Anda di halaman 1dari 14

ISBN 979-3398-18-3

Judul:
Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan
Penulis:
Riyanto (Mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi)

Penerbit:
PT Toko Gunung Agung Tbk
Jalan Kwitang No. 6, Jakarta 10420

Cetakan Pertama:
Juli 2005

Percetakan:
CV Kuning Mas

Jumlah halaman:
80 halaman

Dimensi:
10,5 X 14,5 cm

Kata Pengantar

Buku saku yang diberi judul “Tragedi Lampung: Peperangan Yang Direncanakan” ini diterbitkan dalam rangka
memberikan fakta yang jernih dan jelas kepada masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam di Indonesia.

Saya selaku pelaku dan sekaligus korban pada kasus yang terjadi pada 16 tahun lalu ini, merasa prihatin atas ulah
sebagian pelaku (tokoh) kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif komersial.
Padahal, mereka adalah orang-orang yang –ketika saya masih mendekam di LP Batu Nusakambangan dengan vonis
Seumur Hidup– telah menjalin ishlah. Bahkan, telah pula mereguk keuntungan finansial (materiel) dari ishlah itu.

Perilaku dari sebagian tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif komersial ini, menunjukkan bahwa mereka
bukanlah orang-orang yang bersungguh-sungguh dengan doktrin dan ideologi yang diusungnya selama ini.

Ternyata mereka hanyalah petualang yang mengatasnamakan agama, ideologi, dan sejenisnya, yang ujung-ujungnya
ternyata berbaui duit juga.

Semoga Allah SWT tidak menggolongkan mereka ke dalam barisan orang-orang yang menukar agama-Nya dengan
sesuatu yang murah.

Melalui buku ini, saya tampilkan tiga tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang pernah dan sebagian lainnya masih terus
berupaya menungkit-ungkit kasus ini demi mendapatkan keuntungan materiel (finansial), dengan menjalin kerjasama
dengan LSM.

Semoga setelah diterbitkannya buku ini, tidak ada lagi tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang mencoba mengungkit-
ungkit kembali tragedi masa lalu dengan motif komersial.

Semoga Allah masih menanamkan rasa malu di dalam hati mereka, karena malu merupakan salah satu unsur dari iman.

Jakarta, Mei 2005

Riyanto
Mantan Komandan Pasukan Khusus
GPK Warsidi

Daftar Isi
Kata Pengantar _____________________ 03

Daftar Isi _________________________ 07

Bagian Awal:
Dari Tanjung Priok Hingga Lampung __ 09

Azwar Kaili ________________________ 29

Fauzi Isman ________________________ 41

Jayus ______________________________ 57

Bagian Akhir:
Peperangan Yang Direncanakan _______ 65

Bagian Awal : Dari Tanjung Priok Hingga Lampung


Ada tiga peristiwa ‘kanan’ yang secara emosional berkaitan. Yakni, kasus Tanjung Priok berdarah yang terjadi pada
tanggal 12 September 1984. Dari kasus Priok Berdarah yang menewaskan puluhan korban, kemudian –menurut salah
seorang pelakunya– menimbulkan suasana emosional dan membangkitkan tekad berbuat sesuatu, berupa kasus
peledakan BCA (tanggal 4 Oktober 1984). Selang lima tahun, terjadi kasus Talangsari-Lampung, pada tanggal 6-7
Februari 1989.

Menurut Jenderal Benny Moerdani, Panglima ABRI kala itu, peristiwa Tanjung Priok yang berlangsung Rabu malam
sekitar pukul 23.00 wib itu, bukanlah drama pembantaian, tetapi upaya beladiri yang dilakukan aparat di Tanjung Priok
(yang terdiri dari 15 orang) dalam menghadapi serangan gerombolan massa yang berjumlah sekitar 1.500 orang.

Keterangan resmi itu, dianggap sebagai sebuah kebohongan besar oleh masyarakat, yang memicu timbulnya suasana
emosional termasuk di kalangan para aktivis pemuda bahkan hingga mantan petinggi ABRI. Dari sini lahirlah lembaran
putih, yang kemudian dikenal dengan sebutan Petisi 50 yang isinya antara lain menyatakan bahwa peristiwa di Tanjung
Priok 12 September 1984 “…Harus kita akui sebagai suatu tragedi pembantaian…” Dari lembaran putih itu, kemudian
melahirkan beberapa terpidana seperti almarhum HR Dharsono (Letjen TNI Purnawirawan).

Unjuk keprihatinan terhadap kasus Priok, ternyata tidak hanya dalam bentuk lembaran putih atau Petisi 50, tetapi lebih
jauh dari itu, menimbulkan dorongan di dalam diri sekelompok orang untuk melakukan aksi radikal, berupa peledakan
BCA, dengan alasan –sebagaimana dikatakan M. Zayadi, salah seorang pelaku– untuk menunjukkan bahwa umat Islam
masih ada dan mampu melakukan perlawanan, seberapa pun tekanan yang dilakukan pemerintah Orde Baru kala itu.

Dari kasus peledakan BCA ini, muncul seorang tokoh penting yang digiring sebagai terdakwa, bahkan diposisikan
sebagai penyandang dana terhadap aksi tersebut, yaitu Ir. H.M. Sanusi (kini almarhum), mantan menteri pada Orde
Baru, yang hingga kini keterlibatannya pada kasus peledakan itu masih kontroversial.

Selain Ir. H.M. Sanusi, masih terdapat sejumlah orang yang sama sekali tidak terlibat, namun harus menderita akibat
kasus peledakan 1984 itu, bahkan ada yang meninggal akibat “interogasi di belakang layar” oleh petugas Satgas Intel
Kopkamtib, sebagaimana terjadi pada diri ustadz Jabir Abubakar Massie yang wafat dalam pemeriksaan (penyiksaan)
karena menolak bersaksi atas tuduhan bahwa Ir. H.M. Sanusi merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soeharto.

Kasus Priok dan Peledakan BCA, sebagaimana diakui para tokohnya masing-masing adalah sebuah perlawanan
terhadap kezaliman Orde Baru. Sebuah perlawanan yang menunjukkan ‘keberanian’, namun mengakibatkan jatuhnya
banyak korban yang tak bersalah, dan mereka pada umumnya adalah rakyat kebanyakan (ummat Islam) yang
disamping tidak mengerti politik juga miskin dalam arti ekonomi maupun dalam pengetahuan agama (Islam).

Berbeda dengan kasus Peledakan BCA 1984 yang mempunyai kaitan emosional secara langsung dan tegas dengan
kasus Priok 1984, kasus Lampung diawali dengan upaya memindahkan persoalan Priok ke Lampung. Warsidi sebagai
tokoh utama kasus Lampung, nampaknya tidak memiliki kaitan emosional apa-apa, karena sebagai anak transmigran
yang sejak kecil sudah mengikuti orangtuanya bertransmigrasi ke Lampung, ia sama sekali putus hubungan dengan
Jawa. Keterkaitan Priok-Lampung adalah hasil rajutan “aktivis dari Jakarta” sehingga Warsidi yang semula buta politik
menjadi melek politik.

Sebagaimana halnya Amir Biki, Warsidi pun akhirnya wafat di tempat kejadian. Namun sosok keduanya sangat jauh
berbeda. Almarhum Amir Biki adalah seorang aktivis (Angkatan 66), berpendidikan formal cukup baik, direktur salah
satu perusahaan, paham politik, dan punya pengikut banyak. Sedangkan almarhum Warsidi hanyalah rakyat
kebanyakan, orang kampung yang pendidikan formalnya tergolong rendah, dan tidak paham politik.

Almarhum Warsidi bukanlah tokoh yang mampu menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu, baik melalui kharisma
dan wibawanya atau dengan uangnya, sebagaimana almarhum Amir Biki yang punya kharisma dan wibawa serta
berasal dari kalangan sosial ekonomi terpandang. Sebagai anak transmigran dari Jawa yang miskin, Warsidi pada
mulanya sama sekali tidak memiliki jiwa pemberontak. Ia sama sekali tidak layak disejajarkan dengan tokoh Islam
Tanjung Priok seperti almarhum Amir Biki, KH Abdul Qadir Djaelani, Syarifin Maloko, dan sebagainya.

Cita-cita Warsidi pun sangat sederhana. Ketika Jayus menghibahkan satu setengah hektar tanah kepadanya, yang ia
rencanakan adalah sebuah pemukiman sederhana, sehingga ia dan 7 orang lainnya bisa hidup berkecukupan dari hasil
bumi yang ditanamnya, serta bisa meningkatkan pengetahuan umum dan agama Islam bagi anggota-anggotanya.

Kalau toh akhirnya ia terlibat aksi perlawanan hingga tewas di tempat, ia tetap saja tidak layak disejajarkan dengan
tokoh-tokoh di atas. Karena Warsidi, sebagaimana juga korban (tewas dan hidup) lainnya, hanyalah korban kenakalan
“aktivis dari Jakarta” yang mentransmigrasikan paham radikalisme dari Jakarta ke Lampung.

Menurut catatan, Warsidi pernah menjabat sebagai “Camat” NII namun mengundurkan diri pada tahun 1987. Begitu
juga dengan Nur Hidayat (salah seorang aktivis dari Jakarta), pernah menjadi bagian dari komunitas NII faksi Abdullah
Sungkar yang salah satu petingginya adalah Ibnu Thayib alias Abu Fatih. Oleh ICG (International Crisis Group), Ibnu
Thayib alias Abu Fatih disebut sebagai anggota jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI).

Beberapa kemiripan antara kasus Priok dengan Lampung adalah, pertama, pada kasus Priok rencana melawan aparat
disiapkan dalam kurun waktu relatif pendek, sejak siang hingga sore hari sebelum kejadian. Massa yang mendatangi
aparat malam itu hanya sebagian kecil saja yang bersenjata (siap perang). Sebagian besar dari mereka adalah orang
awam yang terbakar oleh tabligh yang digelar ba’da ‘Isya oleh Amir Biki dkk, dan keikutsertaan mereka untuk
memberikan tekanan kepada aparat agar empat kawan mereka yang tak bersalah itu segera dilepaskan dari tahanan.

Mereka tidak cuma menggertak aparat dengan memobilisasi massa. Sebelumnya, sebagaimana bisa dikutip melalui
informasi tertulis, Amir Biki memberikan ultimatum jika hingga jam sebelas malam keempat kawan mereka tidak
dilepaskan dari tahanan Kodim, maka akan terjadi pertumpahan darah, membakari pertokoan di Koja serta menggorok
orang-orang Cina.

Kedua, kehadiran massa tidak langsung disambut dengan berondongan peluru tajam. Sebelumnya terjadi insiden
rebutan senjata antara massa dengan aparat. Bahkan Kapten Sriyanto terancam jiwanya jika tidak lincah berkelit dari
tebasan clurit yang diayunkan orang-orang berbaju pangsi hitam. Kemudian terjadilah sebuah ‘perang’ yang tentu saja
tidak seimbang. Dari sinilah berkembang wacana bahwa kasus Priok adalah sebuah pembantaian terhadap masyarakat
sipil yang tidak bersenjata.

Sedangkan pada kasus Lampung, rencana perlawanan itu sudah dirancang oleh “aktivis dari Jakarta” sejak lama
(beberapa bulan sebelum Februari 1989). Bahkan setelah “aktivis dari Jakarta” menghijrahkan sejumlah orang (dari
Jawa Tengah dan sebagainya) ke Lampung, persiapan berperang pun dilaksanakan lebih kongkrit, seperti membuat
panah beracun dari jeruji sepeda motor, melakukan latihan bela diri dan baris berbaris.

Pada kasus Priok (1984), yang terjadi adalah ‘perang’ setengah hati. Karena, massa yang berada di TKP tidak
semuanya berniat perang. Mereka hanyalah orang-orang yang terbakar emosinya. Ketika ‘perang’ terjadi, anggota
masyarakat yang baru pulang nonton di bioskop Permai, ikut larut di TKP tanpa mereka sadari, sehingga menjadi
korban tewas atau luka-luka. Dari sinilah timbul wacana, tentang adanya sebuah drama penembakan yang tak mendapat
perlawanan sedikit pun. Karena, seluruh korban tewas adalah rakyat sipil, tak seorang pun aparat yang tewas.

Sedangkan kasus Lampung (1989) adalah sebuah peperangan (qital) sepenuh hati, antara masyarakat sipil bersenjata
‘primitif’ melawan pasukan bersenjata modern yang mendapat dukungan penduduk setempat yang tidak bersimpati
kepada komunitas Warsidi. Peperangan ini terjadi setelah jatuh korban dari pihak aparat, yaitu Kapten Inf. Soetiman
(Danramil Way Jepara), sehari sebelumnya akibat dibantai mbah Marsudi (kakak kandung Warsidi). Sebuah
peperangan yang konyol. Ibarat sebuah bis yang penuh sesak dengan penumpang, kemudian dibenturkan ke rangkaian
kereta api yang sedang berjalan kencang di atas relnya. Yang pasti, benturan itu menimbulkan korban cukup banyak di
kedua belah pihak.

Peranan Nurhidayat
Nurhidayat pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia) Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah,
Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa
Talangsari-Lampung (Februari 1989).

Nurhidayat, Sudarsono, Fauzi dan sebagainya itu, sebenarnya bukanlah sosok yang mengerti secara baik esensi
perjuangan. Rencana “aksi radikal” yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi oleh sebuah ambisi, sehingga
dalam prakteknya mereka begitu mudah mengorbankan pengikut-pengikutnya sendiri. Selain itu, mereka juga tidak
mampu berhitung secara cermat, yang merupakan modal dasar seorang komandan pergerakan. Sebab, bagaimana
mungkin dengan jumlah jama’ah yang tidak mencapai 40 orang laki-laki dewasa –dengan persenjataan yang primitif–
mampu menghadapi ratusan tentara bersenjata modern, apalagi melalui perang terbuka.

Nampaknya ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam telah menjadikan hatinya buta, sehingga
tidak bisa lagi memperkirakan resiko (kekalahan) yang akan diderita. Ambisinya telah menutupi akal sehatnya sendiri,
sehingga tanpa perhitungan yang cermat ia dan kawan-kawannya membuat semacam “negara” di dalam negara yang
karena keawamannya sampai tercium oleh aparat setempat.

Di “negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan, dengan pertimbangan
senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya
hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka
Komandan Koramil setempat merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan
Danramil Kapten Inf. Soetiman disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan
dikuburkan di wilayah “negara” Talangsari.

Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan tegas kepada kelompok
jama’ah Warsidi. Sehingga, terjadilah penyerbuan ke “negara” Talangsari oleh aparat setempat (Danrem) yang
mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan “negara” Talangsari yang selama ini memendam antipati
kepada komunitas Warsidi, sehingga korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi berpotensi memisahkan diri
dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh
aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.

Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada akhir tahun 1970-
an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang dipersenjatai tank dan panser. Begitu
juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak
karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal
terhadap aparat pemerintah yang sah.

Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan dari situ kemudian
jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk di lingkungan “negara” kekuasaan
Warsidi. Jadi, istilah “pembantaian” pada kasus Talangsari sama sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para
aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah pemberontakan bersenjata (primitif) dalam rangka mendirikan sebuah
daulah di tengah-tengah Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, “para aktivis dari Jakarta” adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi
berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah memerintahkan untuk membuat “kota perjuangan” sebagai basis
pergerakan, di Talangsari.

Sebagai Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke Talangsari. Bahkan siapa saja
(dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud melaksanakan hijrah ke Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji
kepada kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-bai'at (sumpah setia dan taat kepada Nurhidayat tanpa boleh
ditentang), bahkan siap mati untuk perjuangan menegakkan syariat Islam. Jadi sejak awal, mereka yang berhijrah atau
dihijrahkan ke Talangsari, Lampung, sudah bertekad untuk berjuang sampai mati, tidak ada penyesalan apabila terjadi
kekalahan atau resiko apapun yang nantinya bakal terjadi dalam basis pergerakan di Talangsari, Lampung itu.

Oleh karena itu, mereka yang terlibat kasus Talangsari, Lampung, dan ikhlas dalam perjuangan, tidak ada agenda tuntut
menuntut, atau menyesali “kekalahan” yang diderita. Sebab kalah atau menang, mati atau hidup sudah merupakan
resiko perjuangan. Karenanya, sejak awal bila memang berniat untuk berjuang tidak boleh gegabah dalam menentukan
sikap, sebab setiap perjuangan selalu mengorbankan nyawa orang banyak.

Sedangkan mereka yang terbukti kemudian tidak ikhlas, lebih cenderung melakukan serangkaian upaya tuntut-
menuntut, yang oleh masyarakat banyak dibaca sebagai upaya komersialisasi semata.

Jadi, peristiwa Talangsari, Lampung, tidak persis sama dengan dengan kasus Priok (1984), berbeda dengan peristiwa
Santacruz di Timor Timur. Karena, peristiwa Talangsari, Lampung merupakan gerakan yang sudah direncanakan dari
Jakarta oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Sejak awal, Nurhidayat dan kawan-kawan sudah merencanakan peperangan
terbuka dengan aparat. Sebuah gagasan yang konyol.

AZWAR KAILI
Azwar berasal dari suku Minang. Ia lahir pada tahun 1942 di Pariaman, Padang. Pendidikan terakhirnya kelas III SMP
pada tahun 1957. Ia tidak sempat menamatkan pendidikannya karena masuk Tentara Pelajar Pasukan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bagian kesehatan.

Pada tahun 1959, ia merantau ke Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, dengan profesi sebagai agen rokok cap
Gentong.

Pada tahun 1966 kembali ke Pariaman untuk menikah. Setahun kemudian Azwar kembali ke Tanjung Karang, namun
usaha agen rokok yang dilanjutkan kakak kandungnya telah bangkrut. Sisa modal digunakan untuk membuka warung
nasi masakan padang yang tidak berhasil, sehingga beralih usaha menjadi pedagang kain keliling.

Sekitar tahun 1969 Azwar bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan membuka Desa Sidorejo di
kawasan Hutan Lindung Gunung Balak. Ia berjualan obat-obatan dan sejak itu berprofesi sebagai mantri kesehatan
swasta di Desa Sidorejo.
Azwar ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan
pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri, tetangga dekatnya.

Dua puteranya ikut pengajian Abdullah, mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah yang
ditampung Zamzuri. Pada 4 Januari 1989 kedua puteranya ikut pengajian di Umbul Cihideung atas ajakan Abdullah.
Kedua puteranya twermasuk korban Peristiwa 7 Februari 1989.

Begitulah sosok Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Abdul Syukur, penulis buku berjudul Gerakan Usroh Di
Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya pada halaman 196-197.

Sedangkan melalui buku yang ditulis Al Chaidar dan kawan-kawan, berjudul Lampung Bersimbah Darah, sosok Azwar
Kaili digambarkan sebagai berikut:

Azwar Kaili lahir tahun 1942 di Painan, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pejuang yang tak kenal menyerah, berbudi
pekerti baik dan bersikap tegas. Dalam hidupnya, segala persoalan dihadapinya dengan lapang dada dan senantiasa
bersabar mencari hikmah dari semua peristiwa-peristiwa sejarah. Ia berhijrah ke Lampung pada tahun 1960. Baru pada
tahun 1969 ia pindah ke Sidoredjo, sebagai the last frontier bagi hidupnya dan keluarga. Pada tahun 1969 tersebut,
jumlah kepala keluarga yang berpindah ke Sidoredjo sebanyak 600 KK. Dia adalah salah seorang yang diperlukan
sebagai mantri pengobatan di daerah baru tersebut. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun 70-an, penyakit malaria adalah
penyakit yang ditakuti semua warga. Ia menyediakan obat-obat pil kina yang mencoba mengatasi penderitaan rakyat di
sana. Pada awalnya, sebagai mantri pengobatan, ia juga bercocok tanam kedele dan tanaman tumpang sari lainnya.

Hidup memang terasa sangat keras di Sidoredjo pada tahun-tahun awal pembukaan lahan. Ia juga mengalami peristiwa
tragis yang juga dialami banyak orang di Sidoredjo pada tahun 1971. Pada tahun 1971 terjadi sebuah peristiwa yang
tidak dimengertinya, segerombolan tentara republik, tentara kehutanan, datang dan mengusir mereka semua yang
tinggal di lahan pembukaan baru di Sidoredjo. Peristiwa ini sangat mengejutkan karena terjadi tanpa sebab yang jelas.
Namun, semua itu dianggap sebuah “kekerasan formal” yang mungkin harus terjadi pada waktu itu. Pada tanggal 3
Maret 1973, ia menikah dengan seorang perawat bernama Ismini. Dengan istrinya inilah ia mengarungi hidup yang
penuh dengan suka duka bersama dengan lima orang anaknya.

Dia merupakan satu-satunya orang dari Sumatera Barat –di samping itu ada lagi yang bernama St. Malano– yang
ditangkap karena peristiwa berdarah itu. Diketahui, keterlibatannya dalam kelompok Warsidi ini di bawah koordinasi
Sudiono dan Zamzuri. Bahkan Azwar merupakan penyelenggara kursus kesehatan dengan mengambil instruktur dari
RSAM Tanjungkarang. Berkat ketekunan isterinya dalam mempelajari kursus tersebut, sehingga ia mendapat keahlian
menyuntik dan mendapat gelar dari masyarakat setempat sebagai manteri kesehatan. Namun Azwar sendiri, sehari-
harinya bekerja sebagai tukang jahit pakaian.

Deskripsi tentang Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Al Chaidar sangat mengagumkan. Namun, pada suatu hari
saya amat sangat terkejut dan merasa begitu prihatin, ketika menyaksikan testimoni Azwar Kaili bersama istrinya, yang
mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari (1989), pada program Buser Petang SCTV yang mengudara sejak
17:30 wib, khususnya segmen B-File (22 September 2003).

Pada testimoni itu, saya banyak menemukan pernyataan ‘aneh’ dari Bapak Azwar Kaili berserta istrinya. Sebagai
mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi, saya tahu persis jatidiri Bapak Azwar Kaili.

Sebagai penduduk Sidorejo, Bapak Azwar Kaili tergolong aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan
anak buah Warsidi bernama Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Begitu juga dengan Warsito, anak angkat Bapak
Azwar. Putra pak Azwar Kaili yang pernah ikut-ikutan Warsito mengaji kepada Abdullah seluruhnya empat orang, tiga
lainnya adalah Iwan, Haris, dan Ujang.

Meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Dulah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi
anggota Jama’ah Warsidi sekurangnya sejak tahun 1988. Warsito dan beberapa teman sebayanya sudah menjadi sosok
yang militan akibat binaan Dulah.

Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama anak pak Sediono (almarhum terlibat kasus
Talangsari) yaitu Zulkarnaen dan Zulfikar, juga anak pak Zamzuri (Isrul Koto) mereka pamit kepada orangtua masing-
masing untuk berjihad ke Talangsari.

Ada satu momen khusus yang masih teringat, bahwa anak Pak Sediono yang bernama Zulfikar (teman Warsito)
sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, menyampaikan kata-kata akhir kepada adiknya: “seandainya saya
mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…”
Di SCTV pak Azwar mengatakan, bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang
Rp 1.000 dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke
Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).

Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan. Hal ini terjadi pada hampir semua orang yang punya kaitan dengan
pengajian yang diselenggarakan Dulah. Namun tidak lama, setelah melalui proses pemeriksaan, dan tidak terbukti ada
kaitan dengan kasus Talangsari, maka mereka pun dilepas, termasuk pak Azwar, yang tidak ditemukan indikasi
keterkaitannya dengan gerakan separatis Warsidi kecuali sebagai jamaah pengajian biasa.

Di SCTV, pak Azwar mengakui, bahwa rumah dan harta lainnya yang ia kumpulkan sejak masih bujangan, musnah
dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Proses pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan
Danramil.

Pernyataan itu jelas tidak benar. Setahu kami, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri beliau, namun tidak
ada pembakaran dan perampokan atas harta benda beliau.

Entah motif apa yang mendorong beliau menyampaikan pernyataan dusta kepada khalayak. Mungkin beliau sakit hati
kepada pak Hendro.

Menurut pengakuan Sukardi, salah seorang tokoh kasus Talangsari, pada bulan September tahun 2002, pak Azwar
menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan pak Hendro, tujuannya untuk mendapatkan kompensasi atas
musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus Talangsari.

Namun, permintaan pak Azwar melalui Sukardi untuk dipertemukan dengan pak Hendro itu sama sekali tidak
terlaksana, karena saat itu pak Hendro menurut Sukardi sedang bertugas ke luar negeri. Ketika itu, pak Azwar Kaili
memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa dipertemukan dengan pak Hendro
maka beliau akan mengajukan tuntutan kepada pak Hendro.

Jadi, menurut hemat saya, motif yang melandasi Pak Azwar Kaili bukanlah sesuatu yang luhur (demi kemaslahatan
ummat atau korban) tetapi semata-mata ingin mencari peluang mendapatkan keuntungan materiel (finansial) dengan
mengeksploitasi (mengkomersialkan) keterkaitan dirinya dengan anak angkatnya yang bernama Warsito.

Kini, di usianya yang kian senja, Azwar Kaili berhadapan dengan musibah yang sangat memilukan, yaitu: dua orang
anak kandungnya (Haris dan Ujang) ditangkap aparat kepolisian karena terlibat tindak kriminal: mereka berdua
menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.

FAUZI ISMAN
Fauzi Isman lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, tanggal 27 Februari 1967. Meski lahir di Lampung, ia
campuran Jawa Timur dan Minang. Ayahnya pensiunan TNI-AD tahun 1973 dengan pangkat terakhir Peltu (Pembantu
Letnan Satu).

Tahun 1979, Fauzi lulus SD XXV Tanjung Karang. Tahun 1982, ia berhasil menyelesaikan studinya di SMP I Tanjung
Karang. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya setingkat Aliyah di Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Jombang,
Jawa Timur, hingga selesai pada tahun 1985. Tahun 1988 lulus Akademi Ilmu Statistik tahun.

Tahun 1982 Fauzi Isman mengikuti basic training Pelajar Islam Indonesia (PII) Tanjung Karang, Lampung, dan aktif
dalam Komisariat Masjid Baabus Salam Pelajar Islam Indonesia (PII).

Pertengahan tahun 1987 Fauzi Isman masuk anggota kelompok pengajian mahasiswa Akademi Ilmu Statistik dan
berkenalan dengan Sudarsono, seorang tokoh Peristiwa Lampung 1989. Fauzi Isman termasuk anggota paling cerdas,
sehingga dipercaya menjadi utusan ke Nusa Tenggara Barat untuk menjelaskan rencana hijrah ke Umbul Cihideung,
Lampung. Ia diangkat menjadi sekretaris Amir Musyafir Nur Hidayat dalam pertemuan 12 Desember 1988 di
Cibinong, Jawa Barat.

Pada tanggal 3 September 1998, Fauzi Isman bersama-sama dengan Ahmad Yani Wahid, Sudarsono, Maulana Abd
Latief, melakukan unjuk rasa ke gedung DPR/MPR, dengan membawa sekitar 200 orang demonstran yang dinyatakan
sebagai korban peristiwa Talangsari. Peristiwa ini antara lain diabadikan oleh harian KOMPAS, edisi 4 September
1998, halaman 6:

Fauzi Isnan , salah seorang mantan napol kasus Lampung mengatakan, semua pihak harus mengakui bahwa luka politik
masa lalu yang melibatkan umat Islam dan ABRI adalah suatu kesalahan. “Dan penyelesaian terbaik, adalah
menyisihkan sikap saling curiga dan prasangka buruk dalam kerangka rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

Itu, menurut Fauzi, dapat dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap para korban dan
keluarganya, termasuk para napol dan keluarganya yang hak perdatanya telah dimatikan…

Jadi, ketika sebagian napol kasus Talangsari (Lampung) masih berada di LP Nusakambangan, konsep ishlah sudah
disosialisasikan dan digemakan oleh Fauzi Isman dan kawan-kawannya.

Sikap Fauzi Isman dan kawan-kawan itu, ternyata mendapat ‘perlawanan’ dari Nur Hidayat. Pada tanggal 18
September 1998, Nur Hidayat bersama dengan Sukardi dan Ruminah mendatangi kantor YLBHI. Peristiwa ini
diabadikan oleh harian REPUBLIKA, edisi 19 September 1998, halaman 3:

Keluarga dan korban tragedi Lampung kembali mendesak agar pemerintah segera memberikan tindakan rehabilitasi
kepada mereka. Mereka juga berharap pihak ABRI segera melakukan tindakan konkret dengan mengambil tindakan
pidana kepada para prajurit yang terlibat dalam kasus tersebut.

“Yang kami lakukan ini bukanlah berdasarkan kepada dendam. Yang kami tuntut adalah agar keadilan segera bisa
ditegakkan,” kata Nur Hidayat, terpidana korban peristiwa kasus Warsidi Lampung, di kantor YLBHI, Jakarta, kemarin
(18/9).

Dia mengatakan, saat ini pihaknya memang telah mendengar bahwa ada beberapa orang yang menyatakan diri tidak
sepakat bila kasus Lampung itu dibuka kembali. Namun, lanjut Nur Hidayat, hingga kini dia sama sekali belum tahu isi
persis dari sikap penolakan tersebut.

Sebelumnya, pada Maret 1998, Nur Hidayat memproklamirkan diri sebagai korodinator KORAMIL (Korban
Kekerasan Militer), menuntut Komnas HAM mengungkap kasus Lampung dengan membentuk tim pencari fakta
independen. KORAMIL nampaknya didirikan oleh Nur Hidayat dalam rangka memberikan ‘perlawanan’ terhadap
KORSANDI yang sudah digemakan Sudarsono sebelumnya.

Entah apa yang terjadi antara kedua tokoh penting kasus Lampung itu, padahal mereka berdua ditambah Fauzi Isman
yang ikut memulai gerakan ishlah, dengan mendatangi kantor Mentrans Hendropriyono, sebagaimana diabadikan oleh
harian REPUBLIKA edisi 30 Januari 1999, halaman 1:


Munculnya ide Ishlah nasional ini, menurut mantan Napol Talangsari, Sudarsono, seminggu setelah lengsernya Pak
Harto. Ia dan dua orang temannya yang masih dalam proses asimilasi, yaitu Fauzi dan Nurhidayat mendatangi
Mentrans Hendropriyono di Deptrans. Ia minta tolong kepada Hendro, agar ia dan teman-temannya semua kasus
Talangsari bisa mendapat grasi dari pemerintah.

Dengan demikian, Fauzi Isman, bersama-sama dengan Sudarsono dan Nur Hidayat, sudah sejak awal reformasi
mencetuskan ishlah setidaknya untuk kasus Lampung. Entah apa alasannya ketika Nur Hidayat kemudian melakukan
‘perlawanan’ ketika gerakan ishlah mulai menggelinding.

Entah apa pula yang menyebabkan Fauzi Isman berubah pikiran menentang ishlah, dan bergabung dengan Kontras
dalam kapasitasnya sebagai koordinator KORAMIL (Korban Kekerasan Militer) yang dua tahun sebelumnya dijabat
oleh Nur Hidayat. Peristiwa ini diabadikan oleh harian KOMPAS edisi 18 April 2000, halaman 8:

Upaya mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan sejumlah warga desa Talangsari, Lampung
Tengah, 7 Februari 1989 lalu, kini berusaha dihambat oleh kelompok yang diperkirakan berhubungan erat dengan
mantan Komandan Korem (Danrem) Garuda Hitam selaku penanggungjawab penyerangan kala itu. Korban dan
keluarga korban dibujuk dengan uang, sapi, tanah dan rumah, bahkan ada juga yang diculik untuk kemudian dipaksa
ikut dalam aksi ke Komnas HAM menuntut Komnas untuk tidak usah ikut campur dalam penyelesaian soal Talangsari.

Hal tersebut disampaikan Ahmad Hambali dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sebagai
penasihat hukum korban Lampung, dan Koordinator Korban Kekerasan Militer (Koramil) kasus Talangsari, Fauzi
Isman, pekan lalu, di Jakarta. Komandan Korem Garuda Hitam waktu itu adalah Kolonel (Inf.) AM Hendropriyono.
Isman mengungkapkan, pernyataan mantan Danrem Garuda Hitam bahwa dirinya tidak keberatan bila kasus Lampung
diungkap kembali, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Melalui sejumlah orang, upaya pengungkapan kasus
Lampung itu berusaha dihambat dengan teror dan tawaran uang kepada para saksi korban dan saksi mata di sekitar
lokasi kejadian.

“Pada tanggal 22. Maret 2000, rumah kediaman kami diteror sekelompok orang yang tidak dikenal yang menggunakan
motor, setelah saya diwawancarai radio Jakarta News FM. Para saksi korban pembantaian Talangsari yang berada di
Solo dan Lampung, terbujuk untuk melakukan demo anti pengungkapan dengan menandatangani surat pernyataan
untuk tidak mengungkap peristiwa Talangsari tersebut dengan imbalan uang sekitar satu.juta rupiah dan dua ekor sapi,”
ungkap Isman.

Isman menegaskan, dia dan kawan-kawan menginginkan adanya pengungkapan agar jelas apa yang terjadi dan di mana
mereka yang hilang itu berada. “Mengenai bagaimana tindak lanjutnya setelah itu, apakah akan memaafkan atau terus
menuntut proses hukum, itu persoalan kemudian. Yang penting ada pengungkapan dulu agar jelas kejadiannya,”
ungkapnya. (oki)

Sikap Fauzi itu mendapat reaksi keras dari mantan korban kasus Lampung, antara lain sebagaimana terwakili melalui
surat pembaca yang dimuat oleh majalah PANJI MASYARAKAT edisi 3 Mei 2000, halaman 10-11, sebagai berikut:

Sehubungan dengan pemberitaan sebuah harian Ibu Kota edisi 18 April 2000, halaman 8, berjudul “Korban Talangsari
Coba Dibungkam”, saya sebagai salah seorang mantan narapidana kasus Talangsari (Lampung) bersama ini bermaksud
menyanggah isi dari berita tersebut, terutama yang bersumber dari sdr. Fauzi Isman. Adalah tidak benar bahwa korban
kasus Talangsari (Lampung) dibujuk untuk tidak mengungkit kembali masalah tersebut, dan mendapat iming-iming
berupa uang tunai, rumah, tanah, dan sapi.

Kami melakukan unjuk rasa ke Komnas HAM dan sebagainya, adalah untuk menghentikan langkah sdr. Fauzi Isman
yang tiba-tiba berminat untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, padahal sebelumnya, sekitar 1998, Fauzi dan
kawan-kawan pulalah yang menyodorkan penyelesaian damai (konsep ishlah).

Sepengetahuan kami, sdr. Fauzi Isman dan kawan-kawan ketika itu (1998) sudah banyak mengatasnamakan korban
kasus Talangsari, dan sudah mengeruk keuntungan finansial yang cukup banyak melalui upaya damai (ishlah) tersebut.
Bahkan, Fauzi Isman telah melakukan manipulasi terhadap mobil Kijang sumbangan Hendropriyono, yang sebenarnya
ditujukan guna memperlancar urusan-urusan bisnis kelompok korban kasus Talangsari (via Yayasan Bunayya). Mobil
tersebut dikuasainya dan sampai sekarang tak jelas keberadaannya.

Kepada korban Talangsari, Hendropriyono memang pernah memberikan santunan Idul Fitri (1420 H) berupa uang
tunai beberapa juta rupiah untuk beberapa orang korban kasus Talangsari yang baru saja keluar dari tahanan dan belum
bisa mencari uang sendiri --jadi bukan kepada semua korban. Dalam hal ini, sdr. Fauzi justru menerima jauh lebih
banyak dari uang THR yang diterima sebagian kecil korban Talangsari.

Begitu juga sumbangan sapi yang jumlahnya hanya empat ekor, dan diperuntukkan bagi kepentingan komunitas korban
Talangsari (asal Solo, Jateng) secara keseluruhan, bukan untuk keperluan pribadi-pribadi. Namun sampai saat ini
keempat ekor sapi tersebut sulit dilacak keberadaannya, sehingga tidak memberi manfaat apa-apa bagi korban kasus
Talangsari asal Solo itu.

Tujuan kami adalah untuk mengingatkan sdr. Fauzi Isman, yang saat ini masih berstatus “bebas bersyarat” agar tidak
melakukan ulah macam-macam, padahal telah cukup banyak mendapat keuntungan finansial dan materiel dari
Hendropriyono, dengan mengatas-namakan korban kasus Talangsari. Kami khawatir, jika kasus penggelapan mobil
Kijang diperkarakan Hendropriyono, kemungkinan besar Fauzi akan kembali ke tahanan tanpa proses.

Riyanto, mantan Kopasus GPK Warsidi


Saya berkesimpulan Fauzi Isman yang kembali menuntut agar kasus Talangsari diungkap, adalah sosok yang tidak saja
labil tetapi juga menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan uang dengan mudah.

Fauzi Isman memang punya maksud memeras Hendropriyono melalui upaya pengungkapan kembali kasus Talangsari
dengan menjalin kerjasama dengan LSM tertentu. Pernyataan itu dicetuskan Fauzi pada sebuah kesempatan di gedung
Nidya Karya, Jakarta, sekitar tanggal 6 Juni 2001, kepada Sofyan alias Sri Haryadi, dengan disaksikan oleh Fahrudin.
Sejak tanggal 7 Juni 2001 Fauzi Isman menjalani status sebagai tahanan Polda Metro Jaya untuk kasus penggelapan
mobil Yayasan Bunayya.
JAYUS
Selama ini saya mengenal Jayus alias Dayat bin Karmo (lahir tahun 1956) sebagai sosok yang ikhlas berjuang untuk
menegakkan negara Islam, dengan menjadikan Cihideung (Talangsari) sebagai basis perjuangan. Namun saya amat
terkejut ketika membaca GAMMA edisi 1-7 Agustus 2001 (hal. 32-33), berjudul Buka Tutup Tak Berujung, antara lain
memberitakan bahwa Jayus bersama enam orang yang mengaku-ngaku sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap
LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Selain majalah GAMMA sepak terjang Jayus juga diabadikan majalah GATRA no. 39 tahun VII edisi 18 Agustus 2001
(hal. 118), berjudul Menahan Laju Garuda Hitam; harian REPUBLIKA edisi 6 September 2001 (hal. 12), berjudul
Korban Kasus Talangsari Tolak Islah; juga harian KOMPAS edisi 21 Desember 2001 (hal. 7), tentang keterlibatan
Jayus bersama Kontras dan Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Ketika itu saya berfikir, Jayus sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin
karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat.

Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi
bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.

Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, hanya ditahan
selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah Almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus
telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha
melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni.

Perlu ditegaskan, bahwa Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Mengenai tujuh orang yang
mengaku mantan anggota Jamaah Warsidi yang menghadap LBH Lampung, mereka adalah anggota keluarga Jayus
sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya,
Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.

Dengan demikian, kedatangan mereka ke LBH Lampung tidak mewakili aspirasi dari keluarga korban pada umumnya.
Bahkan Jayus ketika kasus Talangsari terjadi, ia melarikan diri dan bersembunyi ke dalam sungai di belakang lokasi
kejadian. Dengan demikian Jayus sama sekali tidak mengetahui dengan persis kejadian tersebut. Terbukti, Jayus tidak
pernah dijadikan narasumber (informan) penelitian oleh para peneliti dan penulis buku tentang Talangsari (Lampung).

Sungguh sangat ironis, Jayus yang dulu dengan penuh semangat mensosialisasikan konsep ishlah dan memperoleh
keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah, kini justru gencar melakukan upaya pengungkapan kembali kasus
Talangsari. Faktanya, kini hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan
pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus
satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena
punya motif komersial.

Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini
menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah,
sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah
sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban (dan anggota keluarganya sendiri).

Sebuah buku yang ditulis Abdul Syukur, berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya di
halaman 113, menyajikan hasil wawancara penulis buku tersebut dengan Sukardi yang berlangsung pada 11 Januari
2001 di Jakarta, mendeskripsikan sosok Jayus sebagai berikut:

… Jayus adalah warga Umbul Cihideung yang menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Jayus dikenal sebagai
penjahat sebelum bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi. Kawan Jayus yang bernama Joko dan Badar turut
pula menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Sedangkan Badar, kawannya yang lain sudah tertembak mati oleh
penembakan misterius. Jayus menyesali semua perbuatannya di masa lalu dan ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk
mencari kebaikan sebagai penebus atas semua dosanya di masa lalu. Ia kemudian menyerahkan sebagian tanah warisan
orangtuanya di Umbul Cihideung kepada Warsidi agar dimanfaatkan untuk keperluan mengembangkan agama Islam di
Umbul Cihideung. Tanah pemberian Jayus di Umbul Cihideung itulah yang ditetapkan sebagai lokasi hijrah dalam
pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.
Dari berbagai buku tentang kasus Talangsari (Lampung) yang pernah diterbitkan oleh berbagai penerbit, kesemua
buku-buku tersebut hanya menyinggung sosok Jayus sekedarnya. Jayus cuma disebut sebagai sosok yang
menghibahkan 1,5 hektar tanahnya kepada Warsidi, dari sekitar 5 hektar tanah yang miliknya hasil warisan
orangtuanya. Baru pada buku yang ditulis Abdul Syukur deskripsi tentang sosok Jayus ditampilkan sedikit rinci, itu pun
melalui pihak ketiga.

JAYUS
Selama ini saya mengenal Jayus alias Dayat bin Karmo (lahir tahun 1956) sebagai sosok yang ikhlas berjuang untuk
menegakkan negara Islam, dengan menjadikan Cihideung (Talangsari) sebagai basis perjuangan. Namun saya amat
terkejut ketika membaca GAMMA edisi 1-7 Agustus 2001 (hal. 32-33), berjudul Buka Tutup Tak Berujung, antara lain
memberitakan bahwa Jayus bersama enam orang yang mengaku-ngaku sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap
LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Selain majalah GAMMA sepak terjang Jayus juga diabadikan majalah GATRA no. 39 tahun VII edisi 18 Agustus 2001
(hal. 118), berjudul Menahan Laju Garuda Hitam; harian REPUBLIKA edisi 6 September 2001 (hal. 12), berjudul
Korban Kasus Talangsari Tolak Islah; juga harian KOMPAS edisi 21 Desember 2001 (hal. 7), tentang keterlibatan
Jayus bersama Kontras dan Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Ketika itu saya berfikir, Jayus sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin
karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat.

Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi
bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.

Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, hanya ditahan
selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah Almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus
telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha
melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni.

Perlu ditegaskan, bahwa Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Mengenai tujuh orang yang
mengaku mantan anggota Jamaah Warsidi yang menghadap LBH Lampung, mereka adalah anggota keluarga Jayus
sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya,
Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.

Dengan demikian, kedatangan mereka ke LBH Lampung tidak mewakili aspirasi dari keluarga korban pada umumnya.
Bahkan Jayus ketika kasus Talangsari terjadi, ia melarikan diri dan bersembunyi ke dalam sungai di belakang lokasi
kejadian. Dengan demikian Jayus sama sekali tidak mengetahui dengan persis kejadian tersebut. Terbukti, Jayus tidak
pernah dijadikan narasumber (informan) penelitian oleh para peneliti dan penulis buku tentang Talangsari (Lampung).

Sungguh sangat ironis, Jayus yang dulu dengan penuh semangat mensosialisasikan konsep ishlah dan memperoleh
keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah, kini justru gencar melakukan upaya pengungkapan kembali kasus
Talangsari. Faktanya, kini hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan
pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus
satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena
punya motif komersial.

Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini
menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah,
sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah
sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban (dan anggota keluarganya sendiri).

Sebuah buku yang ditulis Abdul Syukur, berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya di
halaman 113, menyajikan hasil wawancara penulis buku tersebut dengan Sukardi yang berlangsung pada 11 Januari
2001 di Jakarta, mendeskripsikan sosok Jayus sebagai berikut:

… Jayus adalah warga Umbul Cihideung yang menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Jayus dikenal sebagai
penjahat sebelum bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi. Kawan Jayus yang bernama Joko dan Badar turut
pula menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Sedangkan Badar, kawannya yang lain sudah tertembak mati oleh
penembakan misterius. Jayus menyesali semua perbuatannya di masa lalu dan ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk
mencari kebaikan sebagai penebus atas semua dosanya di masa lalu. Ia kemudian menyerahkan sebagian tanah warisan
orangtuanya di Umbul Cihideung kepada Warsidi agar dimanfaatkan untuk keperluan mengembangkan agama Islam di
Umbul Cihideung. Tanah pemberian Jayus di Umbul Cihideung itulah yang ditetapkan sebagai lokasi hijrah dalam
pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.

Dari berbagai buku tentang kasus Talangsari (Lampung) yang pernah diterbitkan oleh berbagai penerbit, kesemua
buku-buku tersebut hanya menyinggung sosok Jayus sekedarnya. Jayus cuma disebut sebagai sosok yang
menghibahkan 1,5 hektar tanahnya kepada Warsidi, dari sekitar 5 hektar tanah yang miliknya hasil warisan
orangtuanya. Baru pada buku yang ditulis Abdul Syukur deskripsi tentang sosok Jayus ditampilkan sedikit rinci, itu pun
melalui pihak ketiga.

Bagian Akhir : Peperangan Yang Direncanakan


Peristiwa Lampung 1989 adalah tindakan radikal, anarkis, bahkan subversif, yang memang direncanakan. Selain
direncanakan, ia juga merupakan perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama berlandaskan penanaman doktrin
ideologis yang kemudian disadari keliru.

Rencana menuju perbuatan radikal, anarkis bahkan subversif itu dapat dilihat dari kronologis berikut ini:

Setidaknya sejak September 1988, ketika empat aktivis dari Jakarta yaitu Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono,
Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung,
Jakarta Timur.

Dari pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara yang berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang.

Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic Village di seluruh Indonesia, yang berfungsi sebagai
basis gerakan. Untuk membangun Islamic Village ini, pada Oktober 1998 Nur Hidayat bin Abdul Mutholib,
memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan berangkat ke Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin
kelompok pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5 hektar.

Masih pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib bersama-
sama dengan Fauzi Isman, Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar Warsidi (Lampung), yaitu Ir. Usman,
Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah). Isi pertemuan pada dasarnya menyetujui adanya kerja sama membangun
Islamic Village.

Rencana membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan kian dipertegas ketika Nur Hidayat bin Abdul Mutholib
bersama Fauzi Isman berangkat ke Lampung, melakukan pembicaraan dengan Anwar Warsidi, intinya:

1. Anwar Warsidi menerima “keputusan Cibinong” (12 Desember 1988) tentang dijadikannya Lampung sebagai basis
perjuangan (Islamic Village).
2. Jama’ah Lampung bersedia menjadi “kaum Anshor”.
3. Jama’ah dari Jakarta yang akan ke Lampung harus mendapat rekomendasi dari Nur Hidayat bin Abdul Mutholib,
atau Fauzi Isman atau Sudarsono.

Sebagai tindak lanjut pertemuan dan keputusan tersebut, maka pada Januari 1989, Nur Hidayat bin Abdul Mutholib
memberangkatkan sejumlah orang dari Jakarta, yaitu Alex (beserta keluarga), Margo, Sugeng, Muslim, Sukardi
(beserta keluarga), Sofyan, Arifin, Ucup, Heru Saefudin, Iwan, Fahrudin, Kasim, Joko, ke Lampung. Bersamaan
dengan rombongan itu, melalui Alex, dititipkan sejumlah 300 anak panah.

Cita-cita jangka pendek membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan, musnah seketika, bersamaan dengan
terjadinya insiden berdarah yang menewaskan Kapt. Inf. Soetiman, di tangan mbah Marsudi, kakak kandung Anwar
Warsidi, pada 6 Februari 1989, menjelang dzuhur.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya eksodus. Sebagian dari para muhajirin (yang semula terdiri dari sekitar 100
jiwa) itu meninggalkan Cihideung, hingga tertinggal beberapa Kepala Keluarga yang berjumlah sekitar 58 jiwa.
Tewasnya Kapt. Inf. Soetiman, disikapi secara tegas oleh aparat. Pada tanggal 7 Februari 1989, pukul 03:00 pagi,
pasukan Korem Garuda Hitam tiba di lokasi. Berulangkali petugas memperingatkan Warsidi melalui pengeras suara
agar segera menyerahkan jenazah Soetiman. Tak ada reaksi bahkan tak ada tanda-tanda kompromi. Himbauan dan
peringatan tak lagi dihiraukan. Ketika pagi mulai menyeruak, seseorang dari balik dinding memberi komando jihad.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Warsidi berhamburan keluar sambil membawa panah dan golok menyerang
petugas. Tentu saja, ini perbuatan sia-sia karena aparat tak mungkin membiarkan mereka melakukan penyerangan yang
membabi buta seperti itu.

Terjadilah peperangan (qital) yang tidak seimbang. Peperangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Ketika peperangan terjadi jumlah jama’ah Warsidi yang berada di TKP Cihideung pasca eksodus adalah 58 jiwa. Dari
58 jiwa, hanya tujuh jiwa yang selamat (hidup) termasuk Jayus dan mbah Marsudi. Dari sejumlah 51 jiwa yang tewas,
ada yang tewas karena peperangan (Lelaki dewasa), sedangkan wanita dan anak-anak tewas akibat terbakar bersama-
sama dengan terbakarnya pondok yang mereka jadikan tempat tinggal. Siapa yang membakar pondok? Dugaan kuat
mengarah kepada Alex.

Tanggal 7 Februari 1989, pukul 07.00 wib, Loso (60 th) dan Kamarudin (30 th), warga Pakuan Aji yang menjadi
pemandu garis depan, mendengar ada orang merintih-rintih di dalam sebuah pondok. Kedua orang ini mencari tahu,
dari mana suara itu berasal. Belakangan diketahui, seseorang membacok anggotanya sendiri, ketika hendak
menyerahkan diri kepada aparat. Kamarudin malah melihat, bangunan rumah bambu itu kemudian dibakar oleh anak
buah Warsidi. Pukul 11.30 wib (menjelang Lohor), kobaran api yang melahap pondok Warsidi beserta isinya baru bisa
dipadamkan.

Fakta-fakta Pasca Peperangan


Berbagai fakta yang berhasil dihimpun pasca terjadinya peperangan 6-7 Februari 1989, menunjukkan bahwa tragedi
Lampung memang merupakan sebuah peperangan yang benar-benar diniatkan oleh para pelakunya.

Pada tanggal 10 Februari 1989, berlangsung sebuah pertemuan di kediaman Mafaid Faedah Harahap (Gang H. Jalil,
Dukuh Atas, Jakarta Pusat). Selain tuan rumah, pertemuan ini dihadiri oleh Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Fauzi
Isman, Wahidin, Ridwan, Maulana Abdul Lathief, dan Sukardi, untuk membahas peristiwa Lampung.

Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:

1. Melakukan gerakan “balasan” di Jakarta dan berbagai daerah lain yang memungkinkan untuk itu.
2. Mengirimkan utusan ke berbagai daerah.
3. Membuat anak panah beracun dan bom molotov.
4. Menetapkan nama gerakan dengan Front Komando Mujahidin (FKM).
5. Membuat selebaran tentang Maklumat Komando Mujahidin dan Tragedi Talangsari III Lampung.

Pada tanggal 11 Februari 1989 di bengkel Yus Iskandar, Kompleks Seroja Bekasi, dan di Pangkalan Jati Jakarta Timur,
Nur Hidayat bin Abdul Mutholib, Sudarsono, Iwan, Sukardi, Fauzi Isman, Sofyan dan Riyanto membuat ratusan anak
panah yang terbuat dari jeruji sepeda motor.

Gerakan balasan pada point “1” di atas, yang direncanakan akan terlaksana 2 Maret 1989, berupa:
meledakkan/membakar pasar Glodok, Pasar Pagi, Pompa bensin di sepanjang Jalan Jen. Sudirman, Jalan Jen. Gatot
Subroto, hingga ke kawasan Tanjung Priok.

Rencana tersebut belum sempat terlaksana, karena aparat telah lebih dulu melakukan penangkapan pada akhir Februari
1989, terhadap Nurhidayat bin Abdul Mutholib dan kawan-kawan, kecuali Mafaid Faedah Harahap dan Wahidin.

Penutup
Sungguh merupakan suatu hal yang sangat menyedihkan dan sekaligus memalukan: para ‘pejuang’ pada suatu
peperangan yang sudah direncanakan dengan matang, namun akhirnya mengalami kekalahan, lalu menuntut
kompensasi, minta penggantian, kepada pihak yang mengalahkannya, dengan berbagai alasan kemanusiaan dan lain
sebagainya. Ini jelas tidak logis. Apalagi, pihak yang kalah adalah pihak yang justru menjadi pemicu terjadinya
peperangan.

Apakah terfikir, jika peperangan saat itu dimenangkan oleh para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi), kemudian para korban
dari pihak aparat mengajukan tuntutan ganti-rugi, mengajukan kompensasi, akankah itu semua bisa dipenuhi?
Dapatkah para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi) memenuhi tuntutan kompensasi yang diajukan keluarga aparat yang
meninggal seperti Dan Ramil Kapten Inf. Soetiman, Kapolsek Sudargo, Pratu Budi Waluyo, Serda Sembiring, Babinsa
Koramil Way Jepara Yatin, dan Lurah Sidorejo Arifin?

Faktanya, tidak pernah ada keluarga korban peperangan tragedi Lampung dari pihak aparat yang mengajukan
kompensasi atau tuntutan ganti-rugi kepada para ‘pejuang’ (jama’ah Warsidi) berupa moril maupun materiel. Mereka
ikhlas dan menganggapnya bagian dari resiko tugas.

Oleh karena itu janganlah sekali-kali mengobarkan peperangan, yang akan mengorbankan jiwa sendiri atau orang lain.
Pikirkanlah dengan matang sebelum bertindak, sebab resiko yang ditimbulkan dari sebuah peperangan sekecil apapun,
amatlah besar. Bila memang sudah bertekad atau sekedar terlanjur memutuskan untuk berperang, dan kemudian
menderita kekalahan, tidak layak menyesal dan tidak sepantasnya menuntut sejumlah kompensasi kepada pihak yang
menang. Kalau memang mau berjuang, berjuanglah dengan ikhlas, dengan penuh kesadaran, dengan hati yang bersih,
dengan hanya mengharap ridho Allah SWT.

Terlalu kerdil dan memalukan: setelah terjadi kekalahan lalu para ‘pejuang’ yang menyulut api peperangan dan
kemudian kalah, justru minta penggantian, menuntut sejumlah kompensasi dengan mengajukan berbagai alasan, antara
lain karena merasa disakiti dan dirugikan.

Saya menghimbau kepada teman-teman, sudahilah kenangan pahit itu sampai di sini saja. Tidak perlu menyimpan
penyesalan dan dendam. Serahkan semua yang sudah terjadi kepada Allah SWT. Mereka yang sudah meninggal, kita
do’akan semoga diterima Allah sebagai syuhada. Sedangkan bagi yang masih hidup, teruslah introspeksi diri, dan
bertobatlah kepada Allah SWT. Karena, kematian pasti akan menjemput kita, dengan jalan yang tidak kita ketahui,
kapan, di mana, kita akan dijemput oleh sang malaikat maut. Anggaplah semua itu pelajaran dalam perjuangan.

“Seekor keledai tidak akan pernah mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama.”

Anda mungkin juga menyukai