Anda di halaman 1dari 2

AKU MENYESAL (?

)
Hujan sore ini membawa berita tentang kamu. Aku tahu kamu pasti baik-baik saja.
Namun, apakah kamu mengira aku juga sama sepertimu? Aku memang baik, namun
kalau kamu bertanya lebih dalam lagi aku tidak sepenuhnya baik.

Pikiranku terbawa pada sebulan lalu saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan
kita. Hatiku benar-benar risau saat itu. Kamu sudah menghilang selama dua minggu
tanpa ada kabar sama sekali. Awalnya aku mencoba menghubungi semua kontakmu.
BBM, Line, WhatsApp, SMS, Telpon, bahkan aku selalu mengikuti Path mu. Tapi tidak
ada balasan. Aku mulai menyerah dan menunggu kamu balik menghubungiku.

Aku hilangkan semua kecemasanku. Kamu mungkin sibuk dengan pekerjaanmu. Begitu
lelah sampai tidak sempat menghubungiku atau pulsamu habis atau ponselmu rusak.
Aku meyakinkan diri kamu baik-baik. Aku juga harus baik-baik saja.

Waktu itu hubungan kita sudah terjalin 6 bulan. Apakah kamu sadar itu? Aku bersyukur
kuat menjalani hubungan ini. Menghadapi sikap cuekmu. Menjalani hubungan jarak
jauh kita. Bukan sekali ini kamu tiba-tiba menghilang. Aku bahkan sudah lupa ini
keberapa. Apakah LDR sesulit ini ya?

Tapi kali ini berbeda. Sebelum menghilang sikapmu terlalu cuek. Bahkan kita sempat
ada perdebatan. Aku menahan emosiku dan mengalah untuk kamu. Tidak ingin
membuatmu semakin lelah dengan sikap manjaku. Pertanyaanku saat itu, apakah
sikapku disebut manja dengan mengharap sedikit perhatian darimu. Aku tidak pernah
merengek memintamu menghubungiku setiap waktu.

Dua minggu pun berlalu. Malam itu kamu membalas chatku dengan singkat, "apa?".
Emosiku langsung meluap. Aku tidak paham denganmu saat itu. Bagaimana bisa kamu
hanya membalas satu kata saja dari semua kebingunganku. Kamu sudah tidak
menganggapku ada sekarang. Jawabanmu selanjutnya juga masih singkat, "ponselku
rusak". Haruskah aku percaya? Haruskah aku pertahankan?

Aku: Kamu kenapa sih? Aku salah apa jelasin sampai kamu cuek gini. Apa kamu gak
tau aku bingung banget gak ada kabarmu. Kasih kabar napa kalau ponselmu rusak.
Pinjam saudara atau temen kan bisa. Kamu gak hafal nomorku?

Kamu: Kamu sendiri tahu kan aku gak peka. Aku emang kayak gini cuek, gak dewasa.
Kamu mau aku kayak gimana coba? Aku sibuk juga kemarin banyak masalah. Kamu
gak tahu itu kan. Jangan sok tau deh

Aku: Kamu kok tambah marah-marah gini sih? Aku yang mestinya marah. Tapi masih
aku tahan. Aku emang gak tau masalahmu. Kalau masih anggap aku mestinya kamu
cerita.
Kamu: Terserah kamu dah. Aku emang gini. Kalau gak suka yaudah tinggalin aja. Cari
yang sempurna kayak maumu sana!!!

Aku: Kamu ngomong apaan sih? Kok jadi marah-marah gini?

Kamu: Udah ya. Aku suntuk sekarang. Capek. Gak usah ganggu aku dah.

Aku: Maaf udah ganggu kamu selama ini. Maaf gak bisa ngertiin kamu. Ya sudah kalau
maumu gini. Terimakasih buat semuanya. Sekali lagi maaf. Semoga kamu bisa lebih
tenang dan bahagia setelah aku pergi.

Kamu: ya.

Jujur saja aku tidak dapat mengatakan apa pun saat itu. Tapi ada perasaan bebas di
hatiku. Rasanya belenggu yang dulu mengikat kuat sudah tidak ada, hatiku kosong
sekita.

Beberapa menit aku terpaku menatap layar ponselku dan berharap kamu menarik
ucapanmu. Harapanku pun pudar. Air mata kurasakan sudah membasahi pipi. Lama
kelamaan isak tangisku semakin keras. Aku tidak dapat berbohong kalau masih ada
perasaan untukmu. Tapi aku sudah siap melepaskanmu malam itu.

Apakah aku yakin untuk melepasmu? Aku bertanya pada diri sendiri. Aku ingin
mengatakan padamu bahwa aku ingin menarik ucapanku. Aku tidak bisa
melepaskanmu. Itulah kenyataannya. Masih ada rindu yang belum terobati dengan
pertemuan. Kita berpisah setelah lama kita tidak bertemu. Karena aku masih ingat,
rindu itu butuh pertemuan.

Kini hatiku kosong. Dalam kekosongannya ada rindu yang melekat untukmu. Rindu
untuk kembali bersamamu. Berharap kita menarik semua ucapan kita. Aku sekarang
sadar tidak semestinya aku mengambil keputusan saat hati dan otakku memanas.
Bagaimana denganmu? Apakah ada rindu untukku? Apakah ada keinginan untuk kita
kembali lagi?

Anda mungkin juga menyukai