Anda di halaman 1dari 22

Makalah Teori Akuntansi

Normative Accounting Theory – Conceptual Framework of


Accounting

Oleh Kelompok 2:
• Astrid D. Raharjo (1511060108)
• Eri Junaidi Zafar (1511060118)
• Fajar Noerakbar (1511060097)

ABFI Perbanas Institute Jakarta


Jl. Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12940
1
THE ROLE OF A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Proses perjalanan penyusunan Conceptual Framework dimulai pada tahun 1980 dan
awal tahun 1990 di USA, Canada, UK dan Australia. Namun pada tahun 1989, proses
perkembangan conceptual framework mengalami hambatan dari berbagai faktor, seperti
kesulitan dalam pembentukan fundamental issues yang berkaitan dengan measurement dan
juga adanya intervensi politik, sehingga prosesnya berjalan dengan lambat. Tetapi pada tahun
2002, terdapat kemajuan yang pesat di dalam proses perkembangan conceptual framework
dikarenakan adanya IASB/FASB Convergence Program, dimana dalam program tersebut
dibutuhkan sebuah framework yang kuat untuk memandu para pembuat accounting standards
dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga pada tahun 2004, IASB dan FASB mulai untuk
membentuk sebuah conceptual framework yang lengkap dan konsisten.

Conceptual Framework of Accounting bertujuan untuk membuat sebuah teori akuntansi


yang lengkap, konsisten, dan terstruktur. Berikut ini adalah struktur dari Conceptual
Framework yang diilustrasikan dalam gambar dibawah ini :

2
Conceptual Framework itu sendiri didefinisikan oleh FASB sebagai berikut :

“... a coherent system of interrelated objectives & fundamentals that is expected to lead to
consistent standards and that prescribes the nature, function and limits of financial
accounting and reporting”. Kata ‘coherent system’ dan ‘consistent’ mencerminkan bahwa
FASB membuat framework yang teoritis dan non-arbitary, serta kata ‘prescribes’
menunjukkan pendekatan normatif dalam penyusunannya.

Namun meskipun IASB dan FASB telah berusaha untuk menyusun conceptual
framework tersebut, tidak semua akuntan memiliki pendapat yang sama terhadap kehadiran
conceptual framework ini. Beberapa akuntan berpendapat bahwa membuat general theory
melalui sebuah conceptual framework tidak diperlukan. Mereka beralasan bahwa mereka
dapat tetap bertahan didalam pelaksanaan profesi akuntan tanpa sebuah teori yang secara
formal terstruktur.

Pernyataan tersebut memang benar adanya, namun muncul beberapa masalah terkait
praktik didalam akuntansi karena tidak adanya general theory of accounting yang terstruktur.
Salah satunya adalah, praktik akuntansi dinilai sangat permissive dan tidak konsisten. Tiap-
tiap entitas diperbolehkan untuk memilih metode akuntansinya sendiri. Misalnya, perusahaan
A menggunakan metode Straight Line Method dalam menghitung depresiasi aset
perusahaannya, sedangkan perusahaan lain dapat saja menggunakan metode depresiasi lain
seperti Double Declining Method.

Maka dari itu, conceptual framework membawa beberapa manfaat dan peran penting
didalam akuntansi, diantaranya yaitu :

1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis, oleh karena berasal
dari sebuah konsep yang jelas, konsisten, dan terstruktur. Misalnya, kini seluruh entitas
diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya, tidak lagi memakai
historical cost aset tersebut.

2. Adanya regulations yang dijelaskan didalam conceptual framework memaksa pihak-


pihak yang bertanggungjawab harus membuat laporan yang sesuai dengan framework.

3
3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung jawab terhadap
apa yang dibuatnya, karena seluruh requirements dalam membuat financial report telah
tertera jelas didalam framework.

4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.

5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial reporting


requirements yang mereka buat atau periksa.

6. Pengaturan financial reporting requirements dapat lebih economical, karena tiap issues
yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai sudut pandang.

OBJECTIVES OF CONCEPTUAL FRAMEWORK

Tujuan dari conceptual framework adalah untuk memberikan pedoman dalam


penyusunan dan penyajian laporan keuangan bertujuan umum (general purposes financial
statements).
Lebih lanjut lagi, IASB dan FASB menjelaskan tujuan utama financial reporting adalah
untuk menyediakan informasi keuangan yang berguna kepada users, baik itu investor maupun
creditor. Informasi tersebut akan dipilih berdasarkan dasar kegunaannya dalam proses
pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melaporkan
informasi yang berisi :

1. Berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.

2. Berguna dalam menilai prospek arus kas.

3. Berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan
perubahan yang ada di dalamnya.

Dalam menyediakan laporan keuangan yang berguna, seorang akuntan harus memilih
informasi mana yang akan disajikan. Oleh sebab itu, penting untuk membangun kerangka
kualitatif untuk membuat informasi menjadi berguna. SFAC dan IASB menjelaskan
mengenai qualitative characteristics. Berikut adalah kerangka dari qualitative characteristics
dalam akuntansi :

4
IASB’s framework lalu dikembangkan lebih lanjut mengikuti jejak FASB. Pada periode
1987-2000, FASB membuat seven concept statement yang mencakup topik-topik berikut:

1. Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan bisnis dan organisasi non-profit.

2. Karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang berguna.

3. Unsur-unsur laporan keuangan.

4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.

5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran akuntansi.

Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang disusun. Hal
tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun standar akuntansi dan sebagai
panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan secara langsung oleh
IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka tersebut:
 Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.
 Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari laporan keuangan
berguna.
 Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep untuk pengakuan
dan pengukuran dari laporan keuangan.

5
Di dalam IAS 8 mensyaratkan bahwa manajemen harus menggunakan kerangka
tersebut dalam mengembangkan dan menerapkan aturan akuntansi agar menghasilkan
informasi yang :
 Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi yang dibutuhkan oleh users.
 Reliable.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah untuk
memberikan informasi yang:
1. Bermanfaat dalam membuat keputusan kredit dan investasi oleh pihak yang ingin
memahahi kegiatan ekonomi dan bisnis perusahaan.
2. Membantu kreditor dan investor yang ada atau potensial, serta users lain dalam
menentukan jumlah, waktu dan ketidakpastian cash flow di masa yang akan datang.
3. Mengenai sumber-sumber ekonomi, tuntutan terhadap sumber ekonomi, dan perubahan
di dalamnya.

DEVELOPING A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Dalam pengembangannya, conceptual framework dipengaruhi beberapa isu, yakni:

Principles-Based and Rule-Based Standard Setting

IASB sendiri bertujuan untuk menciptakan standar yang bersifat principles-based yang
akan mengacu pada conceptual framework untuk lebih lanjut. Maka, konten yang terdapat di
dalam conceptual framework akan bersifat ide standar yang menjadi penyokong
pengembangan standar dan membantu user untuk menginterpretasikan standar tersebut.

Namun, IASB sendiri memiliki beberapa peraturan yang cenderung bersifat rule-based,
dan ini bertentangan dengan tujuan awalnya. Salah satunya adalah IAS 39 (Financial
Instruments: Recognition and Measurement). Menurut Christopher Nobes, pakar akuntansi
dari University of London, akan lebih baik jika reasons standard menjadi rules-based karena
mereka tidak menjadi tidak konsisten dengan conceptual frameworks of standard setters.
Perubahan ini sendiri tentu akan membawa benefit lebih banyak, karena dapat memperjelas
komunikasi mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu peraturan yang lebih
detail lagi (karena sudah tercantum di standar). Lebih lanjut lagi, Nobes mengidentifikasi

6
enam contoh peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni mengenai lease accounting,
employee benefits, financial assets, government grants, subsidiaries dan equity accounting.

Hal diatas adalah salah satu contoh perdebatan antara rules-based dan principles-
based. Jika dilihat dari segi kelebihan dan kekurangannya, keuntungan rules-based antara lain
dapat meningkatkan komparabilitas dan verifiabilitas untuk auditor dan regulators. Selain itu,
rules-based juga mampu mengurangi kesempatan terjadinya earning management; walau
mereka memperbolehkan specific restructuring of transaction selama masih dalam koridor
peraturan.

Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas, sebuah


studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) pada 2002 (atas
perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan penggunaan principles-based, namun
standar tersebut wajib memiliki karakteristik:

a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan diaplikasikan


secara konsisten.

b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.

c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan bisa
diaplikasikan secara konsisten.

d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.

e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang membolehkan


financial engineering untuk mencapai technical compliance dengan menghindarkan
maksud dari standar itu sendiri.

f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah IFRS dan
membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru dilakukan di tahun
2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP ke IFRS.

Information for Decision Making and The Decision-Theory Approach

Sudah umum diketahui bahwa data akuntansi digunakan untuk proses decision making
atau untuk tujuan evaluasi di entitas tertentu. Hal ini diawali dengan fungsi data akuntansi
sebagai fungsi stewardship Di masa kini, manajer bertanggung jawab terhadap equityholders

7
perusahaan. Informasi bagaimana manajer tidak melaksanakan tanggung jawab
stewardshipnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi performa manajer dan perusahaan
itu sendiri.

Information for decision making secara tidak langsung mencakup lebih luas dari
informasi mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information luas
dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi akuntansi dilihat sebagi
input data untuk prediksi model bagi users. Maka, kita harus memastikan data apakah yang
benar-benar dibutuhkan untuk memprediksi performa masa depan dan posisinya. Ketiga,
ketika stewardship berfokus pada kejadian di masa lalu untuk melihat apa saja yang sudah
dicapai, prediksi berpatokan pada masa depan. Informasi akuntansi untuk pihak eksternal
memang berdasarkan kejadian di masa lalu, namun masa depan tidak dapat diabaikan begitu
saja ketika masa depan secara tegas dijadikan objective of accounting.

Sedangkan, decision-theory sangat bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi


mencapai tujuannya atau tidak. Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang
berguna, maka teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.

Overall
Accounting THE DECISION THEORY PROCESS
Theory

Individual Prediction Model Decision Model of


Accounting System of User User

Secara keseluruhan, dapat dipahami mengapa pengembangan conceptual framework di


level nasional menjadi sangat sulit. Godfrey berpendapat bahwa dalam pengembangannya,
conceptual framework harus lebih menitikberatkan pada rasionalisasi penggunaan masa kini
dibanding reafirmasi framework di aspek hukum, sosial dan ekonomi dalam fungsi akuntansi.
Selain itu, conceptual framework masa kini juga agar mencari lebih dalam dalam
mengembangan constitution-based framework untuk akuntansi dibanding fokus pada konsep
pondasi hal-hal sehari-hari. Karena, hal-hal tersebut akan lebih sulit dibuat ketika terjadi
perbedaan antarnegara.
8
Jones dan Wolnizer memberi saran agar conceptual framework harus memiliki peran
yang penting dalam mengemukakan persetujuannya dalam scope, objectives, qualitative, dan
measurement characteristics dari akuntansi yang terpengaruh dengan standard setting. Walau
demikian, mereka juga berargumen mengenai konvergensi dengan IASB framework, bahwa
hal ini akan menurukan inisiasi dan inovasi dalam pengembangan conceptual framework itu
sendiri, karena negara tidak lagi bekerja secara independen.

International Developments: The IASB and FASB Conceptual Framework

Pada Oktober 2004, FASB dan IASB bekerja sama untuk mengembangkan conceptual
framework. FASB menyatakan bahwa project tersebut akan melakukan:

a. Fokus pada perubahan dalam environment sejak orginal frameworks pertama kali
diisukan, demikian juga terhadap kelalaian di original frameworks, dengan tujuan untuk
dapat menciptakan framework yang berkembang, utuh, dan dapat mencakup
frameworks yang telah ada secara efektif dan efisien

b. Memberikan prioritas untuk menujukan dan mendiskusikan tiap isu di setiap fase yang
memiliki kemungkinan menguntungkan Boards dalam jangka pendek; yakni cross-
cutting issues yang memberi dampak tertentu dalam project mereka, baik untuk standar
baru maupun standar yang sudah direvisi. Sekaligus, tahap dari project tersebut akan
dilakukan secara simultan dan Boards akan mengharapkan keuntungan dari
terlaksananya project tersebut

c. Mulanya, mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private sector


business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam mempertimbangkan
aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-profit organizations.
Representatif dari public sector standard-setting Boards akan memonitor projects
tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan mempertimbangkan dampak potensial dari
diskusi private sector untuk public entities.

9
IASB/FASB CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECT

Fase Topik

A Objective and Qualitative Characteristics

B Elements and Recognition

C Measurement

D Reporting Entity

E Presentation and Disclosure, including Financial Reporting Boundaries


(Inactive)

F Framework Purpose and Status in GAAP Hierarchy (Inactive)

G Applicability to the Not-for-Profit Sector (Inactive)

H Remaining Issues (Inactive)

Entity vs Proprietorship Perspective

Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif entitas


dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak karena pemilik dan entitas
secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda. Pihak lain menyatakan keberatan karena
menganggap Board tidak menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan
rekomendasi tersebut (seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company
perspectives). Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D, sedangkan
alternative lain mengenai pemilik masih didiskusikan.

Primary User Group

Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial reporting adalah
untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia modal mencakup equity investors,
lenders, dan penyedia jasa kredit lain. Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan bahwa
beragamnya jenis primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara entitas

10
dan individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary user group dan
efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate governance monitoring group.

Decision Usefulness and Stewardship

Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus “cukup luas untuk mencakup
semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders, dan kreditor lain dengan
kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk keputusan alokasi sumber daya dan
keputusan yang dibuat untuk menjaga dan mempertinggi nilai investasi mereka”. Pendapat
ini disetujui banyak pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain karena
dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika fungsi financial
statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat memprediksi masa depan terlalu
ditekankan. Menurut Whittington, fungsi stewardship terlalu dikesampingkan. Padahal di
negara-negara Eropa, stewardship adalah kunci dari corporate governance dan peraturan
perusahaan.

Qualitative Characteristics

IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics, yakni


understability, relevance, reliability, dan comparability. Sedangkan dalam Exposure Draft
dicantumkan bahwa qualitative characteristics yang membuat informasi menjadi berguna
adalah relevance, faithful representation, comparability, verifiability, timeliness, dan
understability, dan pervasive constraints dari financial reporting adalah materiality dan cost.
Selain itu, qualitative characteristics juga dibedakan menjadi fundamental (relevance,
faithful representation) atau enhancing (comparability, verifiability, timeliness, dan
understability) tergantung bagaimana mereka memberi dampak terhadap laporan keuangan.

Banyak pihak yang menyetujui hal ini, namun banyak juga yang menyarankan agar
understability dan verifiability lebih ditinggikan porsinya, demikian juga untuk substance
over form, true and fair view, dan transparency. ED menolak konsep pruedence karena tidak
konsisten dengan konsep neutrality. Whittington sendiri sangsi terhadap penghapusan
pruedence karena pentingnya pruedence dalam menahan management opportunism,

IASB dan FASB harus membuat progress dalam conceptual framework karena hal ini
fundamental dalam mengembangkan standar dan menjadi penyokong dalam upaya
konvergensi peraturan. Selain itu, Boards juga perlu membuat pengukuran untuk konsensus

11
dan mendukung objectives of financial reporting dan qualitative characteristics of financial
information dapat mengeluarkan framework chapters yang dapat diketrima di konstituen.

A CRITIQUE OF CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECTS

Conceptual framework yang telah ada ternyata menuai kritik dari berbagai negara,
Kritik-kritik tersebut memiliki analisis yang menjelaskan alasan mereka mengeluarkan kritik.
Pertama, conceptual framework harus menggunakan pendekatan yang scientific, sehingga
validasi framework harus dapat dijelaskan secara logis dan empiris. Selanjutnya, pendekatan
secara profesional yang berfokus untuk menyarankan tindakan terbaik dengan melakukan
tindakan yang profesional.

Sebenarnya, tujuan pembuatan conceptual frameworks adalah untuk menjawab segala


pertanyaan-pertanyaan mengenai standar akuntansi, sehingga menghindari terulangnya
argumen mengenai hal yang sama. Selain itu, conceptual frameworks juga memberikan
arahan dan keputusan bagi akuntan praktisi dalam menjelaskan informasi yang relevan untuk
pembuatan keputusan ekonomi. Untuk itu, persetujuan yang telah dibuat mengenai standar
akuntansi seharusnya dapat meminimalisasi ketidakkonsekuenan dan ketidaksamaan yang
muncul dari penilaian-penilaian yang berbeda.

Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual framework yang dikeluarkan oleh
FASB tidak cukup membantu dalam menyelesaikan isu kontemporer pada measurement dan
disclosure. Menurut mereka, terdapat tiga isu yang masih ambigu:

1. Definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan posisi deferred
taxes.
2. Conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak belakang yaitu
full cost dan successful efforts. Pada prinsip successful efforts, perusahaan
diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban yang berkaitan dengan
penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang berhasil, jika terjadi penemuan
lokasi tambang yang tidak terdapat minyak dan gas alam, maka beban tersebut
dikurangi langsung terhadap pendapatan pada periode tersebut. Sedangkan, untuk full
cost, semua beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas
alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.
12
Ontological and Epistemological Assumptions

Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan laporan


keuangan yang objektif dan tidak bias. Maksud dari tidak bias atau netral adalah kualitas
informasi yang menghindari penggunanya mengarahkan pada kesimpulan yang memberikan
keamanan pada kebutuhan atau keinginan tertentu. Solomon menjelaskan kebebasan dari bias
sebagai financial map making, dimana suatu peta yang baik adalah peta yang dapat
menunjukkan seluruh fakta yang ada.

Namun, Feyerabend sebagai seorang filsuf ilmu berpendapat bahwa kejujuran ilmiah
tidak lah absolut, kejujuran ilmiah hanya mengarah pada pernyataan tentang kenyataan yang
dibangun, yaitu pernyataan yang diberikan hanya ketika bukti sesuai dengan penjelasan dan
persetujuan mengenai metodologi ilmiah. Hal ini dapat membuat teori yang menjadi dasar
suatu framework dipertanyakan, apakah teori tersebut netral, independen, dan bebas dari bias.
Sehingga, dapat diimplikasikan, jika realita tidak ada dalam praktik akuntansi, maka suatu
conceptual framework tidak dapat memberikan objektivitas yang menyeluruh dalam
mengukur realita ekonomi. Jika dihubungkan dengan conceptual framework yang ada
ternyata benar adanya, bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji
kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual framework itu
sendiri merupakan opini dari badan atau individual yang berkuasa. Hal ini mengarahkan
projek conceptual framework pada pendekatan hypothetico-deductive. Pendekatan ini
mempengaruhi asumsi epistemologi dan asumsi metodologi mengenai pengujian kebenaran
serta tindakan yang paling sering dilakukan oleh peneliti akuntansi.

Circularity of Reasoning

Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework mengindikasikan


bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah, yaitu menarik kesimpulan dari prinsip
dan praktik yang disamaratakan. Namun, banyak pula negara yang conceptual framework-
nya ditandai dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya, bergantung
pada kualitas aspek yang lain. Namun, tidak dituliskan diperlukannya kondisi tertentu untuk
mencapai berbagai kualitas tersebut. Sehingga tidak terdapat arahan yang spesifik mengenai
cara pencapaian kondisi yang seharusnya.

Bermacam-macam kerangka konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya


internal circularity. Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan
13
yang bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk membuka
atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada keinginan dari seorang akuntan
yang memiliki banyak pengetahuan untuk menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.

An Unscientific Disipline

Stamp (1981):

“Until we are sure in our minds about the nature of accounting, it is fruitless for the profession
to invest large resources in developing a conceptual framework to support accounting
standards”

Stamp meyakini bahwa akuntansi lebih berpihak kepada hukum daripada physical
science karena profesi akuntansi dan hukum berhubungan dengan konflik yang terjadi
diantara kelompok pengguna ilmu tersebut dengan kepentingan dan tujuan yang bermacam-
macam. Menurutnya, hukum merupakan normative discipline yang penuh dengan konsep
nilai sarat, dan akuntansi berhadapan dengan kondisi pasar tidak sempurna dan bersifat
subjektif sesuai dengan proses pembuatan keputusan. Sedangkan yang dimaksud physical
science adalah positive discipline, hal yang dapat dideskripsikan dan memiliki karakteristik
bebas dari nilai konsep.

Positive accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara ilmiah
kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya sesuai fakta. Teori ini
bertujuan menjelaskan meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi. Di samping
itu, teori ini juga meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana
interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Validitas teori akuntansi positif dinilai
atas dasar kesesuaian teori dengan fakta atau apa yang nyatanya terjadi (what it is). Sedangkan
normative accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu
perlakuan akuntansi paling sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lebih
menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang seharusnya berlaku (it should be).

Pendekatan positive accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai sains.


Sedangkan pendekatan normative accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai art.
Hingga saat ini, positive accounting theory masih dalam proses yang dapat dijadikan dasar
dalam proses pembentukan akuntansi menjadi sains.

Positive Research
14
Tujuan utama dari dibuatnya conceptual framework adalah untuk menyediakan
informasi keuangan yang dapat membantu pengguna menentukan economic decision. Namun,
sekarang riset pasar meragukan kemampuan data akuntasi yang dipublikasikan untuk
mempengaruhi harga saham. Beberapa teknik akuntansi digunakan untuk memanipulasi
keadaan pasar. Tujuan dari conceptual framework adalah untuk meyakinkan pengguna
laporan keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna untuk proses pengambilan
keputusan.

The Conceptual Framework as A Policy Document

Sebuah cara yang dapat digunakan untuk melihat conceptual framework menjadi
scientific adalah dengan mempertimbangkannya menjadi sebuah policy model. Ijiri
membedakan normative dan policy model. Normative model dibuat berdasarkan asumsi pasti
mengenai tujuan yang akan dicapai. Meskipun normative model memiliki implikasi, namun
tetap berbeda dengan policy judgement yang melibatkan komitmen terhadap tujuannya. Ijiri
juga mengungkapkan bahwa dalam akuntansi, teori dan policy bercampur menjadi satu, tidak
seperti ilmu pengetahuan lainnya.

Menurut Tinker, terdapat cara lain untuk mengesahkan tingkat teoritikal yaitu dengan
pendekatan deskriptif. Deskriptive theories adalah usaha untuk menemukan hubungan yang
sebenarnya terjadi. Panalaran Induktif biasanya disebut dengan teori deskriptif. Pendekatan
deskriptif memiliki implikasi untuk menentukan apakan conceptual framework merupakan
refleksi dari nilai professional.

Buckley memiliki policy model melalui pendekatan konstitusional, dimana prinsip-


prinsip yang berlaku berasal dari kebenaran, sama seperti cara FASB menentukan conceptual
framework. Pendekatan konstitusional sesuai dengan pernyataan bahwa akuntansi bergantung
pada kepercayaan di kejadian yang sebenarnya.

Chamber mengungkapkan:

“all we have as fundamental or basic is a set of proposition that are more or less
arbitrary established, or which are plain dogmas. There is no body of ideas or knowledge by
reference to which we can judge whether or not the proposition are preferable to others, we
must simply accept them.”

15
Kirk berpendapat bahwa standard yang dibuat berdasarkan consensus adalah bagian
dari memeprcayai standar yang merupakan ketentuan dan terbentuk karena persetujuan.
Beliau mengembangkan bahwa sebuah conceptual framework disajikan untuk kepentingan
publik karena merupakan pendekatan konseptual. Sedangkan standard yang dibuat
berdasarkan consensus tidak digunakan untuk kepentingan publik, karena merupakan
pendekatan politik. Hal ini menjadi masalah karena kepentingan publik diwakili oleh
pengguna dengan kebutuhan yang bertentangan. Sedangkan menurut pendapat Miller,
standard yang dibuat menurut consensus hanya akan menghasilkan ketidakkonsistenan.

Professional Values and Self-Preservation

Professional value merupakan tindakan yang berlandaskan idealisme dan lebih


mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sedangkan self
preservation adalah kebalikannya. Efek dari adanya professional values ada terciptanya nilai
sosial yang dapat membuat kelompok professional bertanggung jawab dan menyediakan
segala kepentingan komunitas.

Gerboth berpendapat:

“of necessity, accountants makes many judgments. And when they do, their decision
may differ from those that other accountants would make. But that does not make the decision
arbitrary. Accountant’s freedom is not freedom to decide as they please. Their personal
responsibility for the decision forces a diligent search for the best obtainable approximation
of accounting truth, and that responsibility leaves no room for arbitraries.”

Conceptual frameworks tidak bekerja di dalam ruang sosial dimana terdapat urusan
manusia yang sangat kompleks. Judgement sebagian besar ada karena terdapat professional
value. Greenwood menganggap ini merupakan nilai dari resinalitas dimana terdapat
komitmen pada objektivitas. Dia juga menambahkan itulah yang menyebabkan tidak adanya
hal teoritikal atau teknis yang dianggap tidak tertandingi hanya karena hal tersebut pernah
diterima dan dilakukan.

Demski merupakan orang yang paling tidak setuju dengan adanya normative accounting
standards, karena beliau menemukan bukti matematis dimana tidak ada standar.

Konsep tersebut sesuai dengan pendekatan konstitusional dari Buckley yang


menunjukkan adanya monopol-seeking behavior dari seorang professional. Hal ini dibuktikan
16
dengan semakin meningkatnya kompleksitas standard konsep yang ada dan menyebabkan
publik bergantung pada akuntan dan auditor untuk menyiapkan dan menginterpretasikan isi
laporan keuangan.

“viewing conceptual framework project as constituting a strategic manoeuvre to assist


in socially constructing the appearance of a coherent differentiated knowledge base for
accounting standard, thus legitising standards and the power, authority, and self regulation
of the accounting profession, may help in explaining why conceptual framework projects are
continually undertaken by the profession.”

CONCEPTUAL FRAMEWORK FOR AUDITING STANDARD

Teori umum komprehensif dari pengauditan pertama kali diperkenalkan oleh Mautz dan
Sharaf pada tahun 1961. Mautz dan Sharaf melihat bahwa mengaudit bukan sebagai sub-divisi
dari akuntansi, tapi sebagai ilmu yang berdiri sendiri juga sikap logis yang disiplin. Hal ini
mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa auditor tidak secara natural terbatasi dalam hal
memferifikasi atau mengecek informasi akuntansi. Mautz dan Sharaf juga mempertanyakan
kompatibilitas dari pelayanan auditing dan consulting, dan merekomendasikan pemisahan
untuk kedua tipe pelayanan ini dengan tujuan untuk menjaga independensi dari auditor.

Mautz dan Sharaf mengembangkan lebih jauh teori audit melalui A Statement of Basic
Auditing Concept (ASOBAC) yang dikeluarkan oleh American Accounting Association.
ASOBAC berfokus pada process mengumpulkan dan mengevaluasi data dan bukti-bukti.
Namun pada tahun 1980, fokus debat secara teoritis berfokus pada struktur dan cara
perhitungani dalam hal mengumpulkan bukti dan proses evaluasi. Knecehel menjelaskan ini
sebagai pertumbuhan pesat pada praktik audit, peningkatan teknologi, dan kebutuhan untuk
mengurangi biaya pada audit proses.

Pada tahun 1990, Knechel menghadapi hambatan tan tantangan baru bagi proses
formulasi audit, hambatan ini mencakup tekanan dari klien pada auditor untuk mengurangi
biaya dan memberikan nilai yang lebih. Hal ini membuat praktik audit menjadi lebih
bergantung pada memeriksa sistem kontrol klien dan juga mencari dan mengumpulkan bukti
dari financial statement yang dibuat sendiri oleh sistem tersebut, dibandingkan dengan direct
testing pada transaksi dan account balance. Hal ini mengurangi substantive test dan sample
sizes, yang dapat membuat adanya resiko bisnis audit.

17
Resiko bisnis audit adalah suatu bentuk audit yang mempertimbangkan resiko klien
sebagai bagian dari proses audit evidence (1970). Audit risk model meminta auditor untuk
memperhatikan resiko dari opini audit yang tidak sepantasnya sebagai fungsi dari inherent
risk, resiko dimana sistem kontrol dari klien tidak dapat mencegah dan mendeteksi kesalahan
tersebut, dan resiko dimana prosedur audit pun tidak dapat mendeteksi kesalahan tersebut.

‘Internal control – integrated framework’ by the Committee of Sponsoring


Organization (COSO), dikeluarkan pada tahun 1992. Report ini membuat auditor menjadi
lebih sadar dan peduli terhadap hubungan antara internal control dan pengadaan audit itu
sendiri. Klien dengan internal control yang baik dianggap lebih memiliki resiko yang rendah
untuk terjadi fraud dan error, dan hal ini mendukung dalam kemungkinan untuk mengurangi
sumber data, biaya audit, dan harga pengauditan untuk klien tersebut.

Asal mula terbentuknya ‘internal control – integrated framework’ diprakarsai oleh


komisi yang dibentuk oleh sektor swasta. Sektor swasta ini membentuk ‘National
Commission on Fraudulent Financial Reporting’ atau dikenal juga dengan ‘The Treadway
Commission’ di tahun 1985. Komisi ini disponsori oleh 5 professional association, yaitu:
AICPA, AAA, FEI, IIA, IMA. Tujuan komisi ini adalah melakukan riset mengenai fraud
dalam pelaporan keuangan (fraudulent on financial reporting) dan membuat rekomendasi
yang terkait dengannya untuk perusahaan publik, auditor independen, SEC, dan institusi
pendidikan.

Walaupun disponsori oleh 5 professional association, tapi pada dasarnya komisi ini
bersifat independen dan pihak yang duduk di dalamnya berasal dari beragam kalangan:
industri, akuntan publik, Bursa Efek, dan investor. Nama ‘Treadway’ sendiri berasal dari
nama ketua pertamanya yaitu James C. Treadway, Jr.

Komisi ini mengeluarkan report pertamanya pada tahun 1987. Isi dari report tersebut
merekomendasikan dibuatnya report komprehensif tentang pengendalian internal (integrated
guidance on internal control), lalu dibentuklah COSO, yang kemudian bekerjasama dengan
Coopers & Lybrand untuk membuat report tersebut.

Coopers & Lybrand mengeluarkan report itu pada 1992, dengan perubahan minor pada
1994, dengan judul ‘Internal Control – Integrated Framework’. Report ini berisi definisi
umum internal control dan membuat framework untuk melakukan penilaian (assessment) dan
18
perbaikan (improvement) atas internal control. Report ini memiliki kegunaan salah satunya
adalah untuk mengevaluasi FCPA compliance di suatu perusahaan.

Resiko bisnis audit menekankan pada ancaman untuk model bisnis klien dari
kompleksitas lingkungan bisnis dan resiko bisnis yang mengarahkan pada resiko audit.
Perubahan kunci konseptual yang bisnis audit resiko tunjukkan ke auditor adalah perlunya
untuk memikirkan hubungan kausal dari model bisnis klien dan operasi ke rekening keuangan,
dan bukan untuk berpikir dalam hal kesalahan akuntansi terlebih dahulu.

Resiko auditing berarti auditor menerima tingkat ketidakpastian tertentu dalam


pelaksanaan audit. Auditor harus menyadari bahwa ada ketidakpastian mengenai kualitas
bahan bukti, keefektifan pengendalian internal klien dan ketidak pastian apakah laporan
keuangan memang telah disajikan secara wajar setelah di audit (Richard W.H, Michael F.
Peters & Jamei H. Pratt, 1999).

Berdasarkan sumber lainnya, Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan
bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan
pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan
salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan
laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang
disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak
akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan.

Jenis Resiko Audit, yaitu :

1. Resiko Bawaan (Inherent Risk), yaitu kerentanan suatu saldo akun atau golongan
transaksi terhadap suatu salah saji yang material. Biasanya resiko ini telah ada dari awal
dikarenakan sifat bisnis dari entitas yang bersangkutan.

2. Resiko Pengendalian (Control Risk), merupakan resiko yang baru akan muncul dan
terdeteksi pada saat pemeriksaan internal control. Entitas yang rentan akan fraud
biasanya internal controlnya lemah.

3. Resiko Deteksi (Detection Risk), adalah resiko yang muncul karena auditor tidak
mampu menemukan kesalahan dikarenakan kurang menggunakan tehnik atau prosedur

19
CONCEPTUAL FRAMEWORK – IFRS

IFRS - Kerangka konseptual dibagi menjadi 3 level

• First Level = Basic objective


• Second Level = Karakteristik keuangan dan Unsur Iaporan keuangan
• Third Level = Recognition, measurement, and disclosure concepts

First Level
Basic objective - Untuk memberikan informasi keuangan tentang entitas
pelapor yang berguna untuk investor sekarang dan potensial, lenders dan kreditur lain
dalam pengambilan keputusan dalam kapasitasnya penyedia modal.

Second Level

1. Karakteristik kualitatif

 IASB mengidentifikasi karakteristik kualitatif informasi akuntansi untuk


membedakan informasi yang lebih baik (lebih berguna) dan lnformasi yang
inferior (kurang bermanfaat) untuk keperluan pembuatan keputusan.
 Fundamental qualities:
a. Relevance:

 Predictive Value: membantu meramalkan hasil-hasil yang akan


diperoleh di masa-masa yang akan datang.
 Confirmatory Value: membantu mengkonfirmasi kebenaran ekpektasi
sebelumnya.

b. Faithful Representation:
 Completeness: menyajikan semua informasi yang penting untuk
memenuhi kriteria penyajian secara wajar.
 Neutrality: informasi laporan keuangan tidak dibuat atas dasar
kepentingan salah satu pihak.
 Free from error: informasi laporan keuangan bebas dari kesalahan.
 Enhancing qualities:
a. Comparability: Laporan keuangan harus dapat dibandingkan dengan
laporan keuangan dari perusahaan lain yang sejenis atau dapat

20
dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau juga
sering disebut dengan consistency
b. Verifiability: laporan keuangan harus dapat diverifikasi oleh akuntan-
akuntan lain dengan metode-metode yang sama, dapat diuji.
c. Timeliness: laporan keuangan disajikan secara tepat waktu yaitu sebelum
keputusan akan dibuat.
d. Understandability: Harus dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti
masalah akuntansi dan bisnis atau oleh orang-orang yang ingin
mempelajari dan menganalisa informasi yang disajikan.

2. Unsur-unsur laporan keuangan

a. Assets: manfaat ekonomi masa datang


b. Liabilities: pengorbanan manfaat ekonomi di masa yang akan datang
c. Equity and net assets: nilai sisa antara selisih assets dan liabilities
b. Revenues: aliran masuk atau perluasan assets
c. Expenses: aliran keluar atau penggunaan/penghabisan assets

Third Level
Recognition, measurement, and disclosure concept

 Asumsi Dasar
a. Economic entity: Perusahaan merupakan entitas ekonomi yang terpisah dan
berbeda dari pemiliknya dan unit bisnis lainnya.
b. Going concern: Perusahaan dianggap sebagai entitas yang memiliki
kelangsungan hidup yang berkelanjutan sehingga perencanaan atas pembuatan
laporan keuangan masa kini dan yang akan datang dilaksanakan terus-menerus.
c. Monetary unit: uang adalah common denominator
b. Periodicity: Untuk tujuan laporan keuangan, sebuah entitas bisnis dibagi ke
dalam periode-periode akuntansi.
c. Accrual basis of accounting: transaksi dicatat dalam periode di mana peristiwa
terjadi.

 Prinsip Dasar
a. Measurement
21
 Cost - penyajian secara wajar dari jumlah yang dibayarkan untuk barang yang
diterima.
 Fair value - jumlah nilai dimana aset dapat ditukarkan antara pihak-pihak yang
berpengetahuan dan bersedia dalam arm‘s length transaction.
 lASB telah mengambil langkah yang memberikan perusahaan pilihan untuk
menggunakan nilai wajar sebagai dasar untuk pengukuran aset keuangan dan
kewajiban keuangan.
b. Revenue recognition
Pendapatan harus diakui apabila kemungkinan besar bahwa manfaat
ekonomi masa depan akan mengalir ke perusahaan dan pengukuran dapat
dilakukan secara andal.
c. Expense recognition
Pengeluaran atau penggunaan aset atau menimbulkan kewajiban (atau
kombinasi dari keduanya) selama periode sebagai akibat dari penyerahan atau
produksi barang dan / atau memberikan jasa.
d. Full disclosure
Memberikan informasi yang penting dalam jumlah cukup yang dapat
mempengaruhi penilaian dan keputusan dari pengguna informasi.

 Constraint
a. Biaya: biaya dan penyediaan mformasi harus mempertimbangkan manfaat
yang dapat ditimbulkan dari menggunakannya.
b. Materialitas: suatu item dianggap material jika dimasukkannya atau kelalaian
memasukkannya akan mempengaruhi atau mengubah penilaian dari orang
yang menggunakannya.

22

Anda mungkin juga menyukai