MATA KULIAH :
EKONOMI KOTA
Artikel yang berjudul “Kemiskinan Perkotaan : Strategi Pemulung di Kota Ambon” ditulis
oleh Amelia Tahitu dan Cornelly M.A. Lawalata Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKIM
Ambon dipublikasikan dalam Jurnal Sosio Informa Vol. 3 No. 01, Januari – April, Tahun 2017.
Artikel ini membahas tentang banyaknya masyarakat Kota Ambon yang ber mata pencaharian
sebagai pemulung. Hal ini menjadi salah satu masalah kemiskinan perkotaan di Kota Ambon.
Jumlahnya yang semakin meningkat diakibatkan karena adanya urbanisasi/perpindahan penduduk
dan berkaitan dengan aspek-aspek kurangnya lapangan pekerjaan, pendidikan dan minimnya
keterampilan yang dimiliki masyarakat tersebut. Hal ini lah yang membuat masyarakat memilih
untuk menjadi pemulung karena tidak membutuhkan pengalaman,persyaratan serta keterampilan
yang formal. Artikel tersebut juga memaparkan kondisi pemulung di Kota Ambon dengan
memaparkan pendapatan, jenjang pendidikan, keyakinan, serta tempat tinggal masyarakat yang
ber mata pencaharian sebagai pemulung.
Selain itu, didalam artikel ini juga terdapat upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah
Daerah Ambon untuk mengatasi pemulung yang semakin meningkat. Maka dari itu, penulis artikel
hendak memaparkan kondisi riil pemulung di Kota Ambon dan mengemukakan rekomendasi
kebijakan untuk menanggulangi terkait penanganan pemulung dan kesejahteraan nya. Hal ini
membuat pemerintah harus turun langsung dan ikut berpartisipasi untuk mengurangi jumlah
pemulung yang ada di Kota Ambon. Beberapa program yang sudah dikeluarkan pemerintah antara
lain melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), UMKM dan Program PNPM Mandiri. Meskipun
program yang dikeluarkan pemerintah sudah cukup banyak, namun belum memberikan dampak
yang signifikan bagi masyarakat miskin. Sebab itu, pemerintah perlu memberdayakan masyarakat
miskin yang ada di Kota Ambon dengan terencana hingga kemiskinan perkotaan pun dapat
teratasi.
Ringkasan (Executive Summary) :
Kemiskinan yang ada di perkotaan merupakan akibat dari urbanisasi atau perpindahan
penduduk yang berkaitan dengan aspek kurangnya lapangan pekerjaan, pendidikan dan minimnya
keterampilan yang dimiliki masyarakat. Hal ini membuat sebagian masyarakat yang migrasi tidak
memperoleh pekerjaan di daerah perkotaan. Akibatnya, tingkat kemiskinan semakin meningkat
dan membuat masyarakat lebih memilih pekerjaan yang mungkin dianggap bagi sebagian orang
pekerjaan yang dipandang rendah yaitu ber mata pencaharian sebagai pemulung. Munculnya
pemulung merupakan fenomena kemiskinan perkotaan yang sering muncul di kota-kota besar
salah satu kotanya adalah Kota Ambon. Jumlah pemulung semakin meningkat akibat dari
tingginya angka kemiskinan di Kota Ambon. Masyarakat yang ber mata pencaharian sebagai
pemulung dianggap sebagai hal yang mudah untuk dilakukan karena tidak membutuhkan
persyaratan dan keahlian khusus. Maka dari itu, pekerjaan pemulung merupakan tantangan
kemiskinan perkotaan yang haris ditangani dengan serius oleh pemerintah daerah.
Komunitas pemulung tinggal dekat dengan Instansi Pembuangan Sampah Terpadu ( IPST)
yakni di Dusun Amaori, Kecamatan Leitimur Selatan. Berkaitan dengan tempat tinggal, rata-rata
pemulung tinggal di rumah mereka sendiri dengan kondisi bangunan semi permanen yang bisa
terlihat dari atap dan dinding triplek bekas yang mereka peroleh. Keberadaan pemulung di Kota
Ambon terbagi atas pemulung baru yang melakukan kegiatan memulung antara satu sampai dua
tahun, pemulung yang melakukan kegiatan memulung antara sepuluh sampai dua puluh tahun dan
pemulung yang telah melakukan kegiatan memulung lebih dari 60 tahun.
Kegiatan memulung dilakukan berdasarkan waktu kerja kegiatan yang berbeda. Perbedaan
jam melakukan kegiatan disebabkan karena kesibukan dirumah, melakukan pekerjaan sampingan
dan sebagainya. Biasanya dilakukan mulai subuh hingga malam hari. Pada waktu subuh, dilakukan
pada pukul tiga hingga enam pagi, sedangkan untuk waktu siang dimulai pukul delapan sampe dua
belas siang sedangkan pada waktu sore hingga malam hari dimulai pada pukul tiga hingga enam
sore.
Sebagian besar pemulung/mengambil jenis barang sampah berupa botol air mineral, plastic
dan kaleng-kaleng bekas. Karena barang-barang ini nanti nya dapat dijual kembali ke pengepul
atau mendaur ulang barang-barang bekas yang sudah dikumpulkan. Volume barang tiap harinya
paling sedikit hanya 1 - 10 kg dan paling banyak berkisar antara 51 - 60 kg, Setelah dijual
pendapatan yang diperoleh paling sedikit berkisar Rp. 10.000,- s/d Rp. 50.000,- sedangkan
pendapatan tertinggi berkisar antara Rp. 60.000,- s/d Rp. 100.000,-. Namun pemulung mengaku
apabila pendapatan yang diperoleh belum mencukupi kebutuhan hidup mereka, hal ini terlihat dari
pola makan masyarakat pemulung yang dibatasi serta terkait dengan kesehatan pemulung.
Bekerja sebagai pemulung bukan merupakan suatu hal yang hina kita bisa lihat dari sisi
fungsional nya. Bagaimana komunitas masyarakat yang bekerja sebagai pemulung mampu
memberikan manfaat bagi sebuah kota. Maka dari itu, pemulung harus mendapat perhatian khusus
dan harus lebih diberdayakan oleh pemerintah daerah. Dengan memberikan hak-hak sosial
ekonomi seperti perlindungan sosial , jaminan sosial dan juga perlindungan hukum.
Kritik (Critique) :
Jurnal ini merupakan jurnal yang tepat untuk mengambarkan kondidi real kemiskinan
perkotaan Kota Ambon. Efek dari adanya urbanisasi semakin menambah angka kemiskinan di
Kota Ambon. Tingkat kemiskinan yang terjadi di masyarakat dikarenakan kurangnya lapangan
pekerjaan yang ada di kota sebelumnya ataupun di kota setelah mereka migrasi. Masalah
kemiskinan perkotaan didalam jurnal ini membahas tentang persoalan munculnya fenomena
pemulung yang ada di Kota Ambon. Dari sebagian masyarakat yang bermigrasi ada sebagian
masyarakat yang memilih pekerjaan sebagai pemulung, karena tidak memiliki pendidikan yang
rendah dan tidak memiliki keterampilan. Hal ini membuat masyarakat miskin lebih memilih untuk
bekerja sebagai pemulung karena lebih mudah dan tidak memiliki persyaratan khusus. Adanya
pemulung diberbagai kota merupakan masalah kemiskinan perkotaan yang cukup serius.
Terkait dengan tingkat pendidikan, komunitas pemulung yang ada di Kota Ambon rata-
rata jenjang pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Artinya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh rata-rata komunitas pemulung terbilang rendah.
Namun, ada pula yang bekerja sebagai pemulung dengan tingkat pendidikan terakhir ialah
Perguruan Tinggi, namun pekerjaan pemulung hanya digunakan sebagai pekerjaan sampingan
saja. Umumnya komunitas pemulung berjenis kelamin laki-laki dan yang sudah berkeluarga
karena dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka harus menanggung beban anggota keluarga
mereka dengan memperoleh pendapatan setiap hari nya. Jika tidak memiliki pekerjaan yang tetap,
secara tidak langsung mereka harus memulung untuk memperoleh pendapatan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Dalam jurnal ini pula dijelaskan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan
fenomena pemulung yang ada di Kota Ambon serta peran serta Pemerintah daerah untuk
berpartisipasi memberdayakan pemulung dan mengurangi angka kemiskinan di Kota Ambon.
Dipaparkan pula program-program yang dikeluarkan pemerintah daerah guna mengurangi angka
kemiskinan di Kota Ambon. Pemberdayaan masyarakat komunitas pemulung bisa dilakukan
dengan mendaur ulanh barang bekas yang diperoleh dan kemudian menjual nya maka nilai jual
dari barang bekas tersebut akan lebih tinggi sehingga komunitas pemulung mampu memperoleh
penghasilan tambahan.
Didalam jurnal ini terdapat pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, penutup dan
daftar pustaka. Pendekatan yang dilakukan dalam metode penelitian ini merupakan metode
deskritif dengan pendekatan kualitatif. Latar belakang masalah dalam jurnal ini tidak dijelaskan
secara menyeluruh baik dari pemahaman angka kemiskinan maupun dari pemahaman fenomena
pemulung. Pemaparan pun hanya sebatas observasi/wawancara langsung kepada pemulung.
Kesimpulan :
Lesson Learned :