Anda di halaman 1dari 29

Referat

KECEMASAN PREOPERATIF

Oleh

Resti Syafitri 1740312096


Nadrah 1840312302
Idham Khalid 1840312275

Preseptor :

dr. M. Zulfadli Syahrul, Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.M.DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Kecemasan
Preoperatif”
Ucapan terima kasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, petunjuk, dan do’a serta
segala sesuatunya demi selesainya pengerjaan referat ini dengan sebaik-baiknya.
Izinkan penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. M. Zulfadli Syahrul, Sp.An selaku preseptor yang memberikan waktu dalam
menghadiri presentasi referat penulis.
2. Rekan-rekan dokter muda kepaniteraan klinik yang telah memberikan dukungan,
bantuan dan kerja sama yang baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu dengan senang hati penulis menerima setiap kritik dan
saran dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya di bidang ilmu kedokteran. Amin.

Padang, 22 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iii

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 3
1.3 Metode Penulisan 3
1.4 Manfaat Penulisan 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kecemasan 4
2.2 Pembedahan 10
2.3 Anestesiologi 11
2.4 Kecemasan Preoperatif 15

BAB 3. PENUTUP 22
3.1 Simpulan 22

DAFTAR PUSTAKA 24

ii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 : Ketakutan terkait anestesi umum 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan kecemasan adalah kondisi kesehatan yang paling banyak terjadi.1

Kecemasan adalah keadaan emosional yang ditandai dengan ketakutan dan ketakutan

dihasilkan dari antisipasi terhadap kejadian yang mengancam. Kecemasan dapat

didefinisikan sebagai perasaan ketegangan, ketakutan, dan kegelisahan.2

Insiden gangguan kecemasan meningkat sampai 13,3% di Amerika Serikat

dan menjadi penyakit terbanyak pada subgrup gangguan mental.8 Menurut hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 di Indonesia, terdapat 6% penduduk

dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 14 juta orang mengalami gangguan

mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan untuk usia

15 tahun ke atas.7

Pada pasien yang dirawat untuk penyakit fisik, gangguan seperti kecemasan,

depresi dan somatoform sering ditemukan. Intervensi pembedahan yang tidak terkait

dengan penyakit pasien dapat menyebabkan kecemasan. Pasien berharap bahwa

setelah operasi, mereka akan bebas dari rasa sakit dan keterbatasan. Keraguan tentang

keberhasilan operasi, rasa takut anestesi, dan takut kehilangan kemampuan adalah

penyebab utama kecemasan pra operasi. Kecemasan pra operatif bukan hanya

diagnosis psikiatri. Ini memiliki dampak negatif pada morbiditas dan pengembangan

komplikasi setelah operasi.3

1
Alasan paling umum untuk kecemasan adalah kemungkinan operasi ditunda

(69,6%), diikuti oleh rasa takut bahwa kesalahan dapat dilakukan selama operasi

bedah yang mengakibatkan kerusakan pada pasien (64%), takut tidak menerima

perhatian yang cukup dari pemberi perawatan (63,2%) dan ketakutan “tidak bangun”

setelah operasi (58,4%). Para responden paling tidak khawatir akan mengalami mual

dan muntah pasca operasi (8%).4 Tingkat kecemasan yang dialami oleh seseorang

dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain usia, jenis kelamin, jenis dan tingkat

pembedahan, riwayat pembedahan, dan kerentanan individu terhadap situasi yang

penuh tekanan.5

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan adalah salah satu faktor yang

menyebabkan kecemasan, dan salah satu perubahan ini adalah operasi. Rawat inap,

terlepas dari penyakit, diketahui dapat memprovokasi kecemasan pada pasien yang

dirawat untuk operasi. Jika tidak dikenali, kecemasan yang berkepanjangan

menciptakan stress yang kemudian dapat membahayakan pasien dan menunda

pemulihan.4

Banyak pasien yang mengalami kecemasan sebelum operasi, dan dilaporkan

memengaruhi 60-80% pembedahan. Peningkatan kecemasan sebelum operasi

dikaitkan dengan respon fisiologis seperti hipertensi dan disritmia dan dapat

menyebabkan tertunda nya operasi yang akan dilakukan.4 Insiden kecemasan

preoperatif berkisar antara 11% hingga 80% pada pasien dewasa.1

Kecemasan merupakan reaksi normal yang harus dihadapi dengan sikap

terbuka dan membutuhkan penerangan dari dokter dan petugas pelayanan kesehatan

2
lainnya. Pemahaman akan pembedahan dan persiapan mental yang baik akan

membuat penderita dan keluarganya tenang.6

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, klasifikasi,

etiologi, patogenesis, faktor yang memengaruhi, tatalaksana, komplikasi kecemasan

preoperatif.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini adalah dengan studi kepustakaan dengan merujuk

pada berbagai literatur.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai kecemasan preoperatif.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan

2.1.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan, yang dalam bahasa Inggris disebut anxiety, sebagaimana diadaptasi

dari Encyclopedia of Psychology (2000) oleh American Psychology Association,

merupakan emosi yang ditandai oleh perasaan tertekan, pikiran gelisah, dan

perubahan fisik seperti peningkatan tekanan darah.9 Kecemasan adalah kekhawatiran

yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami

secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal.10

2.1.2 Klasifikasi Kecemasan

Menurut Videback kecemasan (Ansietas) menjadi 4 tingkatan, yaitu ringan,

sedang berat dan panik.

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan

sehari-hari. Pada tingkat ini lapangan persepsi meningkat dan individu akan

berhati-hati serta waspada. Individu terdorong untuk belajar tentang hal-hal yang akan

menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

4
2) Kecemasan Sedang

Pada tingkat ini lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu lebih

menfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain.

3) Kecemasan Berat

Pada kecemasan berat lapangan persepsi menjadi sangat menurun. Individu

cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain. Individu

tidak mampu berfikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan, untuk dapat

memusatkan pada area lain.

4) Panik

Pada tingkat ini lapangan persepsi sangat sempit sehingga individu tidak dapat

mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi

pengarahan/tuntunan. Pada keadaan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain dan kehilangan pemikiran

yang rasional.11

2.1.3 Faktor-Faktor Kecemasan

Kecemasan dapat diakibatkan dari faktor internal dan eksternal.

1. Faktor Eksternal

Beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan terjadinya kecemasan

antara lain :

a. Ancaman terhadap integritas biologi seperti : penyakit, trauma fisik, dan

pembedahan yang akan dilakukan.

5
b. Ancaman terhadap konsep diri seperti proses kehilangan, perubahan peran,

perubahan lingkungan atau status sosial ekonomi.

2. Faktor Internal

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien pre

operasi adalah :

1) Umur

Ada yang berpendapat bahwa faktor umur muda lebih mudah mengalami stres

daripada yang berumur lebih tua, dimana terlalu banyak masalah yang sering dialami

oleh seseorang pada usia muda. Walau umur sukar ditentukan karena sebagain besar

pasien melaporkan bahwa mereka mengalami kecemasan selama yang dapat mereka

ingat. Tapi seringkali kecemasan terjadi pada usia 20 40 tahun.

2) Status Pendidikan

Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan

memahami pengetahuan tentang pra operasi yang mereka peroleh. Dari kepentingan

keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap dengan

adanya masalah kesehatan dan bisa mengambil tindakan secepatnya. Adapun

pendidikan dibagi menjadi dua yaitu :

a) Pendidikan Informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di

rumah, di lingkungan sekolah dan di dalam kelas.

b) Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai bentuk atau

organisasi tertentu, seperti yang terdapat di sekolah atau universitas. Status

pendidikan yang kurang pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih

6
mudah mengalami cemas atau stress dibanding dengan mereka yang status

pendidikannya lebih tinggi.

3) Status Ekonomi (Pendapatan)

Pendapatan biasanya berupa uang yang mempengaruhi seseorang dalam

memenuhi kebutuhan akan kesehatan dimana tersedianya biaya untuk melakukan

opearsi. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas maupun

kualitas kesehatan sehingga ada hubungan yang erat antara pendapatan dengan

keadaan kesehatan seseorang. Akan tetapi, pendapatan yang meningkat bukan juga

merupakan kondisi yang menunjang bagi keadaan kesehatan seseorang menjadi

memadai.10

2.1.4 Teori Kecemasan

Cemas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan

sesuatu di luar dirinya dan meknisme diri yang digunakan dalam mengatasi

permasalahan.

Beberapa teori yang menjelaskan tentang kecemasan, antara lain:

a. Teori Psikoanalisis

Dalam pandangan psikoanalisis, cemas adalah konflik emosional yang terjadi

antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting

dan implus primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi

mengetahui tuntutan dari dalam elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah

meningkatkan ego bahwa ada bahaya.

7
b. Teori Interpersonal

Dalam pandangan interpersonal, cemas timbul dari perasaan takut terhadap

penolakan saat berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga berhubungan dengan

trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dengan orang

yang dicintai. Penolakan terhadap eksistensi diri oleh orang lain atau pun masyarakat

akan menyebabkan individu yang bersangkutan menjadi cemas, namun bila

keberadaannya diterima oleh orang lain, maka ia akan merasa tenang dan tidak cemas.

Dengan demikian cemas berkaitan dengan hubungan antara manusia.

c. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, cemas merupakan produk frustasi yaitu segala

sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap cemas sebagai suatu dorongan untuk

belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Peka tentang

pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan dirinya

dihadapkan pada ketakutan yang berlebih sering menunjukan cemas pada kehidupan

selanjutnya.

d. Teori Keluarga

Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan cemas merupakan hal yang biasa

ditemui dalam suatu keluarga. Adanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan

gangguan depresi.

8
e. Teori biologis

Kajian biologis menujukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepine, reseptor ini mungkin memicu cemas. Penghambatan asam

aminobuitrik-gamma neuroregulator (GABA) juga memungkinkan peran utama

dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya

dengan endorphin. Selain itu telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang

mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap cemas.Error! Reference source not
found.2

2.1.5 Gejala Kecemasan

Pengalaman kecemasan memiliki 2 komponen: kesadaran akan sensasi-sensasi

fisiologis (contoh: palpitasi dan berkeringat) dan kesadaran akan rasa kuatir atau

ketakutan.12

Manifestasi periferal dari ansietas yaitu diare, pusing dan sakit kepala,

hiperhidrosis, hiperrefleksia, hipertensi, palpitasi, midriasis pupil, gelisah (contoh:

berjalan mondar-mandir), sinkop, takikardi, rasa geli (tingling) pada ekstremitas,

tremor, sakit perut (“kupu-kupu”), frekuensi, hesitensi, dan urgensi berkemih.

Tambahan dari efek motor dan viseral di atas, kecemasan memengaruhi

pemikiran, persepsi, dan pembelajaran. Hal ini cenderung menyebabkan kebingungan

dan distorsi persepsi, tidak hanya waktu dan tempat tetapi juga akan orang-orang dan

makna dari peristiwa. Distorsi-distorsi tersebut dapat menghalangi pembelajaran

dengan cara menurunkan konsentrasi, mengurangi recall, dan mengganggu

9
kemampuan untuk menghubungkan suatu hal dengan hal yang lainnya (yaitu,

membuat asosiasi).12

2.2 Pembedahan

2.2.1 Definisi Pembedahan

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan teknik

invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani

melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Pembedahan

dilakukan karena beberapa alasan seperti diagnostik (biopsi, laparatomi, eksplorasi),

kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan apendiks yang mengalami inflamasi),

reparatif (memperbaiki luka multiple), rekonstruksi dan paliatif. Pembedahan

menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu bedah mayor dan minor. Operasi

minor adalah operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko

komplikasi lebih kecil dibandingkan operasi mayor. Biasanya pasien yang menjalani

operasi minor dapat pulang pada hari yang sama. Sedangkan operasi mayor adalah

operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat resiko yang

tinggi terhadap kelangsungan hidup pasien.13

2.2.2 Tahap Pembedahan

Tahapan-tahapan pembedahan dibagi secara garis besar menjadi

tiga, yaitu tahap preoperatif, operatif, dan postoperatif.

1. Preoperatif

Fase perawatan preoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah

dibuat dan berakhir ketika pasien dibawa ke meja operasi. Pada fase ini dilakukan

10
pengkajian data pasien meliputi pengkajian psikososial, pengkajian fisik, pengkajian

riwayat (riwayat penyakit sebelumnya, riwayat pembedahan sebelumnya, riwayat

medikasi sebelumnya), pengkajian hasil laboratorium, dan informed consent.

2. Operatif / intraoperative

Fase perawatan intraoperatif dilaksanakan sejak pasien naik ke meja operasi

hingga pembedahan selesai dan pasien ditransfer ke ruang pemulihan atau unit

perawatan postanestesia (PACU).

3. Postoperatif

Fase perawatan pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang

pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di

rumah.Fokus pada perawatan pascaoperatif adalah mengkaji efek dari agen anastesia,

memantau fungsi vital dan mencegah komplikasi.14

2.3 Anestesiologi

2.3.1 Definisi Anestesiologi

Anestesi adalah suatu tindakan menahan rasa sakit ketika meelakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Istilah anestesi pertama kali di gunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr

pada tahun 1846.15 Sedangkan Anestesiologi adalah suatu praktik kedokteran yang

didedikasikan untuk mengerjakan hal-hal yang terkait, manajemen prosedur yang

membuat pasien tidak dapat merasakan nyeri dan stres emosional selama prosedur

surgikal, obstetrikal, dan medis tertentu. Dukungan fungsi hidup di bawah tekanan

11
anestetik dan manipulasi surgikal. Manajemen klinik pada pasien tidak sadar, apapun

penyebabnya. Manajemen masalah peredaan nyeri. Manajemen masalah dalam

resusitasi kardiak dan respiratori. Aplikasi metode spesifik terapi inhalasi.

Manajemen klinis berbagai gangguan cairan, elektrolit, dan metabolik. Secara

singkat, menurut American Society of Anesthesiology (ASA), anestesiologi adalah

praktik kedokteran yang didedikasikan untuk menghilangkan rasa nyeri dan

pelayanan total bagi pasien sebelum, selama, dan setelah pembedahan.16

2.3.2 Jenis Tindakan Anestesi

Secara umum tindakan anestesi dibagi menjadi tiga jenis:

1. Anestesi Umum

Anestesi umum atau pembiusan umum adalah kondisi atau prosedur

ketika pasien menerima obat untuk amnesia, analgesia, melumpuhkan otot, dan

sedasi. Anestesi umum memungkinkan pasien untuk menoleransi prosedur

bedah yang dalam kondisi normal akan menimbulkan sakit yang tak

tertahankan, berisiko eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan

kenangan yang tidak menyenangkan. Anestesi umum dapat menggunakan agen

intravena (injeksi) atau inhalasi, meskipun injeksi lebih cepat yaitu

memberikan hasil yang diinginkan dalam waktu 10 hingga 20 detik.

Kombinasi dari agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum

membuat pasien tidak merespon rangsangan yang menyakitkan, tidak dapat

mengingat apa yang terjadi (amnesia), tidak dapat mempertahankan proteksi

12
jalan napas yang memadai dan/atau pernapasan spontan sebagai akibat dari

kelumpuhan otot dan perubahan kardiovaskuler.

2. Anestesi regional

Pada anestesi regional, seorang dokter ahli anestesi akan membuat injeksi

di dekat kumpulan saraf untuk menghilangkan sensasi pada area tubuh tertentu.

Pasien dapat diberikan sedatif atau bisa juga tetap sadar selama operasi

berlangsung. Terdapat berbagai jenis anestesi regional. Dua yang paling umum

adalah anestesi spinal dan anestesi epidural.

3. Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah teknik untuk menghilangkan atau mengurangi

sensasi di bagian tubuh tertentu. Hal ini memungkinkan pasien untuk menjalani

prosedur pembedahan dan gigi tanpa rasa sakit yang mengganggu. Ada

kalangan medis yang membatasi istilah anestesi lokal hanya untuk pembiusan

di bagian kecil tubuh seperti gigi atau area kulit. Mereka menggunakan istilah

anestesi regional untuk pembiusan bagian yang lebih besar dari tubuh seperti

kaki atau lengan.17

Sedangkan, untuk pemilihan jenis anestesianya sendiri, pasien dan ahli

anestesiologi mendiskusikannya, setelah asesmen awal preoperatif. Keputusan untuk

menggunakan jenis yang mana dan tipe pengawasan yang dibutuhkan tergantung

pada keselamatan pasien, kebutuhan operasi, dan permintaan pasien.17

Kepentingan utama untuk pemilihan ini adalah penentuan pemakaian anestesi

umum dan anestesi regional. Terkadang pasien tidak senang terhadap pemikiran

13
untuk sadar atau terbangun selama pembedahan di bawah anestesi regional dan pada

beberapa pasien lainnya takut terhadap pemikiran kehilangan kesadaran, tidak

terbangun kembali di bawah anestesi general. Apabila berpengaruh pada keselamatan

pasien, maka dokter anestesi diharapkan dapat meyakinkan pasien untuk mengikuti

keputusannya.17

2.3.3 Tahap-tahap Anestesiologi

Perawatan anastesia dapat dibagai menjadi 5 sekuens di bawah ini, yang

berbeda tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya, yang disebut anesthesia

continuum:

1. Evaluasi preoperasi dan pramedikasi

Patofisiologi penyakit pasien dipasangkan dengan program anestetik yang

sesuai dan aman pada kunjungan atau konsultasi preoperatif. Obat-obatan

dimasukkan untuk menghilangkan kecemasan dan menurunkan fungsi otonomik,

sesuai yang diperlukan.

2. Induksi anestesia

Langkah-langkah yang sesuai diambil untuk memastikan pengawasan

dukungan hidup adekuat diikuti administrasi obat anestetik. Periode ini berlangsung

sampai pasien dianggap siap untuk operasi.

3. Pemeliharaan (maintenance) anestesia

Anestesi yang sesuai secara terus-menerus diadministrasikan, dan fungsi

hidup diawasi dengan seharusnya sehingga prosedur pembedahan bisa diselesaikan

secara aman. Respon-respon dberikan terhadap perubahan patofisiologi dari pasien.

14
4. Terminasi anestesia

Rentang waktu ini berlangsung dari akhir pembedahan sampai dengan saat

pasien siap untuk dipindahkan ke ruang pemulihan atau unit perawatan intensif

surgikal. Pada situasi tertentu, pasien mungkin secara sengaja dibiarkan dalam

keadaan teranestesi atau tidak dapat bergerak secara parsial dan tersedasi untuk

dipindahkan ke area pemulihan.

5. Periode pemulihan

Periode ini adalah interval antara terminasi anestesia dan waktu disaat pasien,

yang sudah pulih secara adekuat dari obat-obat anestesi dan bahaya langsung dari

pembedahan, dianggap untuk memiliki status kardiopulmonal yang adekuat sehingga

perhatian konstan tidak diperlukan.18

2.4 Kecemasan Preoperatif

2.4.1 Klasifikasi Kecemasan Preoperatif

Kecemasan preoperatif secara garis besar terbagi dua, kecemasan terhadap

prosedur anestesi dan kecemasan terhadap prosedur pembedahan itu sendiri.

Terdapatnya kecemasan preoperatif pada pasien dapat menimbulkan berbagai

manifestasi. Adapun manifestasi kecemasan terhadap anestesia sendiri memiliki

beberapa kemungkinan sumber.19

15
Tabel 2.1 Ketakutan terkait anestesi umum

a Ketakutan morbid: tidak bangun lagi, meninggal 23%

b Induksi; sungkup atau jarun 20%

c Terbangun disaat masih dibawah pembiusan 19%

d Nyeri selama pembedahan 16%

e Muntah post-operatif 6%

f Ketakutan lainnya 6%

g Bicara disaat dibawah anestesi umum 5%

h Nyeri post-operatif 5%

2.4.2 Epidemiologi Kecemasan Preoperatif

Kecemasan pre operasi dialami oleh lebih dari 90% pasien. Sebagian besar

pasien sebelum pembedahan elektif mengalami kecemasan dan hal ini diterima secara

luas sebagai respon yang normal. Dari literatur dan studi yang dilakukan, didapatkan

presentasebesarnya kecemasan pasien pada fase preoperatif bervariasi, yaitu antara 10

- 80%, tergantung populasi yang diteliti, karakteristik dan budaya, pengetahuan, alat

ukur kecemasan yang digunakan, dan waktu pengambilan sampel.20

2.4.3 Faktor yang Memengaruhi Kecemasan Preoperatif

Faktor yang mempengaruhi kecemasan preoperatig adalah sosiodemografik

seorang pasien, riwayat psikologis, dan jenis pembedahan harus dipertimbangkan

16
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengembangkan kecemasan sebelum

dan sesudah pembedahan. Pada tahap preoperatif, kecemasan yang diwujudkan

masing-masing pasien tergantung dari beberapa faktor.7 Faktor-faktor tersebut

meliputi:

- Jenis kelamin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perempuan memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami kecemasan preoperatif, termasuk

kecemasan yang tingkatannya juga lebih tinggi. Dari penelitian oleh Aalouane (2011),

pasien wanita mengalami tingkat kecemasan yang 6 kali lebih tinggi dan mengalami

kecemasan patologis.21

- Usia

Menurut Moerman (1995), pasien-pasien yang berusia lebih tua kurang

merasa takut dibandingkan pasien-pasien yang berusialebih muda. Dalam hasil

penelitian lain, didapatkan pasien-pasien di atas 60 tahun dan pasien-pasien

anak-anak menunjukkan rasa takut yang lebih sedikit dibandingkan dengan bagian

dari populasi lainnya. Ada kemungkinan bahwa anak-anak tersebut tidak mengerti

apa yang akan terjadi pada mereka atau mungkin mereka memiliki kepercayaan yang

lebih besar. Penelitian yang sama juga mengemukakan bahwa usia pasien-pasien

paruh baya, yang memiliki tanggung jawab paling besar terhadap keluarganya,

merupakan insidensi tertinggikecemasan preoperatif. Adapun remaja mengalami

ketakutan yang lebih tinggi dibanding anak-anak, tetapi tidak setinggi pasien-pasien

17
dewasa. Hasil ini tidak mengejutkan, mengingat masa remaja sering merupakan

waktu untuk instabilitas emosi.22

- Jenis dan tingkat pembedahan

Salah satu penelitian mengatakan bahwa 77% dari pasien yang menjalani

operasi mayor memiliki ketakutan dibandingkan 71% dari mereka yang menjalani

operasi minor. Selain itu, periode rawatan yang lama di rumah sakit juga merupakan

salah satu faktor utama dalam meningkatkan tingkat kecemasan pasien.22

- Riwayat pembedahan dan pembiusan

Selanjutnya, pada sebagian kasus, riwayat pembedahan dan pembiusan juga

memiliki hubungan dengan kecemasan preoperatif pasien, termasuk kecemasan akan

anestesia. Dalam penelitiannya, Moerman (1996) mendapatkan bahwa pasien-pasien

laki-laki yang sudah pernah menjalani pembedahan sebelumnya memiliki tingkat

kecemasan yang lebih rendahdaripada yang belum pernah menjalani prosedur

pembedahan. Sedangkan, riwayat pembedahan tidak terlalu berpengaruh

secarasignifikan pada pasien wanita. Didapatkan juga, pasien yang memiliki riwayat

pembiusan yang lebih lama (lebih dari 10 tahun sebelumnya) menunjukkan ketakutan

yang lebih besar.19

- Pendidikan dan pengetahuan

Tingkat pendidikan yang rendah secara signifikan diasosiasikan dengan kedua

gangguan mental emosional, yaitu ansietas secara umum dan depresi. Namun,

didapatkan juga pengetahuan pasien yang rendah terkait patologi penyakit mereka

18
adalah salah satu faktor utama yang meningkatkan level ansietas, terlepas dari tingkat

pendidikan dan kelas sosial pasien. Berkebalikan dengan hal di atas, pada situasi

spesifik preoperatif, keingintahuan yang lebih diasosiasikan dengan tingkat

kecemasan yang lebih.23

2.4.4 Komplikasi Kecemasan Preoperatif

Tindakan pembedahan menimbulkan berbagai macam reaksi, yang bervariasi

intensitas dan durasinya, tergantung subjek. Reaksi ini juga bisa timbul di fase

preoperatif maupun postoperatif. Menurut Moerman (1996), sudah dapat dikonfirmasi

apakah kecemasan peroperatif berpengaruh dalam anestesia dan periode postoperatif.

Dari literatur, tampak bahwa dampak yang ditimbulkan hal tersebut sering negatif.19

Selain itu, menurut Aalouane et al. (2011), ansietas terkait pembedahan juga

akan berefek pada kesembuhan dan kualitas hidup pasien pascaoperasi. Terhadap

aspek anestesiologi, hasil paling signifikan adalah peningkatan tekanan darah dan

denyut jantung. Dalam kasus-kasus dengan tingkat ansietas yang tinggi, lebih banyak

jumlah aritmia yang teramati dan dosis obat anestetik yang lebih tinggi dibutuhkan

untuk induksi anestesia. Sedangkan dalam persoalan periode postoperatif, tingkat

kecemasan yang tinggi sering diikuti oleh meningkatnya rasa nyeri postoperatif, lebih

banyak “kesengsaraan”, dan pemulihan yang terlambat.21

Beberapa penelitian psikiatrik sudah dilakukan untuk mengevaluasi

konsekuensi psikologis pada operasi surgikal. Diketahui bahwa terdapat data-data

empiris yang menunjukkan bahwa kecemasan sangat penting untuk perjalanan

anestesi dan masa pascaoperasi. Namun, terdapat kesulitan dalam

19
mengidentifikasinya karena beberapa hal, yaitu seperti adanya lebih dari satu teori

tentang kecemasan, penafsiran hasil ini sulit dan penulis yang berbeda memiliki teori

yang berbeda pula. Selain itu terdapat juga pendekatan penelitian yang berbeda, alat

pengukuran, dan populasi yang diteliti. Kesukaran lainnya adalah tidak adanya

standardisasi pengukuran, dan juga data tentang reliabilitas, validitas, dan sensitivitas

situasi anestesi.24

2.4.5 Tindakan Manajemen

Sebagian besar pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan mengalami

stres dan kecemasan preoperatif yang parah. Banyak dari pasien-pasien di atas yang

secara khusus merasa takut terhadap anetesi. Meskipun sudah diketahui bahwa pasien

sering mengalami kecemasan preoperatif, informasi tentang subjek ini masih sangat

sedikit pada literatur anestesiologis. Penemuan lainnya membuktikan kecemasan

pasien sering tidak teridentifikasi dengan baik oleh dokter dan perawat. Pasien sering

menyatakan mereka lebih cemas daripada yang dinilai oleh dokter dan perawat.24

Kualitas pelayanan untuk pasien bedah dapat ditingkatkan apabila perhatian

terhadap sifat ketakutan dan pasien ditanya mengenai ketakutan mereka secara

khusus. Jika alasan ketakutan pasien juga ditanyakan, informasi yang lebih spesifik

bisa didapatkan. Memberikan informasi adalah salah satu cara terbaik menenangkan

ketakutan pasien. Tetapi, hal tersebut membutuhkan keahlian spesial. Dokter spesialis

anestesi dapat memainkan peran krusial dalam hal ini. Meskipun pertemuan pasien

dan ahli anestesi biasanya singkat, kontak ini sangat penting. Apakah dokter dapat

20
membuat waktu pertemuan menjadi berharga tergantung pada individunya dan

dipengaruhi oleh pengalaman. Tidak ada peraturan baku dalam hal ini.24

Saat ini, sangat sedikit perhatian yang dicurahkan untuk menangani ketakutan

dan memberikan informasi dengan efektif, dan disarankan subjek ini dimasukkan ke

dalam pelatihan anestesiologis. Dalam kesimpulan penelitian Aalouane et al. (2011),

didapatkan bahwa dukungan psikologis harus ditetapkan untuk menghindari

penderitaan tambahan bagi pasien dengan kecemasan. Juga, disarankan agar

perawatan dilakukan untuk menciptakan situasi preoperasi yang optimal bagi pasien.

Hal ini memiliki implikasi tertentu untuk praktik anestesi. Perawatan yang diberikan

oleh ahli anestesiologi tidak boleh terbatas pada masalah somatik, seperti kondisi

kardiovaskular dan pernafasan pasien, namun juga mencakup keadaan pikiran pasien.

Ahli anestesi, ahli bedah, dan perawat diminta untuk memahami disiplin mereka

masing-masing, tidak hanya sebagai tugas dan keterlibatan teknis, tetapi juga

tanggung jawab psikososial, moral, dan kognitif.21

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Kecemasan merupakan emosi yang ditandai oleh perasaan tertekan, pikiran gelisah,

dan perubahan fisik seperti peningkatan tekanan darah. Kecemasan dibagi menjadi

kecemasan ringan, sedang, berat, dan panik.

2. Kecemasan dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal.

3. Gejala kecemasan dapat berupa diare, pusing dan sakit kepala, hiperhidrosis,

hiperrefleksia, hipertensi, palpitasi, midriasis pupil, gelisah (contoh: berjalan

mondar-mandir), sinkop, takikardi, rasa geli (tingling) pada ekstremitas, tremor, sakit

perut (“kupu-kupu”), frekuensi, hesitensi, dan urgensi berkemih.

4. Tahap pembedahan terdiri atas preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.

5. Tahap dalam anestesi adalah evaluasi preoperasi dan pramedikasi, induksi

anestesia, pemeliharaan (maintenance) anestesia, terminasi anestesia, dan periode

pemulihan.

6. Faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan preoperatif adalah usia, jenis kelamin,

jenis dan tingkat pembedahan, riwayat pembedahan dan pembiusan, serta pendidikan

dan pengetahuan.

22
7. Komplikasi kecemasan preopratif berupa meningkatnya rasa nyeri postoperatif,

lebih banyak “kesengsaraan”, dan pemulihan yang terlambat.

8. Perawatan yang diberikan oleh ahli anestesiologi kepada pasien dengan kecemasan

preoperatif tidak boleh terbatas pada masalah somatik, seperti kondisi kardiovaskular

dan pernafasan pasien saja, namun juga mencakup keadaan pikiran pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaruzel CB, Gregoski MJ. Intruments of measure preoperative acute situational


anxiety : An integrative review. AANA Journal. 2017; 85(1): 31-5.

2. Akinsulore A, Owojuyigbe AM, Faponle AF, Fatoye FO. Assessment of


preoperative and postoperative anxiety among elective major surgery patients in
a tertiary hospital in Nigeria. M.E.J Anesth. 2015; 23(2): 235-40.

3. Ali A, Altun D, Oguz BH, Ilhan M, Demircan F, Koltka K. The effect of


preoperative anxiety on postoperative analgesia and anesthesia recovery in
patients undergoing laparoscopic cholecystectomy. Journal of Anesthesia. 2014;
28: 222-7.

4. Nigussie A, Belachew T, Wolancho W. Predictor of preoperative anxiety among


surgical patients in jimma university specialized teaching hospital, south western
ethiopia. BioMedCentral Journal. 2014; 14:67.

5. Badner NH, Nielson WR, Munk S, Kwiatkowska C, Gelb AW. Preoperative


anxiety: Detection and contributing factors. Can J Anaesth, 1990; 37:444-7.

6. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2013.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


Riset kesehatan dasar. Jakarta: Menteri Kesehatan RI; 2013.

8. Bystrisky A, Khalsa SS, Cameron ME, Schiffman J. Current diagnosis and


treatment of anxiety disorders. P&T Journal. 2013; 38(1): 30-57.

9. Kazdin. Encyclopedia of Psychology: 8 Volume Set E A, editor. 2000: American


Psychological Association.

10. Arfian. Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Kualitas Hidup Para Lanjut
Usia. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia; 2013.

11. Videbeck SL. Psychiatric-Mental Health Nursing. 5th ed. 2011: Wolters Kluwer:
Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphia.

24
12. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (2007a). 10th ed.: New York: Wolters Kluwer:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

13. Parker M, Bowers SP, Bray JM, Harris AS, Belli EV, Pfluke JM, et al. Hiatal
Mesh is Associated with Major Resection at Revisional Operation. Surg Endosc.
2010 Mei; 24(12): p. 3095-101.

14. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. 8th ed. Jakarta:
EGC; 2002.

15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Ed.2.Cet.V.Jakarta:Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010

16. Lifeline to Modern Medicine. What is Anesthesiology. American Society of


Anesthesiology.http://www.asahq.org/lifeline/types%20of%20anesthesia/what%
20is%20anesthesiology/ - Diakses November 2018

17. Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


FK UI. Jakarta. 2002

18. Brown BR, Blitt CD, Vaughan RW. Clinical Anesthesiology. St Louis: The C.V.
Mosby Company; 1985

19. Moerman N. Psychological Aspects of Anesthesia. Dissertation. Faculty of


Medicine Amsterdam University, 1996.

20. Capernito LJ. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Jakarta:EGC;
2007.

21. Aalouane R, Rammouz I, Tahiri-Alaoui D, Elrhazi K, Boujraf S. Determining


factors of anxiety in patients at the preoperative stage. Neurosciences 2011; Vol.
16 (2): 146-149

22. Ramsay MAE. A survey of pre-operative fear. Anaesthesia 1972; 27:396-402.

23. Bjelland I, Krokstad S, Mykletun A, Dahl AA, Tell GS, Tambs K. Does a higher
educational level protect against anxiety and depression? The HUNT study. Soc
Sci Med. 2008 Mar;66(6):1134-45

24. Moerman N. Anesthesiological and Postoperative Implications of Preoperative


Anxiety. Nederlands Tijdschrift voor Geneeskunde 1992; 5:13-18.

25

Anda mungkin juga menyukai