Disusun oleh :
Kelompok 1 B / Apoteker 36
1.1.Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik, yang bertujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan pasien
dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Asuhan
Kefarmasian (pharmaceutical care) (Kementerian Kesehatan, 2014).
Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung Apoteker
pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil
yang ditetapkan yaitu memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya
melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien.
Termasuk keputusan untuk menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis,
rute dan metode pemberian, pemantauan terapi obat serta pemberian informasi dan konseling
pada pasien (American Societharmacist, 1993).
Menurut Permenkes RI No 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di
Rumah Sakit. Maka Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan obat untuk meningkatkan
keamanan, khususnya obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications). Obat High Alert
adalah obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi kesalahan serius
(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome). Adapun yang termasuk Obat High Alert adalah Elektrolit konsentrat
tinggi, LASA (Look Alike Sound Alike) dan Sitostatik/Obat kanker.
Penanganan untuk obat high alert yang paling efektif adalah dengan cara mengurangi
kesalahan dalam pemberian obat tersebut yaitu dengan meningkatkan proses penyimpanan
obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit
pelayanan pasien ke farmasi. Rumah Sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan
data yang ada di Rumah Sakit. Kebijakan atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja
yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau kamar
operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di
area tersebut, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja atau kurang hati-hati. Rumah
Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat untuk meningkatkan keamanan,
Insiden keselamatan pasien mengenai high alert masih sering terjadi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Bayang dkk (2010) menunjukkan bahwa kesalahan dalam pemberian
obat disebabkan oleh prosedur penyimpanan obat yang kurang tepat khususnya untuk obat
LASA (Look Alike Sound Alike) yaitu obat-obatan yang bentuk/rupanya dan
pengucapannya/namanya mirip.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2015) Risiko kejadian
dispensing error secara umum memiliki risiko kejadian tinggi. Hal ini dikarenakan
penyimpanan obat dengan nama yang mirip/LASA (Look Alike Sound Alike), beban kerja,
gangguan, interupsi yang diterima ketika menyiapkan obat, data pasien, dosis obat, dan
frekuensi penggunaan yang tidak lengkap. Selain itu, dalam penelitian Silvia dkk (2011)
disebutkan lebih dari satu kesalahan peresepan, total 1.632 kesalahan, ditemukan dalam obat
yang perlu kewaspadaan tinggi/high alert, maka dari itu sangat penting bagi tenaga
kefarmasian untuk mengelola penyimpanan yang sesuai untuk obat-obat high alert agar
meminimalisir kesalahan pada saat pemberian obat high alert (DepartemenKesehatan, 2008).
1.2.Tujuan
1. Sebagai panduan untuk rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya mengenai
kebijakan manajemen.
2. Sebagai panduan dalam pemberian obat-obatan yang tergolong dalam kategori high
alert medications (obat-obat dalam pengawasan).
3. Meningkatkan kewaspadaan akan high alert medications sehingga meningkatkan
keselamatan pasien.
4. Membuat kesalahan yang terjadi dapat segera diketahui/terlihat.
5. Memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi dan meminimalisasi
terjadinya kesalahan-kesalahan medis dan menurunkan potensi resiko terhadap pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPINEPHRINE
Indikasi
Pada kardiovaskular epinephrine dapat memperkuat dan mempercepat daya kontraksi
otot jantung (myocard) yang akan menyebabkan curah jantung meningkat sehingga
mempengaruhi kebutuhan efek oksigen dari otot jantung. Epinephrine juga mengkontriksi
arteri di kulit (vasokontriksi), membran mukosa, dan visceral. Kerja lain
dari epinephrine adalah mendilatasi pembuluh darah ke hati dan otot rangka. Oleh karena itu,
efek kumulatif epinephrine adalah meningkatkan tekanan sistolik dan menurunkan tekanan
diastolik. pada sistem pernapasan, epinephrine bekerja pada otot polos bronkus yang
mengandung reseptor Beta-2 sehingga menyebabkan relaksasi (bronkodilatasi)
Epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh darah dalam
pengobatan hipersensitivitas akut. Epinephrine injeksi digunakan :
1. Untuk mengatasi anafilaksis akut pada keadaan darurat.
2. Pada penghambatan saluran pernafasan yang reversibel.
3. Asma bronkhial, edema angioneurotik, biduran/kaligata, glaukoma, serum sickness
(sakit karena alergi serum) dan syok alergik.
4. Menghentikan perdarahan bila digunakan pada permukaan kulit dan membran mukosa
yang berdarah.
5. Menangani terhentinya detak jantung pada kasus syok, anestesi/pembiusan,
elektrokusi, injeksi intrakardial memungkinkan untuk diberikan.
Cara penggunaan
Cara penggunaan epinephrine yaitu dengan diinjeksikan secara intramuscular ke dalam
jaringan otot pantat atau paha. Merupakan cara pemberian obat yang paling efektif untuk
penanganan pasien yang mengalami syok anaphilaktik. Mula kerja obat cepat, karena
absorbsi terjadi melalui celah antar sel endothel kapiler tanpa mengalami vasokonstriksi
jaringan sekitar. Injeksi epinephrine melalui rute :
1. Intra vena (i.v) : Larutan yang disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah
vena.
2. Intra muscular (i.m): Larutan, suspense atau emulsi yang disuntikkan diantara lapisan
jaringan atau otot.
3. Intra cutan (i.c) : Larutan atau suspense air yang disuntikkan langsung ke dalam kulit
dan biasanya digunakan untuk diagnose.
4. Sub cutan (s.c) : Larutan yang disuntikkan langsung ke dalam jaringan bawah kulit
biasanya di lengan atas atau paha.
Efek samping
Efek samping dari epinephrine berupa :
1. Kardiovaskuler: Angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing, hipertensi,
peningkatan kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak, takikardi
(parenteral), vasokonstriksi, ektopi ventrikuler.
2. SSP : Ansietas, pusing, sakit kepala, insomnia.
3. Gastrointestinal : tenggorokan kering, mual, muntah, xerostomia.
4. Genitourinari: Retensi urin akut pada pasien dengan gangguan aliran kandung kemih.
Interaksi
Epinephrine merupakan obat simpatomimetik dengan aksi agonis pada reseptor alfa
maupun beta, harus digunakan hati-hati bersama obat simpatomimetik lain karena
kemungkinan efek farmakodinamik yang aditif, yang kemungkinan tidak diinginkan. Juga
hati-hati digunakan pada pasien yang menerima obat-obat seperti: albuterol, dobutamin,
dopamin, isoproterenol, metaproterenol, norepinefrin, fenilefrin, pseudoefedrin, ritodrin,
salmeterol dan terbutalin.
Cara Penyimpanan
Epinephrine peka terhadap udara dan cahaya. Oksidasi akan mengubah warna larutan
menjadi merah jambu kemudian coklat hingga kehitaman. Jangan digunakan bila terjadi
perubahan warna atau terdapat endapan. Simpan dalam ruangan ber-AC terhindar dari cahaya
langsung (suhu dibawah 25 oC), dalam wadah tertutup rapat terlindung dari cahaya dan
kelembaban.
B. NOREPINEPHRINE
Indikasi
Norepinephrine adalah obat yang serupa dengan adrenalin. Bekerja dengan
menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan tekanan darah dan kadar gula dalam
darah. Norepinephrine digunakan untuk mengobati kondisi tekanan darah rendah
(hypotension) yang fatal yang dapat terjadi dengan kondisi kesehatan tertentu atau prosedur
operasi. Obat ini sering digunakan pada saat CPR (cardio-pulmonary resuscitation).
Dosis
Dosis untuk hipotensi pada orang dewasa :
1. Dosis awal: 2 hingga 4 mcg/menit
2. Dosis perawatan: sesuaikan tingkat untuk tekanan darah rendah normal (biasanya 80
hingga 100 mmHg sistolik). Rata-rata dosis perawatan berkisar antara 1 hingga 12
mcg/menit.
Dosis untuk syok pada orang dewasa :
1. Dosis awal: 2 hingga 4 mcg/menit
2. Dosis perawatan: sesuaikan tingkat untuk tekanan darah rendah normal (biasanya 80
hingga 100 mmHg sistolik). Rata-rata dosis perawatan berkisar antar 1 hingga 12
mcg/menit.
Interaksi
Interaksi obat dapat meningkatkan risiko efek samping yang serius. Interaksi norepinefrin
dengan obat yaitu :
1. Obat-obatan tekanan darah;
2. Penghambat MAO—isocarboxazid, linezolid, injeksi methylene biru, phenelzine,
rasagiline, selegiline, tranylcypromine, dan lainnya; atau
3. Antidepresan—amitriptyline, amoxapine, clomipramine, desipramine, doxepin,
imipramine, nortriptyline, protriptyline, trimipramine.
1. Obat-obat yang perlu diwaspadai (High Alert Medications) adalah obat-obatan yang
sering menyebabkan terjadinya kesalahan/kesalahan serius (sentinel event),dan beresiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome). Obat-obat
LASA/NORUM adalah Obat-obatan dengan nama obat, rupa/bentuk, serta pengucapan
yang mirip, sehingga sering berpotensi menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
pelayanan obat. Merupakan proses kegiatan identifikasi obat high alert dan LASA
dengan memberi tanda/label terhadap obat-obat yang perlu diwaspadai untuk
mengurangi terjadinya resiko atau kesalahan karena pengambilan obat karena kurang
hati-hati.
2. Obat-obatan golongan Agonis adrenergic IV seperti epinefrin dan norepinefrin
merupakan obat high alert yang sering meyebabkan kesalahan dalam pelayanan obat
dikarenakan kedua obat ini memiliki nama yang hampir mirip dan obat ini berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) jika dosinya tidak
sesuai serta salah penggunaan sehingga perlu diwaspadai.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011, Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 8 Agustus 2011, Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014, Tentang
Standar Kefarmasian di Rumag Sakit, 18 Agustus 2014, Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 1223, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009, Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, 1 September 2009, Lembar Negara Republik Indinesia Nomor
5044, Jakarta.
Simamora, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Ketiga. STIE YKPN :
Yogyakarta.
Sugiono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf dan Kualitatif.
Alfabeta : Bandung.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit, 28 Oktober 2009,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072, Jakarta