuatan kebijakan pemerintah. Mengkaji dampak sosial-ekonomi transgenik tidak hanya akan
menjamin bahwa dampak akan tersebut bisa dihilangkan atau setidaknya dampaknya
diminimalkan, tetapi tetap dapat melindungi kepentingan dan kebutuhan generasi masa sekarang
dan masa depan karena dampak sosial-ekonomi teknologi akan dirasakan dari generasi ke
generasi; penerimaan masyarakat: dengan memberikan pertimbangan yang serius akan potensi
dampak sosial-ekonomi transgenik, para pengembang dan pembuat kebijakan akan memiliki
kepekaan lebih baik atas penerimaan masyarakat akan teknologi dan produk-produknya;
mengurangi biaya jangka panjang: keprihatinan utama dalam pengkajian sosial-ekonomi
transgenik adalah biaya yang terkait proses-proses dari luasnya partisipasi para pihak, pelaku,
serta kurun waktu yang diperlukan untuk melalui proses-proses tersebut. Hal ini mungkin bisa
menjadi keprihatinan yang benar dalam jangka pendek, namun mengabaikan kemungkinan biaya
jangka panjang dari sebuah teknologi terhadap masyarakat yang muncul dari dampak merusak
yang potensial.
Oleh karena itu, dengan memasukkan pertimbangan sosial-ekonomi dalam pembuatan keputusan
tentang transgenik, maka biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak dapat ditarik kembali
kemungkinan dapat dihapus atau diminimalkan dampaknya.
Kajian dampak sosial-ekonomi tersebut juga sangat bergantung kepada kondisi suatu negara
perkembangan negara.

Pertimbangan Etika dan Agama


Berbagai pertimbangan etika yang menyangkut agama dalam konteks sains sering menjadi topik
yang sering dibahas. Menurut Evans & Michael (2008), studi tentang hubungan antara agama
dan sains secara tradisional diasumsikan bahwa setiap konflik yang terjadi semat-mata
didasarkan pada epistemologi dari esensi agama itu sendiri. Oleh karena itu, pertimbangan setiap
agama terhadap tanaman transgenik memiliki kebijakan sendiri. Namun hal tersebut juga
dipengaruhi oleh kebijkan suatu negara serta pola pikir suatu masyarakat. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Amin et al (2011b) di Malaysia dengan responden berbagai agama serta ras,
mereka mampu menerima dan mengiterpretasikan antara agama dengan tanaman transgenik
berupa yang padi yang telah disisipi gen penghasil vitamin C. Tentu saja masih banyak kajian
yang perlu dilakukan untuk membahas hubungan etika dan agama dengan tanaman transgenik
yang lain.

Sementara itu, pertimbangan etika dan agama dapat dikaji menjadi dua, yakni intrinsic
objections yang mengkaji dampak transgenik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia,
dikhawatirkan akan merugikan petani kecil, adanya isu bahwa tanaman transgenik akan
dijadikan ladang bisnis ilmu pengetahuan, dan tanaman transgenik dapat mengancam
biodiversitas. Kajian berikutnya adalah extrinsic objections yang mengkaji bahwa tanaman
transgenik bersifat "unnatural" dikarenakan adanya campur tangan alam atau permainan Tuhan,
bisa mengubah dunia melalui tekhnologi baru, membatasi persilangan spesies secara alami,
adanya reproduksi nonseksual, dapat mengganggu integritas, kecantikan, dan keseimbangan
alam, serta dapat mengganggu ketenangan makhluk.
Keamanan Pangan

Mengantisipasi Pangan Transgenik

SALAH satu topik yang dibahas dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII adalah
pangan transgenik. Menurut Prof Dr Soekirman, MPS-ID, Ketua Kelompok Kerja Ahli
Dewan Ketahanan Pangan yang juga ketua steering committee WNPG VIII, pangan
transgenik menjadi topik bahasan khusus karena tantangan masa depan dalam mencukupi
pangan penduduk dunia, dan juga domestik, yang terus meningkat. Alternatif pemenuhan
kebutuhan itu antara lain melalui pangan hasil rekayasa genetika.

ORGANISASI Kesehatan Dunia (WHO), menurut Prof Soekirman, menyatakan, sampai


kini belum ditemukan bukti-bukti bahwa tanaman pangan transgenik merugikan kesehatan
manusia. Isu pangan transgenik kini beralih dari isu mengenai teknologi menjadi isu
lingkungan, politik, ekonomi, dan etika.

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII menyatakan bahwa pangan rekayasa
genetik dapat diterima dengan prinsip kehati-hatian, selektif, dan memerhatikan bio-etika
sepanjang tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan. Begitu juga biofortifikasi
pangan melalui budidaya tanaman untuk meningkatkan kandungan dan mutu gizi pangan.

WNPG VIII juga merekomendasikan untuk mengembangkan produk rekayasa lokal


berdasarkan keragaman hayati lokal dengan tidak membahayakan kesehatan dan
keragaman hayati, serta tidak menimbulkan ketergantungan ekonomi pada negara lain.

Rekomendasi lain WNPG VIII adalah pelabelan produk makanan yang berbahan pangan
transgenik. Pelabelan itu sendiri bukan untuk menyatakan keamanan produk itu, tetapi
lebih sebagai informasi kepada masyarakat agar dapat menentukan pilihan.

Selain itu, mengenai konsumsi pangan, WNPG VIII menyempurnakan angka kecukupan
gizi tahun 1998, yaitu angka kecukupan energi (AKE) lebih rendah 10 persen daripada
AKE sebelumnya, yaitu menjadi 2000Kkal/kapita/hari, sedangkan angka kecukupan
protein (AKP) naik menjadi 52 gram/ kapita dari angka sebelumnya sebesar 50 gram.
Sementara untuk tingkat penyediaan, WNPG VIII merekomendasikan AKE sebesar
2200Kkal dan AKP 57 gram.

Selain menyempurnakan angka kecukupan gizi, WNPG VIII juga merekomendasikan pula
pangan yang sehat adalah yang mengandung serat pangan, mangan, dan fluor.
Perbandingan antara serat pangan tidak larut dan larut dalam air adalah tiga berbanding
satu, perbandingan kandungan omega 6 dan omega 3 juga tiga berbanding satu, batas
asupan lemak jenuh 8 persen per hari, karbohidrat sederhana 10 persen, dan cukup
mengonsumsi lemak trans, air dan elektrolit.

Yang juga ditekankan oleh WNPG VIII adalah setiap produk makanan, minuman, dan obat
harus bisa memberi bukti terhadap klaim-klaim yang mereka ajukan. "Misalnya, ada yang
mengklaim kandungan dalam produknya meningkatkan kecerdasan anak, klaim itu harus
disertai dengan bukti empiris. Tujuannya untuk melindungi konsumen supaya tidak
dibodohi oleh iklan," papar Prof Soekirman.

PERKEMBANGAN dalam teknologi molekuler telah membuka cakrawala baru bagi


pengembangan bahan pangan. Salah satunya adalah pemetaan gen tanaman yang
mempercepat proses rekayasa genetika melalui teknologi pemuliaan konvensional maupun
melalui teknologi transgenik.
Salah satu yang dibahas di dalam WNPG VIII adalah teknologi biofortifikasi pada padi
untuk meningkatkan kandungan zat besi pada beras yang, menurut Prof Soekirman, sedang
dikerjakan di bawah koordinasi International Food Policy Research Institute (IFPRI).
"Produknya belum tersedia di pasar, mungkin baru 5-6 tahun lagi," kata Soekirman. Benih
yang dihasilkan nantinya akan menjadi milik bersama karena penelitian ini dikerjakan
bersama pemerintah berbagai negara, bukan oleh perusahaan multinasional.

Ketersediaan pangan fortifikasi yang melekat langsung di dalam tanaman bahan pangan
akan jauh lebih efisien dalam produksi dan lebih murah sehingga lebih banyak rumah
tangga bisa mengakses dibandingkan bila fortifikasi diberikan pada hasil akhir, misalnya
dengan memberi vitamin A pada bulir padi.

Bila produk beras yang mengalami biofortifikasi dengan teknik pemuliaan tanaman
konvensional ini berhasil dan tersedia benihnya secara luas bagi petani, produk ini akan
membantu mengatasi masalah anemia yang dialami negara-negara berkembang dan miskin
mengatasi anemia besi pada ibu hamil dan balita.

Data Departemen Kesehatan yang disampaikan dalam WNPG VIII memperlihatkan bahwa
terdapat 2,5 juta (40,1 persen) ibu hamil, 4 juta (26,4 persen) perempuan usia subur, dan
7,2 juta (47 persen) balita menderita anemia. Akibat dari anemia ini pada ibu hamil adalah
perdarahan yang ikut menyumbang pada tingginya angka kematian ibu hamil dan
melahirkan serta bayi lahir dengan berat badan rendah dengan pertumbuhan fisik dan
intelegensi rendah.

Prof Dr Dedi Fardiaz, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, dalam widyakarya menyebutkan
bahwa pangan produk rekayasa genetik adalah pangan atau produk pangan yang
diturunkan dari tanaman atau hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika.

Dalam catatan Kompas, penelitian besar-besaran dalam menghasilkan bahan makanan


transgenik dimulai sejak Watson dan Crick pada 51 tahun lalu berhasil menemukan
susunan kimia asam deoksiribonukleat yang disebut double helix di inti sel dan mengatur
penurunan sifat suatu organisme dan menuliskan temuan mereka dalam majalah Nature.
Setelah itu, berbagai pusat penelitian milik pemerintah dan swasta multinasional berlomba-
lomba melakukan pemetaan gen sejumlah tanaman yang sifat-sifatnya akan dipindahkan
ke tanaman lain dengan menggunakan kendaraan gen bakteri yang kompatibel.

Bila awalnya penelitian ditujukan untuk mengatasi kendala waktu pada pemuliaan
konvensional, pangan produk rekayasa genetika (PRG), menurut Dedi Fardiaz,
berkembang menjadi kegiatan komersial untuk memberi keuntungan bagi produsen
maupun mutu dan nilai gizi bahan pangan yang dihasilkan. PRG pada tanaman pangan
awalnya ditujukan untuk perlindungan tanaman, terutama meningkatkan ketahanan
terhadap penyakit tanaman akibat serangan virus atau bakteri, atau meningkatkan toleransi
terhadap herbisida.

Beberapa tanaman pangan hasil rekayasa genetika yang sudah tersedia di pasar, antara lain,
adalah tomat yang dirancang agar proses pematangannya terhambat sehingga lebih tahan
lama dalam penyimpanan, Bt Corn, yaitu jagung yang dirancang mengandung protein
insektisida yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), Round Up Ready R
Soybean, yaitu kedelai yang toleran terhadap senyawa aktif glifosat yang terdapat dalam
herbisida yang dikenal secara komersial sebagai Round-Up R, Glyphosate-tolerant Corn
Line GA21, yaitu jagung yang toleran glifosat, dan beras yang mengandung vitamin A
(golden rice).
MESKIPUN WHO menyebutkan sampai kini belum ada bukti bahwa pangan hasil
rekayasa genetika merugikan kesehatan, tetapi prinsip kehati- hatian tetap diperlukan
karena dampak pangan terhadap kesehatan boleh jadi baru akan terlihat dalam jangka
panjang. "Karena itu, prinsip kehati-hatian tetap penting," kata Prof Soekirman dan Prof
Dedi Fardiaz secara terpisah.

Dalam kenyataannya, kekhawatiran terhadap keamanan pangan kesehatan terhadap


kesehatan memang muncul di masyarakat, terutama di negara- negara maju yang tingkat
melek teknologinya sudah baik. Isu transgenik juga digunakan dalam perang dagang antara
Uni Eropa dan Amerika Serikat yang merupakan produsen terbesar pangan transgenik
yang 35,7 juta hektar atau 68 persen pertanamannya adalah tanaman transgenik.

Bioteknologi sebenarnya telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dalam bentuk, antara lain
produk fermentasi. Bioteknologi dianggap berbeda dari metode seleksi tradisional karena
bioteknologi memungkinkan transfer ciri-ciri organisme yang secara alamiah tidak
mungkin terjadi secara alamiah.

Ada beberapa definisi mengenai bioteknologi, tetapi kesepakatan internasional dalam


Protokol Cartagena didefinisikan sebagai teknik asam nukleat secara in vitro, termasuk
rekombinasi asam deoksiribonukleat (DNA) dan injeksi langsung asam nukleat ke sel atau
organela, atau fusi dari sel-sel yang berasal dari luar keluarga secara taksonomi yang
mengatasi hambatan reproduksi fisiologis atau rekombinasi alamiah dan bukan teknik yang
digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.

Prof Julian Kinderlerer dan Dr Mike Adcock dari Sheffield Institute of Biotechnological
Law and Ethics, University of Sheffield, Inggris, dalam makalah berjudul Agricultural
Biotechnology, Politics, Ethics, and Policy yang dipublikasi dalam situs www.ifpri.org
menyebutkan bahwa modern bioteknologi yang memungkinkan modifikasi organisme
yang tidak mungkin terjadi secara alamiah menimbulkan ketakutan, kehebohan, serta sikap
kehati- hatian dengan berbagai alasan, dan telah diatur sejak percobaan pertama yang
melakukan transfer materi genetik di antara organisme yang secara taksonomi tidak berada
dalam satu keluarga.

Masyarakat sendiri bersifat mendua dalam menghadapi isu bioteknologi. Rekayasa


genetika untuk obat-obatan dan florikultura tidak sekontroversial modifikasi genetik pada
tanaman pangan manusia. Begitu juga modifikasi gen pada hewan dan manusia memicu
isu etika. Di Amerika Serikat, di mana tanaman pangan rekayasa genetika paling luas
ditanam dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, hampir semua penduduknya
mengatakan, mereka tidak keberatan mengonsumsi beberapa jenis pangan hasil rekayasa
genetika dan hampir dua pertiga melihat pangan hasil rekayasa genetika akan baik untuk
manusia. Namun, 56 persen penduduk AS mengatakan, isu modifikasi genetika
menimbulkan keprihatinan yang besar.

Kekhawatiran terhadap pangan hasil rekayasa genetik, menurut Dedi Fardiaz, dalam hal
kesehatan antara lain karena ada kekhawatiran zat penyebab alergi (alergen) berupa protein
dapat ditransfer ke bahan pangan, terjadi resistensi antibiotik karena penggunaan marker
gene, dan terjadi outcrossing, yaitu tercampurnya benih konvensional dengan benih hasil
rekayasa genetika yang mungkin secara tidak langsung menimbulkan dampak terhadap
keamanan pangan.

Terhadap lingkungan dan perdagangan, pangan hasil rekayasa genetika (PRG)


dikhawatirkan merusak keanekaragaman hayati, menimbulkan monopoli perdagangan
karena yang memproduksi PRG secara komersial adalah perusahaan multinasional,
menimbulkan masalah paten yang mengabaikan masyarakat pemilik organisme yang
digunakan di dalam proses rekayasa, serta pencemaran ekosistem karena merugikan
serangga nontarget misalnya. Dalam hal etika dan agama, PRG juga menimbulkan
kontroversi ketika terjadi transfer gen dari hewan kepada tumbuhan, transfer gen dari
manusia ke hewan, dan transfer gen dari hewan yang diharamkan.
INDONESIA sudah mengatur pangan hasil rekayasa genetika melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 13 undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa a) setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan atau bahan baku lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan
yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan
keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan; b) pemerintah menetapkan
persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa
genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi
pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

Selain itu, juga ada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan. Pasal 35 peraturan ini mewajibkan pencantuman keterangan "pangan rekayasa
genetika" untuk pangan hasil rekayasa genetika. Label juga harus menyebutkan bahan
PRG bila bahan yang digunakan dalam produk pangan bersangkutan merupakan hasil
rekayasa genetika.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, menurut Dedi Fardiaz,
melalui Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KKHKP) telah menyusun tata
cara pengkajian keamanan pangan PRG dan tata cara ini telah digunakan untuk mengkaji
keamanan pangan PRG.

Pengkajian keamanan pangan PRG menyangkut informasi genetik dan informasi


keamanan pangan. Informasi genetik berupa deskripsi umum pangan PRG, deskripsi inang
dan penggunaannya sebagai pangan, deskripsi organisme donor, deskripsi modifikasi
genetik, dan karakteristik modifikasi genetik. Sedangkan informasi keamanan pangan
meliputi kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi dibandingkan dengan pangan
tradisional, kemungkinan menimbulkan alergi, dan toksisitas. "Untuk Indonesia, ambang
batas yang ditetapkan adalah bila terdapat lebih dari lima persen bahan mengandung PRG,
maka harus dicantumkan dalam label. Dengan cara ini konsumen mendapat informasi dan
bisa melakukan pilihan," kata Dedi.

Menurut dia, saat ini status pangan transgenik Indonesia menunggu rekomendasi atas hasil
kajian keamanan pangan untuk kedelai dan jagung toleran glifosat. Kewajiban pelabelan
pangan PRG dilakukan setelah ada rekomendasi status keamanan tanaman tersebut.
Penelitian untuk menghasilkan pangan hasil rekayasa genetika pun tengah dilakukan antara
lain oleh LIPI dengan sejumlah persyaratan ketat.

Untuk mengantisipasi kontroversi mengenai produk rekayasa genetika masih akan


berlangsung, tetapi di sisi lain juga ada kebutuhan untuk tidak bergantung pada pihak luar,
rekomendasi WNPG VIII tentang dikembangkannya penelitian produk rekayasa genetika
lokal perlu disikapi dengan arif tanpa semata-mata bereaksi menolak. Karena kenyataan
yang sudah terjadi adalah bila tidak mengembangkan produk rekayasa genetik sendiri,
Indonesia akan menjadi konsumen produk rekayasa genetik yang diproduksi negara lain
atau perusahaan multinasional. (NMP)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/28/sorotan/1049542.htm
PENILAIAN STATUS GIZI
Monday, 2 May 20110 comments
Dr. Suparyanto, M.Kes

PENILAIAN STATUS GIZI


PENGERTIAN STATUS GIZI

 Status Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk tertentu atau
perwujudan dari nutriture dalam bentuk variable tertentu. Contoh: Gondok merupakan
keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa.
IDN, 2002: 18).

 Status Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu
dalam suatu variabel (Hadi, 2002).

 Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara
zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya (Gibson, 1990).
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

 Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang adalah lingkungan
fisik, biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Achmadi, 2009).

1. Kondisi fisik yang dapat mempengaruhi terhadap status pangan dan gizi suatu daerah
adalah cuaca, iklim, kondisi tanah, sistem bercocok tanam, dan kesehatan lingkungan.
2. Faktor lingkungan biologi misalnya adanya rekayasa genetika terhadap tanaman dan
produk pangan. Kondisi ini berpengaruh terhadap pangan dan gizi. Selain itu adanya
interaksi sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi yaitu infeksi akan
mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
3. Lingkungan ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang sangat menentukan dalam penyediaan
pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian seseorang baik maka status
gizinya akan baik. Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang
dibandingkan golongan menengah ke atas.
4. Faktor lingkungan budaya. Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat
pantangan, takhayul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan
menjadi rendah. Di samping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak
yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga.
5. Lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi ekonomi di suatu
daerah dan menentukan pola konsumsi pangan dan gizi yang dilakukan oleh masyarakat.
Misalnya kondisi sosial di pedesaan dan perkotaan yang memiliki pola konsumsi pangan
dan gizi yang berbeda. Selain status gizi juga dipengaruhi oleh kepadatan penduduk,
ketegangan dan tekanan sosial dalam masyarakat.
6. Lingkungan politik. Ideologi politik suatu negara akan mempengaruhi kebijakan dalam
hal produksi, distribusi, dan ketersediaan pangan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBANTU TERCAPAINYA STATUS GIZI YANG BAIK

 Ada beberapa faktor yang membantu tercapainya status gizi yang baik, antara lain
(Barasi, M.E, 2007: 90) :
1. Aktivitas fisik

 Aspek ini mempertahankan kebutuhan energi dan nafsu makan, menjamin asupan
makanan yang adekuat, serta mempertahankan massa otot, yang menunjang hidup
mandiri dan kemampuan menyediakan makanannya sendiri.
2. Interaksi sosial

 Hal ini mendorong orang untuk makan dan mempertahankan minat mereka terhadap
makanan.
3. Pemilihan makanan

 Pemilihan makanan dari berbagai macam jenis, yang mencakup semua kelompok
makanan dalam jumlah yang sesuai.

METODE PENILAIAN STATUS GIZI

 Penilaian status gizi ada 2 macam, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan
penilaian status gizi secara tidak langsung ( Supariasa. IDN, 2002: 18).
I.Penilaian Status Gizi secara Langsung

 Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu:
A. Antropometri

1. Pengertian

 Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia, ditinjau dari sudut pandang
gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
2. Penggunaan

 Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein


dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
3. Indeks Antropometri

 Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara
beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang
sering digunakan yaitu:
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

 Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Berat
badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana
keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin,
maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Mengingat karakteristik
berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang
saat ini (Current Nutrirional Status).
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

 Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan


skeletal. Pada keadaan normal tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
c. Berat badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

 Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan
kecepatan tertentu.
d. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)

 Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan
lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkolerasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB.
e. Indeks Massa Tubuh (IMT)

 IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa yang
berumur diatas 18 tahun khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus
(penyakit) lainnya, seperti adanya edema, asites dan hepatomegali.
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
Berat Badan (kg)
IMT =
Tinggi badan (m) x Tinggi Badan (m)
Atau
Barat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m).
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas
ambang untuk laki-laki dan perempuan.
Batas ambang normal laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8.

Batas ambang IMT untuk Indonesia, adalah sebagai berikut:

1. IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat
berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat.
2. IMT 17,0-18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan Kekurangan Berat Badan
tingkat ringan atau KEK ringan.
3. IMT 18,5-25,0: keadaan orang tersebut termasuk kategori normal.
4. IMT 25,1-27,0: keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan
tingkat ringan.
5. IMT > 27,0: keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat
berat.

f. Tebal Lemak Bawah Kulit Menurut Umur

 Pengukuran lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan lemak bawah kulit dilakukan
pada beberapa bagian tubuh, misalnya pada bagian lengan atas, lengan bawah, di tengah
garis ketiak, sisi dada, perut, paha, tempurung lutut, dan pertengahan tungkai bawah.

g. Rasio Lingkar Pinggang dengan Pinggul

 Rasio Lingkar Pinggang dengan Pinggul digunakan untuk melihat perubahan


metabolisme yang memberikan gambaran tentang pemeriksaan penyakit yang
berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak tubuh.

 Dari berbagai jenis indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan


ambang batas. Ambang batas dapat disajikan kedalam 3 cara yaitu: persen terhadap
median, persentil, dan standar deviasi unit.
1). Persen terhadap Median

 Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri gizi, median sama
dengan persentil 50. Nilai median dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah
itu dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas.
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun
1999

Kategori
Cut of point*)
Gizi Lebih >120%
Gizi Baik 80% - 120%
Gizi Sedang 70% - 79,9%
Gizi Kurang 60% - 69,9%
Gizi Buruk <60%
Persen dinyatakan terhadap Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
*) Laki-laki dan perempuan sama
Sumber: supariasa. IDN, 2002: 76
2). Persentil

 Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap median adalah
persentil. Persentil 50 sama dengan Median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada
diatasnya dan setengahnya berada dibawahnya. NCHS merekomendasikan persentil ke 5
sebagai batas gizi buruk dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi
baik.
3). Standar Deviasi Unit (SDU)

 Standar Deviasi Unit disebut juga Z-skor. WHO menyarankan menggunakan cara ini
untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan.

B. Klinis

1. Pengertian

 Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
seperti kulit, mata, rambut, dan organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.
2. Penggunaan

 Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang
untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau
lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang
dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit.
C. Biokimia

1. Pengertian

 Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh, antara lain: darah, urine,
tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
2. Penggunaan

 Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi.
D.Biofisik

1. Pengertian

 Merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya
jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan.
2. Penggunaan

 Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja endemik.
Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

PENILAIAN STATUS GIZI SECARA TIDAK LANGSUNG

 Dapat dibagi menjadi 3, yaitu:


A. Survei Konsumsi Makanan

1. Pengertian

 Merupakan metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
2. Penggunaan

 Dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan
zat gizi

B.Statistik Vital

1. Pengertian

 Pengukuran status gizi dengan menganalisis data beberapa statistic kesehatan seperti
angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
2. Penggunaan

 Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung


pengukuran status gizi masyarakat.

C.Faktor Ekologi

1. Pengertian

 Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik,
biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari
keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain.
2. Penggunaan

 Untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk


melakukan program intervensi gizi.

FAKTOR PEMILIHAN METODE PENILAIAN STATUS GIZI

 Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih dan menggunakan metode
adalah sebagai berikut (Supariasa. IDN, 2002: 22):
1). Tujuan

 Tujuan pengukuran sangat perlu diperhatikan dalam memilih metode, seperti tujuan ingin
melihat fisik seseorang, maka metode yang digunakan adalah antropometri. Apabila ingin
melihat status vitamin dan mineral dalam tubuh sebaiknya menggunakan metode
biokimia.
2). Unit Sampel yang Akan Diukur

 Berbagai jenis unit sampel yang akan diukur sangat mempengaruhi penggunaan metode
penilaian status gizi. Jenis unit sampel yang akan diukur meliputi individual, rumah
tangga/keluarga dan kelompok rawan gizi.
3). Jenis Informasi yang Dibutuhkan

 Pemilihan metode penilaian status gizi sangat tergantung pula dari jenis informasi yang
diberikan. Jenis informasi itu antara lain: asupan makanan, berat dan tinggi badan,
tingkatan hemoglobin dan situasi sosial ekonomi. Apabila menginginkan informasi
tentang asupan makanan , maka metode yang digunakan adalah survei konsumsi. Dilain
pihak apabila ingin mengetahui tingkat hemoglobin maka metode yang digunakan adalah
biokimia. Jika ingin membutuhkan informasi tentang keadaan fisik seperti berat badan
dan tinggi badan, sebaiknya menggunakan metode antropometri. Begitu pula apabila
membutuhkan informasi tentang situasi sosial ekonomi sebaiknya menggunakan
pengukuran faktor ekologi.
4). Tingkat Realiabilitas dan Akurasi yang Dibutuhkan

 Masing-masing metode penilaian status gizi mempunyai tingkat reliabilitas dan akurasi
yang berbeda-beda. Contoh penggunaan metode klinis dalam menilai tingkatan
pembesaran kelenjar gondok adalah sangat subjektif sekali. Penilaian ini membutuhkan
tenaga medis dan paramedis yang sangat terlatih dan mempunyai pengalaman yang
cukup dalam bidang ini. Berbeda dengan penilaian secara biokimia yang mempunyai
reliabilitas dan akurasi yang sangat tinggi. Oleh karena itu apabila ada biaya, tenaga dan
sarana-sarana lain yang mendukung, maka penilaian status gizi dengan biokimia sangat
dianjurkan.
5). Tersedianya Fasilitas dan Peralatan

 Berbagai jenis fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam penilaian status gizi.
Fasilitas tersebut ada yang mudah didapat dan ada pula yang sangat sulit diperoleh. Pada
umumnya fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam penilaian status gizi secara
antropometri relatif lebih mudah didapat dibanding dengan peralatan penentuan status
gizi dengan biokimia.
6). Tenaga

 Ketersediaan tenaga, baik jumlah maupun mutunya sangat mempengaruhi penggunaan


metode penilaian status gizi. Jenis tenaga yang digunakan dalam pengumpulan dara status
gizi antara lain: ahli gizi, dokter, ahli kimia, dan tenaga lain. Penilaian status gizi secara
biokimia memerlukan tenaga ahli kimia atau analisis kimia, karena menyangkut berbagai
jenis bahan dan reaksi kimia yang harus dikuasai. Berbeda dengan penilaian status gizi
secara antropometri, tidak memerlukan tenags ahli, tetapi tenaga tersebut cukup dilatih
beberapa hari saja sudah dapat menjalankan tugasnya.
7). Waktu

 Ketersediaan waktu dalam pengukuran status gizi sangat mempengaruhi metode yang
akan digunakan. Waktu yang ada bisa dalam mingguan, bulanan, dan tahunan. Apabila
kita ingin menilai status gizi disuatu masyarakat dan waktu yang tersedia relatif singkat,
sebaiknya dengan menggunakan metode antropometri.
8). Dana

 Masalah dana sangat mempengaruhi jenis metode yang akan digunakan untuk menilai
status gizi. Umumnya penggunaan metode biokimia relatif mahal dibanding dengan
metode lainnya. Penggunaan metode disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam
penilaian status gizi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Achmadi. (2009), Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Status Gizi, Ketersediaan dan
Produksi Pangan. http:/ anianaharani.blogspot.com diakses pada 17 Pebruari 2011
2. Andrews, G, (2010), Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Wanita: EGC. Jakarta
3. Arisman. (2010), Gizi Dalam Daur Kehidupan: EGC. Jakarta
4. Barasi, M. E, (2007), At A Glance Ilmu Gizi: Erlangga. Surabaya
5. Baziad, Ali. (2003), Menopause dan Andropause: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta
6. Baziad, Ali. (2010), Waspadai Menopause Dini. http://m.okezone.com diakses pada 7
Pebruari 2011
7. Gibson. (1990). Pengertian Status Gizi. http:/www.rajawana.com diakses pada 15
Pebruari 2011
8. Hadi. (2002). Pengertian Status Gizi. http:/www.rajawana.com diakses pada 15 Pebruari
2011
9. Hanafiah. (1990). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wanita Menghadapi Pre
Menopause. http://www.bascommetro.com diakses pada 25 Pebruari 2011
10. Lestari, D. (2010), Seluk Beluk Menopause: Gara Ilmu. Jogjakarta
11. Notoatmodjo, S. (2010), Metodologi Penelitian Kesehatan: Rineka Cipta. Jakarta
12. Nursalam. (2008), Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Salemba Medika. Jakarta
13. Paath, E. F. (2005), Gizi Dalam Kespro: EGC. Jakarta
14. Prasetyo, Iin. (2008), Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Menopause Dini di Desa
Kuncen, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. http://digilib.unimus.ac.id diakses
pada tanggal 7 Pebruari 2011
15. Prawirohardjo, S. (2005), Ilmu Kandungan: Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
16. Purwantyastuti. (2008). Menopause Dini. http:/mimi-breastfriend.blogspot.com diakses
pada 17 Pebruari 2011
17. Sugiyono. (2007), Statistika Untuk Penelitian: Alfabeta. Bandung
18. Supariasa, I.D.N. (2002), Penilaian Status Gizi: EGC. Jakarta
19. Tirtawinata, T.C. (2006), Makanan Dalam Prespektif Al Qur’an dan Ilmu Gizi: FKUI.
Jakarta
20. Utama, H. (2006), Gizi Sehat Untuk Perempuan: FKUI. Jakarta
21. Varney, H. (2007), Buku Ajar Asuhan Kebidanan: EGC. Jakarta
22. (2009), Kehidupan Seksual Wanita Saat Memasuki Usia Menopause.
http://psks.lppm.uns.ac.id diakses pada 17 Pebruari 2011
FSQ Articles
2 May 2010
Dampak Gizi dan Kesehatan pada Pangan Transgenik
Semakin meningkatnya gairah untuk menghasilkan pangan fungsional yang berguna untuk
kesehatan akan semakin mendorong perkembangan teknologi rekayasa genetik. Modifikasi genetik
pada tanaman kini sudah mengarah pada tanaman-tanaman pangan. Perubahan karakteristik gizi
tanaman yang mungkin terjadi akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Sebagai contoh, kini
telah dapat dihasilkan kentang yang mengandung kadar pati lebih tinggi, mempunyai kemampuan
menyerap lemak yang lebih rendah, dan tekstur yang baik. Di masa-masa mendatang mungkin akan
semakin banyak bermunculan pangan rekayasa genetika yang memang diciptakan untuk
membantu mengatasi sebagian masalah kesehatan masyarakat.

Varietas padi yang telah mengalami modifikasi genetik akan menghasilkan beras yang
mengandung beta-karoten yang dibutuhkan dalam perbaikan gizi negara-negara sedang
berkembang. Oleh sebab itu, dikembangkannya beras kaya beta-karoten akan mempercepat
pemulihan kondisi kurang gizi yang diderita masyarakat. Kedelai sebagai bahan baku minyak
goreng direkayasa sehingga kandungan lemak jenuhnya menjadi lebih rendah dan meningkat
kandungan lemak tak jenuhnya, terutama asam lemak oleat. Karakteristik gizi yang lebih baik ini
akan bermanfaat untuk menangkal risiko kolesterol tinggi atau penyakit jantung koroner. Jadi,
dalam hal ini peran kedelai sebagai bahan baku pangan fungsional semakin meningkat.

Upaya menghasilkan beras transgenik yang rendah glutelin ternyata pada saat bersamaan
memunculkan karateristik lain, yaitu meningkatnya kandungan prolamin. Rendahnya glutelin
berdampak positip pada protein yang tersimpan pada beras (rice protein storage). Namun,
meningkatnya prolamin akan mengakibatkan perubahan kualitas gizi dan bahaya alergi bagi
siapa pun yang mengonsumsinya.

Upaya untuk memperbaiki mutu gizi pangan melalui modifikasi genetik seyogianya harus
meminimumkan kemungkinan munculnya zat gizi/nongizi lain yang tidak dikehendaki. Kalau
saat ini telah dapat dihasilkan kedelai kaya lysine (salah satu asam amino esensial), maka
ternyata dampak ikutannya adalah kadar lemak kedelai menjadi turun. Demikian pula beras kaya
beta-karoten, menghasilkan karakteristik ikutan berupa meningkatnya xantophyll.

Diperlukan kesiapan perangkat lunak dan perangkat keras untuk menguji keamanan pangan dan
dampak kesehatan yang mungkin muncul akibat membanjirnya pangan rekayasa genetika di
masa-masa yang akan datang.

Untuk mengetahui perubahan karateristik kimiawi yang terjadi pada pangan transgenik
diperlukan alat deteksi gizi yang canggih. Pada kasus beras rendah glutelin, meningkatnya kadar
prolamin yang tidak dikehendaki sulit dideteksi dengan analisis gizi biasa, seperti yang
digunakan untuk mengetahui kandungan protein total dan profil asam amino.

Prolamin baru akan kelihatan bila dianalisis dengan SDS gel electrophoresis. Sementara,
munculnya xantophyll pada beras kaya beta-karoten bisa dideteksi dengan analisis HPLC. Jadi,
penting untuk diperhatikan bahwa analisis gizi yang tepat diperlukan untuk mendeteksi
perubahan-perubahan yang tidak diharapkan pada pangan transgenik.

Dampak yang pertama, terkait dengan terjadinya perubahan zat gizi yang dikehendaki pada
pangan rekayasa genetika. Yang kedua, berhubungan dengan masalah munculnya/meningkatnya
komponen kimiawi lain yang tidak dikehendaki sebagai akibat ikutan dilakukannya modifikasi
genetik. Untuk itu diperlukan ahli toksikologi dan ahli gizi untuk mengevaluasi potensi
gangguan kesehatan yang mungkin muncul apabila seseorang mengonsumsi pangan transgenik.

Mungkin sekali bahwa perubahan kadar gizi ini bukan hanya akibat proses rekayasa genetik,
tetapi juga akibat proses pemuliaan tanaman secara konvensional, seperti ketika kita
menghasilkan semangka tanpa biji. Pada intinya, kemajuan teknologi mungkin tidak bisa
dihambat, namun yang lebih penting dan lebih bijaksana adalah pemanfaatan teknologi tinggi ini
jangan sampai membahayakan masyarakat.
Konsumen perlu menyadari bahwa pangan transgenik, yang mempunyai kandungan gizi berbeda
dengan pangan nontransgenik, akan ikut menentukan status gizi seseorang. Dengan rekayasa
genetik dapat dihasilkan kedelai dengan kandungan asam lemak oleat 80-90 persen. Selama ini
kita mengenal sumber oleat yang tinggi adalah zaitun (70%). Selanjutnya, kedelai menjadi bahan
baku pangan sehari-hari, misalnya untuk industri minyak goreng, tahu, dan tempe. Hal ini
memunculkan pertanyaan, adakah kemungkinan masyarakat konsumen kedelai akan
mengonsumsi gizi oleat secara berlebihan? Mungkin sekali pola makan masyarakat tidak
berubah, namun dengan dikenalkannya produk pangan transgenik, maka komposisi gizi yang
masuk ke dalam tubuhnya sudah berubah.

Mengingat teknologi modifikasi genetik masih relatif baru, maka hasil-hasil temuannya
memunculkan pro-kontra di mana-mana. Yang penting adalah bahwa riset-riset harus tetap
diteruskan agar hasil teknologi baru ini bisa bermanfaat bagi umat manusia. Meningkatnya
kandungan gizi pada produk transgenik tidak begitu saja dapat dipakai sebagai tolok ukur
keberhasilan. Perlu juga diteliti apakah zat gizi tersebut tetap stabil seiring dengan berjalannya
waktu akibat penyimpanan dan pemrosesan.

Dalam kasus tanaman kedelai yang tahan glyphosate (herbisida), maka sebenarnya yang
dilakukan adalah memasukkan protein baru (atau enzim). Datangnya protein baru ini berpotensi
untuk menyebabkan alergi.

Dikatakan bahwa kita setiap hari terekspos dengan DNA (pembawa sifat pada gen) asing yang
berasal dari makanan yang kita konsumsi, dan dari mikroorganisme di sekitar lingkungan kita.
DNA bukanlah substansi kimiawi yang bersifat racun.

Fakta bahwa saluran cerna manusia merupakan sistem yang efisien. DNA yang masuk ke saluran
cerna segera dipecah-pecah sehingga menjadi bagian yang sangat kecil dan sulit untuk
difungsikan kembali. Dengan demikian, DNA diperkirakan tidak akan masuk ke dalam sel
manusia, meski pecahan-pecahan DNA tadi mungkin diserap oleh bakteri di saluran cerna.

Deteksi bahwa pangan transgenik akan menyebabkan penyakit kronis (kanker, hipertensi,
penyakit jantung koroner) perlu dilakukan untuk menjamin bahwa konsumen tidak semakin
menghadapi risiko kesehatan yang tidak diinginkan.

Publikasi FAO/WHO (2000), antara lain menyimpulkan bahwa masalah yang mungkin muncul
dari dampak jangka panjang konsumsi pangan yang dimodifikasi gennya, masih sangat sedikit
diketahui. Oleh sebab itu, tepat kiranya kalau pemerintah harus bersiap diri merumuskan
kebijakan yang tidak sekadar melarang atau membolehkan masuknya pangan transgenik.
Diperlukan pula alasan-alasan ilmiah yang valid yang melandasi dikeluarkannya suatu kebijakan
menyangkut pangan transgenik ini.

Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/1950699-dampak-gizi-dan-kesehatan
pada/#ixzz1LAHII5wg
PENGARUH MUSIM HUJAN YANG BERKEPANJANGAN TERHADAP STATUS GIZI
MASYARAKAT INDONESIA
February 26th, 2012 eyaznainggolan Leave a comment Go to comments

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belakangan ini, di berbagai belahan dunia, terjadi anomali cuaca yang disebabkan oleh
perubahan iklim. Hal tersebut juga terjadi Indonesia. Pada tahun 2010, di beberapa wilayah di
Indonesia terjadi musim hujan yang berkepanjangan. Biasanya, musim hujan berlangsung pada
bulan Oktober hingga Maret. Akan tetapi, pada tahun 2010, hujan turun sepanjang tahun.

Musim hujan berkepanjangan tersebut berpengaruh terhadap hasil pertanian yang juga
merupakan bahan pangan. Di antara berbagai hasil pertanian, ada yang produksinya meningkat
dan ada yang menurun. Dengan kata lain, ketersediaan komoditas pertanian berubah, tidak sama
dengan yang biasanya terjadi.

Perubahan ketersediaan bahan pangan tersebut berpengaruh terhadap status gizi masyarakat.
Berubahnya ketersediaan bahan pangan menyebabkan pola makan masyarakat menjadi berubah.
Dengan demikian, status gizi masyarakat pun ikut berubah.

Perumusan Masalah

Dari kondisi yang ditulis di atas, masalah yang dibahas dan diberikan solusi adalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana pengaruh musim hujan berkepanjangan terhadap status gizi masyarakat?


2. Bagaimana cara mengatasi pengaruh buruk dari musim hujan berkepanjangan terhadap
status gizi masyarakat?

Manfaat Penulisan

Manfaat Bagi Mahasiswa

Mahasiswa mengembangkan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah, untuk

langsung diterapkan di masyarakat. Dapat menggali potensinya sebagai orang yang terus
mengembangkan IPTEK.

Bagi Pemerintah

Karya tulis ini diharapkan dapat memberi informasi dan solusi kepada pemerintah untuk
mengatasi masalah gizi yang ditimbulkan oleh musim hujan berkepanjangan yang belakangan ini
terjadi di Indonesia.

Bagi Masyarakat

Karya tulis ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang pengaruh
musim hujan berkepanjangan terhadap status gizi masyarakat dan bagaimana cara mengatasinya.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini adalah memberikan gagasan pemikiran mengenai
pengaruh musim hujan berkepanjangan terhadap status gizi masyarakat dan solusi yang dapat
dilakukan sehingga dalam kondisi musim hujan yang berkepanjangan, status gizi masyarakat
dapat diperbaiki.
GAGASAN

Kondisi Kekinian Pencetus Gagasan

Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan pangan mulai merebak di
dunia. Hal itu terutama sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan buku An
Inconvenient Truth yang sangat impresif dan menyadarkan para pemimpin dunia mengenai
bahaya perubahan iklim.

Saat ini badai salju dahsyat di belahan utara telah mengganggu produksi pangan. Di Queensland,
Australia, banjir hebat merusak kebun tebu dan menghambat ekspor gula. Eropa, AS, dan
Australia adalah produsen sekitar 65 persen pangan dunia. Di Tanah Air hujan berkepanjangan.
Harga produk pangan meningkat.

Di Tanah Air hiruk pikuk wacana publik tentang potensi kelangkaan pangan cenderung
dipersempit pada beras semata. Jenis pangan lain kurang diperhatikan, padahal manusia makhluk
omnivor. Beragam pangannya bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur, pakis, porang).

Harga cabai mahal luar biasa. Hujan berkepanjangan bikin banyak cabai rusak di kebun.
Mayoritas penggunaan cabai di Indonesia adalah cabai segar. Kita belum biasa membuat produk
pertanian yang tak tahan lama menjadi tahan lama, seperti membuat stok cabai kering. Harga
pangan lima tahun terakhir dan harga energi meningkat. Era harga pangan murah sudah berlalu.
Produk pertanian, terutama jagung, ubi kayu, minyak sawit, dan tetes tebu, bersaing antara
penggunaan untuk pangan manusia, pakan ternak, dan kini untuk energi (etanol).

Solusi yang Pernah ditawarkan atau diterapkan Sebelumnya untuk Memperbaiki Keadaan
Pencetus Gagasan

Pemerintah memperkirakan musim hujan yang berkepanjangan membuat luas tanam padi
bertambah. Hingga Juli lalu saja ada tambahan sekitar 157 ribu hektar (ha) yang berasal dari
lahan kering atau tadah hujan. Dengan adanya tambahan luas tanam diharapkan target
pemerintah sebesar 12,6 juta ha bisa terlampaui.

Pemerintah sempat kuatir terhadap target pertanaman padi. Sebab pada awal musim tanam yakni
Oktober 2009 – Maret 2010, Badan Metereorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
memprediksi akan terjadi musim kemarau berkepanjangan. Tetapi prediksi itu ternyata meleset.
Justru yang terjadi hujan masih berlangsung ketika masuk musim kemarau.

Dengan masih adanya hujan membuat luas tanam padi bertambah, khususnya di areal lahan
kering. Kini petani yang mengelola lahan tadah hujan mendapat keuntungan karena bisa tanam
padi dua kali. Padahal selama ini hanya satu kali tanam.

Hujan memang membawa keuntungan bagi peningkatan produksi padi. Tetapi, bagi komoditi
pangan lainnya, khususnya kedelai malah sebaliknya. Peningkatan produksi kedelai bakal
tertahan karena petani lebih memilih menanam padi.

Musim hujan yang berkepanjangan akan pemerintah manfaatkan untuk memacu produksi pangan
nasional. Awal musim tanam padi dipercepat sehingga bisa lebih banyak lagi beras dihasilkan.
Namun dia akui bahwa musim hujan yang bekepanjangan juga beresiko terhadap pertanian.
Seperti muncul hama bahkan banjir bandhang yang bisa merendam sawah siap panen.

Maka percepatan musim taman akan dibarengi langkah antisipasi, seperti suplai informasi
kondisi cuaca dari BMKG kepada petani. Para petugas penyuluhan juga lebih aktif memberi
penyuluhan penanggulangan hama kepada petani binaan masing-masing.
Seberapa Jauh Kondisi Kekinian Pencetus Gagasan Dapat diperbaiki Melalui Gagasan yang
diajukan

Cuaca kini kian sulit diperkirakan. Pergantian antara musim hujan dan kemarau menjadi lebih
sulit diprediksi akibat anomali cuaca yang dipicu perubahan iklim. Tahun 2010, hujan bahkan
nyaris turun sepanjang tahun. Kemarau pun menjadi basah. Biasanya dalam setahun, para petani
hanya menanam padi dua kali pada bulan-bulan yang dinaungi hujan.

Sedangkan pada musim kemarau, palawija ditanam sebagai pe-nyeling. Mereka biasanya
memulai musim tanam rendeng (penghujan)setiap September atau Oktober. Namun, kebiasaan
bercocok tanam seperti itu terpaksa diubah.

Hujan yang terus mengguyur mendorong petani menanam padi sepanjang tahun. Apalagi
beberapa bulan di akhir 2010, harga gabah dan beras terus merangkak naik di pasaran. Hal itu
pula yang dilakukan petani di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, di antaranya di Kecamatan
Indramayu, Sindang, Krangkeng, Losarang, Kandanghaur, Patrol, dan Sukra. Mereka
memberanikan diri menanam padi terus-menerus meskipun mengetahui bakal memicumunculnya
hama wereng atau pengganggu tanaman lainnya.

Cuaca ekstrem membuat jadwal tanam berubah dan produksi pertanian menurun karena serangan
hama. Faktor alam dirasakan sulit diantisipasi. Dampak cuaca ekstrem jelas merugikan petani
dan masyarakat. Tingginya intensitas hujan sepanjang tahun lalu, menyebabkan petani
kebingungan menentukan masa tanam dan waktu pemupukan.

Air hujan yang deras menghanyutkan pupuk yang ditabur di sawah. Ditambah, serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang mengakibatkan hasil panen berkurang dan
kualitasnya menurun. Kualitas bahan pangan yang dipanen menurun secara tidak langsung dapat
menyebabkan penurunan kualitas gizi masyarakat Indonesia.

Pihak-pihak yang dipertimbangkan Dapat Membantu Mengimpmetasikan Gagasan dan


Uraian Peran atau Kontribusi Masing-masingnya

Langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas gizi
Indonesia yang dihambat oleh musim hujan, perlu adanya kesinambungan kinerja antara pihak-
pihak yang terlibat. Pihak-pihak tersebut dengan fungsinya masing-masing akan dideskripsikan
sebagai berikut.

a. Pemerintah

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan disini berfungsi sebagai pihak pendukung. Pendukung
dalam artian dukungan dengan kebijakan. Kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
harus yang berkesesuaian dan mendukung terhadap pengendalian gizi kearah yang lebih baik
walaupun curah hujan di Indonesia tinggi (musim hujan).

b. Kementrian Kesehatan Nasional.

Perhatian terhadap kesehatan masyarakat, perlu di tingkatkan, mulai dari fasilitas dan jaminan
kesehatan. Angka harapan hidup masyarakat dapat ditingkatkan dengan perhatian yang serius
terhadap masalah kesehatan. Teroboson – terobosan baru perlu dikembangkan, agar jaminan gizi
masyarakat tercapai.

d. Kementrian Pertanian

Program pemerintah untuk memberikan arahan kepada para petani dalam bercocok tanam di
musim hujan yang berkepanjangan. Sehingga dapat menghasilkan hasil panen yang meningkat.
Musim hujan tidak menjadi halangan lagi dalam memproduksi bahan pangan.
Langkah-langkah strategis dilakukan untuk mengimplementasikan gagasan sehingga tujuan
atau perbaikan yang diharapkan dapat tercapai

 Kunci keberhasilan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman pangan. Sukun,
sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim basah yang berkepanjangan perlu
digalakkan.
 Ide menjadikan Indonesia produsen pangan tropis untuk dunia tak bisa direalisasikan
tanpa perbaikan aspek fundamental, seperti peningkatan skala ekonomi petani kita.
 Untuk mengatasi fluktuasi harga dan produksi cabai, petani mengusulkan agar
pemerintah dapat memfasilitasi pengaturan pola tanam sebagaimana yang dilakukan di
Jepang. Informasi agar dapat diakses secara mudah oleh petani dikantor Dinas Pertanaian
Kabupaten terdekat sehingga menjadi acuan/pertimbangan petani dalam menentukan luas
tambah tanam.

Categories: Gizi Pangan Tags:


DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP KESEHATAN

Penyebab dan dampak pemanasan global terhadap kesehatan sebagai berikut :(Dari berbagai sumber)

A.PENYEBAB

Pemanasan Global (Global Warming), terjadi disebabkan meningkatnya suhurata-rata permukaan bumi, hal ini
disebabkan antara lain karena :
a.Karena bumi menyerap lebih banyak energi matahari, daripada yang dilepaskembali ke atmosfer
(ruang angkasa).
b.Menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas.
c.Menimbulkan peningkatan panas bumi dan pencairan kutub es
d.Pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggun aanenergi fosil
(bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya)
e.Penghasil terbesar emisi zat karbon adalah adalah negeri-negeri industri, halini dikarenakan
pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negarautara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari
penduduk negara selatan;Pemanasan global merupakan peningkatan secara gradual dari suhu permukaan
bum i ya n g s e ba g i an di s eb ab ka n o l eh em i s i d a ri z at -z at p en e cm a r
s e pe rt i k a r b o n d i o k s i d a ( C O 2 ) , m e t a n ( C H 4 ) d a n o k s i d a n i t r a t
(N2O),sertabertanggungjawab terhadap perubahan dalam
pola cuaca global.
Karbondioksida dan zat pencemar lanilla berkumpul di atmosfer membentuk lapisan
yang tebal menghalangi panas matahari dan menyebabkan pemanasanplanet dengan efek gas
rumah kaca. Pemanasan global merupakan fenomenayang kompleks, dan dampak sepenuhnya
sangat sulit diprediksi. Namun, setiaptahunnya para ilmuawan makin banyak belajar tentang
bagaimana pemanasanglobal tersebut mempengaruhi planet, dan banyak diantara mereka setuju
bahwakonsekuensi tertentu akan muncul jika kecenderungan pencemaran yang terjadisaat ini
berlanjut, diantaranya adalah:
•Peningkatan permukaan laut yang disebabkan oleh mencairnya gunung esakan menimbulkan banjir
di sekitar pantai;
•Naiknya temperatur permukaan air laut akan menjadi pemicu terjadinya badaiterutama di bagian tenggara
atlantik
•Rusaknya habitat seperti barisan batu karang dan pegunungan alpen dapatmenyebabkan
hilangnya berbagai hayati di wilayah tersebut Baru-baru ini,dalam pernyataan akhir tahunnya,
Pelangi, satu institusi yang memfokuskandiri dalam penelitian dan mitigasi perubahan iklim
menyebutkan bahwa suhupermukaan bumi di sebagian besar wilayah Indonesia telah meningkat antara0.5 –
1 derajat Celsius dibandingkan pada temperature rata-rata antara tahun1 9 5 1 – 1 9 8 0 , y a n g m a n a
p e n i n g k a t a n i n i t e r u t a m a d i s e b a b k a n o l e h peningkatan gas rumah kaca.P em an as an
gl ob al m e rup a ka n h al ya n g t i da k t e rb a n t ah k an l a gi d an d ap at menimbulkan dampak
yang sangat mengerikan. La p o r an t e rs e but m en ye b ut k an m anu si a s eb a gai bi an g
ut a m a p em an as an global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70% antara
1970 hingga2 0 0 4 . K o n s e n t r a s i g a s k a r b o n d i o k s i d a d i a t m o s f e r j a u h
l e b i h t i n g g i d a r i kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derajatCelcius) dalam 100 tahun
terakhir. Muka air laut naik rata-rata 0,175 cm setiaptahun sejak 1961. (Laporan terakhir
Panel PBB untuk Perubahan Iklim atauUnited Nations Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPPC) di Valencia,19 November 2007Menurut
Antara News
(2007), sedikitnya 23 pulau tidak berpenghuni di Indonesiatenggelam dalam 10 tahun terakhir akibat
pemanasan global. Diperkirakan pada20 70 s e ki t ar 80 0 ri bu ru m ah ya n g be r ad a di
pe s i s i r h a rus di pi nd ah ka n d an sebanyak 2.000 pulau dari sekitar 18 ribu pulau di
Indonesia akan tenggelamakibat naiknya air laut. Pulau Maladewa di India, Vanuatu dan
beberapa pulaulainnya juga dikhawatirkan akan mengalami nasib yang sama akibat pemanasan
global.
B.PENGARUH PADA KESEHATAN

1.Pemanasan global tak hanya berdampak serius pada lingkungan manusiadi bumi namun juga
terhadap kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO)dal am p er t e m u an t a hun an di G en ew a
m en ga t ak an b ah w a b er b a gai p e n ya ki t i n f eksi ya n g t i m bul di i d ent i fi k as i
t e rk ai t de n gan pe r ub ah an l i n g k u n g a n h i d u p y a n g d r a s t i s . K e r u s a k a n
h u t a n , p e r l u a s a n k o t a , pem b uk a an l a ha n un t u k p er t a ni a n, p e rt am b a n gan ,
s e rt a k e rus a ka n ekosistem di kawasan pesisir memicu munculnya patogen lama maupunbaru.
Berbagai penyakit yang ditimbulkan parasit juga meningkat terutamadi wilayah yang sering mengalami
kekeringan dan banjir.

a.M al n ut ri si m en g aki b at k a n k em at i an 3 ,7 j ut a j i wa pe r t ah un ,
di a r emengakibatkan kematian 1,9 juta jiwa, dan malaria mengakibatkan kematian 0,9 juta
jiwa.
b.Suhu yang lebih panas juga berpengaruh pada produksi makanan ,ketersediaan air dan
penyebaran vektor penyakit. Badan KesehatanD uni a (W H O) m e m p e ri n ga t k an ba h wa
pem a na s an gl o b al ( gl ob al warming) akan banyak berdampak bagi kesehatan
masyarakat danlingkungan. Perubahan temperatur dan curah hujan yang
ditimbulkanmemberikan kesempatan berbagai macam virus dan bakteri penyakittumbuh lebih luas.
WHO mengatakan, selain virus dan bakteri penyakitberkembang pesat, secara tidak langsung
pemanasan global jugadapat menimbulkan kekeringan maupun banjir.

Kekeringan mengakibatkan penurunan status gizi masyarakat karenapanen yang terganggu, Banjir
menyebabkan meluasnya penyakit diareserta Leptospirosis.
d.Kebakaran hutan, dapat mengusik ekosistem bumi, menghasilkan gas-gas rumah kaca yang
menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap hitamnya menganggu secara langsung kehidupan
manusia, Asapy a n g m e n g a n d u n g d e b u h a l u s d a n b e r b a g a i o k s i d a k a r b o n
i t u menyebabkan gangguan pernapasan dan infeksi saluran pernapasanakut (ISPA), mulai
asma, bronkhitis hingga penyakit paru obstruktif kronis (COPD). Asap tersebut juga
membawa racun dioksin yang bisamenimbulkan kanker paru dan gangguan kehamilan serta
kemandulanpada wanita.
e.Pada suhu panas manusia rentan sakit ISPA, meningkatnya penyakitmenular (Malaria, DBD,
Chikungunya, Penyakit yang ditularkan melaluiudara dan air), Terjadinya konflik psikologi
(stress), penyakit lamat i m b u l k e m b a l i , s e p e r t i P e n y a k i t M a l a r i a , P e n y a k i t
d e g e n e r a t i f , Penyakit jantung, Penyakit paru-paru.
f.D am p a k p em a na s a n gl ob al j u ga m e m pe n ga ru hi pe ni pi s an oz o ne antara lain
meningkatnya intensitas sinar ultra violet yang mencapaipermukaan bumi menyebabkan gangguan
terhadap kesehatan, sepertikanker kulit, katarak, penurunan daya tahan tubuh, dan
pertumbuhanmutasi genetik., memperburuk penyakit-penyakit umum Asma danalergi
Meningkatkan kasus-kasus kardiovaskular, kematian yangdisebabkan penyakit jantung
dan stroke serta gangguan jantung danpembuluh darah

2.Pemanasan global juga menyebabkan musim penyerbukan berlangsung l ebi h l am a


s e hi n gga m en i n gk at ka n r e si k o m u n cul n ya p en ya k i t ya n g d i t i m b u l k a n o l e h
k u t u d i w i l a y a h E r o p a U t a r a . P e y a k i t l a i n y a n g teridentifikasi adalah
lyme, yang disebabkan oleh semacam bakteri diAmerika Utara, Eropa, dan Asia.
Gejalanya berupa sakit kepala, kejang,dan nyeri sendi. Penyakit itu berpindah melalui gigitan
sejenis kutu rusay a n g y a n g t e l a h t e r i n f e k s i l y m e . B a k t e r i y a n g s a m a j u g a
b e n y e k ditemukan pada tikus. Dampak lain yang terasa adalah nyamuk-nyamuksemakin
berkembang biak erutama di Afrika dan Asia. Dua penyakit serius akibat gigitan nyamuk, yaitu malaria dan
demam berdarah dengue, sangatsensitif terhadap perubahan iklim. Di Indonesia kita sudah
merasakannya langsung, yakni tingginya angka korban yang menderita demam berdarah.Pemanasan
global mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhannyamuk dari telur menjadi larva dan
nyamuk dewasa akan dipersingkat,sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik.
Tentang keterkaitanpemanasan global dengan peningkatan vektor demam berdarah ini
dapatdijelaskan sebagai berikut :
• Udara panas dan lembab itu palin g cocok buat n yamuk
m a l a r i a (Anopheles), dan nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti). Dulu, jenis
kedua nyamuk penebar maut ini lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara
musim hujan dan kemarau.
Kini rentang waktu serangan kedua serangga itu hampir di sepanjangt ahun. Udara panas
da n l em b ab b er l a n gsun g s e pa nj an g t a h un, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu
menyediakan genanganair bening untuk mereka bertelur. Maka, kini virus malaria yang
dibawaAnop he l e s d a n vi r us de n gu e ya n g di ba w a n ya m u k Ae d es a e g yp t i dapat
menyerang sewaktu-waktu secara ganas.
Akibat pemanasan global, siklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab Demam Berdarah
Dengue (DBD) di tubuh nyamuk Aedes aegyti dansiklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab
Malaria di tubuh nyamukAn oph el e s m e nj adi l e bi h p e nd ek d an M as a i nku b as i
kum an l ebi h singkat. Populasi mereka lebih mudah meledak. Akibatnya, kasus demam
berdarah lebih mudah meningkat dibandingkan tahun-tahunsebelumnya.
Ka r en a i t u, u pa ya p en c e ga h an p en ya ki t h a rus di l ak uk an s e c ar a menyeluruh.
Tidak hanya menangani penyakitnya saja, tetapi "Faktor lingkungan fisik dan biologis harus
pula dikendalikan dengan caramemodifikasi lingkungan agar vektor malaria dan demam berdarah
takbisa berkembang biak,“

3.WHO juga menyebutkan ancaman lain dari meningkatnya suhu rata-rataglobal, yakni penyakit
yang menyerang saluran pernapasan. "Gelombangpanas menyebabkan jumlah materi dan debu di
udara meningkat," kataBettina Menne, anggota WHO divisi Eropa. Suhu udara yang
semakinhangat juga membawa penyakit alergi. Kenaikan permukaan air laut
akanm en ga ki b at k an ba nj i r d a n e rosi , t e r ut a m a di k aw a sa n p esi si r, d an mencemari
sumber-sumber air bersih. Akibatnya adalah wabah kolera danmalaria di negara miskin. Wilayah di Asia
selatan, terutama Bangladeshdisebut sebagai wilayah yang paling rawan karena berada di
dataranrendah dan sering mengalami banjir. Mencairnya puncak es Himalaya,luasnya
daerah gurun pasir dan wilayah pesisir pantai yang tercemar merupakan sarana penularan
penyakit, hal ini juga menyebabkan angkakekurangan gizi pada anak-anak. (Article source : Reuters).

4.Ada 35 jenis penyakit infeksi baru yang timbul akibat perubahan iklim,diantaranya
ebola, flu burung, dll penyakit hewan yang dapat menular ke p ad a m a nu s i a.
P en ya k i t ya n g p a l i n g re nt an t e rj ad i d i In do n esi a, menurut adalah penyakit
degeneratif dan penyakit menular. Hal ini dapatdengan cepat berkembang pada masyarakat yang
kondisi gizi kurang baikdan kon di s i k es eh at an l i n gku n gan ya n g ku ra n g m em a da i .
(D r . W an Alkadri, Msc.)
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL BAGI KESEHATAN KITA…

Des 12
Posted by sitimaulidaniah

Pekanbaru(infobidannia), Perubahan cuaca dan lautan dapat berupa


peningkatan temperatur secara global (panas) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian, terutama pada orang tua,
anak-anak dan penyakit kronis. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan
permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat
trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-
tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Mengapa hal ini
bisa terjadi? Kita ambil contoh meningkatnya kejadian Demam Berdarah. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan berkembang biak pada daerah panas. Hal
itulah yang menyebabkan penyakit ini banyak berkembang di daerah perkotaan yang panas
dibandingkan dengan daerah pegunungan yang dingin. Namun dengan terjadinya Global
Warming, dimana terjadi pemanasan secara global, maka daerah pegunungan pun mulai
meningkat suhunya sehingga memberikan ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang
biak.

Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi
pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil
emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-
penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru
kronis, dan lain-lain.

Demikian besar pengaruh pemanasan global terhadap kesehatan kita. Masihkah kita menutup
mata terhadap semua ancaman ini? Lets take action now!

BUMI MEMANAS, KUMAN PENYAKIT MENGGANAS

Pemanasan Global (Global Warming), terjadi disebabkan meningkatnya suhu rata-rata


permukaan bumi.

 Karena bumi menyerap lebih banyak energi matahari, daripada yang dilepas kembali ke
atmosfer (ruang angkasa).
 Menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas.
 Menimbulkan peningkatan panas bumi dan pencairan kutub es.

Pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan
bakar minyak, batubara dan sejenisnya). Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri
seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola
konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari
penduduk negara selatan.
Perubahan iklim memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk diantaranya
kesehatan. Pemanasan global dapat meningkatkan faktor resiko dan penyakit yang mengancam
kesehatan manusia secara global, diantaranya;

 malnutrisi mengakibatkan kematian 3,7 juta jiwa per tahun,


 diare mengakibatkan kematian 1,9 juta jiwa,
 dan malaria mengakibatkan kematian 0,9 juta jiwa.

Suhu yang lebih panas juga berpengaruh pada produksi makanan, ketersediaan air dan
penyebaran vektor penyakit. BADAN Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa
pemanasan global (global warming) akan banyak berdampak bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Perubahan temperatur dan curah hujan yang ditimbulkan memberikan kesempatan
berbagai macam virus dan bakteri penyakit tumbuh lebih luas. WHO mengatakan, selain virus
dan bakteri penyakit berkembang pesat, secara tidak langsung pemanasan global juga dapat
menimbulkan kekeringan maupun banjir.

 Kekeringan mengakibatkan penurunan status gizi masyarakat karena panen yang


terganggu
 Banjir menyebabkan meluasnya penyakit diare.

Yang paling nyata, antara lain :

1. Kerusakan lingkungan
2. Penyakit yang ditimbulkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global
3. Banjir
4. Kebakaran hutan

Hal ini berdampak terhadap kesehatan manusia, misalnya :

 kwalitas air yang kita minum


 Udara yang kita hirup
 Makanan yang kita makan

a. Banjir (Paradoks Korban Banjir )

 Pemanasan global membuat penumpukan uap air di udara semakin besar.


 Ketika daerah perkotaan tergenang, muncul paradoks yang khas. Penduduk kehausan di
tengah genangan air.
 Dari situlah berjangkit penyakit diare dan Leptospirosis

b. Kebakaran hutan

 Kebakaran hutan itu mengusik ekosistem bumi dari dua segi. Material kayu dan serasah
yang terbakar itu menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan
global. Sedangkan asap hitamnya menganggu secara langsung kehidupan manusia.
 Asap yang mengandung debu halus dan berbagai oksida karbon itu menyebabkan
gangguan pernapasan dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), mulai asma, bronkhitis
hingga penyakit paru obstruktif kronis (COPD).
 Asap tersebut juga membawa racun dioksin yang bisa menimbulkan kanker paru dan
gangguan kehamilan serta kemandulan pada wanita.

1. Dampak secara langsung

 Pada suhu panas manusia rentan sakit, Penyakit Saluran Pernafasan

2. Dampak tidak langsung

 Meningkatnya penyakit menular, antara lain : Malaria, DBD, Chikungunya, Penyakit


yang ditularkan melalui udara dan air
3. Dampak jangka panjang

 Terjadinya konflik psikologi, mis. stress.

4. Penyakit lama timbul kembali

 Penyakit Malaria.

5. Penyakit degeneratif

 Penyakit jantung, Penyakit paru-paru.

6. Dampak penipisan ozone antara lain meningkatnya intensitas sinar ultra violet

 Kanker kulit, Katarak, penurunan daya tahan tubuh, dan pertumbuhan mutasi genetik.

7. Memperburuk penyakit-penyakit umum

 Asma dan alergi.

8. Meningkatkan kasus-kasus kardiovaskular

 Kematian yang disebabkan penyakit jantung dan stroke. gangguan jantung dan pembuluh
darah

Pada kondisi cuaca sepetri ini maka Nyamuk akan berkembang:

 Udara panas dan lembab itu paling cocok buat nyamuk malaria (Anopheles), dan nyamuk
demam berdarah (Aedes aegypti). Dulu, jenis kedua nyamuk penebar maut ini lebih
sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau.
 Kini rentang waktu serangan kedua serangga itu hampir di sepanjang tahun. Udara panas
dan lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu
menyediakan genangan air bening untuk mereka bertelur. Maka, kini virus malaria yang
dibawa Anopheles dan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti dapat
menyerang sewaktu-waktu secara ganas.
 Akibat pemanasan global, siklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab Demam Berdarah
Dengue (DBD) di tubuh nyamuk Aedes aegyti dan siklus inkubasi ekstrinsik virus
penyebab Malaria di tubuh nyamuk Anopheles menjadi lebih pendek dan Masa inkubasi
kuman lebih singkat. Populasi mereka lebih mudah meledak. Akibatnya, kasus demam
berdarah lebih mudah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
 Karena itu, upaya pencegahan penyakit harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya
menangani penyakitnya saja, tetapi “Faktor lingkungan fisik dan biologis harus pula
dikendalikan dengan cara memodifikasi lingkungan agar vektor malaria dan demam
berdarah tak bisa berkembang biak,“

Dampak pemanasan global juga mempengaruhi penipisan ozone antara lain meningkatnya
intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi menyebabkan gangguan terhadap
kesehatan, seperti kanker kulit, katarak, penurunan daya tahan tubuh, dan pertumbuhan mutasi
genetik.

1. Sektor kesehatan harus menyiapkan langkah guna mengantisipasi dampak perubahan


iklim dan pemanasan global karena kedua faktor tersebut memengaruhi pola penyebaran
dan penularan penyakit.
2. Menurut WHO sebagian besar resiko kesehatan dapat ditekan melalui intervensi program
kesehatan, tindakan terencana untuk memperkuat sistem kesehatan maupun promosi
kesehatan guna melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang rentan di masa
mendatang.
Transportasi

1. Hindari menggunakan pesawat terbang untuk jarak kurang dari 500 km.
2. Tinggalkan mobil di rumah untuk jarak yang tidak terlalu jauh.
3. Gunakan kendaraan umum, kurangi polusi.
4. Gunakan sepeda untuk perjalanan jarak pendek.
5. Matikan mobil jika menunggu lebih dari 30 detik.
6. Panaskan mobil seperlunya.
7. Periksa tekanan ban mobil. Kurangnya tekanan menyebabkan boros bahan bakar.
8. Turunkan barang dari bagasi jika tidak dibutuhkan.
9. Rawatlah sistem pengeluaran polusi kendaraan bermotor Anda.

Di Kantor dan Sekolah

1. Matikan perangkat kantor di malam hari dan saat libur.


2. Matikan monitor komputer saat istirahat.
3. Matikan lampu jika tidak digunakan.
4. Gunakan perangkat kantor hemat energi.
5. Lakukan audit energi untuk penghematan.
6. Jangan tinggalkan alat-alat elektronik dalam keadaan stand-by.
7. Hemat kertas dengan mencetak bolak-balik.
8. Hemat pemakaian tisu.
9. Mengurangi pemakaian AC, gunakan kipas angin.
10. Menanam pohon di sekitar pekarangan Anda.
11. Ikut mendukung kampanye pelestarian alam.

Di Rumah

1. Tutup kran air dengan rapat.


2. Hemat air untuk mandi.
3. Gunakan mesin cuci hanya jika cucian banyak.
4. Matikan lampu dan alat elektronik jika tidak digunakan.
5. Panaskan air untuk minum seperlunya.
6. Pilih alat elektronik hemat energi.
7. Gunakan lampu hemat energi.
8. Pasang pemanas bertenaga matahari di atap rumah.
9. Ganti tisu dengan lap kain.
10. Mengurangi pemakaian AC, gunakan kipas angin.
11. Menanam pohon di sekitar pekarangan Anda.
12. Ikut mendukung kampanye pelestarian alam.

Gas Rumah Kaca Lepas ke Udara, Saat Kita…

1. Menyalakan televisi.
2. Memasang AC.
3. Menyalakan lampu.
4. Menggunakan pengering rambut.
5. Mengendarai mobil/motor.
6. Bermain video game.
7. Menyalakan radio.
8. Menggunakan microwave/oven.
9. Mencuci atau mengeringkan pakaian dengan mesin.
10. Membuang sampah ke tempat penimbunan sampah.
11. Menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.
12. Menggunakan barang-barang produksi pabrik.
Sumber: andaka.com dan gang-cemara.blogspot.com
Masalah lingkungan, terutama isu yang terkait dengan perubahan iklim, semakin mendapatkan
perhatian besar baik di tingkat global maupun nasional. Indonesia, sebagai salah satu negara
yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, mengalami kerugian yang cukup besar. Salah
satunya berdampak bagi stabilitas kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan iklim
mengakibatkan peningkatan fluktuasi pola curah hujan dan intensitas anomali iklim
menimbulkan dampak signifikan terhadap luas areal tanam dan panen, waktu datangnya musim
tanam musim hujan dan musim kemarau yang berimplikasi serius terhadap produksi pangan,
terutama padi. Implikasi yang mengancam produksi pangan tersebut berdampak pada
ketersediaan pangan untuk masyarakat. Sementara gizi merupakan salah satu faktor kunci untuk
menentukan kualitas sumber daya manusia yang diperlukan dalam pembangunan dan kemajuan
Negara Indonesia.

Perubahan Iklim, Ancaman Ketahanan Pangan dan Gizi

Perubahan iklim yang terjadi secara global beberapa tahun terakhir disadari membawa dampak di
berbagai aspek kehidupan, salah satunya di bidang ketahanan pangan dan gizi. Hal ini
disampaikan oleh Galopong Sianturi selaku perwakilan Dirjen Bina Gizi Kementerian Kesehatan
RI dan Drajat Martianto dari Departemen Gizi Masyarakat IPB dalam seminar Greenutition yang
mengangkat tema The Impact of Climate Change on Nutritional Status across Nation ini
diselenggarakan Di Kampus Universitas Indonesia Depok, pada 23 Oktober 2012 lalu.

Poin utama yang diketengahkan dalam seminar ini adalah alur perubahan iklim yang terjadi
secara global dan bagaimana alur pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dan gizi. Galopong
menyatakan bahwa efek gas rumah kaca yang mengubah iklim secara global berpengaruh pada
habitat makhluk hidup di berbagai belahan dunia, termasuk hewan dan tumbuhan sumber pangan
manusia. Iklim yang berubah menyebabkan perubahan musim panen dan siklus biologis hama.
Hal ini jelas berpengaruh pada hasil panen komoditas pertanian pangan yang berdampak pada
ketersediaan bahan pangan di masyarakat. "Gangguan pada ketersediaan bahan pangan
selanjutnya memberikan efek domino terhadap distribusi dan konsumsi pangan masyarakat, yang
dapat berujung pada gangguan status gizi dan kesehatan," kata Galopong.

Drajat Martianto menambahkan, untuk menghadapi ancaman nasional ketahanan pangan dan
gizi, perlu diterapkan kebijakan dan program yang relevan dan tepat sasaran. Masyarakat
sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan, seperti
perubahan suhu, curah hujan, serta kekeringan melalui gerakan konservasi hutan, penghematan
air, penanaman pohon, menjaga kebersihan lingkungandan lain sebagainya. Revitalisasi sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) juga menjadi hal yang penting untuk menghasilkan
tindakan segera guna menangulangi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Selain itu, intervensi pangan terhadap masyarakat untuk mencegah dan menghadapi gangguan
kesehatan melalui fortifikasi dan suplementasi pangan serta penanganan kasus-kasus gizi buruk
yang terjadi. "Riset-riset yang relevan juga perlu dilakukan guna mendukung ketahanan pangan
dan gizi, antara lain di bidang perubahan dan konstruksi sosial yang efektif, strategi relokasi
masyarakat di daerah rawan bencana, pengembangan teknologi benih yang tahan cekaman, cost-
effective suplementary feeding, serta pengembangan roadmap riset gizi dan kesehatan yang
berkelanjutan 10 – 40 tahun yang akan datang," tandas Drajat Martianto. K-35 (yusti)
Perubahan Iklim Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan
Added: Thursday, January 17th 2008 at 7:57pm by tegarrezavie
Related Tags: college, education
Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Lingkungan

Lingkungan adalah semua yang berada di wilayah eksternal jasmani manusia, di antaranya adalah
keadaan fisik, biologis, sosial, budaya, dan semua hal yang dapat mempengaruhi status kesehatan dalam
suatu populasi. (Yassi, 2001: hlm. 5). Definisi ini menunjukkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh
besar dalam menentukan kualitas kesehatan manusia. Lingkungan menjadi salah satu determinan utama
dalam teori-teori determinan kesehatan, baik dalam triad epidemiologi, teori Bloom, dan teori
Dahlgreen.

Diagram

1. Teori Bloom Diagram

2. Teori Dahlgreen

Perubahan sedikit saja pada kondisi lingkungan akan mengakibatkan dampak yang besar bagi
kesehatan manusia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Dekade ini, dunia
digemparkan dengan munculnya fenomena perubahan iklim. Beberapa tanda terjadinya perubahan
iklim di antaranya adalah tidak menentunya pergantian musim dari penghujan ke kemarau, pola
terbang burung, suhu dunia yang semakin memanas, dan sebagainya. Para ahli menyatakan bahwa
penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global akibat gas rumah
kaca (GRK).
Sekarang ini, perubahan iklim menjadi kontributor utama terjadinya kematian dini dan global burden
of disease (beban global penyakit). Manusia terekspos dampak perubahan iklim lewat perubahan
pola cuaca (misalnya perubahan suhu udara, presipitasi, meningkatnya level permukaan air laut, dan
sering munculnya kejadian-kejadian ekstrim seperti badai, dll) dan secara tidak langsung lewat
perubahan kualitas air, udara, makanan, dan ekosistem (Confalonieri dkk, 2007: hlm. 393).
Diagram

3. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Kesehatan (Confalonieri dkk. 2007: hlm. 396).

Dari diagram skematis tersebut diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi banyak
hal, yaitu:
1. Kondisi sistem kesehatan
2. Kondisi sosial [sebagai upstream (arus atas) determinan kesehatan]
3. Kondisi lingkungan
4. Gangguan kondisi ekonomi dan sosial
5. Pajanan langsung dan tidak langsung, yang pada akhirnya menimbulkan dampak kesehatan.

A. Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kesehatan

Perubahan iklim dapat mengakibatkan munculnya berbagai gangguan kesehatan. Serangan


heatstroke, kematian akibat tersambar petir, busung lapar akibat gagal panen yang disebabkan
perubahan pola hujan, dan gangguan kesehatan lainnya membutuhkan penanganan istimewa, tidak
bisa disamakan dengan kejadian penyakit biasa. Oleh karena itu, hal tersebut membutuhkan
rancangan sistem kesehatan yang disesuaikan dengan perkiraan dampak perubahan iklim sehingga
fasilitas pelayanan kesehatan yang ada mampu menampung, menangani, dan mengendalikan kasus-
kasus tersebut.
Ketika perubahan iklim datang, maka kesehatan manusia akan berada dalam ketidakpastian waktu.
Kasus bisa terjadi sewaktu-waktu dengan kuantitas dan kualitas dampak yang juga tidak dapat
dipastikan. Sistem pelayanan kesehatan akan menemui berbagai macam tantangan yang rumit
seperti naiknya biaya pelayanan kesehatan, komunitas yang mengalami penuaan dini, dan berbagai
tantangan lainnya sehingga strategi pencegahan yang efektif sangat dibutuhkan. (Menne, B. “Health
and Climate Change: A Call for Action”, didownload di
http://www.bmj.com/cgi/reprint/331/7528/1283.pdf, 23 Desember 2007, 15:38.)
B. Perubahan Iklim dan Kondisi Sosial
Salah satu contoh akibat perubahan iklim adalah banjir. Banjir yang menenggelamkan tempat tinggal
manusia membuat manusia mengungsi. Dalam kondisi darurat seperti itu, akan timbul kepanikan.
Selain itu, pada kondisi darurat manusia tidak lagi memikirkan orang lain. Yang menjadi prioritas
utamanya adalah bagaimana caranya agar dirinya, keluarganya, dan hartanya dapat diselamatkan.
Tidak jarang manusia menginjak hak orang lain asal kebutuhan keluarganya dapat dipenuhi,
walaupun hak orang yang diinjak tersebut adalah hak tetangganya.
C. Perubahan Iklim dan Dampak Lingkungannya
Perubahan Iklim terjadi karena perubahan keseimbangan lingkungan. Meningkatnya konsentrasi gas
rumah kaca (uap air, CO2, NOx, CH4, dan O3) di atmosfer akibat aktifitas pembakaran bahan bakar
fosil oleh manusia menyebabkan terbentuknya semacam selimut tak tampak mata yang mengurung
gelombang panas sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Efeknya adalah permukaan
bumi semakin memanas dan pada akhirnya memicu perubahan iklim.
Efek yang paling terlihat dari kondisi ini adalah perubahan cuaca. Cuaca adalah kondisi atmosfer yang
kompleks dan memiliki perilaku berubah yang kontinyu, biasanya terikat oleh skala waktu, dari menit
hingga minggu. Variabel-variabel yang berada dalam ruang lingkup cuaca di antaranya adalah suhu,
daya presipitasi, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan, dan arah angin. Sedangkan iklim
adalah kondisi rata-rata atmosfer, dan berhubungan dengan karakteristik topografi dan luas
permukaan air, dalam suatu region wilayah tertentu, dalam jangka waktu tertentu yang biasanya
terikat dalam durasi bertahun-tahun. (McMichael dkk. Ed. 2003. “Climate Change and Human Health:
Risks and Responses”. Jenewa, WHO, hlm. 18)
Aktivitas antropogenik lain, diantaranya adalah penggunaan lahan dan berubahnya vegetasi alami
juga ikut berkontribusi menyebabkan perubahan iklim. Perubahan vegetasi menyebabkan variasi
karakteristik permukaan bumi seperti albedo (kemampuan memantulkan) dan roughness (ketinggian
vegetasi) mempengaruhi keseimbangan energi permukaan bumi lewat gangguan evapotranspirasi.
Selain itu, perubahan vegetasi juga dapat mempengaruhi suhu, laju presipitasi, dan curah hujan di
suatu regional. Bencana alam yang dapat terjadi karena perubahan vegetasi di antaranya adalah
banjir, munculnya heatstroke akibat gelombang panas yang tidak diserap karena hilangnya vegetasi
alami, tsunami, kekeringan, dll.
Gambar 1. Efek Rumah Kaca (McMichel dkk. Ed. 2003. “Climate Change and Human Health: Risks and
Responses”. Geneva, WHO, hlm. 20)
D. Perubahan Iklim Beserta Dampak Langsung dan Dampak Langsungnya terhadap Kesehatan Manusia
Siang yang panas, malam yang panas, dan gelombang panas saat ini semakin sering terasa.
Gelombang panas berhubungan dengan meningkatnya kematian. 18 kematian akibat gelombang
panas dilaporkan di India antara tahun 1980 hingga 1998. Sedangkan di tahun 2003, tepatnya di
Andhra Pradesh, India, serangan gelombang panas menyebabkan 3000 kematian (Confalonieri dkk.
2007: hlm 397).
Selain gelombang panas, banjir juga menjadi ancaman utama bagi kesehatan manusia. Banjir adalah
bencana yang dapat berdampak dahsyat, merusak bangunan fisik infrastruktur, organisasi sosial dan
kegembiraan manusia. Secara teoritis, banjir adalah hasil dari interaksi dari curah hujan, runoff
permukaan, evaporasi, angin, tinggi permukaan air laut, dan topografi lokal. Bencana banjir dan
badai mulai muncul dalam 2 dekade ini. Pada tahun 2003, 130 juta jiwa menjadi korban banjir
bandang di China. Sedangkan pada tahun 1999, 30.000 orang mati karena badai yang diikuti banjir
dan tanah longsor di Venezuela. Di Indonesia, banjir air pasang terjadi di Jakarta Utara dan Tangerang
(Mhk, “Walhi Demo, PIK II Tetap Jalan”, Jakarta, Media Indonesia, 30 November 2007, hlm.4). Banjir
mengakibatkan kesehatan manusia terancam berbagai penyakit menular dan penyakit mental.
Leptospirosis, diare, gangguan saluran pernapasan, scabies, dan penyakit lainnya mengancam warga
pasca banjir. Apalagi untuk merekayang tinggal di pengungsian. Tanpa adanya persiapan dan
perencanaan yang bagus, tempat pengungsian dapat menjadi episentrum berbagai KLB (Kejadian
Luar Biasa).
E. Perubahan Iklim juga menyebabkan kemunculan dini musim semi serbuk sari di belahan bumi utara.
Sangat beralasan jika menyimpulkan bahwa penyakit alergen disebabkan oleh serbuk sari seperti
alergi rhinitis seiring ditemuinya kejadian tersebut bersamaan dengan perubahan musim tersebut
(Confalonieri dkk. 2007: hlm 402).
Perubahan Iklim Beserta Dampak Tak Langsungnya terhadap Kesehatan Manusia
Perubahan Iklim dapat mengubah kualitas air, udara, makanan; ekologi vektor; ekosistem, pertanian,
industri, dan perumahan. Semua aspek tersebut memiliki peranan yang sangat besar dalam
menentukan kualitas hidup manusia. Perubahan iklim telah menciptakan suatu rangkainan kausalitas
kompleks yang berujung pada dampak kesehatan.
Misalnya saja, kualitas dan suplai makanan. Variabel ini sangat dipengaruhi oleh iklim. Bagaimana
keteraturan iklim telah membuat petani tahu kapan waktu yang tepat untuk menebarkan benih,
memupuk, dan memanen lahannya. Saat iklim berubah, cuaca juga berubah. Kekeringan dan banjir
dapat datang sewaktu-waktu. Mungkin petani masih bisa memanfaatkan air tanah. Akan tetapi,
seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, aktivitas antropogenik manusia telah
merubah wajah vegetasi bumi. Kualitas dan kuantitas air tanah dan permukaan kini juga berada
dalam ancaman. Perubahan cuaca, kelembaban, suhu udara, arah dan kekuatan angin juga
mempengaruhi perilaku hama.
IPCC menyimpulkan bahwa bahwa beberapa studi mengindikasikan meningkatnya tekanan panas,
kekeringan, dan banjir secara negatif akan mempengaruhi lahan pertanian melebihi dampak
perubahan iklim. Hal tersebut juga diperkirakan akan membentuk kemungkinan terjadinya kejutan
yang dampaknya lebih luas, muncul lebih awal, lebih daripada yang diperkirakan. Variabilitas iklim
dan perubahan juga mengubah risiko terjadinya kebakaran, outbreak patogen dan hama, yang
berefek negatif pada ketersedian suplai makanan dan kehutanan.
Dampak lainnya adalah pengaruh perubahan iklim terhadap perilaku vektor penyebab penyakit.
Vector borne disease (VBD) adalah penyakit menular yang ditransmisikan oleh gigitan infeksi spesies-
spesies arthropoda, misalnya nyamuk, lalat, kutu, kepinding, dan sebagainya. Di timur laut Amerika,
ditemukan bukti respons genetik (mikro evolusioner) dari spesies nyamuk Wyeomia smithii untuk
meningkatkan jumlah mereka dan mereka dalam dua dekade ini muncul di musim semi lebih awal.
Walaupun spesies itu bukan merupakan vektor yang dapat menyebarkan penyakit ke manusia, tetapi
spesies ini memiliki hubungan yang dekat dengan spesies vektor arbovirus lainnya yang
dimungkinkan mengalami perubahan/evolusi genetis juga. Selain itu perubahan distribusi geografis
vektor sandfly dilaporkan terjadi di Eropa selatan. Akan tetapi, belum ada penelitian yang spesifik
meneliti kausa perubahan distribusi tersebut. (Confalonieri, dkk. 2007: hlm. 403).
Virus berbasis vektor lainnya yang palin menjadi pusat perhatian seluruh dunia adalah dengue.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada hubungan antara kondisi spasial, temporal, atau pola
spasiotemporal terhadap dengue dan iklim. Telah diketahui bahwa curah hujan yang tinggi serta suhu
yang hangat dapat meningkatkan transmisi virus ini. Akan tetapi, diketahui juga bahwa kasus dapat
terjadi dalam jumlah yang sama di musim kemarau asal terdapat cukup tempat penyimpanan air
yang feasibel menjadi breeding site nyamuk (Confalonieri dkk, 2007: hlm. 403).
Kurangnya suplai makanan dan kekeringan diketahui berhubungan dengan meningkatnya risiko
kematian akibat kesakitan diare di Banglasdesh. Di Australia diketahui juga meningkatnya risiko
bunuh diri oleh petani selama musim kemarau (Confalonieri dkk. 2007: hlm. 399). Diet yang bagus
dan suplai makanan yang baik adalah pusat dari kesuksesan promosi kesehatan. Keterbatasan suplai
makanan dapat mengakibatkan malnutrisi dan berbagai penyakit akibat defisiensi gizi (Wilkinson dkk.
ed. 2003: hlm.26).
Perubahan iklim memiliki hubungan dengan perubahan curah hujan, ketersediaan air permukaan,
dan kualitas air yang dapat berpengaruh pada water related disease. Water related disease dapat
diklasifikasikan dengan mengetahui jalur pajanannya sehingga dapat dibedakan menjadi water borne
disease (ingesti) dan water washed disease (karena kurangnya higienitas). Ada 4 pertimbangan yang
perlu diperhatikan dalam mengevaluasi hubungan antara manifes kesehatan dan pajanan oleh
perubahan curah hujan, ketersediaan, dan kualitas air:
1. Hubungan antara ketersediaan air, akses air bersih di perumahan, dan beban kesehatan akibat
penyakit diare
2. Peran curah hujan ekstrim (lebatnya curah hujan dan kekeringan) dalam memfasilitasi kejadian
luar biasa water borne disease lewat suplai air lewat jaringan pipa ataupun air permukaan.
3. Efek suhu dan runoff dengan kontaminasi bahan kimia dan mikrobiologi pada garis pantai, tempat
rekreasi, dan air permukaan
4. Efek langsung suhu pada insidens diare.
F. Perubahan Iklim Beserta Dampaknya terhadap Kondisi Sosial Ekonomis.
Perubahan iklim cenderung mengakibatkan bencana. Hal tersebut secara klinis akan mengakibatkan
gangguan kesehatan. Selain itu, bencana-bencana tersebut juga dapat melumpuhkan kegiatan
perekonomian manusia. Bencana yang merusak bangunan fisik, melumpuhkan sumber daya manusia
lewat penyakit, serta dapat mengancam iklim investasi. Hal tersebut dapat mengganggu kondisi
sosial dan ekonomi manusia.
STRATEGI PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM
Secara umum, ada 3 cara yang mulai dikembangkan saat ini untuk mengendalikan karbon, karena
karbon adalah domain utama yang menjadi penyebab perubahan iklim. Tiga cara tersebut
diantaranya adalah CDM (Clean Development Mechanism), REDD (Reduced Emission from
Deforestation on Development Country), dan CCP (Carbon Capture and Storage).
CDM merupakan salah satu mekanisme yang terdapat dalam Protokol Kyoto. Mekanisme CDM
merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang, dimana negara maju
dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan di
negara berkembang. Mekanisme ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, dimana
negara berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki kewajiban
untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I. Akan tetapi, mekanisme perdagangan karbon
ini mengalami tantangan.
Almuth Ernsting dalam tulisannya yang berjudul “Reduced Emission From Deforestation: Can Carbon
Trading Save Our Ecosystem?” mengemukakan fakta bahwa dana hasil CDM memang dialokasikan
untuk reboisasi. Akan tetapi, reboisasi yang dilakukan tidak benar-benar dapat mengembalikan
ekosistem yang rusak. Selama ini reboisasi yang dilakukan menggunakan monoculture-tree
plantations yang artinya dilakukan penanaman kembali lahan yang gundul dengan satu jenis bibit
pohon. Hal tersebut dianggap memberikan efek buruk terhadap lingkungan dan komunitas di sekitar
hutan yang rusak karena reboisasi yang dilakukan hanya sekedar menghijaukan, tetapi tidak mampu
mengembalikan kualitas ekosistem. Oleh karena itu, dia mengusulkan untuk mengintegrasikan CDM
dengan REDD. (Ernsting, dkk.“Reduced Emission From Deforestation: Can Carbon Trading Save Our
Ecosystem?” di download pada alamat
http://www.biofuelwatch.org.uk/docs/Avoided_Deforestation_Full.pdf, pada tanggal 5 Desember
2007 jam 14.00).
REDD adalah cara mereduksi karbon dengan jalan mengatur laju deforestasi. Mekanisme ini
sebenarnya tidak mutlak menganggap CDM buruk. Pelaksanaan REDD dapat dilaksanakan bersama
dengan pelaksanaan CDM yang sudah berlangsung. Hanya saja, dana hasil CDM sebagian dipisahkan
untuk biaya perawatan atau pelestarian hutan yang masih ada. Dalam publikasi ilmiah yang diadakan
UNFCCC pada Mei 2007, disebutkan bahwa opsi yang digunakan dikenal dengan sebutan 50-50-50.
Artinya, mengurangi laju deforestasi hingga 50% pada tahun 2050 sambil mempertahankan laju
deforestasi pada kisaran tersebut diklaim akan menyelamatkan 50 milyar ton emisi karbon.
Gambaran ini didapat dengan menggunakan Stern Review. Memang, Stern Review tidak
merekomendasikan gambaran nyata apapun dalam mengurangi laju deforestasi. Akan tetapi, Stern
menyatakan bahwa dengan tujuan menstabilkan kadar emisi CO2 pada angka 450 ppm, maka akan
dicari cara dekarbonisasi yang cepat dan lengkap lewat emisi energi non transportasi,menghentikan
deforestasi, dan intensifikasi substansi aktivitas penyitaan aset. Dengan mencoba untuk
mengendalikan laju deforestasi masalah mendasar dari pendekatan bak kritis dapat ditutupi.
(Ernsting, dkk.“Reduced Emission From Deforestation: Can Carbon Trading Save Our Ecosystem?” di
download pada alamat http://www.biofuelwatch.org.uk/docs/Avoided_Deforestation_Full.pdf, pada
tanggal 5 Desember 2007 jam 14.00). Sementara itu, Hasil pertemuan di Bali beberapa bulan yang
lalu mengisyaratkan bahwa REDD akan fokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya
dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah
pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam
perubahan iklim sampai 2012. Untuk pelaksanaan praktisnya masih belum disepakati. Isu ini
diagendakan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya yang disebut Badan Tambahan untuk Saran
Ilmiah dan Teknis di Bonn, Jerman, pada tahun 2008. (“Ini DiaHasil Bali Road Map”, dari
dobelden.wordpress.com/2007/12/15/ IniDiaHasilBaliRoadMap/ , tanggal 25 Desember 2007 pukul
11.37)
Sementara itu, CCS adalah suatu cara mengurangi emisi karbon dengan jalan menyuntikkan karbon
dioksida ke perut bumi. Metode ini membutuhkan ruang kosong di perut bumi, bisa juga
menggunakan sumur-sumur gas dan minyak bumi yang sudah mengering. Akan tetapi, kendala
penerapan teknologi ini adalah mahalnya biaya investasi dan tidak semua orang bisa melakukan
transfer teknologi walaupun untuk Indonesia teknologi tersebut mampu mengurangi emisi karbon
hingga 20% pada tahun 2005 (Nda, “Menyuntikkan CO2 Terhalang Biaya,” Media Indonesia, tanggal
10 Desember 2007, hlm. 7).
KESIMPULAN
1.Perubahan Iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia
2.Perubahan Iklim juga dapat mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi manusia
3.Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi karbon, yaitu CDM, REDD, dan
CCS.

SARAN
1.Perlu dibangun rencana tanggap darurat jika sewaktu-waktu muncul bencana
2.Perlu dibangun public awareness (kesadaran masyarakat) agar timbul inisiatif mandiri masyarakat
untuk meningkatkan ketahanan mereka dalam beradaptasi terhadap kemungkinan buruk terjadinya
bencana dan mengembangkan cara-cara mengurangi pajanan bahaya.
3.Sistem kesehatan perlu disempurnakan untuk memaksimalkan peran pelayanan kesehatan
4.Perlu kebijakan yang mengarahkan agar semua sektor mulai beralih dari bahan bakar fosil ke bahan
bakar lain yang lebih ramah lingkungan, misalnya menggunakan reaktor nuklir sebagai pengganti
pembangkit listrik tenaga uap yang banyak menghasilkan emisi sulfur dan karbon.
5.Dibutuhkan kesepakatan portofolio sebagai landasan komitmen gerakan bersama di semua negara-
negara di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca

DAFTAR PUSTAKA:
Dobelden, “Ini Dia Hasil Bali Road Map”, dari dobelden.wordpress.com/2007/12/15/
IniDiaHasilBaliRoadMap/ , tanggal 25 Desember 2007 pukul 11.37
Ernsting, dkk.“Reduced Emission From Deforestation: Can Carbon Trading Save Our Ecosystem?” di
download pada alamat http://www.biofuelwatch.org.uk/docs/Avoided_Deforestation_Full.pdf, pada
tanggal 5 Desember 2007 jam 14.00
Confalonieri, dkk. 2007.’Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability’, ed. M.L. Parry,
O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson. Cambridge, Cambridge University
Press, hlm. 391-431
Menne, B. “Health and Climate Change: A Call for Action,
”http://www.bmj.com/cgi/reprint/331/7528/1283.pdf, 23 Desember 2007, 15:38
Mhk, “Walhi Demo, PIK II Tetap Jalan”, Jakarta, Media Indonesia, 30 November 2007, hlm.4
Nda, “Menyuntikkan CO2 Terhalang Biaya,” Media Indonesia, tanggal 10 Desember 2007, hlm. 7
Wilkinson, R, dkk, ed. 2003. “Social Determinants of Health: The Solid Facts. 2nd edition” Denmark,
WHO, hlm. 26.
Yassi, Annalee, dkk. 2001. ‘Basic Environmental Health’. NewYork, Oxford University Pr
Rabu, 21 Maret 2012

makalah ekologi pangan dan gizi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi, sedangkan tingkat
konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan
adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya
antara satu zat terhadap zat yang lain, sedangkan kuantitas merupakan kuantum masing-masing
zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kecukupan kualitas dan kuantitas zat gizi di dalam suatu
hidangan akan menjadikan tubuh sehat atau disebut sehat gizi. Bila kualitas dan jumlahnya
melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi berlebih, sebaliknya bila kualitas dan kuantitas
zat gizi dalam hidangan kurang baik maka dinamakan kurang gizi atau defisiensi.

Dewasa ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yakni masalah gizi kurang dan
masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya
persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium).
Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat
tertentu yang disertai dengan minimnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan
kesehatan. Dengan demikian, sebaiknya masyarakat meningkatkan perhatian terhadap kesehatan
guna mencegah terjadinya gizi salah (malnutrisi) dan risiko untuk menjadi kurang gizi.
Berlandaskan oleh latar belakang di atas maka di dalam makalah ini akan dibahas mengenai
status gizi dan beberapa aspek yang berkaitan dengan status gizi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan status gizi ?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ?

3. Apa saja faktor lingkungan yang mempengaruhi ketersediaan pangan dan gizi ?
1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan status gizi.

2. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi.

3. Memahami faktor lingkungan yang mempengaruhi ketersediaan pangan dan gizi.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai
status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.
Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta
biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000: 1).

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

1. Faktor External

Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain:

a) Pendapatan

Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya
dengan daya beli yang dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999).

b) Pendidikan

Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua atau
masyarakat untuk mewujudkan dengan status gizi yang baik (Suliha, 2001).

c) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan
keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu
akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Markum, 1991)

d) Budaya

Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan (Soetjiningsih,
1998).
2. Faktor Internal

Faktor Internal yang mempengaruhi status gizi antara lain :

a) Usia

Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam
pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).

b) Kondisi Fisik

Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut usia, semuanya
memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak
yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi
digunakan untuk pertumbuhan cepat (Suhardjo, et, all, 1986).

c) Infeksi

Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan
menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et, all, 1986).

2.3 Penilaian Status Gizi

Penilaian Status gizi adalah Ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, contoh gondok endemik
merupakan keadaaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh.

Macam-macam penilaian status gizi

1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri,
klinis, biokimia dan biofisik.
a. Antropometri

1) Pengertian

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi,
maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

2) Penggunaan

Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan
energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
3) Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)

Salah satu contoh penilaian ststus gizi dengan antropometri adalah Indeks Massa Tubuh.
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang
sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap
penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit
degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang
dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang.

Pedoman ini bertujuan memberikan penjelasan tentang cara-cara yang dianjurkan untuk
mencapai berat badan normal berdasarkan IMT dengan penerapan hidangan sehari-hari yang
lebih seimbang dan cara lain yang sehat.

Untuk memantau indeks masa tubuh orang dewasa digunakan timbangan berat badan dan
pengukur tinggi badan. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.

Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:

Berat Badan (Kg)

IMT = Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat


berat

Kurus Kekurangan berat badan tingkat 17,0 – 18,4


sekali ringan

Normal Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat 25,1 – 27,0


ringan

Obes Kelebihan berat badan tingkat > 27,0


berat

Untuk mengukur status gizi anak baru lahir adalah dengan menimbang berat badannya
yaitu : jika ≤ 2500 gram maka dikategorikan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) jika 2500 –
3900 gram Normal dan jika ≥ 4000 gram dianggap gizi lebih.

Untuk Wanita hamil jika LILA (LLA) atau Lingkar lengan atas <>
b. Klinis

1) Pengertian

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat.
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues)
seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

2) Penggunaan

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys).
Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fifik yaitu tanda (sign) dan gejala (Symptom) atau
riwayat penyakit.

c. Biokimia

1) Pengertian

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.

2) Penggunaan

Metode ini digunakan untuk suata peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

d. Biofisik

1) Pengertian

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan.

2) Penggunaan

Umumnya dapat digunaakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik
(epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

2. Penilaian gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu : Survei Konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi.
a. Survei Konsumsi Makanan

1) Pengertian

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

2) Penggunaan

Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi


berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi.

b. Statistik Vital

1) Pengertian

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis dan beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan.

2) Penggunaan

Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran


status gizi masyarakat.

c. Faktor Ekologi

1) Pengertian

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil


interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia
sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll.

2) Penggunaan

Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi
di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.
2.4 Macam Klasifikasi Status Gizi

Tabel 2.1. Tabel Status Gizi

INDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS *)

Gizi Lebih > + 2 SD

Berat badan Gizi Baik ≥ -2 SD sampai +2 SD


menurut umur
(BB/U) Gizi Kurang < -2 SD sampai ≥ -3SD

Gizi Buruk < – 3 SD

Tinggi badan Normal ≥ 2 SD


menurut umur
Pendek (stunted) < -2 SD
(TB/U)

Berat badan Gemuk > + 2 SD


menurut tinggi
Normal ≥ -2 SD sampai + 2 SD
badan (BB/TB)
Kurus (wasted) < -2 SD sampai ≥ -3 SD

Kurus sekali < – 3 SD

Sumber : Depkes RI, 2002.

Klasifikasi di atas berdasarkan parameter antropometri yang dibedakan atas:

1) Berat Badan / Umur

Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap umur dalam bulan yang hasilnya
kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1.

2) Tinggi Badan / Umur

Status gizi ini diukur sesuai dengan tinggi badan terhadap umur dalam bulan yang hasilnya
kemudian dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1.

3) Berat Badan / Tinggi Badan

Status gizi ini diukur sesuai dengan berat badan terhadap tinggi badan yang hasilnya kemudian
dikategorikan sesuai dengan tabel 2.1

4) Lingkar Lengan Atas / Umur

Lingkar lengan atas (LILA) hanya dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu gizi kurang dan gizi
baik dengan batasan indeks sebesar 1,5 cm/tahun.
Menurut Depkes RI (2005) Parameter berat badan / tinggi badan berdasarkan kategori Z-
Score diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:

1) Gizi Buruk ( Sangat Kurus) : < -3 SD

2) Gizi Kurang (Kurus) : -3SD s/d < - 2SD

3) Gizi Baik (Normal) : -2 SD s/d + 2SD

4) Gizi Lebih (Gemuk) : > + 2SD

2.5 Faktor - Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Status Gizi dan Produksi Pangan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda
hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen
termasuk host yang lain (Soemirat, 2005). Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan
masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah,
irigasi dan lain-lain. Di samping itu, budaya juga berpengaruh seperti kebiasaan memasak,
prioritas makanan dalam keluarga, distribusi dan pantangan makan bagi golongan rawan gizi
(Supariasa, 2002).

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi persediaan pangan dan asupan gizi
seseorang adalah lingkungan fisik, biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Achmadi,
2009).

1. Kondisi fisik yang dapat mempengaruhi terhadap status pangan dan gizi suatu daerah
adalah cuaca, iklim, kondisi tanah, sistem bercocok tanam, dan kesehatan lingkungan
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2005).

2. Faktor lingkungan biologi misalnya adanya rekayasa genetika terhadap tanaman dan
produk pangan. Kondisi ini berpengaruh terhadap pangan dan gizi. Selain itu adanya interaksi
sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi yaitu infeksi akan mempengaruhi status gizi
dan mempercepat malnutrisi (Anonim, 2009). Ketiga,

3. Lingkungan ekonomi. Kondisi ekonomi seseorang sangat menentukan dalam penyediaan


pangan dan kualitas gizi. Apabila tingkat perekonomian seseorang baik maka status gizinya akan
baik. Golongan ekonomi yang rendah lebih banyak menderita gizi kurang dibandingkan
golongan menengah ke atas.

4. Faktor lingkungan budaya. Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat
pantangan, takhayul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi
rendah. Di samping itu jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu
banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Kelima,
5. Lingkungan sosial. Kondisi lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi ekonomi di suatu
daerah dan menentukan pola konsumsi pangan dan gizi yang dilakukan oleh masyarakat.
Misalnya kondisi sosial di pedesaan dan perkotaan yang memiliki pola konsumsi pangan dan gizi
yang berbeda. Selain status gizi juga dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, ketegangan dan
tekanan sosial dalam masyarakat. Keenam, lingkungan politik. Ideologi politik suatu negara akan
mempengaruhi kebijakan dalam hal produksi, distribusi, dan ketersediaan pangan (Supariasa,
2002).

Dengan demikian faktor lingkungan mempengaruhi persediaan pangan dan asupan zat-
zat gizi. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab
malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi
(Supariasa, 2002).

2.6 Permasalahan Gizi Masyarakat


Permasalahan Gizi Masyarakat dapat dilihat pada bagan berikut :

UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro (lihat skema.) sebagai salah
satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan
bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:

1. Penyebab langsung

Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi
kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang
mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi
kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan
tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

2. Penyebab tidak langsung

Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :

a) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik
jumlah maupun mutu gizinya.

b) Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat
menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan
baik baik fisik, mental dan sosial.

c) Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang
ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar
yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan
keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat
ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.

3. Pokok masalah di masyarakat

Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat


berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung.

4. Akar masalah

Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan
oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997.
Keadaan tersebut teleh memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan
ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.

Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah
masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan
protein. Manifestasi dari masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil
yang Kurang Energi Kronis (KEK) adalah berat badan bayi baru lahir yang rendah (BBLR). Bila
terjadi pada anak balita akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor
dan selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah. Anak balita yang
sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat
badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi, apabila sesuai dengan standar anak disebut
Gizi Baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut Gizi Kurang, sedangkan jika jauh di bawah
standar disebut Gizi Buruk. Bila gizi buruk disertai dengan tandatanda klinis seperti ; wajah
sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut Marasmus, dan bila ada
bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut Kwashiorkor. Marasmus dan
Kwashiorkor atau Marasmus Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai “busung lapar”. Gizi
mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang
Yodium).

Menurut Hadi (2005), Indonesia mengalami beban ganda masalah gizi yaitu masih banyak
masyarakat yang kekurangan gizi, tapi di sisi lain terjadi gizi lebih.

2.7 Solusi Permasalahan Gizi Masyarakat

Menurut Hadi (2005), solusi yang bisa kita lakukan adalah berperan bersama-sama.

Peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR). Kabupaten Kota daerah membuat
kebijakan yang berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai filosofi yang baik
“menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi dengan memberikan Makanan
Pendamping (MP) ASI.
Peran Perguruan Tinggi. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam memberikan
kritik maupun saran bagi pemerintah agar supaya pembangunan kesehatan tidak menyimpang
dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah masyarakat, mengambil peranan dalam
mendefinisikan ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan memformulasikannya dalam bentuk
kurikulum pendidikan tinggi yang dapat memenuhi tuntutan zaman.

Menurut Azwar (2004). Solusi yang bisa dilakukan adalah :

1. Upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan
penangulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk menderita masalah
kurang gizi akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan dalam hal pengurangan
kemiskinan. Berbagai pihak terkait perlu memahami problem masalah gizi dan dampak yang
ditimbulkan begitu juga sebaliknya, bagaimana pembangunan berbagai sektor memberi dampak
kepada perbaikan status gizi. Oleh karena itu tujuan pembangunan beserta target yang ditetapkan
di bidang perbaikan gizi memerlukan keterlibatan seluruh sektor terkait.

1. Dibutuhkan adanya kebijakan khusus untuk mempercepat laju percepatan peningkatan


status gizi. Dengan peningkatan status gizi masyarakat diharapkan kecerdasan, ketahanan
fisik dan produktivitas kerja meningkat, sehingga hambatan peningkatan ekonomi dapat
diminimalkan.
2. Pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian ‘best practice’ (efektif dan
efisien) dan lokal spesifik. Intervensi yang dipilih dengan mempertimbangkan beberapa
aspek penting seperti: target yang spesifik tetapi membawa manfaat yang besar, waktu
yang tepat misalnya pemberian Yodium pada wanita hamil di daerah endemis berat
GAKY dapat mencegah cacat permanen baik pada fisik maupun intelektual bagi bayi
yang dilahirkan. Pada keluarga miskin upaya pemenuhan gizi diupayakan melalui
pembiayaan publik.
3. Pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan evidence
base dalam menentukan kebijakannya. Diperlukan sistem informasi yang baik, tepat
waktu dan akurat. Disamping pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang baik dan kajian-
kajian intervensi melalui kaidah-kaidah yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Mengembangkan kemampuan (capacity building) dalam upaya penanggulangan masalah
gizi, baik kemampuan teknis maupun kemampuan manajemen. Gizi bukan satu-satunya
faktor yang berperan untuk pembangunan sumber daya manusia, oleh karena itu
diperlukan beberapa aspek yang saling mendukung sehingga terjadi integrasi yang saling
sinergi, misalnya kesehatan, pertanian, pendidikan diintegrasikan dalam suatu kelompok
masyarakat yang paling membutuhkan.
5. Meningkatkan upaya penggalian dan mobilisasi sumber daya untuk melaksanakan upaya
perbaikan gizi yang lebih efektif melalui kemitraan dengan swasta, LSM dan masyarakat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikan oleh
berat badan dan tinggi badan. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang
dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah faktor external faktor
eksternal. faktor external meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan budaya sedangkan
factor internal meliputi usia kondisi fisik infeksi.

Dan Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi persediaan pangan dan asupan gizi
seseorang adalah lingkungan fisik, biologis, budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

3.2 saran

Dalam hal ini sesungguhnya bahwa untuk keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi di
masyarakat umumnya sangat tergantung dengan factor ekologi yang dihadapi dalam suatu
kalangan masyarakat. Sebab faktor tersebut berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di luar
diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain sehingga kiita sebagai masyarkat
hedaknya mampu menyediakan penyedian pangan semaksimal mungkin demi pencapaian status
gizi yg optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://hasanah619.wordpress.com/2010/01/04/pengukuran-faktor-ekologi/
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 21.20 WIB)
2. http://aniamaharani.multiply.com/journal/item/21/FAKTOR
FAKTOR_LINGKUNGAN_YANG_MEMPENGARUHI_STATUS_GIZI_KETERSEDI
AAN_DAN_PRODUKSI_PANGAN?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 21.35 WIB)
3. http://statusgizi.blogspot.com/2009/06/konsep-masalah-gizi.html
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 21.38 WIB)
4. http://ajago.blogspot.com/2007/12/gizi-kesehatan-masyarakat.html
(Diakses tanggal : 21 Maret 2012, pukul 12.30 WIB)

5. http://creasoft.wordpress.com/2010/01/01/status-gizi/
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 21.22 WIB)
6. http://arda.students-blog.undip.ac.id/2009/10/27/faktor-faktor-lingkungan-yang
mempengaruhi-pangan-dan-gizi/
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 21.55 WIB)
7. http://ras-eko.blogspot.com/2011/10/status-gizi.html
(Diakses tanggal : 20 Maret 2012, pukul 22.10 WIB)

Anda mungkin juga menyukai